Aku tak tahu lagi bagaimana harus mendeskripsikan semua ini, setelah kembali membiarkan diri terperdaya dan jatuh dalam peluknya. Semua semakin tak terkendali. Semakin banyak penyatuan pasti akan semakin sulit untuk dilepaskan. Meskipun tahu akan sepahit apa akhirnya aku hanya ingin menyimpan tiap kenangan kebersamaan dalam sebuah memori, meski takdir mungkin akan memisahkan kami.Kutatap lelaki yang masih terlelap di sisi lain ranjang. Dengkuran halus terdengar, menandakan tidurnya yang lelap semalam.Melihat jam yang hampir menunjukkan waktu subuh, kuguncang bahunya pelan. Kelopak yang dihiasi bulu mata panjang itu bergerak perlahan."Bentar lagi subuh," kataku setelah mata kami bertemu.Khalid hanya terdiam menatapku dengan sorot yang dalam. Begitu aku beranjak bangkit, sebelah tangannya tiba-tiba menahan.Dengan suara yang parau, pintanya terlontar, "Sekali lagi boleh?"***"Buat siapa?" Khalid bertanya saat aku tengah mengemasi makanan dalam wadah bekal susun tiga."Nana sama Bu
Melihat gelagatnya yang janggal, tiba-tiba aku merasa ada yang coba Khalid sembunyikan sejak awal kedatangan. Kututup pintu kulkas, meski buah dan sayur yang masih berserakan belum sepenuhnya dimasukan."Kamu tahu sesuatu, kan?" Kupicingkan mata menatapnya penuh kecurigaan. "Kamu tahu sesuatu tentang Bu Melani, kan?"Khalid terbungkam. Tak ada jawaban, yang dia lakukan justru menarikku dalam dekapan.Hening. Membingungkan."Jawab, Khalid!" Aku yang mulai muak, kembali menuntut jawaban.Karena terus-menerus didesak, akhirnya dia menyerah, kemudian melerai pelukan dan menangkup wajahku dengan sorot mata yang dalam."Sebenarnya kami tahu belum lama ini.""Kami?" Aku memotong."Saya dan Naya." Kuhela napas gusar begitu nama itu terlontar."Sebenarnya kami sadar sepahit apa pun kenyataan, cepat atau lambat kamu tetap harus tahu. Tapi, saya dan Naya sepakat untuk menundanya sampai selesai persalinan nanti, bukan dalam waktu dekat ini. Mengingat seorang ibu hamil tak boleh dibebankan dengan
Tak ada kebahagiaan yang tanpa cobaan. Tak ada suka yang diselingi derita. Jika setiap orang diberi ujian, lalu mengapa ujianku tak pernah usai? Mengapa roda kehidupanku tak pernah berputar?Jika reinkarnasi itu memang benar adanya, mungkin dulunya aku adalah orang yang paling berdosa hingga semua ini akhirnya menimpa. Tapi, tidak apa-apa. Meski masih ada setengah kehidupan yang harus dijalani, setidaknya aku sudah menjalani setengahnya tanpa berusaha mengakhiri diri.Setibanya di rumah, aku melihat Khalid berlari dengan napas memburu dari arah gang. Kuparkirkan motor dan menatapnya dengan heran."Dari mana ka--"Belum sempat menyelesaikan kalimat, Khalid sudah lebih dulu memelukku. "Alhamdulillah, ya Allah. Syukurlah kamu baik-baik aja. Saya udah cari ke mana-mana akhirnya kamu pulang jug--""Beb!" Aku kembali dibuat bingung, saat Roy tiba-tiba datang dan menarikku dari pelukan Khalid. Dia terlihat panik dan menangkup wajahku. "Lu nggak apa-apa, kan? Si Khalid nggak nyakitin lu, kan
"Ramai sekali," seru Khalid begitu kami sampai di Pasar Malam."Namanya juga pasar, Sayang. Udah pasti rame. Kalau mau yang sepi di kamar, berduaan," godaku yang membuat Khalid langsung memalingkan pandangan dan meremas tanganku yang dia genggam."Tiket ke Mars masih nyisa, kayak, ya? Gue mau ikut penerbangan terakhir," cibir Roy yang merasa dikucilkan."Heleh, baperan lo!" Kuapit tangan Roy secara bersamaan. Akhirnya kami berjalan beriringan dengan posisiku yang berada di tengah-tengah dua lelaki menjulang ini. "Senangnya dalam hati, kalau punya dua laki. Seperti, du--""Ngaco, loh!" Roy menoyor kepalaku."Eh, iya. Ngomong tentang laki dua, kok gue jadi kepikiran.""Kepikiran apa? Lu mau punya dua juga? Sanggup emang?" protes Roy bahkan sebelum aku sempat menjelaskan."Bukan gitu, Supri. Maksud gue, kok laki boleh punya istri lebih dari satu, tapi cewek nggak boleh?" Pertanyaan itu memang kuperuntukan untuk Roy, tapi tatapanku tertuju pada Khalid.Lelaki itu tak bereaksi, pandanganny
"Jadi, Abang nggak keberatan tinggal di sini?" Naya bertanya pada suaminya dengan pandangan yang masih mengelilingi sekitar kosan yang kami tempati.Beberapa kali tatapannya tertuju pada tumpukan baju kering yang belum sempat aku lipat dan setrika, juga beberapa sisa jajanan yang kami beli di pasar malam. Harus diakui, gara-gara Khalid semalam, kami bangun kesiangan bahkan sampai terlambat salat subuh. Pekerjaan rumah belum sempat kukerjakan, karena tiba-tiba kedatangan tamu tak diundang."Kalau dia keberatan, mungkin dari awal juga udah minggat," cibirku seraya menyodorkan teh manis dan kaleng berisi biskuit ke hadapan Naya."Nindi ...." Khalid menatapku dengan nada memeringati, tapi jelas aku tak peduli.Perempuan berjilbab dalam balutan tunik dan celana cutbray yang tampak elegant itu hanya bisa menundukan pandangan."Kayaknya Nindi yang bikin Abang betah di sini, sampe kadang lupa menghubungi." Dia melanjutkan dengan seulas senyum yang dipaksakan."Lebih tepatnya demi bayi di kand
Di dapur, aku masih bisa mendengar percakapan mereka tentang segala hal yang terjadi akhir-akhir ini. Naya yang bercerita dengan antusias tentang kondisinya yang terus membaik, tentang orang tua Khalid, tentang kabar Neli dan Mbok Warmi, bahkan tentang usaha kerasnya dalam belajar memasak.Sementara itu Khalid juga tak mau kalah menceritakan tentang kegiatannya selama tinggal di sini. Bersosialisasi dengan berbagai jenis manusia yang belum pernah dia hadapi sebelumnya, hidup sederhana, bahkan berpergian hanya dengan kendaraan roda dua. Tentu saja dia mengecualikan malam-malam panas yang sudah kami lewati beberapa waktu terakhir ini. Kalau hal itu sampai dia ceritakan, mungkin tanduk yang tersembunyi di balik jilbab Naya sudah mencuat keluar."Nin, boleh ikut ke toilet?" Panggilan itu tiba-tiba menyentak lamunan kotorku tentang malam panjang yang sudah aku dan Khalid lewati hingga terlambat bangun pagi."Boleh, tuh WC-nya. Jangan lupa siram!" Kutunjuk kamar mandi yang pintunya terbuka
Tiga hari setelah kepergiaan Bang Khalid yang menyusul Nindi ke Jakarta. Bunda tiba-tiba datang dan menangis dalam pelukan. Dia bercerita kalau setelah status Nindi terbongkar hubungannya dan Ayah tak lagi sama, ikatan yang sebelumnya memang sudah mengendur, sepertinya akan benar-benar lebur.Aku tak bisa menyalahkan salah satu di antara mereka, atau pun berusaha keras mempertahankan keluarga kami tetap berjalan semestinya. Karena saat memutuskan untuk membongkar indentitas Nindi di hadapan Ayah dan Bunda, aku memang sudah siap untuk risiko terburuknya. Di umur yang hampir menginjak dua puluh sembilan sekarang, sepertinya aku tak terlalu asing dengan kata cerai. Bila memang itu yang terbaik untuk mereka, kenapa tidak? Daripada terus-menerus berada dalam pusara luka masa lalu atau terpaksa mempertahankan pernikahan yang sudah tak dikehendaki keduanya.Aku rasa dua puluh lima tahun sudah lebih dari cukup bagi Ayah dan Bunda membohongi diri masing-masing. Sudah saatnya mereka menata hidu
Keputusanku untuk datang ke Jakarta ternyata sudah benar. Aku tak mau celah yang terbuka itu semakin lebar dan membuatku semakin menyesal.Cukup mudah melacak lokasi indekos di daerah padat penduduk seperti Jakarta Pusat khususnya Kemayoran. Dari bandara aku hanya perlu menempuh tiga puluh menit perjalanan menggunakan taksi. Kuperhatikan sekitar pemukiman yang ramai. Untukku yang suka ketenangan jelas tempat ini kurang nyaman. Aku juga sangat tahu Bang Khalid luar dan dalam. Lelaki itu sangat pemilih bahkan untuk urusan tempat dan makanan. Kami pernah sekali menginap di sebuah vila karena perjalanan bisnis mengharuskan. Dan suamiku itu demam sampai dua hari dua malam karena tak cocok dengan lingkungan dan airnya.Aku heran bagaimana bisa Bang Khalid mudah beradaptasi di tempat ini? Tok! Tok! Tok!Kuketuk pintu yang hanya berukuran kurang lebih 1,8 meter di hadapan. Melihat pintu tua ini aku jadi membayangkan tinggi Bang Khalid yang bisa dibilang sama.Ceklek!Pintu terbuka. Terliha