Tiga bulan yang laluLilin-lilin beraroma mur perlahan mencair. Cahayanya memantul lembut di atas meja marmer, menciptakan bayang-bayang yang menggoda. Tirai sutra merah tua berayun pelan di tiupan angin malam. Di tengah ruangan yang temaram, Ratu Merelda dari Kerajaan Eilvareth bersandar santai di ranjang berkanopi.Tubuhnya dibalut gaun tidur tipis berwarna anggur tua yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan elegan, membentuk siluet yang memikat. Gaun tidurnya yang terlepas sedikit dari bahu memamerkan kulit halusnya yang berkilau di bawah cahaya lilin. Kontur tubuhnya terlihat begitu memikat, seakan mengundang untuk lebih dekat. Dia tahu dirinya cantik—dan lebih dari itu, dia tahu betul bagaimana menggunakan kecantikannya.Di sampingnya, seorang pria bertubuh tinggi dan kekar dengan rambut keperakan berdiri menghadap jendela terbuka. Punggungnya penuh bekas luka perang bertahun-tahun, namun goresan yang baru itu lebih mendalam, lebih intim—sebuah jejak gairah yang tidak terucapkan
Mobil Jesse Fox berguncang lebih keras saat ban depan yang ditembak terus kehilangan tekanan. Setir digerakkan dengan cepat, hampir tidak memberi waktu bagi Jesse untuk bernapas. Mata tajamnya menatap jalanan yang semakin sempit, dan dalam sekejap, dia tahu bahwa hanya sedikit ruang yang tersisa untuk melarikan diri.Di kursi belakang, Alphonse menahan napas. Valerie di pelukannya, matanya terpejam, tubuhnya terhimpit oleh pelukan Alphonse. Meski keadaan semakin gawat, Alphonse tetap menjaga kewaspadaan, matanya mengawasi setiap gerakan yang ada di luar sana. Mereka dikejar oleh dua motor yang semakin dekat, dan suara knalpot yang menggelegar membuat suasana semakin mencekam."Jesse, kita harus segera keluar dari sini!" teriak Alphonse.Jesse tidak menjawab. Dia hanya memusatkan perhatian penuh pada setir. Tapi, dengan setiap detik yang berlalu, jalanan terasa semakin sempit. Dua motor itu semakin dekat. Tembakan terus dilontarkan, mengarah tepat ke mobil mereka. Kaca anti peluru mung
Dengan gigi terkatup dan tatapan membara, Alphonse berbalik menghadap pria bersenjata itu. Tangan kirinya sudah menahan darah yang mengalir dari bahu kanannya. Valerie menatap dengan napas tercekat. Tubuhnya setengah berdiri dari balik perlindungan mobil, mata membelalak melihat Alphonse yang tetap berdiri meski darah terus menetes.Alphonse tahu satu hal—jika dia diam, semuanya akan berakhir di sini.Dengan tangan kiri yang masih bisa digerakkan, dia meraih kembali tongkat setrum dari tanah. Darah dari bahu kanannya mengalir makin deras, tapi sorot matanya tidak goyah. Langkahnya pelan, mantap, seolah rasa sakit itu tidak berarti apa-apa.Ardent Blades yang bersenjata itu memasang kembali bidikannya, tapi Alphonse tidak memberinya waktu. Begitu senapan itu sedikit bergeser, Alphonse menerjang. Bahu kanannya seketika terasa seperti disayat bara api, tapi dia paksa tubuhnya bergerak.Dengan hentakan cepat, dia mengayunkan tongkat setrum ke arah pistol—zzt!Sentakan listrik meledak di u
Jumat, 22 Maret 2024/07:11 MalamLangit malam menggulung pelan seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat jatuh. Udara di dermaga berbau asin, bercampur kabut tipis yang menyelimuti laut gelap sejauh mata memandang. Suara ombak menghantam lambung kapal kayu tua yang bergoyang perlahan. Lampu-lampu pelabuhan berkedip lemah, menciptakan bayangan panjang di antara peti-peti kayu dan tali tambat yang berserakan.Mereka berdiri diam dalam lingkaran kecil, masing-masing dibalut perban dan luka yang belum sempat sembuh benar. Uehara bersandar pada tongkat jalannya, sementara Jesse menahan napas setiap kali bergerak. Valerie memeluk dirinya sendiri, sesekali menatap langit seolah berharap bintang-bintang bisa memberi petunjuk. Alphonse menjadi satu-satunya sosok yang berdiri tegak meski bajunya masih ternoda darah kering. “Aku sudah mengatur semuanya,” katanya, suaranya tenang namun tegas. “Akan ada seseorang yang kupercaya menjemput kalian nanti. Bersembunyilah di sana untuk sementara wakt
Kabut menggantung rendah di atas kota. Seperti selimut lembap yang menolak terangkat, dia melingkupi atap-atap miring bangunan tua yang nyaris seluruhnya berlumut. Kabut menyusup di antara celah jendela yang jarang sekali dibuka. Sering kali juga menelusup masuk ke dalam lorong-lorong sempit yang hanya dikenal oleh kaki-kaki penduduknya.Bau arang terbakar menguar dari cerobong-cerobong batu, bercampur dengan aroma tanah basah dan sisa hujan semalam yang belum juga mengering. Di kota ini, musim seolah tidak pernah berganti. Hujan datang tidak sebagai tamu, melainkan penghuni tetap. Gerimisnya malas, tapi tekun—turun perlahan, nyaris tidak bersuara.Gerimis meninggalkan jejak pada batu-batu tua yang membentuk jalanan berkelok. Batu-batu itu, jika diperhatikan, terlihat seperti menyimpan gema langkah-langkah dari masa lalu. Bunyi derap sepatu kulit, suara roda kereta kuda, dan bisikan yang telah lama terbenam dalam waktu.Di depan sebuah toko roti kecil yang sudah berdiri sejak masa kol
Kamis, 21 Maret 2024/10:21 Malam"Kalau ini cuma kasus receh, berikan saja pada mereka yang masih percaya dunia ini adil," ujar seorang pemuda yang bersandar di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada. Suaranya datar, nyaris malas—seolah kebodohan yang sama selalu mengetuk pintunya setiap hari.Di hadapannya berdiri seorang pria dengan tinggi rata-rata, sekitar 176 cm, dan bertubuh kokoh dengan postur yang tegap. Pria bersetelan rapi yang pas di tubuhnya itu mengenakan mantel panjang menjuntai di atas sepatunya yang dipoles.Dia mendengus mendengar komentar pemuda itu. Wajahnya mengeras sebelum akhirnya berkata, “Sekali saja, bisakah kau menjawab tanpa terdengar seperti orang putus asa?" Suara itu terdengar lebih tegas, lebih lugas—kontras dengan nada malas yang baru saja didengarnya.Pemuda itu menyeringai tipis, lalu tanpa banyak kata, dia mendorong pintu lebih lebar dan melangkah ke samping. "Masuk saja. Aku tahu kau nggak akan pergi sebelum dapat yang kau mau."Detektif Otero
Lorong hotel terasa lebih sunyi dari seharusnya. Hanya langkah Detektif Otero dan Alphonse yang menggema saat mereka mendekati kamar 207—tempat Marilyn Cass ditemukan tidak bernyawa. Tanpa banyak bicara, Detektif Otero mengeluarkan lencananya dan menunjukkannya pada dua petugas polisi yang berjaga di luar kamar. Salah satu petugas mengangguk, mengangkat sedikit garis polisi yang membentang di ambang pintu, lalu membiarkan mereka masuk.“Seperti yang kau lihat. Situasinya seperti ini,” ujar Detektif Otero, suaranya terbungkus dalam ketenangan.Bau khas bahan kimia dan kematian menyambut mereka begitu melewati ambang pintu. Kilatan lampu kamera forensik membelah kegelapan ruangan, menciptakan bayangan-bayangan tajam di dinding berwarna krem. Para petugas bergerak dalam keheningan profesional, mengumpulkan bukti tanpa membiarkan emosi mengintervensi. Di samping tempat tidur, sebuah kantong mayat berwarna hitam tergeletak dengan ritsleting yang tertutup rapat.“Ada perkembangan?” tanya De
Dua bulan yang laluNARASI ALPHONSEHal pertama yang kupikirkan saat wanita itu memasuki kantorku?Aku lebih baik tidur siang.Hujan turun dengan malas di luar, menambah kesan muram pada ruangan yang sudah cukup berantakan—tumpukan dokumen berserakan di meja dan lantai. Aku bisa saja pura-pura nggak mendengar ketukan di pintu, tapi sayangnya, tamu tak diundang ini nggak cukup tahu diri untuk pergi begitu saja.Wanita itu berhenti di ambang pintu, ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling ruangan—langit-langit yang mengelupas, meja berantakan, kursi yang tampak lebih cocok untuk rumah duka daripada kantor detektif swasta. Rahangnya mengatup. Lalu, dengan gerakan sedikit kaku, dia menggeser kursi tanpa benar-benar meminta izin. Dia duduk dengan tangan mencengkeram liontinnya sesaat tanpa sadar.Aku sudah bisa menebak tipe orang seperti ini: bahu menegang, jemari mencengkeram tali tas seolah-olah itu satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Ah, klien yang
Kabut menggantung rendah di atas kota. Seperti selimut lembap yang menolak terangkat, dia melingkupi atap-atap miring bangunan tua yang nyaris seluruhnya berlumut. Kabut menyusup di antara celah jendela yang jarang sekali dibuka. Sering kali juga menelusup masuk ke dalam lorong-lorong sempit yang hanya dikenal oleh kaki-kaki penduduknya.Bau arang terbakar menguar dari cerobong-cerobong batu, bercampur dengan aroma tanah basah dan sisa hujan semalam yang belum juga mengering. Di kota ini, musim seolah tidak pernah berganti. Hujan datang tidak sebagai tamu, melainkan penghuni tetap. Gerimisnya malas, tapi tekun—turun perlahan, nyaris tidak bersuara.Gerimis meninggalkan jejak pada batu-batu tua yang membentuk jalanan berkelok. Batu-batu itu, jika diperhatikan, terlihat seperti menyimpan gema langkah-langkah dari masa lalu. Bunyi derap sepatu kulit, suara roda kereta kuda, dan bisikan yang telah lama terbenam dalam waktu.Di depan sebuah toko roti kecil yang sudah berdiri sejak masa kol
Jumat, 22 Maret 2024/07:11 MalamLangit malam menggulung pelan seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat jatuh. Udara di dermaga berbau asin, bercampur kabut tipis yang menyelimuti laut gelap sejauh mata memandang. Suara ombak menghantam lambung kapal kayu tua yang bergoyang perlahan. Lampu-lampu pelabuhan berkedip lemah, menciptakan bayangan panjang di antara peti-peti kayu dan tali tambat yang berserakan.Mereka berdiri diam dalam lingkaran kecil, masing-masing dibalut perban dan luka yang belum sempat sembuh benar. Uehara bersandar pada tongkat jalannya, sementara Jesse menahan napas setiap kali bergerak. Valerie memeluk dirinya sendiri, sesekali menatap langit seolah berharap bintang-bintang bisa memberi petunjuk. Alphonse menjadi satu-satunya sosok yang berdiri tegak meski bajunya masih ternoda darah kering. “Aku sudah mengatur semuanya,” katanya, suaranya tenang namun tegas. “Akan ada seseorang yang kupercaya menjemput kalian nanti. Bersembunyilah di sana untuk sementara wakt
Dengan gigi terkatup dan tatapan membara, Alphonse berbalik menghadap pria bersenjata itu. Tangan kirinya sudah menahan darah yang mengalir dari bahu kanannya. Valerie menatap dengan napas tercekat. Tubuhnya setengah berdiri dari balik perlindungan mobil, mata membelalak melihat Alphonse yang tetap berdiri meski darah terus menetes.Alphonse tahu satu hal—jika dia diam, semuanya akan berakhir di sini.Dengan tangan kiri yang masih bisa digerakkan, dia meraih kembali tongkat setrum dari tanah. Darah dari bahu kanannya mengalir makin deras, tapi sorot matanya tidak goyah. Langkahnya pelan, mantap, seolah rasa sakit itu tidak berarti apa-apa.Ardent Blades yang bersenjata itu memasang kembali bidikannya, tapi Alphonse tidak memberinya waktu. Begitu senapan itu sedikit bergeser, Alphonse menerjang. Bahu kanannya seketika terasa seperti disayat bara api, tapi dia paksa tubuhnya bergerak.Dengan hentakan cepat, dia mengayunkan tongkat setrum ke arah pistol—zzt!Sentakan listrik meledak di u
Mobil Jesse Fox berguncang lebih keras saat ban depan yang ditembak terus kehilangan tekanan. Setir digerakkan dengan cepat, hampir tidak memberi waktu bagi Jesse untuk bernapas. Mata tajamnya menatap jalanan yang semakin sempit, dan dalam sekejap, dia tahu bahwa hanya sedikit ruang yang tersisa untuk melarikan diri.Di kursi belakang, Alphonse menahan napas. Valerie di pelukannya, matanya terpejam, tubuhnya terhimpit oleh pelukan Alphonse. Meski keadaan semakin gawat, Alphonse tetap menjaga kewaspadaan, matanya mengawasi setiap gerakan yang ada di luar sana. Mereka dikejar oleh dua motor yang semakin dekat, dan suara knalpot yang menggelegar membuat suasana semakin mencekam."Jesse, kita harus segera keluar dari sini!" teriak Alphonse.Jesse tidak menjawab. Dia hanya memusatkan perhatian penuh pada setir. Tapi, dengan setiap detik yang berlalu, jalanan terasa semakin sempit. Dua motor itu semakin dekat. Tembakan terus dilontarkan, mengarah tepat ke mobil mereka. Kaca anti peluru mung
Tiga bulan yang laluLilin-lilin beraroma mur perlahan mencair. Cahayanya memantul lembut di atas meja marmer, menciptakan bayang-bayang yang menggoda. Tirai sutra merah tua berayun pelan di tiupan angin malam. Di tengah ruangan yang temaram, Ratu Merelda dari Kerajaan Eilvareth bersandar santai di ranjang berkanopi.Tubuhnya dibalut gaun tidur tipis berwarna anggur tua yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan elegan, membentuk siluet yang memikat. Gaun tidurnya yang terlepas sedikit dari bahu memamerkan kulit halusnya yang berkilau di bawah cahaya lilin. Kontur tubuhnya terlihat begitu memikat, seakan mengundang untuk lebih dekat. Dia tahu dirinya cantik—dan lebih dari itu, dia tahu betul bagaimana menggunakan kecantikannya.Di sampingnya, seorang pria bertubuh tinggi dan kekar dengan rambut keperakan berdiri menghadap jendela terbuka. Punggungnya penuh bekas luka perang bertahun-tahun, namun goresan yang baru itu lebih mendalam, lebih intim—sebuah jejak gairah yang tidak terucapkan
Dua mobil hitam diparkir sejajar di gang sempit, membelakangi jalan raya yang langsung terhubung dengan Royal Mirage Palace. Jam menunjukkan pukul 12:17 siang, tapi mendung membuat cahaya enggan menyapa. Lampu mobil dimatikan, tapi ketegangan di dalamnya justru menyala. Senyap, namun berbahaya—seperti kabel listrik yang dibiarkan terkelupas.Di dalam mobil pertama, Valerie duduk di kursi belakang, menatap kosong ke jendela. Wajahnya tenang, nyaris datar. Dia tidak mengatakan apa-apa. Tapi, dari caranya menggenggam ujung jaket dan menarik napas pelan, terlihat jelas itu amarah dan lelah yang sudah lama menumpuk.“Harusnya sebentar lagi,” ujar Jesse Fox yang duduk di balik kemudi.Matanya yang tajam melirik jam tangan, lalu berpindah ke Valerie lewat kaca spion tengah. Saat melihat Valerie hanya mengangguk pelan, dia mengalihkan pandangan ke jalan di belakang mereka. Dia tahu mereka tidak bisa berlama-lama di sini. Tapi dia juga sadar bahwa mereka tidak bisa pergi begitu saja.Hanya sua
Di luar Royal Mirage Palace, di tengah jalanan yang mulai padat, Officer Martinez sedang dalam perjalanan ke kantor polisi. Dia mengemudi dalam diam dengan Leo di kursi belakang mobilnya. Pria itu duduk tenang dengan tangan terborgol. Matanya menatap kosong ke luar jendela seolah semuanya telah menjauh darinya.Sedangkan di dalam hotel itu sendiri, terutama Kamar 708, para petugas forensik menyisir tiap inci kamar untuk menemukan petunjuk yang tertinggal. Lampu kilat kamera, sarung tangan lateks, dan bunyi pena di atas clipboard menyatu dalam simfoni penyelidikan yang sunyi. Aroma alkohol dan bubuk pembersih memenuhi udara, melapisi jejak tragedi dengan bau steril yang dingin.Sementara itu, di kamar eksklusif yang tenang, Alphonse dan Detektif Otero duduk berjauhan dalam hening. Masing-masing dari mereka menatap ke arah yang berbeda. Keduanya tenggelam dalam pikiran mereka sendiri, berusaha menenangkan diri setelah apa yang baru saja terjadi.“Kau tahu,” ucap Detektif Otero, memecah
Jumat, 22 Maret 2024/11:43 SiangDetektif Otero tiba di depan Kamar 708 bersama Officer Martinez—dan seorang pria lain yang kedua tangannya diborgol. Dia mengetuk dua kali, tegas namun tidak tergesa. Beberapa detik hening berlalu sebelum pintu terbuka. Sosok yang berdiri di ambang pintu itu cukup mengejutkan dirinya. Itu bukan Alphonse yang dikenalnya.Wajah itu, biasanya dingin dan penuh sindiran, terlihat kosong. Pemuda yang ada di hadapannya itu bukan pria penuh ironi dan kontrol diri, melainkan sosok yang hancur. Matanya merah, kulit pucat, rahangnya tegang, dan ada sesuatu di dalam dirinya yang sudah patah. Detektif Otero menegang. Naluri menyala, pikirannya siaga.Da memiringkan kepala, mencoba melihat ke dalam ruangan—dan seketika itu juga matanya membelalak. Tubuh Elina tergeletak di lantai, tidak bergerak. Rambutnya berantakan—menjuntai ke depan seperti tirai yang menutupi wajahnya. Udara seolah mengental dan mengaduk perutnya hingga mual.“Sial,” gumam Detektif Otero. Dia me
Jumat, 22 Maret 2024/11:31 SiangAlphonse berdiri di depan pintu Kamar 708. Tangannya yang terangkat untuk mengetuk membeku di udara saat ponselnya berdering pelan. Jarinya bergerak ringan membuka pesan singkat dari Detektif Otero: "Semuanya sudah siap. Kami sedang dalam perjalanan."Tidak ada perubahan di wajahnya. Dia hanya melirik sejenak, lalu mematikan layar dan menyelipkan kembali ponselnya ke saku mantelnya. Pandangannya kembali jatuh pada pintu kamar Elina Hochberg, seolah menimbang kemungkinan yang sudah terlalu dikenalnya—akhir yang tidak butuh saksi.Alphonse mengetuk dengan tegas.Butuh waktu beberapa detik sebelum engsel pintu bergeser dan suara klik terdengar dari dalam. Ketika pintu terbuka setengah, Elina Hochberg berdiri di sana. Dia mengenakan gaun wol biru tua yang menyentuh lutut, rambutnya tersisir rapi, dan senyum tipis terpampang di wajahnya."Saya sudah menunggu Anda, Detektif" katanya, suara tenangnya hampir terdengar seperti nyanyian murung yang tertahan di u