Ketika Alphonse dan Detektif Otero melangkah keluar kamar 207, langkah kaki nyaris tidak terdengar terhenti di ujung koridor. Sekilas, Alphonse menangkap bayangan samar yang lenyap di balik tikungan. Udara terasa lebih berat, seolah ada mata tak terlihat yang mengintai dari kegelapan.
Tanpa ragu, Alphonse bergegas mengejar. Namun, saat tiba di tikungan, hanya kesunyian yang menyambutnya—sampai suara pintu di kejauhan tertutup pelan. Terlalu pelan. Terlalu disengaja.
Detektif Otero menyusul, napasnya sedikit tersengal. “Ada apa?”
Alphonse tetap memandang lurus ke deretan pintu hotel yang tertutup rapat. Rahangnya mengencang. “Kau nggak melihatnya?” bisiknya tajam.
Detektif Otero mengernyit dan menyapu pandangannya ke koridor yang sunyi. "Melihat apa?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya.
Alphonse tidak segera menjawab. Dia melangkah perlahan ke depan, telinganya menangkap setiap suara sekecil apa pun. Koridor terasa terlalu tenang, terlalu bersih—seolah seseorang baru saja menghapus jejak keberadaannya.
Dia mendekati pintu yang menurutnya baru saja tertutup. Tangannya terangkat, ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menyentuh gagang pintu.
“Kita tidak bisa asal masuk," tegas Detektif Otero sambil mencengkram lengan Alphonse. “Ayo, kita masih memiliki dua korban lagi.”
Alphonse meliriknya sekilas, lalu kembali menatap pintu. Dia tetap menempelkan telapak tangannya ke gagang pintu, merasakan sisa-sisa kehangatan di sana. Pintu ini baru saja digunakan. Dan orang di dalam... mungkin masih berdiri tepat di baliknya.
“Aku mengerti," gumam Alphonse. Dia berbalik dan berjalan menuju lift.
Kamar korban berikutnya ada di lantai empat. Lift berbunyi pelan saat tiba, pintunya terbuka memperlihatkan koridor yang lebih luas dan temaram. Bayangan lampu gantung memanjang di lantai marmer, menciptakan siluet yang bergerak seiring langkah mereka. Namun, bahkan setelah berpindah tempat, Alphonse tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa sepasang mata masih mengawasi dari kegelapan.
Di dalam kamar 412, para petugas forensik masih bekerja. Bau larutan antiseptik bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Lampu kamera sesekali berkedip saat mereka mendokumentasikan tubuh korban yang bersandar pada dinding. Noda darah yang gelap mengering di sekitar kepala dan lehernya, sementara sebuah pistol tergeletak di tangan kiri yang terkulai.
Detektif Otero melangkah lebih dekat, matanya menyapu ruangan sebelum berhenti pada salah satu petugas. “Apa yang kita punya?”
Seorang petugas forensik menoleh. “Korban bernama Brandon Hoffman, 42 tahun. Luka tembak di kepala, sudut tembakan mengarah ke atas. Sekilas tampak seperti bunuh diri, tapi…” Dia melirik pistol di tangan korban sebelum melanjutkan, “…ada beberapa kejanggalan.”
“Tolong beri kami ruang,” pinta Detektif Otero dengan tegas, mengisyaratkan para petugas forensik untuk mundur.
Alphonse mengeluarkan sarung tangan silikon baru dari saku mantelnya, jari-jarinya bergerak cekatan saat mengenakannya. Saat dia berlutut di samping tubuh korban, aroma darah yang mulai mengering bercampur dengan bau antiseptik memenuhi hidungnya.
Detektif Otero menyilangkan tangan di dada. “Kejanggalan apa yang kau maksud?”
Petugas forensik mengalihkan pandangan ke pistol di tangan korban. “Posisi senjata ini tidak alami. Jari-jari korban tidak cukup menekan pelatuk untuk menimbulkan luka fatal, yang berarti kemungkinan besar senjata ditempatkan di tangannya setelah kematian.”
Alphonse memperhatikan sudut luka tembak dengan teliti. “Sudut masuknya memang terlalu curam untuk kasus bunuh diri. Jika dia menembak dirinya sendiri, posisi pistol seharusnya lebih rendah dan sedikit condong.”
“Tepat.” Petugas forensik mengangguk. “Dan yang lebih mencurigakan, tidak ada residu mesiu di tangan korban.”
“Bagaimana menurutmu?” tanya Detektif Otero pada Alphonse.
Alphonse meneliti luka tembak dengan saksama. “Saat senjata api ditembakkan, bukan hanya peluru yang melesat, tapi juga gas berkecepatan tinggi serta partikel mesiu yang terbakar. Jika pistol ditembakkan dari jarak sangat dekat, partikel itu akan menyebabkan luka bakar pada kulit.” Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Itu akan memunculkan tanda belang kecil atau bintik-bintik di sekitar luka masuk. Tapi aku nggak menemukannya di sini.”
Detektif Otero menghela napas pelan, ekspresinya mengeras. “Jadi seseorang menembaknya, lalu menaruh pistol di tangannya untuk merekayasa adegan bunuh diri.” Dia menoleh pada petugas forensik. “Pastikan kita mendapatkan analisis lengkap.”
Petugas forensik mengangguk dan kembali bekerja tanpa membuang waktu.
Detektif Otero melirik tubuh korban yang bersandar di dinding, lalu menatap Alphonse dengan alis berkerut. "Brandon Hoffman bukan pria kecil. Lihat posturnya—bahu lebar, tubuh kokoh. Bagaimana seseorang bisa menembaknya dari sudut seperti ini?"
Alphonse mengamati sudut luka sekali lagi, lalu berdiri dan melangkah mundur, membayangkan kemungkinan posisi penembak. "Kalau melihat sudut tembakan yang curam, ada dua kemungkinan. Pertama, pelaku lebih tinggi dari korban dan menembaknya dari atas—tapi itu sulit dilakukan jika mereka berdiri berhadapan."
Detektif Otero menyilangkan tangan. "Atau?"
Alphonse menoleh ke arah meja di sudut ruangan, lalu kembali menatap mayat. "Atau korban dalam posisi lebih rendah saat ditembak. Bisa jadi dia sedang duduk, atau..." Dia mengangkat dagunya sedikit, matanya menyipit. "Dipaksa berlutut."
Detektif Otero menghela napas berat. "Kalau itu yang terjadi, maka kita sedang berurusan dengan eksekusi, bukan sekadar pembunuhan biasa. Hmm? Apa yang kau lakukan?"
Alphonse kembali berjongkok di samping korban. Dengan hati-hati, ia memiringkan kepala Brandon Hoffman, jemarinya menyusuri leher pria itu. Matanya menyipit ketika menangkap sesuatu yang nyaris tersembunyi di bawah pencahayaan kamar yang temaram. “Jawabannya ada di sini,” katanya dengan serius.
Detektif Otero berjongkok di sampingnya. “Apa yang kau lihat?”
Alphonse menunjuk ke bagian sisi leher korban. “Memar samar. Nggak terlalu jelas di permukaan, tapi cukup dalam untuk menunjukkan bahwa ada tekanan kuat di sini sebelum kematian.” Dia menggerakkan jari telunjuknya, mengukur pola memar tersebut. “Bisa jadi korban dikunci dalam cengkeraman lengan atau ditekan dengan tangan. Jika benar begitu, dia kemungkinan besar sudah setengah nggak sadarkan diri saat ditembak.”
Detektif Otero menghela napas panjang, ekspresinya mengeras. “Itu menjelaskan bagaimana seseorang bisa menundukkan pria sebesar ini. Pelaku memastikan dia tidak bisa melawan sebelum menghabisinya.”
Alphonse mengangguk, pandangannya tetap terpaku pada luka tembak. “Pendekatan yang cukup rumit, tapi juga metodis.”
Seorang petugas forensik tiba-tiba berseru, menarik perhatian semua orang di ruangan. Dengan ekspresi tegang, dia mengangkat selembar kertas kusut yang baru saja ditemukan di dalam sebuah buku catatan bersampul hitam. “Detektif, kalian harus melihat ini.”
Detektif Otero segera mendekat, Alphonse mengikuti di belakangnya. Petugas itu menyerahkan kertas tersebut.
Mereka tahu terlalu banyak. Kita harus segera bertindak.
Detektif Otero mengernyit, membaca pesan itu dengan saksama. “Siapa ‘mereka’?” gumamnya.
Alphonse menatap tulisan itu, matanya menyipit tajam. “Itu pertanyaan yang salah,” katanya dingin. “Yang seharusnya kau tanyakan adalah: seberapa cepat mereka harus bertindak?” Pupil matanya melebar saat dia menyadari sesuatu. Napasnya sempat tertahan sejenak sebelum dia berbisik, “Dan yang lebih penting… aku tahu siapa yang menulisnya.”
Keheningan menyelimuti ruangan sesaat setelah Alphonse mengucapkan kata-katanya. Detektif Otero menatapnya dengan tajam, lalu beralih ke kertas yang dipegangnya. “Kau tahu siapa yang menulis ini?”Alphonse meraih sepasang sarung tangan baru dari sakunya, lalu mengambil kertas itu dengan hati-hati. Matanya menyapu baris tulisan yang terburu-buru namun tetap terkendali. Dia menghela napas pelan. “Aku tahu tipe orangnya.”Petugas forensik itu bersedekap, masih tampak belum sepenuhnya yakin. “Jadi Anda bisa menggambarkan seseorang hanya dari caranya menulis?”Alphonse meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. “Tidak. Bukan menggambarkan, tapi saya bisa mempersempit kemungkinan.” Dia membalikkan kertas itu, seolah mencari sesuatu di baliknya. “Dan dalam kasus ini, saya cukup yakin penulisnya adalah seorang wanita paruh baya yang terbiasa berada di posisi otoritas, tapi sedang kehilangan kendali.”Detektif Otero menatapnya dalam diam, lalu berkata pelan, “Jelaskan semuanya padaku.”Alphonse
16 menit sebelumnyaDingin. Bukan hanya dari pendingin ruangan yang terus berembus, tapi juga dari sesuatu yang lebih halus, lebih menusuk. Kamar tempat korban ketiga ditemukan masih dipenuhi aroma khas bahan kimia forensik dan sisa-sisa kematian yang menempel di udara. Cahaya lampu putih dingin menusuk setiap sudut kamar, mengukir bayangan tajam di dinding.Dr. Clara Donovan berdiri dengan tangan bersedekap di samping tempat tidur, matanya fokus pada seprai yang terlihat sedikit berantakan. Di sebelahnya, seorang petugas forensik, Langston, sedang membungkuk. Dia mencermati sesuatu dengan senter UV.“Aku menemukan sesuatu yang aneh,” gumam Langston sambil menyipitkan mata. Tangannya yang bersarung lateks mencubit untaian serat halus dari kain seprai dengan pinset. Dia mengangkatnya ke arah cahaya, membiarkan serat itu berkilau samar di bawah lampu. “Warnanya sedikit lebih kusam, dan teksturnya terasa lebih kasar, seperti bahan sintetis.”Dr. Clara meraih pinset dari kotak peralatan f
Lima tahun yang laluNARASI ALPHONSE"Intravenous injection," kata mère, suaranya selembut beludru yang membungkus mata pisau. "Metode yang paling efisien untuk mengantarkan zat langsung ke dalam aliran darah. Cepat, presisi, tanpa hambatan."Udara di dalam ruangan ini lebih dingin daripada tempat-tempat lain di Wisteria Manor. Nggak ada wangi lavender atau teh chamomile seperti di ruang duduk, hanya bau antiseptik yang bersih—terlalu bersih, seperti sepotong logam yang baru diasah.Mère—atau yang biasa dipanggil orang ‘Lady Viscaria’, duduk dengan anggun di kursi tinggi, dia mengenakan gaun biru pucat yang lembut berkilau di bawah lampu putih. Cahaya itu nggak cukup terang untuk membuat silau, tapi cukup kejam untuk memperlihatkan semua yang ada di ruangan tanpa belas kasihan—termasuk set alat kedokteran di atas meja logam di antara kami.Diangkatnya jarum itu sedikit dan diputarnya perlahan, sehingga refleksi cahaya menari di permukaannya. "Namun, tidak semua orang memiliki tangan y
“Aku tidak menyangka akan mendengar kata ‘metodis’ berulang kali malam ini,” keluh Detektif Otero sambil menekan pangkal hidungnya. “Kau pikir pelakunya orang yang sama?” tanyanya pada Alphonse.Detektif konsultan itu tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang berpikir untuk sesaat sebelum akhirnya buka suara. “Kesimpulan yang terburu-buru hanya akan menyesatkan kita…” Tatapannya jatuh pada tubuh kaku Sansa Strand. Dia menggeleng pelan sebelum menambahkan, “meskipun kelihatannya asumsi itu terdengar begitu meyakinkan.”Dr. Clara mengetuk jarinya di layar tablet, matanya bergerak cepat membaca laporan yang tersaji. “Kami bisa melakukan tes tambahan untuk memastikan komposisi zat yang digunakan untuk melumpuhkan korban,” katanya pada akhirnya.Detektif Otero mengangguk kecil. "Ya, lakukan itu." Dia menghela napas pelan, lalu beralih ke Alphonse. “Tidak peduli sebersih apa metode pembunuhan ini, pelaku pasti ada di suatu tempat.”Alphonse meliriknya. “Dan hotel ini punya mata di setiap
Jumat, 22 Maret 2024/00:17 MalamStefan menegang. Tatapannya terpaku pada layar, ekspresi wajahnya sulit diartikan. Perlahan, ia mundur sedikit dari monitor, seolah ingin menjaga jarak dari apa yang baru saja dilihatnya. “Dia seharusnya sudah mati,” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Detektif Otero menoleh cepat. “Apa maksudmu?” Nada suaranya tidak lagi santai.Alphonse tidak langsung bicara. Matanya masih tertuju pada rekaman itu, menganalisis setiap detail. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang belum dia pahami sepenuhnya.Seorang tamu VIP yang terlihat di layar monitor itu mengenakan setelan tiga potong berwarna gelap yang terlihat mewah. Sebuah tongkat bantu jalan dengan gagang perak berkilau tergenggam di tangan kanannya—bukan karena dia membutuhkannya untuk berjalan, tetapi lebih seperti aksesori elegan dari era yang telah lama berlalu. Ujung tongkat itu menyentuh lantai dengan gerakan halus, hampir seperti ketukan kecil yang disengaja.Sebagian wajahnya tersemb
Stefan membuka pintu menuju ruang arsip di sudut ruangan. Cahaya di dalamnya redup, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di langit-langit, menciptakan bayangan samar di antara rak-rak tinggi yang berisi ratusan dokumen tersusun rapi. Rak-rak logam berlapis perunggu berbaris rapi di sepanjang ruangan. Masing-masing dipenuhi map berlabel tahun dan bulan. Beberapa dokumen bertumpuk di meja, menandakan tempat itu masih sering digunakan.Detektif Otero memasukkan buku catatannya ke dalam saku dan melirik Alphonse. “Kau ikut masuk?” tanyanya.Alphonse mengangguk tanpa menjawab. Langkah mereka bergema pelan di atas lantai marmer mengilap saat mereka menyusul Stefan, yang sudah berdiri di depan salah satu rak, jemarinya dengan cekatan menelusuri label di punggung map.“Kami masih menyimpan daftar tamu dalam bentuk fisik sebagai arsip,” ujar Stefan, matanya tetap tertuju pada dokumen yang sedang ia cari. “Kadang tamu lama kembali menginap setelah beberapa tahun, dan beberapa permintaan kh
Kamis, 21 Maret 2024/09:27 Malam"Berhenti bukan pilihan."Suara itu nyaris tenggelam dalam dengung halus lift yang bergerak ke atas. Di dalam kabin sempit berlampu redup itu dua sosok berdiri tanpa bersentuhan."Aku tahu," jawab suara lain, datar. "Tapi kalau ada yang melihat—""Jangan menoleh. Jangan ragu."Seketika, bunyi ‘ting’ terdengar pelan. Pintu lift di ujung koridor lantai tujuh terbuka perlahan, membiarkan cahaya dingin dari dalamnya tumpah ke lantai berkarpet merah tua. Cahaya itu sejenak memecah remang-remang koridor, memperlihatkan dinding-dinding berlapis wallpaper mewah dengan pola emas kusam yang hampir tidak terlihat dalam redupnya lampu gantung.Seorang wanita berperawakan ramping dan tegap melangkah keluar lebih dulu. Gerakannya lembut namun penuh keyakinan, sepatu hak rendahnya menyentuh lantai tanpa suara. Di belakangnya, sosok lain muncul—mengenakan hoodie gelap, kacamata hitam, dan masker yang menutupi sebagian besar wajahnya. Hanya dagunya yang terlihat di baw
Jumat, 22 Maret 2024/01:27 MalamDengan begini," kata Detektif Otero, menyimpulkan. "Setidaknya ada lima tamu hotel yang berpotensi menjadi tersangka pembunuhan—ditambah kemungkinan beberapa orang lain yang bukan tamu."Stefan Petrov meluruskan punggungnya, matanya berbinar penuh ketertarikan. "Apakah Anda akan mulai menginterogasi mereka?" tanyanya, terdengar sedikit terlalu bersemangat.Alphonse menepukkan tangannya sekali—cukup keras untuk menarik perhatian semua orang di ruang kontrol. Sejenak, dia membiarkan keheningan menggantung sebelum berkata dengan tenang, "Interogasi terdengar terlalu agresif. Kita hanya akan mampir dan melihat keadaan mereka. Benar begitu, Detektif?"Detektif Otero meliriknya sekilas, lalu menghela napas pendek—sepertinya dia langsung menangkap maksud Alphonse. Tanpa banyak bicara, ia merapikan catatannya, menyelipkan pulpen ke saku mantelnya, lalu bersiap meninggalkan ruangan.Sebelum pergi, detektif berwajah persegi itu menoleh ke Kepala Keamanan dan sta
Jumat, 22 Maret 2024/09:48 PagiPeta digital hotel terbentang di hadapannya, berkedip lembut seperti napas mesin yang tidak pernah tidur. Layar besar itu menampilkan rekaman lalu lintas pintu dan jalur keluar-masuk sepanjang malam kejadian—data mentah yang dingin, mekanis, dan tetap bisu meski dipelototi selama yang Alphonse inginkan.Dia duduk membungkuk di depan konsol, tubuhnya nyaris tidak bergerak kecuali satu tangan yang menopang kepala, dan tangan lainnya yang tanpa sadar terus memutar-mutar pena di sela jari—seolah jika ia berhenti, pikirannya juga akan ikut runtuh.Matanya merah, tapi tetap menyorot tajam ke arah layar. Tidak ada tamu yang menonjol. Tidak ada staf yang terlihat menyimpang. Selain beberapa rekaman yang telah ditemukannya bersama Detektif Otero dan Stefan Petrov.“Sesuatu pasti terlewat,” pikirnya. Di tengah keraguan itu, satu suara di kepalanya mulai berbisik: jika semua bukti terlihat normal, maka berarti sesuatu sedang bersembunyi di balik normalitas itu. S
Jumat, 22 Maret 2024/08:37 PagiNARASI EZEQUIEL OTEROPagi di hotel mewah seperti ini mestinya punya ritme sendiri—aroma kopi mahal, suara sepatu licin di lantai marmer, dan senyum palsu dari staf yang dilatih untuk tidak pernah terlihat panik. Tapi aku bukan pelanggan tetap Royal Mirage Palace, dan aku juga bukan orang yang peduli rutinitas pagi mereka. Yang kupedulikan adalah mayat yang mereka temukan semalam, dan atmosfer kaku yang belum sepenuhnya menguap dari lobi ini.Beberapa tamu memang tampak mencoba bersikap biasa—menyeruput kopi, membaca koran, atau sibuk mengutak-atik ponsel mereka—tapi ada sesuatu yang lain di mata mereka: ketidaknyamanan yang belum punya bentuk. Dan aku tahu pasti, bukan cuma tamu yang sedang menebak-nebak apa yang terjadi. Seseorang di sini tahu lebih dari yang mereka akui. Dan sekarang, tanggung jawabku adalah menemukan siapa itu.Aku melihat dua wajah yang familiar di dekat meja resepsionis: Victoria Smith dan Sophia Chang. Mereka sedang membereskan m
Jumat, 22 Maret 2024/08:22 PagiAlphonse berdiri dengan tangan terlipat, matanya terpaku pada layar monitor yang menampilkan rekaman CCTV terakhir. Jejak kematian mungkin sudah tersamarkan, tapi dia tahu—kejahatan seperti ini selalu meninggalkan celah bagi mereka yang cukup teliti untuk menemukannya.Tanpa mengalihkan pandangan, dia berbicara. "Tuan Petrov, saya butuh daftar staf yang bertugas malam itu. Juga log akses master key."Stefan Petrov mengangguk, langsung mulai bekerja di sistem hotel. Tidak butuh waktu lama, Stefan kembali dengan hasilnya. Alphonse menerima berkas itu, matanya segera menelusuri daftar nama dan log akses.Alphonse kemudian menoleh pada Detektif Otero dan menyerahkan daftar nama staf yang bertugas di malam kejadian. “Selidiki mereka,” katanya. "Tanyakan pada resepsionis, petugas keamanan, atau siapa pun yang melihat mereka malam itu. Cari tahu apakah mereka memiliki hubungan dengan korban—atau jika ada sesuatu yang membuat malam itu berbeda."Detektif Otero
Jumat, 22 Maret 2024/07:54 PagiNARASI ALPHONSEPintu ruang kendali terkunci. Nggak mengejutkan. Jika aksesnya terlalu mudah, barulah ada yang perlu dikhawatirkan. Segala sesuatu di hotel ini selalu dalam kendali ketat, kecuali nyawa tiga orang yang entah bagaimana berhasil meluncur keluar dari daftar tamu tanpa peringatan.Aku mengetuk dua kali dengan nggak sabar. Aku melirik Zeke yang berdiri di sampingku. Dia hanya mengangkat bahu kecil, nggak terlihat khawatir sedikit pun. Kami menunggu. Butuh waktu beberapa detik sebelum suara langkah mendekat dari sisi lain. Pintu terbuka, dan Stefan Petrov berdiri di ambang pintu,“Detektif,” katanya dengan suara berat sambil menatap kami dengan waspada. Ada sedikit ketegangan di rahangnya, seolah kedatangan kami pagi-pagi begini adalah pertanda buruk baginya. "Ada yang bisa saya bantu?"Aku menyandarkan bahu ke kusen pintu, sekilas melirik ruangan di belakangnya yang dipenuhi monitor. Di dalam, layar-layar menampilkan citra statis, cahaya biru
Jumat, 22 Maret 2024/07:27 PagiSerangkaian ketukan lembut terdengar di pintu kamar eksklusif. Dengan troli layanan kamar yang disusun sempurna di sisinya, Daniel Richards berdiri di luar pintu dengan senyum yang terlatih. Tangannya masih terangkat ketika pintu terbuka—memperlihatkan Detektif Otero yang berdiri dengan mata lelah dan rahang mengeras.Dari balik bahu si detektif, Alphonse berdiri di dekat jendela. Pandangannya mengembara ke luar. Entah menikmati pagi atau tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tatapan mata Daniel kembali pada Detektif Otero."Selamat pagi," sapa Daniel dengan profesional dan ramah. "Sarapan Anda berdua telah siap.""Masuk," gumam Detektif Otero.Dia menguap kecil sebelum menyingkir dari pintu, memberi jalan bagi Daniel untuk mendorong troli ke dalam. Roda troli berdecit lembut di atas karpet. Aroma kopi segar dan roti panggang memenuhi ruangan saat Daniel mulai menyusun makanan di meja kecil di sudut ruangan."Kita mulai dengan pesanan Detektif Otero," kat
Kamis, 21 Maret 2024/09:37 MalamNARASI MARILYNAku tahu seseorang mengawasiku.Aku nggak bisa menjelaskan gimana, tapi perasaan itu ada sejak beberapa minggu terakhir. Seperti bayangan yang selalu mengikuti, atau sepasang mata yang nggak terlihat, mengintai dari sudut-sudut gelap. Aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diri bahwa itu hanya paranoia yang muncul akibat situasi yang semakin nggak terkendali.Tapi malam ini... malam ini berbeda. Kegelisahan itu mencekik, memenuhi setiap inci udara di dalam kamar hotelku yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Dinding-dinding yang biasanya memberi rasa aman kini terasa menekan dari segala arah. Setiap bayangan yang tercipta dari cahaya lampu terlihat membentuk siluet yang nggak seharusnya ada.Tanganku mengepal tanpa kusadari. Jemariku terasa dingin. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa ini semua hanya ada di kepalaku. Bahwa aku hanya kelelahan. Tapi suara samar dari luar pintu, desir langkah dan ketukan di pintu yang nyaris nggak terde
Fajar merekah di langit Jumat, 22 Maret, melukis Royal Mirage Palace dengan semburat emas yang memantul di jendela-jendela tinggi dan pilar-pilar megahnya. Cahaya pagi menari di permukaan air mancur taman, menciptakan kilauan seperti permata. Namun, di dalam hotel, kedamaian itu telah terkoyak. Desas-desus panik berputar cepat, menyusup ke lorong-lorong seperti bisikan badai yang tidak terhindarkan.Berita buruk menyebar cepat, merembes ke setiap sudut hotel. Para tamu yang terbangun lebih awal berbisik di lorong-lorong, masih mengenakan night robe mewah, ponsel menempel di telinga. Biasanya sunyi, koridor kini dipenuhi gumaman gelisah dan langkah tergesa-gesa."Kau sudah dengar?" suara serak seorang pria terdengar lirih di antara percakapan yang bergemuruh."Katanya polisi ada di salah satu suite," jawab seorang wanita dengan nada berbisik, matanya sesekali melirik ke arah koridor yang semakin ramai.Di lantai bawah, lobi hotel yang biasanya memancarkan keanggunan kini terasa sesak o
Ketukan tiga kali, tegas namun tidak terburu-buru.Alphonse menghela napas sebelum membuka pintu. Daniel Richards berdiri di ambang, ekspresinya netral, tapi matanya memindai ruangan sekilas sebelum kembali menatapnya."Bagaimana kondisi kalian?" tanyanya, suaranya terdengar terlalu ringan untuk pertanyaan yang begitu spesifik.Alphonse mengangkat dagu sedikit, menyisakan jeda sejenak sebelum menjawab. "Masuk dulu."Daniel melangkah masuk, melewati Alphonse yang menutup pintu dengan tenang, tapi memastikan kunci berputar sepenuhnya sebelum melepaskannya. Detektif Otero masih duduk di sofanya, satu kaki disilangkan di atas yang lain. Tatapannya naik sedikit saat Daniel mendekat."Kalian baik-baik saja?" ulang Daniel, lebih pelan, seakan benar-benar ingin mendengar jawabannya kali ini."Kami masih di sini. Tidak semua orang seberuntung itu." Alphonse berbalik, nada suaranya datar tapi mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan.Daniel tersenyum kecil, seperti menghargai jawaban itu. "Saya
Jumat, 22 Maret 2024/05:18 PagiAlphonse bangkit dari duduknya dan berjalan menuju jendela. Tangannya terselip di saku celana, matanya menatap lurus ke jalanan di bawah, tapi pikirannya bergerak liar, merangkai kemungkinan demi kemungkinan.“Apakah nama Rhaetozia mengingatkanmu pada sesuatu?” tanya Alphonse dengan suara rendah namun tajam.Detektif Otero mengerutkan kening. Sekilas keterkejutan melintas di wajahnya sebelum dia bersandar ke kursinya. "Media terus memberitakan apa yang terjadi di sana," ujarnya, nadanya setengah hati. Lalu, setelah jeda singkat, dia menambahkan dengan curiga. "Jangan bilang kau menghubungkan kasus ini dengan keadaan politik di sana?"Alphonse tidak langsung menjawab. Matanya tetap kosong, pikirannya berada di tempat lain. "Tentu tidak," katanya akhirnya.Tapi Detektif Otero tidak melewatkan bayangan halus yang melintas di wajah rekannya. Sebuah kilasan singkat yang cukup untuk menyalakan kecurigaannya. Dia tahu Alphonse terlalu cerdas untuk mengajukan p