Share

Senjata Pembunuhan

Author: eyes0cream
last update Last Updated: 2024-07-03 13:48:39

Dua bulan yang lalu

NARASI ALPHONSE

Hal pertama yang kupikirkan saat wanita itu memasuki kantorku?

Aku lebih baik tidur siang.

Hujan turun dengan malas di luar, menambah kesan muram pada ruangan yang sudah cukup berantakan—tumpukan dokumen berserakan di meja dan lantai. Aku bisa saja pura-pura nggak mendengar ketukan di pintu, tapi sayangnya, tamu tak diundang ini nggak cukup tahu diri untuk pergi begitu saja.

Wanita itu berhenti di ambang pintu, ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling ruangan—langit-langit yang mengelupas, meja berantakan, kursi yang tampak lebih cocok untuk rumah duka daripada kantor detektif swasta. Rahangnya mengatup. Lalu, dengan gerakan sedikit kaku, dia menggeser kursi tanpa benar-benar meminta izin. Dia duduk dengan tangan mencengkeram liontinnya sesaat tanpa sadar.

Aku sudah bisa menebak tipe orang seperti ini: bahu menegang, jemari mencengkeram tali tas seolah-olah itu satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Ah, klien yang ketakutan. Klise!

"Aku nggak suka melakukan ini, tapi aku butuh bantuanmu," katanya tiba-tiba.

Oh, betapa menyentuh. Seseorang yang jelas-jelas nggak ingin berada di sini, tapi tetap datang. Aku menyandarkan diri ke kursi—sedikit bergeser dan berderit pelan, akibat kebiasaan burukku bersandar terlalu jauh ke belakang. Menunggu. Lalu, dia berbicara lagi. Dan saat itulah aku menyadari satu hal…

Aku seharusnya tetap tidur siang saja.

"—dengar nggak sih? Aku sedang bicara denganmu," seru Marilyn Cass. “Aku nggak punya banyak waktu, jadi aku akan langsung saja—”

Aku membuka sebelah mata, menatapnya malas. “Bagus. Aku juga nggak punya banyak kesabaran.”

Marilyn Cass mendengus pelan, lalu tanpa basa-basi, dia merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa foto, meletakkannya di meja dengan gerakan sedikit terburu-buru.

"Aku mencari pamanku," katanya akhirnya, suaranya terdengar tegang, tapi tetap berusaha terdengar tegas. "Dia menghilang lebih dari sebulan yang lalu, dan polisi nggak melakukan apa-apa."

Aku menghela napas, melirik foto-foto yang tersebar di atas meja. Seorang pria paruh baya, mungkin akhir lima puluhan. Garis wajahnya tegas, tapi ada sesuatu di matanya yang menarik perhatianku—entah itu ketakutan, kelelahan, atau keduanya. Beberapa foto lainnya menunjukkan pria itu di lokasi berbeda: di sebuah kantor, di depan rumah tua, dan satu lagi di dalam bar yang remang-remang.

Aku menatap Marilyn dengan malas. "Dan kau mengira aku bisa menemukannya?" tanyaku datar. 

Marilyn menghela napas keras, jelas frustrasi. "Polisi hanya peduli kalau ada mayat," katanya, menatapku tajam seolah menantang. "Tapi dia masih hidup. Aku tahu dia masih hidup."

Mataku kembali turun ke foto-foto itu. Menghilang lebih dari sebulan? Tanpa jejak? Bisa jadi dia kabur. Bisa juga dia memang ingin dilupakan. Atau... seseorang ingin dia dilupakan. Sebagian besar kasus orang hilang berakhir dengan kesimpulan yang sama: orangnya ditemukan dalam keadaan lebih buruk dari yang diharapkan, atau sama sekali nggak ditemukan.

Tapi ada sesuatu dalam cara Marilyn berbicara—tegang, tergesa-gesa, dan defensif—yang membuatku menahan keputusan.

"Apa yang kau harapkan dariku?" tanyaku akhirnya.

"Menemukannya, tentu saja," sahutnya cepat. "Aku butuh seseorang yang benar-benar mencari, bukan hanya mengisi laporan."

Aku memperhatikan ekspresinya. Dia terlihat gelisah, tangannya mengetuk-ngetuk meja tanpa sadar. Marilyn Cass yang duduk di seberang meja, jari-jarinya memainkan liontin itu tanpa sadar. Menggenggam, mengusap bagian tengahnya dengan ibu jari, lalu melepaskannya. Setiap kali menyebut pamannya atau gelisah, pola itu terulang.

Kebiasaan? Mungkin. Atau lebih dari itu.

"Apa hubunganmu dengannya?" Aku menyipitkan mata.

"Dia pamanku," ulang Marilyn, seolah itu sudah cukup sebagai jawaban.

Bohong. Atau setidaknya, itu bukan keseluruhan ceritanya. Orang-orang nggak melakukan perjalanan sejauh ini dan berbicara dengan nada setegas itu hanya karena hubungan darah. Ada sesuatu yang lebih dari ini.

"Kau ingin aku mencari seseorang yang bahkan kau sendiri nggak tahu ke mana perginya, dengan cerita yang setengah matang, dan tanpa jaminan kalau ini bukan sekadar buang-buang waktuku?" Aku mendengus. "Maaf, tapi aku lebih suka menunggu kasus yang lebih masuk akal. Semoga beruntung dengan pencarianmu!"

Marilyn, tentu saja, nggak menerimanya dengan baik. Tapi pada saat itu, keputusanku sudah final. Dia berdiri dengan kasar, menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia meraih foto-foto itu kembali, lalu tanpa sepatah kata, berbalik dan berjalan keluar.

Aku pernah melihat ekspresi seperti itu sebelumnya. Ekspresi seseorang yang masih akan kembali. Dan sayangnya… aku mulai curiga kasus ini akan kembali menghantuiku lebih cepat dari yang kuharapkan.

Kamis, 21 Maret 2024/10:53 Malam

Garis kemerahan melingkar mulai terlihat saat petugas forensik membersihkan riasan di leher Marilyn Cass. Petugas forensik mengernyit, matanya menelusuri bekas halus di leher Marilyn. “Ini aneh,” gumamnya. “Biasanya, strangulasi meninggalkan luka akibat tekanan yang tidak merata. Tapi ini... hampir terlalu bersih. Tidak ada serat, tidak ada lecet dalam.”

“Sesuatu menekannya perlahan,” komentar Alphonse, suaranya rendah. “Cukup kuat untuk mencekik, tapi tanpa memberi korban kesempatan untuk melawan.” Dia menoleh ke arah Detektif Otero, lalu menambahkan, “Kau lihat ini? Ini bukan strangulasi biasa.”

Detektif Otero menyipitkan mata, menatap leher Marilyn dengan ekspresi skeptis. Dia menyelipkan tangan ke saku jasnya, menarik napas pelan sebelum akhirnya berkomentar.

“Kau pikir ini pekerjaan seseorang yang terlalu sabar untuk membunuh?” Nada suaranya datar, tapi ada ketegangan samar di baliknya.

Alphonse hanya menatapnya sekilas sebelum kembali memeriksa bekas di leher Marilyn. Jemarinya melayang tanpa menyentuh, mengikuti pola halus itu. “Atau seseorang yang tahu persis apa yang dia lakukan,” gumamnya. “Marilyn Cass dibungkam karena dia tahu terlalu banyak.”

Detektif Otero mengerutkan dahi. “Kalau begitu, apa senjata pembunuhannya?”

Petugas forensik itu berdiri dan merapikan sarung tangannya, lalu menoleh ke arah rekan-rekannya. Suaranya terdengar jelas di dalam ruangan. “Cari sesuatu yang menyerupai tali, tapi lebih halus. Bisa sutra, bisa bahan sintetis. Teksturnya harus cukup lembut untuk tidak meninggalkan lecet yang dalam.”

Alphonse tetap diam, tatapannya terpaku pada bekas jeratan di leher Marilyn. Ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang mereka lewatkan. Perlahan, matanya bergerak ke dada Marilyn. Saat itulah dia menyadari sesuatu.

Dia menggeleng pelan. “Kalian tidak akan menemukannya di sini.”

Detektif Otero meliriknya tajam. Beberapa petugas forensik saling bertukar pandang.

Alphonse mengangkat wajah, ekspresinya datar, tapi suaranya terdengar dingin saat dia berbicara. “Senjata pembunuhan itu…” Dia berhenti sejenak, membiarkan keheningan menggantung sebelum melanjutkan, “Itu bukan tali. Itu liontin.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Luka Tembak

    Ketika Alphonse dan Detektif Otero melangkah keluar kamar 207, langkah kaki nyaris tidak terdengar terhenti di ujung koridor. Sekilas, Alphonse menangkap bayangan samar yang lenyap di balik tikungan. Udara terasa lebih berat, seolah ada mata tak terlihat yang mengintai dari kegelapan.Tanpa ragu, Alphonse bergegas mengejar. Namun, saat tiba di tikungan, hanya kesunyian yang menyambutnya—sampai suara pintu di kejauhan tertutup pelan. Terlalu pelan. Terlalu disengaja.Detektif Otero menyusul, napasnya sedikit tersengal. “Ada apa?”Alphonse tetap memandang lurus ke deretan pintu hotel yang tertutup rapat. Rahangnya mengencang. “Kau nggak melihatnya?” bisiknya tajam.Detektif Otero mengernyit dan menyapu pandangannya ke koridor yang sunyi. "Melihat apa?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya.Alphonse tidak segera menjawab. Dia melangkah perlahan ke depan, telinganya menangkap setiap suara sekecil apa pun. Koridor terasa terlalu tenang, terlalu bersih—seolah seseorang baru saja me

    Last Updated : 2024-07-04
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Pertunjukan Graphology Alphonse

    Keheningan menyelimuti ruangan sesaat setelah Alphonse mengucapkan kata-katanya. Detektif Otero menatapnya dengan tajam, lalu beralih ke kertas yang dipegangnya. “Kau tahu siapa yang menulis ini?”Alphonse meraih sepasang sarung tangan baru dari sakunya, lalu mengambil kertas itu dengan hati-hati. Matanya menyapu baris tulisan yang terburu-buru namun tetap terkendali. Dia menghela napas pelan. “Aku tahu tipe orangnya.”Petugas forensik itu bersedekap, masih tampak belum sepenuhnya yakin. “Jadi Anda bisa menggambarkan seseorang hanya dari caranya menulis?”Alphonse meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. “Tidak. Bukan menggambarkan, tapi saya bisa mempersempit kemungkinan.” Dia membalikkan kertas itu, seolah mencari sesuatu di baliknya. “Dan dalam kasus ini, saya cukup yakin penulisnya adalah seorang wanita paruh baya yang terbiasa berada di posisi otoritas, tapi sedang kehilangan kendali.”Detektif Otero menatapnya dalam diam, lalu berkata pelan, “Jelaskan semuanya padaku.”Alphonse

    Last Updated : 2024-07-08
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Liontin yang Hilang

    16 menit sebelumnyaDingin. Bukan hanya dari pendingin ruangan yang terus berembus, tapi juga dari sesuatu yang lebih halus, lebih menusuk. Kamar tempat korban ketiga ditemukan masih dipenuhi aroma khas bahan kimia forensik dan sisa-sisa kematian yang menempel di udara. Cahaya lampu putih dingin menusuk setiap sudut kamar, mengukir bayangan tajam di dinding.Dr. Clara Donovan berdiri dengan tangan bersedekap di samping tempat tidur, matanya fokus pada seprai yang terlihat sedikit berantakan. Di sebelahnya, seorang petugas forensik, Langston, sedang membungkuk. Dia mencermati sesuatu dengan senter UV.“Aku menemukan sesuatu yang aneh,” gumam Langston sambil menyipitkan mata. Tangannya yang bersarung lateks mencubit untaian serat halus dari kain seprai dengan pinset. Dia mengangkatnya ke arah cahaya, membiarkan serat itu berkilau samar di bawah lampu. “Warnanya sedikit lebih kusam, dan teksturnya terasa lebih kasar, seperti bahan sintetis.”Dr. Clara meraih pinset dari kotak peralatan f

    Last Updated : 2025-03-14
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Intravenous Injection

    Lima tahun yang laluNARASI ALPHONSE"Intravenous injection," kata mère, suaranya selembut beludru yang membungkus mata pisau. "Metode yang paling efisien untuk mengantarkan zat langsung ke dalam aliran darah. Cepat, presisi, tanpa hambatan."Udara di dalam ruangan ini lebih dingin daripada tempat-tempat lain di Wisteria Manor. Nggak ada wangi lavender atau teh chamomile seperti di ruang duduk, hanya bau antiseptik yang bersih—terlalu bersih, seperti sepotong logam yang baru diasah.Mère—atau yang biasa dipanggil orang ‘Lady Viscaria’, duduk dengan anggun di kursi tinggi, dia mengenakan gaun biru pucat yang lembut berkilau di bawah lampu putih. Cahaya itu nggak cukup terang untuk membuat silau, tapi cukup kejam untuk memperlihatkan semua yang ada di ruangan tanpa belas kasihan—termasuk set alat kedokteran di atas meja logam di antara kami.Diangkatnya jarum itu sedikit dan diputarnya perlahan, sehingga refleksi cahaya menari di permukaannya. "Namun, tidak semua orang memiliki tangan y

    Last Updated : 2025-03-15
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Kesan Pertama Alphonse

    “Aku tidak menyangka akan mendengar kata ‘metodis’ berulang kali malam ini,” keluh Detektif Otero sambil menekan pangkal hidungnya. “Kau pikir pelakunya orang yang sama?” tanyanya pada Alphonse.Detektif konsultan itu tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang berpikir untuk sesaat sebelum akhirnya buka suara. “Kesimpulan yang terburu-buru hanya akan menyesatkan kita…” Tatapannya jatuh pada tubuh kaku Sansa Strand. Dia menggeleng pelan sebelum menambahkan, “meskipun kelihatannya asumsi itu terdengar begitu meyakinkan.”Dr. Clara mengetuk jarinya di layar tablet, matanya bergerak cepat membaca laporan yang tersaji. “Kami bisa melakukan tes tambahan untuk memastikan komposisi zat yang digunakan untuk melumpuhkan korban,” katanya pada akhirnya.Detektif Otero mengangguk kecil. "Ya, lakukan itu." Dia menghela napas pelan, lalu beralih ke Alphonse. “Tidak peduli sebersih apa metode pembunuhan ini, pelaku pasti ada di suatu tempat.”Alphonse meliriknya. “Dan hotel ini punya mata di setiap

    Last Updated : 2025-03-16
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Interogasi di Ruang Kendali

    Jumat, 22 Maret 2024/00:17 MalamStefan menegang. Tatapannya terpaku pada layar, ekspresi wajahnya sulit diartikan. Perlahan, ia mundur sedikit dari monitor, seolah ingin menjaga jarak dari apa yang baru saja dilihatnya. “Dia seharusnya sudah mati,” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Detektif Otero menoleh cepat. “Apa maksudmu?” Nada suaranya tidak lagi santai.Alphonse tidak langsung bicara. Matanya masih tertuju pada rekaman itu, menganalisis setiap detail. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang belum dia pahami sepenuhnya.Seorang tamu VIP yang terlihat di layar monitor itu mengenakan setelan tiga potong berwarna gelap yang terlihat mewah. Sebuah tongkat bantu jalan dengan gagang perak berkilau tergenggam di tangan kanannya—bukan karena dia membutuhkannya untuk berjalan, tetapi lebih seperti aksesori elegan dari era yang telah lama berlalu. Ujung tongkat itu menyentuh lantai dengan gerakan halus, hampir seperti ketukan kecil yang disengaja.Sebagian wajahnya tersemb

    Last Updated : 2025-03-21
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Mata yang Merekam

    Stefan membuka pintu menuju ruang arsip di sudut ruangan. Cahaya di dalamnya redup, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di langit-langit, menciptakan bayangan samar di antara rak-rak tinggi yang berisi ratusan dokumen tersusun rapi. Rak-rak logam berlapis perunggu berbaris rapi di sepanjang ruangan. Masing-masing dipenuhi map berlabel tahun dan bulan. Beberapa dokumen bertumpuk di meja, menandakan tempat itu masih sering digunakan.Detektif Otero memasukkan buku catatannya ke dalam saku dan melirik Alphonse. “Kau ikut masuk?” tanyanya.Alphonse mengangguk tanpa menjawab. Langkah mereka bergema pelan di atas lantai marmer mengilap saat mereka menyusul Stefan, yang sudah berdiri di depan salah satu rak, jemarinya dengan cekatan menelusuri label di punggung map.“Kami masih menyimpan daftar tamu dalam bentuk fisik sebagai arsip,” ujar Stefan, matanya tetap tertuju pada dokumen yang sedang ia cari. “Kadang tamu lama kembali menginap setelah beberapa tahun, dan beberapa permintaan kh

    Last Updated : 2025-03-21
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Kabar Buruk

    Kamis, 21 Maret 2024/10:21 Malam"Kalau ini cuma kasus receh, berikan saja pada mereka yang masih percaya dunia ini adil," ujar seorang pemuda yang bersandar di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada. Suaranya datar, nyaris malas—seolah kebodohan yang sama selalu mengetuk pintunya setiap hari.Di hadapannya berdiri seorang pria dengan tinggi rata-rata, sekitar 176 cm, dan bertubuh kokoh dengan postur yang tegap. Pria bersetelan rapi yang pas di tubuhnya itu mengenakan mantel panjang menjuntai di atas sepatunya yang dipoles.Dia mendengus mendengar komentar pemuda itu. Wajahnya mengeras sebelum akhirnya berkata, “Sekali saja, bisakah kau menjawab tanpa terdengar seperti orang putus asa?" Suara itu terdengar lebih tegas, lebih lugas—kontras dengan nada malas yang baru saja didengarnya.Pemuda itu menyeringai tipis, lalu tanpa banyak kata, dia mendorong pintu lebih lebar dan melangkah ke samping. "Masuk saja. Aku tahu kau nggak akan pergi sebelum dapat yang kau mau."Detektif Otero

    Last Updated : 2024-07-01

Latest chapter

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Mata yang Merekam

    Stefan membuka pintu menuju ruang arsip di sudut ruangan. Cahaya di dalamnya redup, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di langit-langit, menciptakan bayangan samar di antara rak-rak tinggi yang berisi ratusan dokumen tersusun rapi. Rak-rak logam berlapis perunggu berbaris rapi di sepanjang ruangan. Masing-masing dipenuhi map berlabel tahun dan bulan. Beberapa dokumen bertumpuk di meja, menandakan tempat itu masih sering digunakan.Detektif Otero memasukkan buku catatannya ke dalam saku dan melirik Alphonse. “Kau ikut masuk?” tanyanya.Alphonse mengangguk tanpa menjawab. Langkah mereka bergema pelan di atas lantai marmer mengilap saat mereka menyusul Stefan, yang sudah berdiri di depan salah satu rak, jemarinya dengan cekatan menelusuri label di punggung map.“Kami masih menyimpan daftar tamu dalam bentuk fisik sebagai arsip,” ujar Stefan, matanya tetap tertuju pada dokumen yang sedang ia cari. “Kadang tamu lama kembali menginap setelah beberapa tahun, dan beberapa permintaan kh

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Interogasi di Ruang Kendali

    Jumat, 22 Maret 2024/00:17 MalamStefan menegang. Tatapannya terpaku pada layar, ekspresi wajahnya sulit diartikan. Perlahan, ia mundur sedikit dari monitor, seolah ingin menjaga jarak dari apa yang baru saja dilihatnya. “Dia seharusnya sudah mati,” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Detektif Otero menoleh cepat. “Apa maksudmu?” Nada suaranya tidak lagi santai.Alphonse tidak langsung bicara. Matanya masih tertuju pada rekaman itu, menganalisis setiap detail. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang belum dia pahami sepenuhnya.Seorang tamu VIP yang terlihat di layar monitor itu mengenakan setelan tiga potong berwarna gelap yang terlihat mewah. Sebuah tongkat bantu jalan dengan gagang perak berkilau tergenggam di tangan kanannya—bukan karena dia membutuhkannya untuk berjalan, tetapi lebih seperti aksesori elegan dari era yang telah lama berlalu. Ujung tongkat itu menyentuh lantai dengan gerakan halus, hampir seperti ketukan kecil yang disengaja.Sebagian wajahnya tersemb

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Kesan Pertama Alphonse

    “Aku tidak menyangka akan mendengar kata ‘metodis’ berulang kali malam ini,” keluh Detektif Otero sambil menekan pangkal hidungnya. “Kau pikir pelakunya orang yang sama?” tanyanya pada Alphonse.Detektif konsultan itu tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang berpikir untuk sesaat sebelum akhirnya buka suara. “Kesimpulan yang terburu-buru hanya akan menyesatkan kita…” Tatapannya jatuh pada tubuh kaku Sansa Strand. Dia menggeleng pelan sebelum menambahkan, “meskipun kelihatannya asumsi itu terdengar begitu meyakinkan.”Dr. Clara mengetuk jarinya di layar tablet, matanya bergerak cepat membaca laporan yang tersaji. “Kami bisa melakukan tes tambahan untuk memastikan komposisi zat yang digunakan untuk melumpuhkan korban,” katanya pada akhirnya.Detektif Otero mengangguk kecil. "Ya, lakukan itu." Dia menghela napas pelan, lalu beralih ke Alphonse. “Tidak peduli sebersih apa metode pembunuhan ini, pelaku pasti ada di suatu tempat.”Alphonse meliriknya. “Dan hotel ini punya mata di setiap

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Intravenous Injection

    Lima tahun yang laluNARASI ALPHONSE"Intravenous injection," kata mère, suaranya selembut beludru yang membungkus mata pisau. "Metode yang paling efisien untuk mengantarkan zat langsung ke dalam aliran darah. Cepat, presisi, tanpa hambatan."Udara di dalam ruangan ini lebih dingin daripada tempat-tempat lain di Wisteria Manor. Nggak ada wangi lavender atau teh chamomile seperti di ruang duduk, hanya bau antiseptik yang bersih—terlalu bersih, seperti sepotong logam yang baru diasah.Mère—atau yang biasa dipanggil orang ‘Lady Viscaria’, duduk dengan anggun di kursi tinggi, dia mengenakan gaun biru pucat yang lembut berkilau di bawah lampu putih. Cahaya itu nggak cukup terang untuk membuat silau, tapi cukup kejam untuk memperlihatkan semua yang ada di ruangan tanpa belas kasihan—termasuk set alat kedokteran di atas meja logam di antara kami.Diangkatnya jarum itu sedikit dan diputarnya perlahan, sehingga refleksi cahaya menari di permukaannya. "Namun, tidak semua orang memiliki tangan y

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Liontin yang Hilang

    16 menit sebelumnyaDingin. Bukan hanya dari pendingin ruangan yang terus berembus, tapi juga dari sesuatu yang lebih halus, lebih menusuk. Kamar tempat korban ketiga ditemukan masih dipenuhi aroma khas bahan kimia forensik dan sisa-sisa kematian yang menempel di udara. Cahaya lampu putih dingin menusuk setiap sudut kamar, mengukir bayangan tajam di dinding.Dr. Clara Donovan berdiri dengan tangan bersedekap di samping tempat tidur, matanya fokus pada seprai yang terlihat sedikit berantakan. Di sebelahnya, seorang petugas forensik, Langston, sedang membungkuk. Dia mencermati sesuatu dengan senter UV.“Aku menemukan sesuatu yang aneh,” gumam Langston sambil menyipitkan mata. Tangannya yang bersarung lateks mencubit untaian serat halus dari kain seprai dengan pinset. Dia mengangkatnya ke arah cahaya, membiarkan serat itu berkilau samar di bawah lampu. “Warnanya sedikit lebih kusam, dan teksturnya terasa lebih kasar, seperti bahan sintetis.”Dr. Clara meraih pinset dari kotak peralatan f

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Pertunjukan Graphology Alphonse

    Keheningan menyelimuti ruangan sesaat setelah Alphonse mengucapkan kata-katanya. Detektif Otero menatapnya dengan tajam, lalu beralih ke kertas yang dipegangnya. “Kau tahu siapa yang menulis ini?”Alphonse meraih sepasang sarung tangan baru dari sakunya, lalu mengambil kertas itu dengan hati-hati. Matanya menyapu baris tulisan yang terburu-buru namun tetap terkendali. Dia menghela napas pelan. “Aku tahu tipe orangnya.”Petugas forensik itu bersedekap, masih tampak belum sepenuhnya yakin. “Jadi Anda bisa menggambarkan seseorang hanya dari caranya menulis?”Alphonse meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. “Tidak. Bukan menggambarkan, tapi saya bisa mempersempit kemungkinan.” Dia membalikkan kertas itu, seolah mencari sesuatu di baliknya. “Dan dalam kasus ini, saya cukup yakin penulisnya adalah seorang wanita paruh baya yang terbiasa berada di posisi otoritas, tapi sedang kehilangan kendali.”Detektif Otero menatapnya dalam diam, lalu berkata pelan, “Jelaskan semuanya padaku.”Alphonse

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Luka Tembak

    Ketika Alphonse dan Detektif Otero melangkah keluar kamar 207, langkah kaki nyaris tidak terdengar terhenti di ujung koridor. Sekilas, Alphonse menangkap bayangan samar yang lenyap di balik tikungan. Udara terasa lebih berat, seolah ada mata tak terlihat yang mengintai dari kegelapan.Tanpa ragu, Alphonse bergegas mengejar. Namun, saat tiba di tikungan, hanya kesunyian yang menyambutnya—sampai suara pintu di kejauhan tertutup pelan. Terlalu pelan. Terlalu disengaja.Detektif Otero menyusul, napasnya sedikit tersengal. “Ada apa?”Alphonse tetap memandang lurus ke deretan pintu hotel yang tertutup rapat. Rahangnya mengencang. “Kau nggak melihatnya?” bisiknya tajam.Detektif Otero mengernyit dan menyapu pandangannya ke koridor yang sunyi. "Melihat apa?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya.Alphonse tidak segera menjawab. Dia melangkah perlahan ke depan, telinganya menangkap setiap suara sekecil apa pun. Koridor terasa terlalu tenang, terlalu bersih—seolah seseorang baru saja me

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Senjata Pembunuhan

    Dua bulan yang laluNARASI ALPHONSEHal pertama yang kupikirkan saat wanita itu memasuki kantorku?Aku lebih baik tidur siang.Hujan turun dengan malas di luar, menambah kesan muram pada ruangan yang sudah cukup berantakan—tumpukan dokumen berserakan di meja dan lantai. Aku bisa saja pura-pura nggak mendengar ketukan di pintu, tapi sayangnya, tamu tak diundang ini nggak cukup tahu diri untuk pergi begitu saja.Wanita itu berhenti di ambang pintu, ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling ruangan—langit-langit yang mengelupas, meja berantakan, kursi yang tampak lebih cocok untuk rumah duka daripada kantor detektif swasta. Rahangnya mengatup. Lalu, dengan gerakan sedikit kaku, dia menggeser kursi tanpa benar-benar meminta izin. Dia duduk dengan tangan mencengkeram liontinnya sesaat tanpa sadar.Aku sudah bisa menebak tipe orang seperti ini: bahu menegang, jemari mencengkeram tali tas seolah-olah itu satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Ah, klien yang

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Topeng Kematian

    Lorong hotel terasa lebih sunyi dari seharusnya. Hanya langkah Detektif Otero dan Alphonse yang menggema saat mereka mendekati kamar 207—tempat Marilyn Cass ditemukan tidak bernyawa. Tanpa banyak bicara, Detektif Otero mengeluarkan lencananya dan menunjukkannya pada dua petugas polisi yang berjaga di luar kamar. Salah satu petugas mengangguk, mengangkat sedikit garis polisi yang membentang di ambang pintu, lalu membiarkan mereka masuk.“Seperti yang kau lihat. Situasinya seperti ini,” ujar Detektif Otero, suaranya terbungkus dalam ketenangan.Bau khas bahan kimia dan kematian menyambut mereka begitu melewati ambang pintu. Kilatan lampu kamera forensik membelah kegelapan ruangan, menciptakan bayangan-bayangan tajam di dinding berwarna krem. Para petugas bergerak dalam keheningan profesional, mengumpulkan bukti tanpa membiarkan emosi mengintervensi. Di samping tempat tidur, sebuah kantong mayat berwarna hitam tergeletak dengan ritsleting yang tertutup rapat.“Ada perkembangan?” tanya De

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status