Kamis, 21 Maret 2024/09:27 Malam"Berhenti bukan pilihan."Suara itu nyaris tenggelam dalam dengung halus lift yang bergerak ke atas. Di dalam kabin sempit berlampu redup itu dua sosok berdiri tanpa bersentuhan."Aku tahu," jawab suara lain, datar. "Tapi kalau ada yang melihat—""Jangan menoleh. Jangan ragu."Seketika, bunyi ‘ting’ terdengar pelan. Pintu lift di ujung koridor lantai tujuh terbuka perlahan, membiarkan cahaya dingin dari dalamnya tumpah ke lantai berkarpet merah tua. Cahaya itu sejenak memecah remang-remang koridor, memperlihatkan dinding-dinding berlapis wallpaper mewah dengan pola emas kusam yang hampir tidak terlihat dalam redupnya lampu gantung.Seorang wanita berperawakan ramping dan tegap melangkah keluar lebih dulu. Gerakannya lembut namun penuh keyakinan, sepatu hak rendahnya menyentuh lantai tanpa suara. Di belakangnya, sosok lain muncul—mengenakan hoodie gelap, kacamata hitam, dan masker yang menutupi sebagian besar wajahnya. Hanya dagunya yang terlihat di baw
Jumat, 22 Maret 2024/01:27 MalamDengan begini," kata Detektif Otero, menyimpulkan. "Setidaknya ada lima tamu hotel yang berpotensi menjadi tersangka pembunuhan—ditambah kemungkinan beberapa orang lain yang bukan tamu."Stefan Petrov meluruskan punggungnya, matanya berbinar penuh ketertarikan. "Apakah Anda akan mulai menginterogasi mereka?" tanyanya, terdengar sedikit terlalu bersemangat.Alphonse menepukkan tangannya sekali—cukup keras untuk menarik perhatian semua orang di ruang kontrol. Sejenak, dia membiarkan keheningan menggantung sebelum berkata dengan tenang, "Interogasi terdengar terlalu agresif. Kita hanya akan mampir dan melihat keadaan mereka. Benar begitu, Detektif?"Detektif Otero meliriknya sekilas, lalu menghela napas pendek—sepertinya dia langsung menangkap maksud Alphonse. Tanpa banyak bicara, ia merapikan catatannya, menyelipkan pulpen ke saku mantelnya, lalu bersiap meninggalkan ruangan.Sebelum pergi, detektif berwajah persegi itu menoleh ke Kepala Keamanan dan sta
Alphonse dan Detektif Otero langsung mengalihkan perhatian mereka pada Sophia. Resepsionis itu menarik napas, seakan menyusun ulang ingatannya. “Kemarin sore Elina Hochberg sempat berada di sini, di lobi. Dia tidak sendirian.”Alphonse menyipitkan mata. “Dengan siapa?”“Seseorang… seorang pria berbaju gelap. Saya tidak mengenalnya, dan mereka tidak duduk lama. Percakapan mereka tampak serius, hampir seperti… perdebatan.” Sophia mengernyit, mencoba mengingat lebih jelas. “Kemudian, pria itu pergi lebih dulu. Elina duduk sendirian beberapa menit sebelum akhirnya menghilang ke lorong. Setelah itu, saya tidak melihatnya lagi sepanjang malam.”Detektif Otero mendesah pelan. “Dan Anda baru mengingatnya sekarang?”“Saya tidak menganggapnya penting tadi.” Victoria menatap mereka
Tiga bulan yang laluLangit senja membiaskan warna keemasan di jendela kaca. Aroma kopi dan rempah memenuhi udara, bercampur dengan denting sendok dan percakapan rendah. Kafe kecil itu hangat, dengan rak buku di sudut dan lampu gantung yang menyinari meja-meja kayu tua.Di dekat jendela, seorang wanita meniup minumannya dengan santai, matanya yang berwarna biru itu menikmati lalu-lalang di trotoar basah. Sementara itu, pria di hadapannya terlihat gelisah. Sesekali dia akan melirik pintu sebelum kembali ke cangkirnya.Di pojok atas ruangan, sebuah televisi dipasang di dinding, menampilkan siaran berita. Volume suaranya cukup pelan, tapi tetap terdengar di antara obrolan pelanggan lain.“...konflik yang terjadi semakin parah. Kami sempat mendengar kabar jika Heiress Ulvhild Thereia men
Lobi hotel masih diterangi cahaya keemasan dari lampu gantung, memantulkan kilau samar di lantai marmer. Beberapa tamu yang baru kembali dari acara larut malam melangkah masuk, sebagian melambat karena kelelahan atau pengaruh alkohol. Kehadiran Detektif Otero dan Alphonse tampaknya luput dari perhatian mereka.Alphonse menghela napas, lalu menoleh ke arah Victoria dan Sophia. "Baiklah," keluhnya. "Bagaimana dengan seorang tamu bernama Uehara Miyazaki?"Victoria dan Sophia saling bertukar pandang, kebingungan tergambar jelas di wajah mereka. Hening sejenak, seolah keduanya tengah memastikan bahwa mereka tidak salah dengar.Sophia akhirnya membuka mulut lebih dulu, suaranya sedikit ragu. "Maaf... siapa yang Anda tanyakan tadi?"Alphonse mengangkat alis. "Uehara Miyazaki."
Alphonse menjabat tangan Daniel, merasakan cengkeraman yang mantap—tidak terlalu kuat, tapi cukup untuk menunjukkan kendali. Alih-alih segera melepas, Alphonse mempertahankan genggamannya sepersekian detik lebih lama dari yang diperlukan, menunggu Daniel yang lebih dulu menarik diri.Sebuah gerakan kecil, hampir tidak kentara, tapi cukup untuk menguji siapa yang ingin memegang kendali percakapan. Daniel melepaskan genggamannya dengan ekspresi yang tetap ramah, tapi Alphonse tidak melewatkan sedikit ketegangan di ujung jarinya."Tampaknya Anda berdua cukup tertarik pada salah satu mantan tamu kami," kata Daniel, matanya berkilat tipis.Detektif Otero tersenyum kecil. "Pekerjaan kami memang mencari informasi. Kebetulan, Uehara Miyazaki muncul dalam salah satu penyelidikan kami."
Lift berbunyi pelan sebelum pintunya terbuka, memperlihatkan seorang pria berjas yang baru saja hendak melangkah keluar.Stefan Petrov.Dia berhenti di ambang pintu, ekspresinya berubah sekejap saat melihat siapa yang ada di dalam lift. Tatapannya menyapu cepat ke arah Detektif Otero dan Alphonse sebelum akhirnya menetap pada Daniel Richards. Senyumnya muncul—tidak sepenuhnya ramah, lebih seperti seseorang yang baru saja memahami situasi yang kurang menguntungkan."Ah, malam yang sibuk rupanya," katanya, suaranya ringan tapi terukur.Daniel menanggapi dengan anggukan kecil, matanya tetap tenang. "Ya, begitulah. Saya harap tidak ada kendala di pos Anda, Petrov."“Semuanya terkendali," Stefan menjawab dengan senyum samar.
Alphonse melangkah lebih dulu, diikuti Detektif Otero. Daniel Richards menutup pintu dengan perlahan, memastikan ruangan tetap tertutup rapat.Cahaya lampu yang redup membentuk siluet ramping Elina Hochberg saat dia melangkah lebih dalam ke ruangan. Gaun tidur satin yang membalut tubuhnya berkilau samar di bawah pencahayaan hangat, setiap gerakannya memancarkan ketenangan yang terlalu sempurna—seolah dikurasi dengan hati-hati, sama seperti perabotan mewah yang mengisi kamarnya.Dia berhenti di depan meja rias. Elina bersandar di meja riasnya dengan elegan, satu tangan bertumpu ringan di permukaannya, sementara tangan lainnya mengangkat gelas anggur setengah kosong. Cairan merah tua berputar perlahan saat dia menggoyangkannya sedikit, pantulan cahaya redup dari lampu kamar membuat permukaannya tampak berkilau.
Jumat, 22 Maret 2024/09:48 PagiPeta digital hotel terbentang di hadapannya, berkedip lembut seperti napas mesin yang tidak pernah tidur. Layar besar itu menampilkan rekaman lalu lintas pintu dan jalur keluar-masuk sepanjang malam kejadian—data mentah yang dingin, mekanis, dan tetap bisu meski dipelototi selama yang Alphonse inginkan.Dia duduk membungkuk di depan konsol, tubuhnya nyaris tidak bergerak kecuali satu tangan yang menopang kepala, dan tangan lainnya yang tanpa sadar terus memutar-mutar pena di sela jari—seolah jika ia berhenti, pikirannya juga akan ikut runtuh.Matanya merah, tapi tetap menyorot tajam ke arah layar. Tidak ada tamu yang menonjol. Tidak ada staf yang terlihat menyimpang. Selain beberapa rekaman yang telah ditemukannya bersama Detektif Otero dan Stefan Petrov.“Sesuatu pasti terlewat,” pikirnya. Di tengah keraguan itu, satu suara di kepalanya mulai berbisik: jika semua bukti terlihat normal, maka berarti sesuatu sedang bersembunyi di balik normalitas itu. S
Jumat, 22 Maret 2024/08:37 PagiNARASI EZEQUIEL OTEROPagi di hotel mewah seperti ini mestinya punya ritme sendiri—aroma kopi mahal, suara sepatu licin di lantai marmer, dan senyum palsu dari staf yang dilatih untuk tidak pernah terlihat panik. Tapi aku bukan pelanggan tetap Royal Mirage Palace, dan aku juga bukan orang yang peduli rutinitas pagi mereka. Yang kupedulikan adalah mayat yang mereka temukan semalam, dan atmosfer kaku yang belum sepenuhnya menguap dari lobi ini.Beberapa tamu memang tampak mencoba bersikap biasa—menyeruput kopi, membaca koran, atau sibuk mengutak-atik ponsel mereka—tapi ada sesuatu yang lain di mata mereka: ketidaknyamanan yang belum punya bentuk. Dan aku tahu pasti, bukan cuma tamu yang sedang menebak-nebak apa yang terjadi. Seseorang di sini tahu lebih dari yang mereka akui. Dan sekarang, tanggung jawabku adalah menemukan siapa itu.Aku melihat dua wajah yang familiar di dekat meja resepsionis: Victoria Smith dan Sophia Chang. Mereka sedang membereskan m
Jumat, 22 Maret 2024/08:22 PagiAlphonse berdiri dengan tangan terlipat, matanya terpaku pada layar monitor yang menampilkan rekaman CCTV terakhir. Jejak kematian mungkin sudah tersamarkan, tapi dia tahu—kejahatan seperti ini selalu meninggalkan celah bagi mereka yang cukup teliti untuk menemukannya.Tanpa mengalihkan pandangan, dia berbicara. "Tuan Petrov, saya butuh daftar staf yang bertugas malam itu. Juga log akses master key."Stefan Petrov mengangguk, langsung mulai bekerja di sistem hotel. Tidak butuh waktu lama, Stefan kembali dengan hasilnya. Alphonse menerima berkas itu, matanya segera menelusuri daftar nama dan log akses.Alphonse kemudian menoleh pada Detektif Otero dan menyerahkan daftar nama staf yang bertugas di malam kejadian. “Selidiki mereka,” katanya. "Tanyakan pada resepsionis, petugas keamanan, atau siapa pun yang melihat mereka malam itu. Cari tahu apakah mereka memiliki hubungan dengan korban—atau jika ada sesuatu yang membuat malam itu berbeda."Detektif Otero
Jumat, 22 Maret 2024/07:54 PagiNARASI ALPHONSEPintu ruang kendali terkunci. Nggak mengejutkan. Jika aksesnya terlalu mudah, barulah ada yang perlu dikhawatirkan. Segala sesuatu di hotel ini selalu dalam kendali ketat, kecuali nyawa tiga orang yang entah bagaimana berhasil meluncur keluar dari daftar tamu tanpa peringatan.Aku mengetuk dua kali dengan nggak sabar. Aku melirik Zeke yang berdiri di sampingku. Dia hanya mengangkat bahu kecil, nggak terlihat khawatir sedikit pun. Kami menunggu. Butuh waktu beberapa detik sebelum suara langkah mendekat dari sisi lain. Pintu terbuka, dan Stefan Petrov berdiri di ambang pintu,“Detektif,” katanya dengan suara berat sambil menatap kami dengan waspada. Ada sedikit ketegangan di rahangnya, seolah kedatangan kami pagi-pagi begini adalah pertanda buruk baginya. "Ada yang bisa saya bantu?"Aku menyandarkan bahu ke kusen pintu, sekilas melirik ruangan di belakangnya yang dipenuhi monitor. Di dalam, layar-layar menampilkan citra statis, cahaya biru
Jumat, 22 Maret 2024/07:27 PagiSerangkaian ketukan lembut terdengar di pintu kamar eksklusif. Dengan troli layanan kamar yang disusun sempurna di sisinya, Daniel Richards berdiri di luar pintu dengan senyum yang terlatih. Tangannya masih terangkat ketika pintu terbuka—memperlihatkan Detektif Otero yang berdiri dengan mata lelah dan rahang mengeras.Dari balik bahu si detektif, Alphonse berdiri di dekat jendela. Pandangannya mengembara ke luar. Entah menikmati pagi atau tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tatapan mata Daniel kembali pada Detektif Otero."Selamat pagi," sapa Daniel dengan profesional dan ramah. "Sarapan Anda berdua telah siap.""Masuk," gumam Detektif Otero.Dia menguap kecil sebelum menyingkir dari pintu, memberi jalan bagi Daniel untuk mendorong troli ke dalam. Roda troli berdecit lembut di atas karpet. Aroma kopi segar dan roti panggang memenuhi ruangan saat Daniel mulai menyusun makanan di meja kecil di sudut ruangan."Kita mulai dengan pesanan Detektif Otero," kat
Kamis, 21 Maret 2024/09:37 MalamNARASI MARILYNAku tahu seseorang mengawasiku.Aku nggak bisa menjelaskan gimana, tapi perasaan itu ada sejak beberapa minggu terakhir. Seperti bayangan yang selalu mengikuti, atau sepasang mata yang nggak terlihat, mengintai dari sudut-sudut gelap. Aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa itu hanya paranoia yang muncul akibat situasi yang semakin nggak terkendali.Tapi malam ini... malam ini berbeda. Kegelisahan itu mencekik, memenuhi setiap inci udara di dalam kamar hotelku yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Dinding-dinding yang biasanya memberi rasa aman kini terasa menekan dari segala arah. Setiap bayangan yang tercipta dari cahaya lampu terlihat membentuk siluet yang nggak seharusnya ada.Tanganku mengepal tanpa kusadari. Jemariku terasa dingin. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa ini semua hanya ada di kepalaku. Bahwa aku hanya kelelahan. Tapi suara samar dari luar pintu, desir langkah dan ketukan di pintu yang nyaris nggak terde
Fajar merekah di langit Jumat, 22 Maret, melukis Royal Mirage Palace dengan semburat emas yang memantul di jendela-jendela tinggi dan pilar-pilar megahnya. Cahaya pagi menari di permukaan air mancur taman, menciptakan kilauan seperti permata. Namun, di dalam hotel, kedamaian itu telah terkoyak. Desas-desus panik berputar cepat, menyusup ke lorong-lorong seperti bisikan badai yang tidak terhindarkan.Berita buruk menyebar cepat, merembes ke setiap sudut hotel. Para tamu yang terbangun lebih awal berbisik di lorong-lorong, masih mengenakan night robe mewah, ponsel menempel di telinga. Biasanya sunyi, koridor kini dipenuhi gumaman gelisah dan langkah tergesa-gesa."Kau sudah dengar?" suara serak seorang pria terdengar lirih di antara percakapan yang bergemuruh."Katanya polisi ada di salah satu suite," jawab seorang wanita dengan nada berbisik, matanya sesekali melirik ke arah koridor yang semakin ramai.Di lantai bawah, lobi hotel yang biasanya memancarkan keanggunan kini terasa sesak o
Ketukan tiga kali, tegas namun tidak terburu-buru.Alphonse menghela napas sebelum membuka pintu. Daniel Richards berdiri di ambang, ekspresinya netral, tapi matanya memindai ruangan sekilas sebelum kembali menatapnya."Bagaimana kondisi kalian?" tanyanya, suaranya terdengar terlalu ringan untuk pertanyaan yang begitu spesifik.Alphonse mengangkat dagu sedikit, menyisakan jeda sejenak sebelum menjawab. "Masuk dulu."Daniel melangkah masuk, melewati Alphonse yang menutup pintu dengan tenang, tapi memastikan kunci berputar sepenuhnya sebelum melepaskannya. Detektif Otero masih duduk di sofanya, satu kaki disilangkan di atas yang lain. Tatapannya naik sedikit saat Daniel mendekat."Kalian baik-baik saja?" ulang Daniel, lebih pelan, seakan benar-benar ingin mendengar jawabannya kali ini."Kami masih di sini. Tidak semua orang seberuntung itu." Alphonse berbalik, nada suaranya datar tapi mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan.Daniel tersenyum kecil, seperti menghargai jawaban itu. "Saya
Jumat, 22 Maret 2024/05:18 PagiAlphonse bangkit dari duduknya dan berjalan menuju jendela. Tangannya terselip di saku celana, matanya menatap lurus ke jalanan di bawah, tapi pikirannya bergerak liar, merangkai kemungkinan demi kemungkinan.“Apakah nama Rhaetozia mengingatkanmu pada sesuatu?” tanya Alphonse dengan suara rendah namun tajam.Detektif Otero mengerutkan kening. Sekilas keterkejutan melintas di wajahnya sebelum dia bersandar ke kursinya. "Media terus memberitakan apa yang terjadi di sana," ujarnya, nadanya setengah hati. Lalu, setelah jeda singkat, dia menambahkan dengan curiga. "Jangan bilang kau menghubungkan kasus ini dengan keadaan politik di sana?"Alphonse tidak langsung menjawab. Matanya tetap kosong, pikirannya berada di tempat lain. "Tentu tidak," katanya akhirnya.Tapi Detektif Otero tidak melewatkan bayangan halus yang melintas di wajah rekannya. Sebuah kilasan singkat yang cukup untuk menyalakan kecurigaannya. Dia tahu Alphonse terlalu cerdas untuk mengajukan p