แชร์

Liontin yang Hilang

ผู้เขียน: eyes0cream
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-14 23:18:56

16 menit sebelumnya

Dingin. Bukan hanya dari pendingin ruangan yang terus berembus, tapi juga dari sesuatu yang lebih halus, lebih menusuk. Kamar tempat korban ketiga ditemukan masih dipenuhi aroma khas bahan kimia forensik dan sisa-sisa kematian yang menempel di udara. Cahaya lampu putih dingin menusuk setiap sudut kamar, mengukir bayangan tajam di dinding.

Dr. Clara Donovan berdiri dengan tangan bersedekap di samping tempat tidur, matanya fokus pada seprai yang terlihat sedikit berantakan. Di sebelahnya, seorang petugas forensik, Langston, sedang membungkuk. Dia mencermati sesuatu dengan senter UV.

“Aku menemukan sesuatu yang aneh,” gumam Langston sambil menyipitkan mata. Tangannya yang bersarung lateks mencubit untaian serat halus dari kain seprai dengan pinset. Dia mengangkatnya ke arah cahaya, membiarkan serat itu berkilau samar di bawah lampu. “Warnanya sedikit lebih kusam, dan teksturnya terasa lebih kasar, seperti bahan sintetis.”

Dr. Clara meraih pinset dari kotak peralatan forensiknya dan mengambil serat itu dari Langston. Dia memiringkan kepala sedikit. “Jelas bukan linen standar hotel,” ujarnya sambil memasukkan temuan itu ke dalam kantong bukti. “Jika berasal dari pakaian seseorang, ini bukan jenis kain yang umum digunakan sehari-hari.”

Langston mengangguk setuju. “Mungkin sesuatu yang berhubungan dengan industri misalnya?”

Dr. Clara belum sempat menjawab ketika suara bip halus dari perangkat analisis portabel di meja samping tempat tidur menarik perhatiannya. Petugas forensik lain, Miriam, sedang melihat layar kecil alat itu dengan ekspresi bingung.

“Ada jejak residu aneh di permukaan meja ini,” kata Miriam. “Bukan sesuatu yang biasa ditemukan di kamar hotel. Analisis awal menunjukkan adanya senyawa yang sering digunakan dalam lingkungan industri, tapi aku belum bisa memastikan jenisnya.”

Dr. Clara dan Langston bertukar pandang dengan serius ketika mendengar kata “industri” muncul. Dia segera berjalan mendekat dan memeriksa hasil sementara yang ditampilkan di layar.

“Coba cek di pakaian korban,” perintahnya.

Miriam dan Langston langsung bergegas. Beberapa menit kemudian, mereka menemukan sesuatu yang semakin menguatkan dugaan mereka.

“Residunya juga ada di celana korban,” kata Langston, suaranya sedikit lebih tegang. “Tipis, nyaris tidak terlihat… tapi cukup untuk memastikan adanya kontak langsung.”

Dr. Clara merasakan ketegangan bertambah di dalam ruangan. Sesuatu mulai terbentuk di pikirannya, sebuah pola yang belum sepenuhnya jelas. Dan saat dia berusaha menyusun kepingan-kepingan ini, sebuah suara lain memecah konsentrasinya.

“Dr. Donovan!” Salah satu petugas forensik berseru dari sisi lain kamar. “Aku menemukan sesuatu.” Dengan hati-hati, dia segera menghampiri Dr. Clara dan menunjukkan sebuah liontin perak kecil dengan inisial M.C. terukir di permukaannya.

Mata Dr. Clara membesar. Tangannya buru-buru meraih alat komunikasi kecil yang terhubung dengan tim forensik di dua kamar lainnya. 

“Clara di sini,” katanya cepat. “Aku butuh konfirmasi—Kamar 207, kau tadi mengatakan jika senjata pembunuhannya adalah liontin, benar?”

Hening sejenak sebelum suara dari sisi lain menyahut. “Ya. Detektif yang datang bersama Detektif Otero mengatakan jika benda itu tidak akan mungkin berada di sini.”

Liontin kecil itu terasa dingin di tangannya. Senyuman tipis muncul di wajah Dr. Clara saat dia berkata, “Karena benda itu ada di sini.”

Keheningan di saluran komunikasi terasa berat sebelum suara dari kamar 207 kembali terdengar, kali ini lebih waspada. “Kau yakin itu liontin yang sama?”

Dr. Clara menatap liontin kecil di tangannya—logamnya sedikit ternoda, rantainya terputus di salah satu ujung, dan inisial M.C. terukir samar di permukaannya.

“Bentuknya cocok dengan deskripsi yang kalian berikan,” katanya sambil mengangkatnya ke bawah cahaya.  Dia lalu menoleh ke arah Langston dan Miriam. “Siapkan perbandingan sidik jari dan residu darah jika ada.”

Dr. Clara kembali berbicara menggunakan alat komunikasinya, “Aku akan segera menganalisisnya. Kita bicara lagi nanti.” Dia lalu menoleh ke salah satu petugas polisi yang berjaga di pintu dan berkata, “Laporkan temuan ini ke Detektif Otero. Sekarang.”

Petugas itu langsung mengangguk dan bergegas keluar dari kamar.

Kamis, 21 Maret 2024/11:33 Malam

Detektif Otero merasakan jantungnya berdetak kencang, dadanya terasa berat seolah tertindih beban yang tidak terlihat. “Apa yang mereka temukan?” pikirnya di balik bayang-bayang yang berkecamuk.

Dipimpin oleh langkah-langkah cepat dan mantapnya, mereka bertiga bergerak menuju kamar korban selanjutnya di lantai lima. Suara kaki mereka berdesis lembut di atas karpet tebal di sepanjang koridor yang mereka lewati. Tidak jauh berbeda dari kondisi mental Detektif Otero, di setiap langkahnya, pikiran Alphonse berputar liar. Berbagai kemungkinan terbesit di dalam benaknya, kemungkinan-kemungkinan yang menanti di balik pintu kamar yang mereka tuju.

“Aku harap ini berita bagus,” kata Detektif Otero begitu mereka tiba di depan pintu Kamar 509 yang terbuka. Nada suaranya yang penuh harapan sekaligus ketegangan memecah kesunyian para petugas forensik yang sedang bekerja.

Dr. Clara menoleh ke arah sumber suara, lalu dengan isyarat cepat meminta liontin yang ditemukan sebelumnya. Saat benda kecil itu berpindah ke tangannya, dia mengangkatnya ke bawah cahaya, membiarkan kilaunya yang redup berbicara lebih dulu. "Kita mungkin baru saja menemukan senjata pembunuhan Marilyn Cass," katanya tenang.

Detektif Otero menegang seketika, matanya membelalak saat melihat liontin di dalam kantong bukti. Sementara itu, Alphonse tetap diam. Tatapannya tidak menunjukkan keterkejutan—seakan ini hanya sekadar kepastian dari sesuatu yang telah dia perhitungkan.

Dr. Clara menyerahkan kantong bukti berisi liontin itu pada Detektif Otero, lalu dia berkata, "Tergeletak di sebelah sana." Dia memberi isyarat ke arah tempat ditemukannya liontin tersebut.

Detektif Otero mengangguk pelan, lalu menoleh ke Alphonse. "Inikah liontin yang kau maksud?"

Alphonse menatap liontin itu, dan seketika—ingatan tentang pertemuannya dengan Marilyn kembali. Alphonse berkedip, kembali ke realitas. Tatapannya bertemu dengan tatapan Detektif Otero, lalu ke liontin itu lagi.

"Ya," katanya akhirnya, suaranya lebih dalam dari biasanya. "Itu miliknya."

Dr. Clara memberi isyarat ke salah satu petugas forensik, yang segera menyerahkan tablet kepadanya. Dia mengetuk beberapa kali sebelum menoleh ke mereka. "Kami menemukan residu darah yang sangat tipis di bagian tepinya. Belum cukup untuk analisis DNA, tapi mengingat liontin ini ditemukan di dekat korban ketiga—dan konfirmasi Anda…” Dr. Clara menoleh ke arah Alphonse sejenak, lalu melanjutkan, "...kemungkinan besar ini yang kita cari."

“Bagaimana dengan analisis sidik jarinya?” tanya Alphonse dengan nada tenang, tapi matanya tajam menatap layar tablet yang dipegang Dr. Clara.

Dr. Clara menggeser layar, membaca hasilnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Lalu, dia menghela napas. “Kami sedang mencocokkannya. Tapi sejauh ini, ada satu sidik jari yang paling jelas.”

“Itu kabar baik, kan?” Otero menyipitkan mata. “Kalau itu milik Marilyn—”

Dr. Clara mengangguk pelan, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya untuk menatap mereka berdua. “Masalahnya…” dia berhenti sejenak, seakan memilih kata dengan hati-hati. “…sidik jari itu bukan milik Marilyn Cass.”

Keheningan menyergap ruangan. Lalu, perlahan, Dr. Clara menoleh ke arah kantong mayat yang terbaring diam. Tatapannya lalu kembali ke Detektif Otero dan Alphonse sebelum akhirnya mengucapkan, “Itu milik Sansa Strand.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Intravenous Injection

    Lima tahun yang laluNARASI ALPHONSE"Intravenous injection," kata mère, suaranya selembut beludru yang membungkus mata pisau. "Metode yang paling efisien untuk mengantarkan zat langsung ke dalam aliran darah. Cepat, presisi, tanpa hambatan."Udara di dalam ruangan ini lebih dingin daripada tempat-tempat lain di Wisteria Manor. Nggak ada wangi lavender atau teh chamomile seperti di ruang duduk, hanya bau antiseptik yang bersih—terlalu bersih, seperti sepotong logam yang baru diasah.Mère—atau yang biasa dipanggil orang ‘Lady Viscaria’, duduk dengan anggun di kursi tinggi, dia mengenakan gaun biru pucat yang lembut berkilau di bawah lampu putih. Cahaya itu nggak cukup terang untuk membuat silau, tapi cukup kejam untuk memperlihatkan semua yang ada di ruangan tanpa belas kasihan—termasuk set alat kedokteran di atas meja logam di antara kami.Diangkatnya jarum itu sedikit dan diputarnya perlahan, sehingga refleksi cahaya menari di permukaannya. "Namun, tidak semua orang memiliki tangan y

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-15
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Kesan Pertama Alphonse

    “Aku tidak menyangka akan mendengar kata ‘metodis’ berulang kali malam ini,” keluh Detektif Otero sambil menekan pangkal hidungnya. “Kau pikir pelakunya orang yang sama?” tanyanya pada Alphonse.Detektif konsultan itu tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang berpikir untuk sesaat sebelum akhirnya buka suara. “Kesimpulan yang terburu-buru hanya akan menyesatkan kita…” Tatapannya jatuh pada tubuh kaku Sansa Strand. Dia menggeleng pelan sebelum menambahkan, “meskipun kelihatannya asumsi itu terdengar begitu meyakinkan.”Dr. Clara mengetuk jarinya di layar tablet, matanya bergerak cepat membaca laporan yang tersaji. “Kami bisa melakukan tes tambahan untuk memastikan komposisi zat yang digunakan untuk melumpuhkan korban,” katanya pada akhirnya.Detektif Otero mengangguk kecil. "Ya, lakukan itu." Dia menghela napas pelan, lalu beralih ke Alphonse. “Tidak peduli sebersih apa metode pembunuhan ini, pelaku pasti ada di suatu tempat.”Alphonse meliriknya. “Dan hotel ini punya mata di setiap

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-16
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Interogasi di Ruang Kendali

    Jumat, 22 Maret 2024/00:17 MalamStefan menegang. Tatapannya terpaku pada layar, ekspresi wajahnya sulit diartikan. Perlahan, ia mundur sedikit dari monitor, seolah ingin menjaga jarak dari apa yang baru saja dilihatnya. “Dia seharusnya sudah mati,” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Detektif Otero menoleh cepat. “Apa maksudmu?” Nada suaranya tidak lagi santai.Alphonse tidak langsung bicara. Matanya masih tertuju pada rekaman itu, menganalisis setiap detail. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang belum dia pahami sepenuhnya.Seorang tamu VIP yang terlihat di layar monitor itu mengenakan setelan tiga potong berwarna gelap yang terlihat mewah. Sebuah tongkat bantu jalan dengan gagang perak berkilau tergenggam di tangan kanannya—bukan karena dia membutuhkannya untuk berjalan, tetapi lebih seperti aksesori elegan dari era yang telah lama berlalu. Ujung tongkat itu menyentuh lantai dengan gerakan halus, hampir seperti ketukan kecil yang disengaja.Sebagian wajahnya tersemb

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-21
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Mata yang Merekam

    Stefan membuka pintu menuju ruang arsip di sudut ruangan. Cahaya di dalamnya redup, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di langit-langit, menciptakan bayangan samar di antara rak-rak tinggi yang berisi ratusan dokumen tersusun rapi. Rak-rak logam berlapis perunggu berbaris rapi di sepanjang ruangan. Masing-masing dipenuhi map berlabel tahun dan bulan. Beberapa dokumen bertumpuk di meja, menandakan tempat itu masih sering digunakan.Detektif Otero memasukkan buku catatannya ke dalam saku dan melirik Alphonse. “Kau ikut masuk?” tanyanya.Alphonse mengangguk tanpa menjawab. Langkah mereka bergema pelan di atas lantai marmer mengilap saat mereka menyusul Stefan, yang sudah berdiri di depan salah satu rak, jemarinya dengan cekatan menelusuri label di punggung map.“Kami masih menyimpan daftar tamu dalam bentuk fisik sebagai arsip,” ujar Stefan, matanya tetap tertuju pada dokumen yang sedang ia cari. “Kadang tamu lama kembali menginap setelah beberapa tahun, dan beberapa permintaan kh

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-21
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Kabar Buruk

    Kamis, 21 Maret 2024/10:21 Malam"Kalau ini cuma kasus receh, berikan saja pada mereka yang masih percaya dunia ini adil," ujar seorang pemuda yang bersandar di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada. Suaranya datar, nyaris malas—seolah kebodohan yang sama selalu mengetuk pintunya setiap hari.Di hadapannya berdiri seorang pria dengan tinggi rata-rata, sekitar 176 cm, dan bertubuh kokoh dengan postur yang tegap. Pria bersetelan rapi yang pas di tubuhnya itu mengenakan mantel panjang menjuntai di atas sepatunya yang dipoles.Dia mendengus mendengar komentar pemuda itu. Wajahnya mengeras sebelum akhirnya berkata, “Sekali saja, bisakah kau menjawab tanpa terdengar seperti orang putus asa?" Suara itu terdengar lebih tegas, lebih lugas—kontras dengan nada malas yang baru saja didengarnya.Pemuda itu menyeringai tipis, lalu tanpa banyak kata, dia mendorong pintu lebih lebar dan melangkah ke samping. "Masuk saja. Aku tahu kau nggak akan pergi sebelum dapat yang kau mau."Detektif Otero

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-07-01
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Topeng Kematian

    Lorong hotel terasa lebih sunyi dari seharusnya. Hanya langkah Detektif Otero dan Alphonse yang menggema saat mereka mendekati kamar 207—tempat Marilyn Cass ditemukan tidak bernyawa. Tanpa banyak bicara, Detektif Otero mengeluarkan lencananya dan menunjukkannya pada dua petugas polisi yang berjaga di luar kamar. Salah satu petugas mengangguk, mengangkat sedikit garis polisi yang membentang di ambang pintu, lalu membiarkan mereka masuk.“Seperti yang kau lihat. Situasinya seperti ini,” ujar Detektif Otero, suaranya terbungkus dalam ketenangan.Bau khas bahan kimia dan kematian menyambut mereka begitu melewati ambang pintu. Kilatan lampu kamera forensik membelah kegelapan ruangan, menciptakan bayangan-bayangan tajam di dinding berwarna krem. Para petugas bergerak dalam keheningan profesional, mengumpulkan bukti tanpa membiarkan emosi mengintervensi. Di samping tempat tidur, sebuah kantong mayat berwarna hitam tergeletak dengan ritsleting yang tertutup rapat.“Ada perkembangan?” tanya De

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-07-02
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Senjata Pembunuhan

    Dua bulan yang laluNARASI ALPHONSEHal pertama yang kupikirkan saat wanita itu memasuki kantorku?Aku lebih baik tidur siang.Hujan turun dengan malas di luar, menambah kesan muram pada ruangan yang sudah cukup berantakan—tumpukan dokumen berserakan di meja dan lantai. Aku bisa saja pura-pura nggak mendengar ketukan di pintu, tapi sayangnya, tamu tak diundang ini nggak cukup tahu diri untuk pergi begitu saja.Wanita itu berhenti di ambang pintu, ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling ruangan—langit-langit yang mengelupas, meja berantakan, kursi yang tampak lebih cocok untuk rumah duka daripada kantor detektif swasta. Rahangnya mengatup. Lalu, dengan gerakan sedikit kaku, dia menggeser kursi tanpa benar-benar meminta izin. Dia duduk dengan tangan mencengkeram liontinnya sesaat tanpa sadar.Aku sudah bisa menebak tipe orang seperti ini: bahu menegang, jemari mencengkeram tali tas seolah-olah itu satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Ah, klien yang

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-07-03
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Luka Tembak

    Ketika Alphonse dan Detektif Otero melangkah keluar kamar 207, langkah kaki nyaris tidak terdengar terhenti di ujung koridor. Sekilas, Alphonse menangkap bayangan samar yang lenyap di balik tikungan. Udara terasa lebih berat, seolah ada mata tak terlihat yang mengintai dari kegelapan.Tanpa ragu, Alphonse bergegas mengejar. Namun, saat tiba di tikungan, hanya kesunyian yang menyambutnya—sampai suara pintu di kejauhan tertutup pelan. Terlalu pelan. Terlalu disengaja.Detektif Otero menyusul, napasnya sedikit tersengal. “Ada apa?”Alphonse tetap memandang lurus ke deretan pintu hotel yang tertutup rapat. Rahangnya mengencang. “Kau nggak melihatnya?” bisiknya tajam.Detektif Otero mengernyit dan menyapu pandangannya ke koridor yang sunyi. "Melihat apa?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya.Alphonse tidak segera menjawab. Dia melangkah perlahan ke depan, telinganya menangkap setiap suara sekecil apa pun. Koridor terasa terlalu tenang, terlalu bersih—seolah seseorang baru saja me

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-07-04

บทล่าสุด

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Mata yang Merekam

    Stefan membuka pintu menuju ruang arsip di sudut ruangan. Cahaya di dalamnya redup, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di langit-langit, menciptakan bayangan samar di antara rak-rak tinggi yang berisi ratusan dokumen tersusun rapi. Rak-rak logam berlapis perunggu berbaris rapi di sepanjang ruangan. Masing-masing dipenuhi map berlabel tahun dan bulan. Beberapa dokumen bertumpuk di meja, menandakan tempat itu masih sering digunakan.Detektif Otero memasukkan buku catatannya ke dalam saku dan melirik Alphonse. “Kau ikut masuk?” tanyanya.Alphonse mengangguk tanpa menjawab. Langkah mereka bergema pelan di atas lantai marmer mengilap saat mereka menyusul Stefan, yang sudah berdiri di depan salah satu rak, jemarinya dengan cekatan menelusuri label di punggung map.“Kami masih menyimpan daftar tamu dalam bentuk fisik sebagai arsip,” ujar Stefan, matanya tetap tertuju pada dokumen yang sedang ia cari. “Kadang tamu lama kembali menginap setelah beberapa tahun, dan beberapa permintaan kh

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Interogasi di Ruang Kendali

    Jumat, 22 Maret 2024/00:17 MalamStefan menegang. Tatapannya terpaku pada layar, ekspresi wajahnya sulit diartikan. Perlahan, ia mundur sedikit dari monitor, seolah ingin menjaga jarak dari apa yang baru saja dilihatnya. “Dia seharusnya sudah mati,” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Detektif Otero menoleh cepat. “Apa maksudmu?” Nada suaranya tidak lagi santai.Alphonse tidak langsung bicara. Matanya masih tertuju pada rekaman itu, menganalisis setiap detail. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang belum dia pahami sepenuhnya.Seorang tamu VIP yang terlihat di layar monitor itu mengenakan setelan tiga potong berwarna gelap yang terlihat mewah. Sebuah tongkat bantu jalan dengan gagang perak berkilau tergenggam di tangan kanannya—bukan karena dia membutuhkannya untuk berjalan, tetapi lebih seperti aksesori elegan dari era yang telah lama berlalu. Ujung tongkat itu menyentuh lantai dengan gerakan halus, hampir seperti ketukan kecil yang disengaja.Sebagian wajahnya tersemb

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Kesan Pertama Alphonse

    “Aku tidak menyangka akan mendengar kata ‘metodis’ berulang kali malam ini,” keluh Detektif Otero sambil menekan pangkal hidungnya. “Kau pikir pelakunya orang yang sama?” tanyanya pada Alphonse.Detektif konsultan itu tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang berpikir untuk sesaat sebelum akhirnya buka suara. “Kesimpulan yang terburu-buru hanya akan menyesatkan kita…” Tatapannya jatuh pada tubuh kaku Sansa Strand. Dia menggeleng pelan sebelum menambahkan, “meskipun kelihatannya asumsi itu terdengar begitu meyakinkan.”Dr. Clara mengetuk jarinya di layar tablet, matanya bergerak cepat membaca laporan yang tersaji. “Kami bisa melakukan tes tambahan untuk memastikan komposisi zat yang digunakan untuk melumpuhkan korban,” katanya pada akhirnya.Detektif Otero mengangguk kecil. "Ya, lakukan itu." Dia menghela napas pelan, lalu beralih ke Alphonse. “Tidak peduli sebersih apa metode pembunuhan ini, pelaku pasti ada di suatu tempat.”Alphonse meliriknya. “Dan hotel ini punya mata di setiap

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Intravenous Injection

    Lima tahun yang laluNARASI ALPHONSE"Intravenous injection," kata mère, suaranya selembut beludru yang membungkus mata pisau. "Metode yang paling efisien untuk mengantarkan zat langsung ke dalam aliran darah. Cepat, presisi, tanpa hambatan."Udara di dalam ruangan ini lebih dingin daripada tempat-tempat lain di Wisteria Manor. Nggak ada wangi lavender atau teh chamomile seperti di ruang duduk, hanya bau antiseptik yang bersih—terlalu bersih, seperti sepotong logam yang baru diasah.Mère—atau yang biasa dipanggil orang ‘Lady Viscaria’, duduk dengan anggun di kursi tinggi, dia mengenakan gaun biru pucat yang lembut berkilau di bawah lampu putih. Cahaya itu nggak cukup terang untuk membuat silau, tapi cukup kejam untuk memperlihatkan semua yang ada di ruangan tanpa belas kasihan—termasuk set alat kedokteran di atas meja logam di antara kami.Diangkatnya jarum itu sedikit dan diputarnya perlahan, sehingga refleksi cahaya menari di permukaannya. "Namun, tidak semua orang memiliki tangan y

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Liontin yang Hilang

    16 menit sebelumnyaDingin. Bukan hanya dari pendingin ruangan yang terus berembus, tapi juga dari sesuatu yang lebih halus, lebih menusuk. Kamar tempat korban ketiga ditemukan masih dipenuhi aroma khas bahan kimia forensik dan sisa-sisa kematian yang menempel di udara. Cahaya lampu putih dingin menusuk setiap sudut kamar, mengukir bayangan tajam di dinding.Dr. Clara Donovan berdiri dengan tangan bersedekap di samping tempat tidur, matanya fokus pada seprai yang terlihat sedikit berantakan. Di sebelahnya, seorang petugas forensik, Langston, sedang membungkuk. Dia mencermati sesuatu dengan senter UV.“Aku menemukan sesuatu yang aneh,” gumam Langston sambil menyipitkan mata. Tangannya yang bersarung lateks mencubit untaian serat halus dari kain seprai dengan pinset. Dia mengangkatnya ke arah cahaya, membiarkan serat itu berkilau samar di bawah lampu. “Warnanya sedikit lebih kusam, dan teksturnya terasa lebih kasar, seperti bahan sintetis.”Dr. Clara meraih pinset dari kotak peralatan f

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Pertunjukan Graphology Alphonse

    Keheningan menyelimuti ruangan sesaat setelah Alphonse mengucapkan kata-katanya. Detektif Otero menatapnya dengan tajam, lalu beralih ke kertas yang dipegangnya. “Kau tahu siapa yang menulis ini?”Alphonse meraih sepasang sarung tangan baru dari sakunya, lalu mengambil kertas itu dengan hati-hati. Matanya menyapu baris tulisan yang terburu-buru namun tetap terkendali. Dia menghela napas pelan. “Aku tahu tipe orangnya.”Petugas forensik itu bersedekap, masih tampak belum sepenuhnya yakin. “Jadi Anda bisa menggambarkan seseorang hanya dari caranya menulis?”Alphonse meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. “Tidak. Bukan menggambarkan, tapi saya bisa mempersempit kemungkinan.” Dia membalikkan kertas itu, seolah mencari sesuatu di baliknya. “Dan dalam kasus ini, saya cukup yakin penulisnya adalah seorang wanita paruh baya yang terbiasa berada di posisi otoritas, tapi sedang kehilangan kendali.”Detektif Otero menatapnya dalam diam, lalu berkata pelan, “Jelaskan semuanya padaku.”Alphonse

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Luka Tembak

    Ketika Alphonse dan Detektif Otero melangkah keluar kamar 207, langkah kaki nyaris tidak terdengar terhenti di ujung koridor. Sekilas, Alphonse menangkap bayangan samar yang lenyap di balik tikungan. Udara terasa lebih berat, seolah ada mata tak terlihat yang mengintai dari kegelapan.Tanpa ragu, Alphonse bergegas mengejar. Namun, saat tiba di tikungan, hanya kesunyian yang menyambutnya—sampai suara pintu di kejauhan tertutup pelan. Terlalu pelan. Terlalu disengaja.Detektif Otero menyusul, napasnya sedikit tersengal. “Ada apa?”Alphonse tetap memandang lurus ke deretan pintu hotel yang tertutup rapat. Rahangnya mengencang. “Kau nggak melihatnya?” bisiknya tajam.Detektif Otero mengernyit dan menyapu pandangannya ke koridor yang sunyi. "Melihat apa?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya.Alphonse tidak segera menjawab. Dia melangkah perlahan ke depan, telinganya menangkap setiap suara sekecil apa pun. Koridor terasa terlalu tenang, terlalu bersih—seolah seseorang baru saja me

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Senjata Pembunuhan

    Dua bulan yang laluNARASI ALPHONSEHal pertama yang kupikirkan saat wanita itu memasuki kantorku?Aku lebih baik tidur siang.Hujan turun dengan malas di luar, menambah kesan muram pada ruangan yang sudah cukup berantakan—tumpukan dokumen berserakan di meja dan lantai. Aku bisa saja pura-pura nggak mendengar ketukan di pintu, tapi sayangnya, tamu tak diundang ini nggak cukup tahu diri untuk pergi begitu saja.Wanita itu berhenti di ambang pintu, ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling ruangan—langit-langit yang mengelupas, meja berantakan, kursi yang tampak lebih cocok untuk rumah duka daripada kantor detektif swasta. Rahangnya mengatup. Lalu, dengan gerakan sedikit kaku, dia menggeser kursi tanpa benar-benar meminta izin. Dia duduk dengan tangan mencengkeram liontinnya sesaat tanpa sadar.Aku sudah bisa menebak tipe orang seperti ini: bahu menegang, jemari mencengkeram tali tas seolah-olah itu satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Ah, klien yang

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Topeng Kematian

    Lorong hotel terasa lebih sunyi dari seharusnya. Hanya langkah Detektif Otero dan Alphonse yang menggema saat mereka mendekati kamar 207—tempat Marilyn Cass ditemukan tidak bernyawa. Tanpa banyak bicara, Detektif Otero mengeluarkan lencananya dan menunjukkannya pada dua petugas polisi yang berjaga di luar kamar. Salah satu petugas mengangguk, mengangkat sedikit garis polisi yang membentang di ambang pintu, lalu membiarkan mereka masuk.“Seperti yang kau lihat. Situasinya seperti ini,” ujar Detektif Otero, suaranya terbungkus dalam ketenangan.Bau khas bahan kimia dan kematian menyambut mereka begitu melewati ambang pintu. Kilatan lampu kamera forensik membelah kegelapan ruangan, menciptakan bayangan-bayangan tajam di dinding berwarna krem. Para petugas bergerak dalam keheningan profesional, mengumpulkan bukti tanpa membiarkan emosi mengintervensi. Di samping tempat tidur, sebuah kantong mayat berwarna hitam tergeletak dengan ritsleting yang tertutup rapat.“Ada perkembangan?” tanya De

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status