"Nona, maaf mengganggu waktu Anda!" Tyas menoleh, di sana Maria berdiri tegak seorang diri. Setelah diberi perintah untuk masuk, dia melangkah cepat dan duduk di sofa. Tyas pun mendekat padanya. "Maaf karena sudah egois menganggap Tuan Edbert adalah Marlon Addison. Aku baru menyadari banyak perbedaan di antara mereka," ucap Maria pelan takut didengar pelayan atau Tuan Edbert yang tiba-tiba kembali. "Perbedaan apa?" "Pertama, Marlon sedikit lebih tinggi daripada Tuan Edbert, kulitnya pun tidak seputih dia. Kedua, Pak Damar bilang kalau lelaki yang menikahimu memang Tuan Edbert. Dia sudah lama bekerja di sini jadi sangat mudah membedakan keduanya. Ketiga ...." Maria menunduk dalam, tangannya menyeka air mata yang mengalir deras. Aku kasihan, ingin memeluk juga enggan mengingat jarak antara kami semakin jauh. "Yang ketiga apa, Maria?" tanyaku tidak sabar. "Cinta sejati pasti bisa merasakan hadirnya seorang kekasih. Jika saja Tuan Edbert adalah Marlon, tentu di hatinya akan ada de
Pov Tyas Aryani"Jangan ke mana-mana!" perintah Tuan Edbert padaku sebelum akhirnya masuk mobil dan meninggalkan halaman rumah.Detik ini juga aku berlari kecil menaiki puluhan anak tangga, lalu masuk kamar tanpa ingin menutupnya. Hati merasa nyeri karena teringat ketika Mas Zaki berangkat kerja dulu.Andai boleh memilih celah lain, sepertinya lebih baik hidup sendiri ketimbang menerima fakta telah menikah dua kali sementara suami pertama belum menjatuhkan talak. Islam melarang seorang perempuan melakukan poliandri, tetapi tidak mungkin juga langsung memaksa Mas Zaki menalak tiga diriku. Sebuah perkara yang diperbolehkan, tetapi dibenci-Nya."Orang lain poligami, aku malah poliandri!" cibirku pada diri sendiri.Pagi yang mendung seolah menggambarkan suasana hati. Semua terlalu huru-hara, tak menyisakan kedamaian. Senyum begitu sulit terukir walau sedetik.Sebuah tangan menyentuh bahu kiriku, ketika menoleh rupanya itu Maria. Dia tersenyum, kemudian ikut duduk di tepi ranjang sementar
"Sepertinya Zaki ingin menemui Anda, Nona. Apa yang terjadi sampai dia senekat itu?" Pertanyaan Maria membuyarkan lamunan.Aku juga tidak mengerti. Namun, pikiran melayang pada kejadian lalu tepatnya saat bertemu Maya di mall. Mungkin dia benar-benar sudah menghasut Mas Zaki agar percaya aku telah memiliki kekasih gelap ataukah ada hubungannya dengan kedatangan Arman?Ya, suami istri konyol itu bilang akan melapor pada Nyonya Aluma. Bisa saja istri pertama Tuan Edbert itu bertindak cepat secara diam-diam ibarat pura-pura mati demi mensiasati musuh.Aroma kesedihan terlalu pekat bagiku untuk menyapa mereka. Sejak tadi aku sengaja membisukan panggilan agar tidak ketahuan karena sepertinya ponsel Mbak Utami pun disembunyikan."Lalu apa yang akan terjadi? Kamu pikir dengan ke sana bisa melegakan hatimu?" Ibu tertawa jahat. "Justru dengan hadirnya kamu di sana akan semakin memperkeruh keadaan. Para pelayan mengira kamu itu pengemis, walau nekat mengaku sebagai suami Tyas.""Sementara Tyas,
Sejak bekerja di sini hati selalu gundah tak pernah mendapat kedamaian. Aku bagai bunga di padang tandus yang merindukan tetes-tetes hujan.Ketika melirik pada ponsel, jam sudah menunjuk angka 12.30 WIB. Teringat pesan mendiang ayah dahulu bahwa hati yang sudah lalai mengingat Allah tidak akan pernah tenang. Seberat apa pun masalahmu dan sebesar apa pun dosa yang kamu lakukan, jangan pernah ragu memohon ampun.Hamparkan sajadahmu, tunduklah kepada Allah. Beribadah dengan sebaik-baik penghambaan, penuh kekhusyuan dan Insya Allah hati berangsur damai. Jangan lupa membaca Surah Yusuf sebagai penawar kesedihan.Aku memejamkan mata merasa sangat jauh dari Tuhan. Bibir bergerak tipis mengucap istighfar yang sudah lama alpa terucap di lisan. Hati bergetar, perlahan mata hati kembali terbuka."Ini belum terlambat," monologku menatap nanar pada cermin.Sekitar sepuluh menit mondar-mandir dalam kamar akhirnya tangan kananku meraih gagang pintu hendak berwudhu. Setiap tetes yang menyentuh wajah
Jam menunjuk angka empat sore, aku mencari-cari akun Facebo0k Aminah. Tidak lama karena memang sudah berteman sejak dulu. Nasib baik, temanku itu sedang aktif terbukti ada titik hijau di profilnya. Aku memulai obrolan dengan salam, seperti biasa dia selalu me-respons baik. Kami saling menanyakan kabar hingga aku menulis satu masalah, tidak terlalu jujur hanya mengatakan punya dosa besar. Dia membalas dalam tiga blok. [Tidak apa-apa. Penyesalan pun adalah taubat, Tyas. Mungkin kemarin kamu melakukan kesalahan, tetapi selama nyawa masih dikandung badan itu artinya Allah akan menerima taubat jika jika bersungguh-sungguh memohon ampun.] [Bukankah mudah memohon ampun pada Allah karena Dia tidak menyebar aib kita, berbeda dengan manusia yang tidak sedikit dari mereka merasa angkuh ketika diucapkan kata maaf untuknya? Allah selalu ada untuk hamba-Nya, dekat sekali. Lebih dekat dari urat nadi.] [Dalam hadis qudsi Allah berfirman: "Ana 'inda dzinnika wa ana ma'aka idza da'autany. Artinya,
"Kita harus bulan madu ke Amerika, Tyas. Aku heran kenapa sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa dirimu sudah hamil!" seru Tuan Edbert setelah dua bulan lebih berlalu.Aku hanya bisa menunduk karena memikirkan tamu bulanan yang sudah lama alpa apalagi saat disuruh ke salon malah melepas IUD dan memilih konsumsi pil KB karena perut sering merasa nyeri. Napas berembus berat, perjalanan ke Amerika nanti sama saja mengikis jarak pada neraka jahannam.Niat untuk taubat masih kuat bahkan setelah melakukan tugas, aku selalu menangis memohon ampun pada Tuhan. Pernah juga menyampaikan penolakan pada Tuan Edbert, tetapi nyawa nyaris lenyap."Mungkin belum waktunya, Ed," jawabku kemudian sambil merapal doa dalam hati agar kehamilan itu tidak pernah terjadi.Kami bahkan pernah memeriksa kesuburan pada dokter spesialis, katanya tidak ada masalah. Beruntung saat itu IUD sudah lepas atau Tuan Edbert akan semakin murka."Tidak, ini salah! Mungkin karena kita jarang melakukannya karena sedikit wa
"Katakan, perempuan seperti apa?" tantangku. Biar saja jika semua terungkap, aku tidak lagi peduli.Akan tetapi, Nyonya Aluma hanya tersenyum. Dia menggerakkan jemari lentik itu di wajah Tuan Edbert. Napas lelaki itu seketika memburu, wajahnya merah entah karena apa."Bahkan kamu tidak berubah setelah punya istri simpanan, Ed. Aku tahu hasratmu seketika membuncah," cibirnya berhasil membuat Tuan Edbert memalingkan wajah.Pasti ada sesuatu di antara mereka sehingga Tuan Edbert yang terkenal dingin dan terkadang tidak punya hati bisa berubah lemah seperti itu. Entah karena istrinya jauh lebih kaya atau pernikahan itu terjadi sebab perjodohan.Tanganku terkepal kuat ketika cincin Nyonya Aluma dilempar mengenai wajahku. Dia sengaja melakukan itu, tetapi motifnya aku belum tahu. Padahal cincin yang dilempar bukan emas melainkan permata.Mata itu benar-benar menampilkan aura jahat. Kakiku melangkah mundur mewanti-wanti terkena tendangan bebas. Toh bisa saja sekalipun dia cantik, tidak menut
Senyum di wajah yang sempat merekah indah bagai bunga di musim semi seketika pudar laiknya daun kering yang jatuh meninggalkan pohon. Bukan tanpa sebab, semua terjadi karena Maria.Dia melanjutkan kalimat tadi, "tetapi Anda jangan langsung senang dulu, Nona. Kita belum bisa memastikan kapan waktunya untuk membawa Anda keluar dari sini.""Kenapa?""Bertindak ceroboh sama saja menusuk belati di jantung sendiri."Sekalipun memutar otak memaksa untuk paham, aku tidak bisa. Kaki melangkah cepat menghampiri Maria dan membawanya ke ruangan kosong tempatku dikurung dulu atau Nyonya Aluma akan mendengar pembicaraan kami jika dia kembali.Setelah sampai, aku memaksa Maria menjelaskan apa maksudnya ingin membantu, tetapi belum tahu kapan akan bergerak."Anda tidak merasakan aura Nyonya Aluma?""Aku merasakannya. Memang ada apa?""Dia bisa membunuh Anda kapan saja. Nyonya Aluma perempuan yang berani bertindak tanpa rasa takut bahkan ketika Tuan Edbert selingkuh dengan anak seorang pejabat, Nyonya