"Cepat, Noah! Kenapa jalanmu seperti siput!" Bentak Karan saat Noah baru saja sampai.Tidak sabar, Karan segera menarik Noah yang masih berada di ambang pintu dengan tas besarnya.Noah yang masih mengantuk mendadak diseret pun lantas oleng terjatuh mencium lantai."Astaga, Karan. Sabar! Jika aku gegar otak siapa yang akan mengobati Arcelia!" Sewot Noah.Karan tidak perduli, dengan paksa laki-laki itu menarik satu tangan Noah agar bangun. "Tidak ada waktu untuk kamu jatuh. Cepat periksa istriku. Dia kesakitan sampai menangis! Perutnya sakit sekali katanya."Mendengar itu, Noah ikut panik. "Apa dia makan sesuatu dari tante Mona?"Noah segera menghampiri Arcelia yang masih menahan rasa sakit. Wajah gadis itu terlihat pucat sekali."Enggak tau, itu yang aku takutkan.""Arcelia, apa kamu makan sesuatu? Ada tanda-tanda seperti keracunan?" tanya Noah pada Arcelia.Arcelia menggeleng. "Aku tidak apa-apa dokter Noah. Ini sakit perut datang bulan."Noah lantas menoleh pada Karan, wajah laki-lak
Malam hari, tidak sesuai yang dijanjikan oleh Karan. Karan tidak bisa menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk dengan cepat. [Noah, tolong bawa Arcelia ke sini.]Rencananya untuk membawa Arcelia makan malam tidak boleh gagal.[Aku sudah dalam perjalanan.]"Ya ampun, jantungku berdebar hingga tidak bisa berkonsentrasi mengerjakan ini." Telapak tangan besarnya mengusap d*d*, upaya untuk menenangkan debaran yang sangat cepat, padahal hanya makan malam tetapi banyak mengundang rasa khawatir, khawatir jika apa yang ia lakukan salah lagi.Lagi, Karan mengirim pesan pada Noah.[Kamu sudah menyiapkan tempatnya, kan? Jangan ada yang kurang. Harus sesuai dengan yang aku minta.]Karan kembali mencoba untuk berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaan, memanfaatkan waktu yang tersisa.Akan tetapi, pikirannya tetap tertuju pada Arcelia. Tentang apa yang akan dia katakan dan bagaimana respon Arcelia. "Tidak bisa, aku tidak bisa menyelesaikan pekerjaan ini."Alhasil, Karan memanggil Bunga yang masih ada di
'Malaikat? Siapa dia?' Jemari Karan rasanya ingin sekali membuka pesan itu, mengecek siapa pengirim pesan yang sangat kurang ajar berani merindukan istrinya. "Ethan? Tidak mungkin, kemarin kami baru saja bertemu. Ini siapa lagi." Karan menoleh pada Arcelia yang masih berkutat menyelesaikan masakannya. "Aku benar-benar tidak mengenali kamu, siapa saja teman-teman dan orang yang dekat denganmu." Kembali menoleh pada ponsel Arcelia yang sudah menggelap. Karan menghela napas berat. "Siapa pun kamu, sekarang Arcelia adalah milikku, aku tidak akan membiarkan orang ketiga menjadi hama dalam rumah tanggaku." Beberapa menit berlalu. "Karan." Arcelia mendekat sembari membawa hasil masakannya, ia kemudian meletakkannya di atas meja. "Maaf, ya. Malah jadi kamu yang masak." Karan menatap jemarinya yang terluka, menyesal telah mengacaukan semuanya. "Aku suka memasak. Makanlah, tenang saja aku tidak menaruh udang di dalamnya," kata Arcelia sembari menyodorkan satu porsi untuk Karan, meski ber
"Karan!"Arcelia lantas berlari hendak menghampiri Karan."Berhenti, jangan mendekat, Arche.""Tapi-" Arcelia menatap disekitar Karan, pecahan gelas serta vas bunga berserakan. Yang membuat Arcelia khawatir adalah darah yang mengalir dari tangan Karan. "Aku tidak apa-apa." Karan beranjak dari posisinya. Tersenyum seolah tidak merasakan sakit meski tangannya terluka. "Jangan mendekat, kamu bisa terluka," sambung Karan.Tanpa memperdulikan pecahan kaca, Karan melewatinya untuk mendekat pada Arcelia.Sementara Arcelia, segera meminta kotak obat pada Bunga dan meminta tolong untuk membersihkan pecahan kata tersebut."Bagaimana bisa seperti ini? Darahnya keluar banyak banget." Arcelia membersihkan darah yang masih keluar."Aku ceroboh, tadi tidak sengaja menyenggol gelas dan vas bunga, niatnya mau beresin malah jadi terluka," beri tahu Karan."Udah tau tajam masih dipegang, jadi terlukakan," omel Arcelia sembari terus mengobati.Tersenyum tipis, Karan memperhatikan Arcelia yang sesekali m
Karan masih berbincang dengan seseorang menggunakan ponsel Noah, sementara Noah sendiri sudah tertidur di sofa."Sudah malam, sebaiknya kamu tidur," kata Karan berniat mengakhiri telefon."Kamu sangat kejam, Kak. Kita baru saja mengobrol setelah sekian lama meskipun dari tadi hanya aku saja yang bercerita."Menghela napas berat, Karan kembali mendengarkan celotehan orang di balik telfon itu.Sementara itu di dalam kamar, Arcelia tengah ketakutan setengah mati karena perbuatan Bryan."Sangat menyedihkan bukan? Didalam mimpi pun aku harus memaksamu." Jemari Bryan mengusap bulir bening yang terus keluar dari sudut mata Arcelia.Gerakan yang pelan, namun sangat menakutkan. Sedikit pun Bryan tidak membiarkan Arcelia bergerak."Bryan, jangan ...." Selama mengenal Bryan, Arcelia belum pernah melihat kegilaan Bryan yang seperti ini.Meski tahu tahu Bryan yang tengah mengalami patah hati, akan tetapi Arcelia tidak menyangka Bryan akan melakukan hal semacam ini padanya."Sttt ... jangan menangi
"Ambil sekarang juga, Karan." Arcelia mengulang permintaannya. Sorot matanya menunjukkan keputusan asaan.Karan tertegun, sebagai laki-laki dewasa Karan memang menginginkan hal itu."Arche, aku tahu perasaanmu sedang kacau. Sebaiknya kamu istirahat, ya. Tenanglah, tidak akan terjadi sesuatu yang buruk, kedepannya aku akan menjagamu lebih hati-hati. Bila perlu aku akan memakai jasa bodyguard.""Kamu tidak mau? Kamu pasti j*j*k padaku, kan?" tanyanya dengan air mata yang kembali mengalir.Perasaan Arcelia benar-benar terguncang, takut, merasa bersalah pada Karan. Mati-matian dirinya menolak Karan untuk tidak menyentuhnya lebih dulu.Tetapi ia malah tidak bisa melindungi diri dari pria lain. Untuk kedua kalinya, Karan menyelamatkan kehormatannya. Karan yang menjaganya, menjaga sesuatu yang memang sudah seharusnya menjadi milik Karan.Arcelia kira dirinya tidak trauma, ternyata salah, ketakutan yang mengerikan itu tidak berlaku jika berada di dekat Karan. Sentuhan Karan tidak membuatnya
Pagi hari saat matahari masih belum sepenuhnya terbit, Karan menemui Bryan dikamar laki-laki itu."Maaf, Kak. Aku memang pantas mendapatkan ini," kata Bryan sembari menunduk.Wajah yang lembam semakin memancarkan kesedihan dan penyesalan Bryan.Meski sesungguhnya Karan ingin kembali memukul Bryan, tetapi Karan menahan diri."Kamu pikir kata maaf bisa menyembuhkan trauma? Dimana otak dan akhlak baikmu yang selalu papa banggakan, Bryan?" Sinis Karan."Apa yang aku lakukan memang sangat tidak benar, Kak. Aku tidak bisa mengendalikan perasaanku, ditambah dengan pengaruh alkohol, aku salah. Maaf, karena sebenarnya selama ini aku menyimpan rasa terhadap Arcelia," terangnya.Bryan menatap wajah Karan, menunggu respon laki-laki itu atas kejujurannya, tetapi Karan sama sekali tidak terkejut. "Tidak ada orang yang bisa melarang perasaan seseorang, tetapi kamu harus sadar diri, Bryan. Sekarang Arcelia istriku, aku rasa kamu cukup waras untuk menyadari hal itu dan mengerti tentang batasan yang t
Saat ini Karan sudah siap dengan setelan kerjanya, laki-laki itu tengah membujuk Arcelia agar tetap di rumah. "Di rumah aja? Kamu bisa mengajak temanmu untuk menemani di sini. Nanti aku akan berusaha pulang lebih cepat," ujar Karan.Sedari tadi Arcelia mengatakan ingin ikut ke kantor, tetapi melihat keadaan sang istri yang masih kurang baik, membuat Karan merasa tidak tega. Andai tidak ada pertemuan penting, Karan akan lebih memilih untuk tidak berangkat kerja."Kamu nggak mau aku ikut?" Tuduh Arcelia dengan ekspresi wajah yang ditekuk.Karan lupa jika Arcelia masih dalam periode datang bulan yang artinya mood Arcelia mudah sekali jungkir balik.Segera Karan menggelengkan kepalanya serta menggerakkan kedua telapak tangan seraya tersenyum tipis, pertanda jika Arcelia salah paham. "Bukan seperti itu, nanti kamu bakal sendirian di ruang kerja, apa nggak apa-apa?""Aku sudah biasa kamu tinggal keluar, kan?" Sahut Arcelia masih dengan wajah yang tidak bersahabat.Masalahnya adalah, Karan k