16 menit sebelumnya
Dingin. Bukan hanya dari pendingin ruangan yang terus berembus, tapi juga dari sesuatu yang lebih halus, lebih menusuk. Kamar tempat korban ketiga ditemukan masih dipenuhi aroma khas bahan kimia forensik dan sisa-sisa kematian yang menempel di udara. Cahaya lampu putih dingin menusuk setiap sudut kamar, mengukir bayangan tajam di dinding.
Dr. Clara Donovan berdiri dengan tangan bersedekap di samping tempat tidur, matanya fokus pada seprai yang terlihat sedikit berantakan. Di sebelahnya, seorang petugas forensik, Langston, sedang membungkuk. Dia mencermati sesuatu dengan senter UV.
“Aku menemukan sesuatu yang aneh,” gumam Langston sambil menyipitkan mata. Tangannya yang bersarung lateks mencubit untaian serat halus dari kain seprai dengan pinset. Dia mengangkatnya ke arah cahaya, membiarkan serat itu berkilau samar di bawah lampu. “Warnanya sedikit lebih kusam, dan teksturnya terasa lebih kasar, seperti bahan sintetis.”
Dr. Clara meraih pinset dari kotak peralatan forensiknya dan mengambil serat itu dari Langston. Dia memiringkan kepala sedikit. “Jelas bukan linen standar hotel,” ujarnya sambil memasukkan temuan itu ke dalam kantong bukti. “Jika berasal dari pakaian seseorang, ini bukan jenis kain yang umum digunakan sehari-hari.”
Langston mengangguk setuju. “Mungkin sesuatu yang berhubungan dengan industri misalnya?”
Dr. Clara belum sempat menjawab ketika suara bip halus dari perangkat analisis portabel di meja samping tempat tidur menarik perhatiannya. Petugas forensik lain, Miriam, sedang melihat layar kecil alat itu dengan ekspresi bingung.
“Ada jejak residu aneh di permukaan meja ini,” kata Miriam. “Bukan sesuatu yang biasa ditemukan di kamar hotel. Analisis awal menunjukkan adanya senyawa yang sering digunakan dalam lingkungan industri, tapi aku belum bisa memastikan jenisnya.”
Dr. Clara dan Langston bertukar pandang dengan serius ketika mendengar kata “industri” muncul. Dia segera berjalan mendekat dan memeriksa hasil sementara yang ditampilkan di layar.
“Coba cek di pakaian korban,” perintahnya.
Miriam dan Langston langsung bergegas. Beberapa menit kemudian, mereka menemukan sesuatu yang semakin menguatkan dugaan mereka.
“Residunya juga ada di celana korban,” kata Langston, suaranya sedikit lebih tegang. “Tipis, nyaris tidak terlihat… tapi cukup untuk memastikan adanya kontak langsung.”
Dr. Clara merasakan ketegangan bertambah di dalam ruangan. Sesuatu mulai terbentuk di pikirannya, sebuah pola yang belum sepenuhnya jelas. Dan saat dia berusaha menyusun kepingan-kepingan ini, sebuah suara lain memecah konsentrasinya.
“Dr. Donovan!” Salah satu petugas forensik berseru dari sisi lain kamar. “Aku menemukan sesuatu.” Dengan hati-hati, dia segera menghampiri Dr. Clara dan menunjukkan sebuah liontin perak kecil dengan inisial M.C. terukir di permukaannya.
Mata Dr. Clara membesar. Tangannya buru-buru meraih alat komunikasi kecil yang terhubung dengan tim forensik di dua kamar lainnya.
“Clara di sini,” katanya cepat. “Aku butuh konfirmasi—Kamar 207, kau tadi mengatakan jika senjata pembunuhannya adalah liontin, benar?”
Hening sejenak sebelum suara dari sisi lain menyahut. “Ya. Detektif yang datang bersama Detektif Otero mengatakan jika benda itu tidak akan mungkin berada di sini.”
Liontin kecil itu terasa dingin di tangannya. Senyuman tipis muncul di wajah Dr. Clara saat dia berkata, “Karena benda itu ada di sini.”
Keheningan di saluran komunikasi terasa berat sebelum suara dari kamar 207 kembali terdengar, kali ini lebih waspada. “Kau yakin itu liontin yang sama?”
Dr. Clara menatap liontin kecil di tangannya—logamnya sedikit ternoda, rantainya terputus di salah satu ujung, dan inisial M.C. terukir samar di permukaannya.
“Bentuknya cocok dengan deskripsi yang kalian berikan,” katanya sambil mengangkatnya ke bawah cahaya. Dia lalu menoleh ke arah Langston dan Miriam. “Siapkan perbandingan sidik jari dan residu darah jika ada.”
Dr. Clara kembali berbicara menggunakan alat komunikasinya, “Aku akan segera menganalisisnya. Kita bicara lagi nanti.” Dia lalu menoleh ke salah satu petugas polisi yang berjaga di pintu dan berkata, “Laporkan temuan ini ke Detektif Otero. Sekarang.”
Petugas itu langsung mengangguk dan bergegas keluar dari kamar.
Kamis, 21 Maret 2024/11:33 Malam
Detektif Otero merasakan jantungnya berdetak kencang, dadanya terasa berat seolah tertindih beban yang tidak terlihat. “Apa yang mereka temukan?” pikirnya di balik bayang-bayang yang berkecamuk.
Dipimpin oleh langkah-langkah cepat dan mantapnya, mereka bertiga bergerak menuju kamar korban selanjutnya di lantai lima. Suara kaki mereka berdesis lembut di atas karpet tebal di sepanjang koridor yang mereka lewati. Tidak jauh berbeda dari kondisi mental Detektif Otero, di setiap langkahnya, pikiran Alphonse berputar liar. Berbagai kemungkinan terbesit di dalam benaknya, kemungkinan-kemungkinan yang menanti di balik pintu kamar yang mereka tuju.
“Aku harap ini berita bagus,” kata Detektif Otero begitu mereka tiba di depan pintu Kamar 509 yang terbuka. Nada suaranya yang penuh harapan sekaligus ketegangan memecah kesunyian para petugas forensik yang sedang bekerja.
Dr. Clara menoleh ke arah sumber suara, lalu dengan isyarat cepat meminta liontin yang ditemukan sebelumnya. Saat benda kecil itu berpindah ke tangannya, dia mengangkatnya ke bawah cahaya, membiarkan kilaunya yang redup berbicara lebih dulu. "Kita mungkin baru saja menemukan senjata pembunuhan Marilyn Cass," katanya tenang.
Detektif Otero menegang seketika, matanya membelalak saat melihat liontin di dalam kantong bukti. Sementara itu, Alphonse tetap diam. Tatapannya tidak menunjukkan keterkejutan—seakan ini hanya sekadar kepastian dari sesuatu yang telah dia perhitungkan.
Dr. Clara menyerahkan kantong bukti berisi liontin itu pada Detektif Otero, lalu dia berkata, "Tergeletak di sebelah sana." Dia memberi isyarat ke arah tempat ditemukannya liontin tersebut.
Detektif Otero mengangguk pelan, lalu menoleh ke Alphonse. "Inikah liontin yang kau maksud?"
Alphonse menatap liontin itu, dan seketika—ingatan tentang pertemuannya dengan Marilyn kembali. Alphonse berkedip, kembali ke realitas. Tatapannya bertemu dengan tatapan Detektif Otero, lalu ke liontin itu lagi.
"Ya," katanya akhirnya, suaranya lebih dalam dari biasanya. "Itu miliknya."
Dr. Clara memberi isyarat ke salah satu petugas forensik, yang segera menyerahkan tablet kepadanya. Dia mengetuk beberapa kali sebelum menoleh ke mereka. "Kami menemukan residu darah yang sangat tipis di bagian tepinya. Belum cukup untuk analisis DNA, tapi mengingat liontin ini ditemukan di dekat korban ketiga—dan konfirmasi Anda…” Dr. Clara menoleh ke arah Alphonse sejenak, lalu melanjutkan, "...kemungkinan besar ini yang kita cari."
“Bagaimana dengan analisis sidik jarinya?” tanya Alphonse dengan nada tenang, tapi matanya tajam menatap layar tablet yang dipegang Dr. Clara.
Dr. Clara menggeser layar, membaca hasilnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Lalu, dia menghela napas. “Kami sedang mencocokkannya. Tapi sejauh ini, ada satu sidik jari yang paling jelas.”
“Itu kabar baik, kan?” Otero menyipitkan mata. “Kalau itu milik Marilyn—”
Dr. Clara mengangguk pelan, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya untuk menatap mereka berdua. “Masalahnya…” dia berhenti sejenak, seakan memilih kata dengan hati-hati. “…sidik jari itu bukan milik Marilyn Cass.”
Keheningan menyergap ruangan. Lalu, perlahan, Dr. Clara menoleh ke arah kantong mayat yang terbaring diam. Tatapannya lalu kembali ke Detektif Otero dan Alphonse sebelum akhirnya mengucapkan, “Itu milik Sansa Strand.”
Lima tahun yang laluNARASI ALPHONSE"Intravenous injection," kata mère, suaranya selembut beludru yang membungkus mata pisau. "Metode yang paling efisien untuk mengantarkan zat langsung ke dalam aliran darah. Cepat, presisi, tanpa hambatan."Udara di dalam ruangan ini lebih dingin daripada tempat-tempat lain di Wisteria Manor. Nggak ada wangi lavender atau teh chamomile seperti di ruang duduk, hanya bau antiseptik yang bersih—terlalu bersih, seperti sepotong logam yang baru diasah.Mère—atau yang biasa dipanggil orang ‘Lady Viscaria’, duduk dengan anggun di kursi tinggi, dia mengenakan gaun biru pucat yang lembut berkilau di bawah lampu putih. Cahaya itu nggak cukup terang untuk membuat silau, tapi cukup kejam untuk memperlihatkan semua yang ada di ruangan tanpa belas kasihan—termasuk set alat kedokteran di atas meja logam di antara kami.Diangkatnya jarum itu sedikit dan diputarnya perlahan, sehingga refleksi cahaya menari di permukaannya. "Namun, tidak semua orang memiliki tangan y
“Aku tidak menyangka akan mendengar kata ‘metodis’ berulang kali malam ini,” keluh Detektif Otero sambil menekan pangkal hidungnya. “Kau pikir pelakunya orang yang sama?” tanyanya pada Alphonse.Detektif konsultan itu tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang berpikir untuk sesaat sebelum akhirnya buka suara. “Kesimpulan yang terburu-buru hanya akan menyesatkan kita…” Tatapannya jatuh pada tubuh kaku Sansa Strand. Dia menggeleng pelan sebelum menambahkan, “meskipun kelihatannya asumsi itu terdengar begitu meyakinkan.”Dr. Clara mengetuk jarinya di layar tablet, matanya bergerak cepat membaca laporan yang tersaji. “Kami bisa melakukan tes tambahan untuk memastikan komposisi zat yang digunakan untuk melumpuhkan korban,” katanya pada akhirnya.Detektif Otero mengangguk kecil. "Ya, lakukan itu." Dia menghela napas pelan, lalu beralih ke Alphonse. “Tidak peduli sebersih apa metode pembunuhan ini, pelaku pasti ada di suatu tempat.”Alphonse meliriknya. “Dan hotel ini punya mata di setiap
Jumat, 22 Maret 2024/00:17 MalamStefan menegang. Tatapannya terpaku pada layar, ekspresi wajahnya sulit diartikan. Perlahan, ia mundur sedikit dari monitor, seolah ingin menjaga jarak dari apa yang baru saja dilihatnya. “Dia seharusnya sudah mati,” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Detektif Otero menoleh cepat. “Apa maksudmu?” Nada suaranya tidak lagi santai.Alphonse tidak langsung bicara. Matanya masih tertuju pada rekaman itu, menganalisis setiap detail. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang belum dia pahami sepenuhnya.Seorang tamu VIP yang terlihat di layar monitor itu mengenakan setelan tiga potong berwarna gelap yang terlihat mewah. Sebuah tongkat bantu jalan dengan gagang perak berkilau tergenggam di tangan kanannya—bukan karena dia membutuhkannya untuk berjalan, tetapi lebih seperti aksesori elegan dari era yang telah lama berlalu. Ujung tongkat itu menyentuh lantai dengan gerakan halus, hampir seperti ketukan kecil yang disengaja.Sebagian wajahnya tersemb
Stefan membuka pintu menuju ruang arsip di sudut ruangan. Cahaya di dalamnya redup, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di langit-langit, menciptakan bayangan samar di antara rak-rak tinggi yang berisi ratusan dokumen tersusun rapi. Rak-rak logam berlapis perunggu berbaris rapi di sepanjang ruangan. Masing-masing dipenuhi map berlabel tahun dan bulan. Beberapa dokumen bertumpuk di meja, menandakan tempat itu masih sering digunakan.Detektif Otero memasukkan buku catatannya ke dalam saku dan melirik Alphonse. “Kau ikut masuk?” tanyanya.Alphonse mengangguk tanpa menjawab. Langkah mereka bergema pelan di atas lantai marmer mengilap saat mereka menyusul Stefan, yang sudah berdiri di depan salah satu rak, jemarinya dengan cekatan menelusuri label di punggung map.“Kami masih menyimpan daftar tamu dalam bentuk fisik sebagai arsip,” ujar Stefan, matanya tetap tertuju pada dokumen yang sedang ia cari. “Kadang tamu lama kembali menginap setelah beberapa tahun, dan beberapa permintaan kh
Kamis, 21 Maret 2024/09:27 Malam"Berhenti bukan pilihan."Suara itu nyaris tenggelam dalam dengung halus lift yang bergerak ke atas. Di dalam kabin sempit berlampu redup itu dua sosok berdiri tanpa bersentuhan."Aku tahu," jawab suara lain, datar. "Tapi kalau ada yang melihat—""Jangan menoleh. Jangan ragu."Seketika, bunyi ‘ting’ terdengar pelan. Pintu lift di ujung koridor lantai tujuh terbuka perlahan, membiarkan cahaya dingin dari dalamnya tumpah ke lantai berkarpet merah tua. Cahaya itu sejenak memecah remang-remang koridor, memperlihatkan dinding-dinding berlapis wallpaper mewah dengan pola emas kusam yang hampir tidak terlihat dalam redupnya lampu gantung.Seorang wanita berperawakan ramping dan tegap melangkah keluar lebih dulu. Gerakannya lembut namun penuh keyakinan, sepatu hak rendahnya menyentuh lantai tanpa suara. Di belakangnya, sosok lain muncul—mengenakan hoodie gelap, kacamata hitam, dan masker yang menutupi sebagian besar wajahnya. Hanya dagunya yang terlihat di baw
Jumat, 22 Maret 2024/01:27 MalamDengan begini," kata Detektif Otero, menyimpulkan. "Setidaknya ada lima tamu hotel yang berpotensi menjadi tersangka pembunuhan—ditambah kemungkinan beberapa orang lain yang bukan tamu."Stefan Petrov meluruskan punggungnya, matanya berbinar penuh ketertarikan. "Apakah Anda akan mulai menginterogasi mereka?" tanyanya, terdengar sedikit terlalu bersemangat.Alphonse menepukkan tangannya sekali—cukup keras untuk menarik perhatian semua orang di ruang kontrol. Sejenak, dia membiarkan keheningan menggantung sebelum berkata dengan tenang, "Interogasi terdengar terlalu agresif. Kita hanya akan mampir dan melihat keadaan mereka. Benar begitu, Detektif?"Detektif Otero meliriknya sekilas, lalu menghela napas pendek—sepertinya dia langsung menangkap maksud Alphonse. Tanpa banyak bicara, ia merapikan catatannya, menyelipkan pulpen ke saku mantelnya, lalu bersiap meninggalkan ruangan.Sebelum pergi, detektif berwajah persegi itu menoleh ke Kepala Keamanan dan sta
Alphonse dan Detektif Otero langsung mengalihkan perhatian mereka pada Sophia. Resepsionis itu menarik napas, seakan menyusun ulang ingatannya. “Kemarin sore Elina Hochberg sempat berada di sini, di lobi. Dia tidak sendirian.”Alphonse menyipitkan mata. “Dengan siapa?”“Seseorang… seorang pria berbaju gelap. Saya tidak mengenalnya, dan mereka tidak duduk lama. Percakapan mereka tampak serius, hampir seperti… perdebatan.” Sophia mengernyit, mencoba mengingat lebih jelas. “Kemudian, pria itu pergi lebih dulu. Elina duduk sendirian beberapa menit sebelum akhirnya menghilang ke lorong. Setelah itu, saya tidak melihatnya lagi sepanjang malam.”Detektif Otero mendesah pelan. “Dan Anda baru mengingatnya sekarang?”“Saya tidak menganggapnya penting tadi.” Victoria menatap mereka
Tiga bulan yang laluLangit senja membiaskan warna keemasan di jendela kaca. Aroma kopi dan rempah memenuhi udara, bercampur dengan denting sendok dan percakapan rendah. Kafe kecil itu hangat, dengan rak buku di sudut dan lampu gantung yang menyinari meja-meja kayu tua.Di dekat jendela, seorang wanita meniup minumannya dengan santai, matanya yang berwarna biru itu menikmati lalu-lalang di trotoar basah. Sementara itu, pria di hadapannya terlihat gelisah. Sesekali dia akan melirik pintu sebelum kembali ke cangkirnya.Di pojok atas ruangan, sebuah televisi dipasang di dinding, menampilkan siaran berita. Volume suaranya cukup pelan, tapi tetap terdengar di antara obrolan pelanggan lain.“...konflik yang terjadi semakin parah. Kami sempat mendengar kabar jika Heiress Ulvhild Thereia men
Jumat, 22 Maret 2024/09:48 PagiPeta digital hotel terbentang di hadapannya, berkedip lembut seperti napas mesin yang tidak pernah tidur. Layar besar itu menampilkan rekaman lalu lintas pintu dan jalur keluar-masuk sepanjang malam kejadian—data mentah yang dingin, mekanis, dan tetap bisu meski dipelototi selama yang Alphonse inginkan.Dia duduk membungkuk di depan konsol, tubuhnya nyaris tidak bergerak kecuali satu tangan yang menopang kepala, dan tangan lainnya yang tanpa sadar terus memutar-mutar pena di sela jari—seolah jika ia berhenti, pikirannya juga akan ikut runtuh.Matanya merah, tapi tetap menyorot tajam ke arah layar. Tidak ada tamu yang menonjol. Tidak ada staf yang terlihat menyimpang. Selain beberapa rekaman yang telah ditemukannya bersama Detektif Otero dan Stefan Petrov.“Sesuatu pasti terlewat,” pikirnya. Di tengah keraguan itu, satu suara di kepalanya mulai berbisik: jika semua bukti terlihat normal, maka berarti sesuatu sedang bersembunyi di balik normalitas itu. S
Jumat, 22 Maret 2024/08:37 PagiNARASI EZEQUIEL OTEROPagi di hotel mewah seperti ini mestinya punya ritme sendiri—aroma kopi mahal, suara sepatu licin di lantai marmer, dan senyum palsu dari staf yang dilatih untuk tidak pernah terlihat panik. Tapi aku bukan pelanggan tetap Royal Mirage Palace, dan aku juga bukan orang yang peduli rutinitas pagi mereka. Yang kupedulikan adalah mayat yang mereka temukan semalam, dan atmosfer kaku yang belum sepenuhnya menguap dari lobi ini.Beberapa tamu memang tampak mencoba bersikap biasa—menyeruput kopi, membaca koran, atau sibuk mengutak-atik ponsel mereka—tapi ada sesuatu yang lain di mata mereka: ketidaknyamanan yang belum punya bentuk. Dan aku tahu pasti, bukan cuma tamu yang sedang menebak-nebak apa yang terjadi. Seseorang di sini tahu lebih dari yang mereka akui. Dan sekarang, tanggung jawabku adalah menemukan siapa itu.Aku melihat dua wajah yang familiar di dekat meja resepsionis: Victoria Smith dan Sophia Chang. Mereka sedang membereskan m
Jumat, 22 Maret 2024/08:22 PagiAlphonse berdiri dengan tangan terlipat, matanya terpaku pada layar monitor yang menampilkan rekaman CCTV terakhir. Jejak kematian mungkin sudah tersamarkan, tapi dia tahu—kejahatan seperti ini selalu meninggalkan celah bagi mereka yang cukup teliti untuk menemukannya.Tanpa mengalihkan pandangan, dia berbicara. "Tuan Petrov, saya butuh daftar staf yang bertugas malam itu. Juga log akses master key."Stefan Petrov mengangguk, langsung mulai bekerja di sistem hotel. Tidak butuh waktu lama, Stefan kembali dengan hasilnya. Alphonse menerima berkas itu, matanya segera menelusuri daftar nama dan log akses.Alphonse kemudian menoleh pada Detektif Otero dan menyerahkan daftar nama staf yang bertugas di malam kejadian. “Selidiki mereka,” katanya. "Tanyakan pada resepsionis, petugas keamanan, atau siapa pun yang melihat mereka malam itu. Cari tahu apakah mereka memiliki hubungan dengan korban—atau jika ada sesuatu yang membuat malam itu berbeda."Detektif Otero
Jumat, 22 Maret 2024/07:54 PagiNARASI ALPHONSEPintu ruang kendali terkunci. Nggak mengejutkan. Jika aksesnya terlalu mudah, barulah ada yang perlu dikhawatirkan. Segala sesuatu di hotel ini selalu dalam kendali ketat, kecuali nyawa tiga orang yang entah bagaimana berhasil meluncur keluar dari daftar tamu tanpa peringatan.Aku mengetuk dua kali dengan nggak sabar. Aku melirik Zeke yang berdiri di sampingku. Dia hanya mengangkat bahu kecil, nggak terlihat khawatir sedikit pun. Kami menunggu. Butuh waktu beberapa detik sebelum suara langkah mendekat dari sisi lain. Pintu terbuka, dan Stefan Petrov berdiri di ambang pintu,“Detektif,” katanya dengan suara berat sambil menatap kami dengan waspada. Ada sedikit ketegangan di rahangnya, seolah kedatangan kami pagi-pagi begini adalah pertanda buruk baginya. "Ada yang bisa saya bantu?"Aku menyandarkan bahu ke kusen pintu, sekilas melirik ruangan di belakangnya yang dipenuhi monitor. Di dalam, layar-layar menampilkan citra statis, cahaya biru
Jumat, 22 Maret 2024/07:27 PagiSerangkaian ketukan lembut terdengar di pintu kamar eksklusif. Dengan troli layanan kamar yang disusun sempurna di sisinya, Daniel Richards berdiri di luar pintu dengan senyum yang terlatih. Tangannya masih terangkat ketika pintu terbuka—memperlihatkan Detektif Otero yang berdiri dengan mata lelah dan rahang mengeras.Dari balik bahu si detektif, Alphonse berdiri di dekat jendela. Pandangannya mengembara ke luar. Entah menikmati pagi atau tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tatapan mata Daniel kembali pada Detektif Otero."Selamat pagi," sapa Daniel dengan profesional dan ramah. "Sarapan Anda berdua telah siap.""Masuk," gumam Detektif Otero.Dia menguap kecil sebelum menyingkir dari pintu, memberi jalan bagi Daniel untuk mendorong troli ke dalam. Roda troli berdecit lembut di atas karpet. Aroma kopi segar dan roti panggang memenuhi ruangan saat Daniel mulai menyusun makanan di meja kecil di sudut ruangan."Kita mulai dengan pesanan Detektif Otero," kat
Kamis, 21 Maret 2024/09:37 MalamNARASI MARILYNAku tahu seseorang mengawasiku.Aku nggak bisa menjelaskan gimana, tapi perasaan itu ada sejak beberapa minggu terakhir. Seperti bayangan yang selalu mengikuti, atau sepasang mata yang nggak terlihat, mengintai dari sudut-sudut gelap. Aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa itu hanya paranoia yang muncul akibat situasi yang semakin nggak terkendali.Tapi malam ini... malam ini berbeda. Kegelisahan itu mencekik, memenuhi setiap inci udara di dalam kamar hotelku yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Dinding-dinding yang biasanya memberi rasa aman kini terasa menekan dari segala arah. Setiap bayangan yang tercipta dari cahaya lampu terlihat membentuk siluet yang nggak seharusnya ada.Tanganku mengepal tanpa kusadari. Jemariku terasa dingin. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa ini semua hanya ada di kepalaku. Bahwa aku hanya kelelahan. Tapi suara samar dari luar pintu, desir langkah dan ketukan di pintu yang nyaris nggak terde
Fajar merekah di langit Jumat, 22 Maret, melukis Royal Mirage Palace dengan semburat emas yang memantul di jendela-jendela tinggi dan pilar-pilar megahnya. Cahaya pagi menari di permukaan air mancur taman, menciptakan kilauan seperti permata. Namun, di dalam hotel, kedamaian itu telah terkoyak. Desas-desus panik berputar cepat, menyusup ke lorong-lorong seperti bisikan badai yang tidak terhindarkan.Berita buruk menyebar cepat, merembes ke setiap sudut hotel. Para tamu yang terbangun lebih awal berbisik di lorong-lorong, masih mengenakan night robe mewah, ponsel menempel di telinga. Biasanya sunyi, koridor kini dipenuhi gumaman gelisah dan langkah tergesa-gesa."Kau sudah dengar?" suara serak seorang pria terdengar lirih di antara percakapan yang bergemuruh."Katanya polisi ada di salah satu suite," jawab seorang wanita dengan nada berbisik, matanya sesekali melirik ke arah koridor yang semakin ramai.Di lantai bawah, lobi hotel yang biasanya memancarkan keanggunan kini terasa sesak o
Ketukan tiga kali, tegas namun tidak terburu-buru.Alphonse menghela napas sebelum membuka pintu. Daniel Richards berdiri di ambang, ekspresinya netral, tapi matanya memindai ruangan sekilas sebelum kembali menatapnya."Bagaimana kondisi kalian?" tanyanya, suaranya terdengar terlalu ringan untuk pertanyaan yang begitu spesifik.Alphonse mengangkat dagu sedikit, menyisakan jeda sejenak sebelum menjawab. "Masuk dulu."Daniel melangkah masuk, melewati Alphonse yang menutup pintu dengan tenang, tapi memastikan kunci berputar sepenuhnya sebelum melepaskannya. Detektif Otero masih duduk di sofanya, satu kaki disilangkan di atas yang lain. Tatapannya naik sedikit saat Daniel mendekat."Kalian baik-baik saja?" ulang Daniel, lebih pelan, seakan benar-benar ingin mendengar jawabannya kali ini."Kami masih di sini. Tidak semua orang seberuntung itu." Alphonse berbalik, nada suaranya datar tapi mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan.Daniel tersenyum kecil, seperti menghargai jawaban itu. "Saya
Jumat, 22 Maret 2024/05:18 PagiAlphonse bangkit dari duduknya dan berjalan menuju jendela. Tangannya terselip di saku celana, matanya menatap lurus ke jalanan di bawah, tapi pikirannya bergerak liar, merangkai kemungkinan demi kemungkinan.“Apakah nama Rhaetozia mengingatkanmu pada sesuatu?” tanya Alphonse dengan suara rendah namun tajam.Detektif Otero mengerutkan kening. Sekilas keterkejutan melintas di wajahnya sebelum dia bersandar ke kursinya. "Media terus memberitakan apa yang terjadi di sana," ujarnya, nadanya setengah hati. Lalu, setelah jeda singkat, dia menambahkan dengan curiga. "Jangan bilang kau menghubungkan kasus ini dengan keadaan politik di sana?"Alphonse tidak langsung menjawab. Matanya tetap kosong, pikirannya berada di tempat lain. "Tentu tidak," katanya akhirnya.Tapi Detektif Otero tidak melewatkan bayangan halus yang melintas di wajah rekannya. Sebuah kilasan singkat yang cukup untuk menyalakan kecurigaannya. Dia tahu Alphonse terlalu cerdas untuk mengajukan p