แชร์

Luka Tembak

ผู้เขียน: eyes0cream
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-07-04 12:59:24

Ketika Alphonse dan Detektif Otero melangkah keluar kamar 207, langkah kaki nyaris tidak terdengar terhenti di ujung koridor. Sekilas, Alphonse menangkap bayangan samar yang lenyap di balik tikungan. Udara terasa lebih berat, seolah ada mata tak terlihat yang mengintai dari kegelapan.

Tanpa ragu, Alphonse bergegas mengejar. Namun, saat tiba di tikungan, hanya kesunyian yang menyambutnya—sampai suara pintu di kejauhan tertutup pelan. Terlalu pelan. Terlalu disengaja.

Detektif Otero menyusul, napasnya sedikit tersengal. “Ada apa?”

Alphonse tetap memandang lurus ke deretan pintu hotel yang tertutup rapat. Rahangnya mengencang. “Kau nggak melihatnya?” bisiknya tajam.

Detektif Otero mengernyit dan menyapu pandangannya ke koridor yang sunyi. "Melihat apa?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya.

Alphonse tidak segera menjawab. Dia melangkah perlahan ke depan, telinganya menangkap setiap suara sekecil apa pun. Koridor terasa terlalu tenang, terlalu bersih—seolah seseorang baru saja menghapus jejak keberadaannya.

Dia mendekati pintu yang menurutnya baru saja tertutup. Tangannya terangkat, ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menyentuh gagang pintu.

“Kita tidak bisa asal masuk," tegas Detektif Otero sambil mencengkram lengan Alphonse. “Ayo, kita masih memiliki dua korban lagi.”

Alphonse meliriknya sekilas, lalu kembali menatap pintu. Dia tetap menempelkan telapak tangannya ke gagang pintu, merasakan sisa-sisa kehangatan di sana. Pintu ini baru saja digunakan. Dan orang di dalam... mungkin masih berdiri tepat di baliknya.

“Aku mengerti," gumam Alphonse. Dia berbalik dan berjalan menuju lift.

Kamar korban berikutnya ada di lantai empat. Lift berbunyi pelan saat tiba, pintunya terbuka memperlihatkan koridor yang lebih luas dan temaram. Bayangan lampu gantung memanjang di lantai marmer, menciptakan siluet yang bergerak seiring langkah mereka. Namun, bahkan setelah berpindah tempat, Alphonse tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa sepasang mata masih mengawasi dari kegelapan.

Di dalam kamar 412, para petugas forensik masih bekerja. Bau larutan antiseptik bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Lampu kamera sesekali berkedip saat mereka mendokumentasikan tubuh korban yang bersandar pada dinding. Noda darah yang gelap mengering di sekitar kepala dan lehernya, sementara sebuah pistol tergeletak di tangan kiri yang terkulai.

Detektif Otero melangkah lebih dekat, matanya menyapu ruangan sebelum berhenti pada salah satu petugas. “Apa yang kita punya?”

Seorang petugas forensik menoleh. “Korban bernama Brandon Hoffman, 42 tahun. Luka tembak di kepala, sudut tembakan mengarah ke atas. Sekilas tampak seperti bunuh diri, tapi…” Dia melirik pistol di tangan korban sebelum melanjutkan, “…ada beberapa kejanggalan.”

“Tolong beri kami ruang,” pinta Detektif Otero dengan tegas, mengisyaratkan para petugas forensik untuk mundur.

Alphonse mengeluarkan sarung tangan silikon baru dari saku mantelnya, jari-jarinya bergerak cekatan saat mengenakannya. Saat dia berlutut di samping tubuh korban, aroma darah yang mulai mengering bercampur dengan bau antiseptik memenuhi hidungnya.

Detektif Otero menyilangkan tangan di dada. “Kejanggalan apa yang kau maksud?”

Petugas forensik mengalihkan pandangan ke pistol di tangan korban. “Posisi senjata ini tidak alami. Jari-jari korban tidak cukup menekan pelatuk untuk menimbulkan luka fatal, yang berarti kemungkinan besar senjata ditempatkan di tangannya setelah kematian.”

Alphonse memperhatikan sudut luka tembak dengan teliti. “Sudut masuknya memang terlalu curam untuk kasus bunuh diri. Jika dia menembak dirinya sendiri, posisi pistol seharusnya lebih rendah dan sedikit condong.”

“Tepat.” Petugas forensik mengangguk. “Dan yang lebih mencurigakan, tidak ada residu mesiu di tangan korban.”

“Bagaimana menurutmu?” tanya Detektif Otero pada Alphonse.

Alphonse meneliti luka tembak dengan saksama. “Saat senjata api ditembakkan, bukan hanya peluru yang melesat, tapi juga gas berkecepatan tinggi serta partikel mesiu yang terbakar. Jika pistol ditembakkan dari jarak sangat dekat, partikel itu akan menyebabkan luka bakar pada kulit.” Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Itu akan memunculkan tanda belang kecil atau bintik-bintik di sekitar luka masuk. Tapi aku nggak menemukannya di sini.”

Detektif Otero menghela napas pelan, ekspresinya mengeras. “Jadi seseorang menembaknya, lalu menaruh pistol di tangannya untuk merekayasa adegan bunuh diri.” Dia menoleh pada petugas forensik. “Pastikan kita mendapatkan analisis lengkap.”

Petugas forensik mengangguk dan kembali bekerja tanpa membuang waktu.

Detektif Otero melirik tubuh korban yang bersandar di dinding, lalu menatap Alphonse dengan alis berkerut. "Brandon Hoffman bukan pria kecil. Lihat posturnya—bahu lebar, tubuh kokoh. Bagaimana seseorang bisa menembaknya dari sudut seperti ini?"

Alphonse mengamati sudut luka sekali lagi, lalu berdiri dan melangkah mundur, membayangkan kemungkinan posisi penembak. "Kalau melihat sudut tembakan yang curam, ada dua kemungkinan. Pertama, pelaku lebih tinggi dari korban dan menembaknya dari atas—tapi itu sulit dilakukan jika mereka berdiri berhadapan."

Detektif Otero menyilangkan tangan. "Atau?"

Alphonse menoleh ke arah meja di sudut ruangan, lalu kembali menatap mayat. "Atau korban dalam posisi lebih rendah saat ditembak. Bisa jadi dia sedang duduk, atau..." Dia mengangkat dagunya sedikit, matanya menyipit. "Dipaksa berlutut."

Detektif Otero menghela napas berat. "Kalau itu yang terjadi, maka kita sedang berurusan dengan eksekusi, bukan sekadar pembunuhan biasa. Hmm? Apa yang kau lakukan?"

Alphonse kembali berjongkok di samping korban. Dengan hati-hati, ia memiringkan kepala Brandon Hoffman, jemarinya menyusuri leher pria itu. Matanya menyipit ketika menangkap sesuatu yang nyaris tersembunyi di bawah pencahayaan kamar yang temaram. “Jawabannya ada di sini,” katanya dengan serius.

Detektif Otero berjongkok di sampingnya. “Apa yang kau lihat?”

Alphonse menunjuk ke bagian sisi leher korban. “Memar samar. Nggak terlalu jelas di permukaan, tapi cukup dalam untuk menunjukkan bahwa ada tekanan kuat di sini sebelum kematian.” Dia menggerakkan jari telunjuknya, mengukur pola memar tersebut. “Bisa jadi korban dikunci dalam cengkeraman lengan atau ditekan dengan tangan. Jika benar begitu, dia kemungkinan besar sudah setengah nggak sadarkan diri saat ditembak.”

Detektif Otero menghela napas panjang, ekspresinya mengeras. “Itu menjelaskan bagaimana seseorang bisa menundukkan pria sebesar ini. Pelaku memastikan dia tidak bisa melawan sebelum menghabisinya.”

Alphonse mengangguk, pandangannya tetap terpaku pada luka tembak. “Pendekatan yang cukup rumit, tapi juga metodis.”

Seorang petugas forensik tiba-tiba berseru, menarik perhatian semua orang di ruangan. Dengan ekspresi tegang, dia mengangkat selembar kertas kusut yang baru saja ditemukan di dalam sebuah buku catatan bersampul hitam. “Detektif, kalian harus melihat ini.”

Detektif Otero segera mendekat, Alphonse mengikuti di belakangnya. Petugas itu menyerahkan kertas tersebut. 

Mereka tahu terlalu banyak. Kita harus segera bertindak.

Detektif Otero mengernyit, membaca pesan itu dengan saksama. “Siapa ‘mereka’?” gumamnya.

Alphonse menatap tulisan itu, matanya menyipit tajam. “Itu pertanyaan yang salah,” katanya dingin. “Yang seharusnya kau tanyakan adalah: seberapa cepat mereka harus bertindak?” Pupil matanya melebar saat dia menyadari sesuatu. Napasnya sempat tertahan sejenak sebelum dia berbisik, “Dan yang lebih penting… aku tahu siapa yang menulisnya.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Pertunjukan Graphology Alphonse

    Keheningan menyelimuti ruangan sesaat setelah Alphonse mengucapkan kata-katanya. Detektif Otero menatapnya dengan tajam, lalu beralih ke kertas yang dipegangnya. “Kau tahu siapa yang menulis ini?”Alphonse meraih sepasang sarung tangan baru dari sakunya, lalu mengambil kertas itu dengan hati-hati. Matanya menyapu baris tulisan yang terburu-buru namun tetap terkendali. Dia menghela napas pelan. “Aku tahu tipe orangnya.”Petugas forensik itu bersedekap, masih tampak belum sepenuhnya yakin. “Jadi Anda bisa menggambarkan seseorang hanya dari caranya menulis?”Alphonse meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. “Tidak. Bukan menggambarkan, tapi saya bisa mempersempit kemungkinan.” Dia membalikkan kertas itu, seolah mencari sesuatu di baliknya. “Dan dalam kasus ini, saya cukup yakin penulisnya adalah seorang wanita paruh baya yang terbiasa berada di posisi otoritas, tapi sedang kehilangan kendali.”Detektif Otero menatapnya dalam diam, lalu berkata pelan, “Jelaskan semuanya padaku.”Alphonse

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-07-08
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Liontin yang Hilang

    16 menit sebelumnyaDingin. Bukan hanya dari pendingin ruangan yang terus berembus, tapi juga dari sesuatu yang lebih halus, lebih menusuk. Kamar tempat korban ketiga ditemukan masih dipenuhi aroma khas bahan kimia forensik dan sisa-sisa kematian yang menempel di udara. Cahaya lampu putih dingin menusuk setiap sudut kamar, mengukir bayangan tajam di dinding.Dr. Clara Donovan berdiri dengan tangan bersedekap di samping tempat tidur, matanya fokus pada seprai yang terlihat sedikit berantakan. Di sebelahnya, seorang petugas forensik, Langston, sedang membungkuk. Dia mencermati sesuatu dengan senter UV.“Aku menemukan sesuatu yang aneh,” gumam Langston sambil menyipitkan mata. Tangannya yang bersarung lateks mencubit untaian serat halus dari kain seprai dengan pinset. Dia mengangkatnya ke arah cahaya, membiarkan serat itu berkilau samar di bawah lampu. “Warnanya sedikit lebih kusam, dan teksturnya terasa lebih kasar, seperti bahan sintetis.”Dr. Clara meraih pinset dari kotak peralatan f

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-14
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Intravenous Injection

    Lima tahun yang laluNARASI ALPHONSE"Intravenous injection," kata mère, suaranya selembut beludru yang membungkus mata pisau. "Metode yang paling efisien untuk mengantarkan zat langsung ke dalam aliran darah. Cepat, presisi, tanpa hambatan."Udara di dalam ruangan ini lebih dingin daripada tempat-tempat lain di Wisteria Manor. Nggak ada wangi lavender atau teh chamomile seperti di ruang duduk, hanya bau antiseptik yang bersih—terlalu bersih, seperti sepotong logam yang baru diasah.Mère—atau yang biasa dipanggil orang ‘Lady Viscaria’, duduk dengan anggun di kursi tinggi, dia mengenakan gaun biru pucat yang lembut berkilau di bawah lampu putih. Cahaya itu nggak cukup terang untuk membuat silau, tapi cukup kejam untuk memperlihatkan semua yang ada di ruangan tanpa belas kasihan—termasuk set alat kedokteran di atas meja logam di antara kami.Diangkatnya jarum itu sedikit dan diputarnya perlahan, sehingga refleksi cahaya menari di permukaannya. "Namun, tidak semua orang memiliki tangan y

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-15
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Kesan Pertama Alphonse

    “Aku tidak menyangka akan mendengar kata ‘metodis’ berulang kali malam ini,” keluh Detektif Otero sambil menekan pangkal hidungnya. “Kau pikir pelakunya orang yang sama?” tanyanya pada Alphonse.Detektif konsultan itu tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang berpikir untuk sesaat sebelum akhirnya buka suara. “Kesimpulan yang terburu-buru hanya akan menyesatkan kita…” Tatapannya jatuh pada tubuh kaku Sansa Strand. Dia menggeleng pelan sebelum menambahkan, “meskipun kelihatannya asumsi itu terdengar begitu meyakinkan.”Dr. Clara mengetuk jarinya di layar tablet, matanya bergerak cepat membaca laporan yang tersaji. “Kami bisa melakukan tes tambahan untuk memastikan komposisi zat yang digunakan untuk melumpuhkan korban,” katanya pada akhirnya.Detektif Otero mengangguk kecil. "Ya, lakukan itu." Dia menghela napas pelan, lalu beralih ke Alphonse. “Tidak peduli sebersih apa metode pembunuhan ini, pelaku pasti ada di suatu tempat.”Alphonse meliriknya. “Dan hotel ini punya mata di setiap

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-16
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Interogasi di Ruang Kendali

    Jumat, 22 Maret 2024/00:17 MalamStefan menegang. Tatapannya terpaku pada layar, ekspresi wajahnya sulit diartikan. Perlahan, ia mundur sedikit dari monitor, seolah ingin menjaga jarak dari apa yang baru saja dilihatnya. “Dia seharusnya sudah mati,” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Detektif Otero menoleh cepat. “Apa maksudmu?” Nada suaranya tidak lagi santai.Alphonse tidak langsung bicara. Matanya masih tertuju pada rekaman itu, menganalisis setiap detail. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang belum dia pahami sepenuhnya.Seorang tamu VIP yang terlihat di layar monitor itu mengenakan setelan tiga potong berwarna gelap yang terlihat mewah. Sebuah tongkat bantu jalan dengan gagang perak berkilau tergenggam di tangan kanannya—bukan karena dia membutuhkannya untuk berjalan, tetapi lebih seperti aksesori elegan dari era yang telah lama berlalu. Ujung tongkat itu menyentuh lantai dengan gerakan halus, hampir seperti ketukan kecil yang disengaja.Sebagian wajahnya tersemb

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-21
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Mata yang Merekam

    Stefan membuka pintu menuju ruang arsip di sudut ruangan. Cahaya di dalamnya redup, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di langit-langit, menciptakan bayangan samar di antara rak-rak tinggi yang berisi ratusan dokumen tersusun rapi. Rak-rak logam berlapis perunggu berbaris rapi di sepanjang ruangan. Masing-masing dipenuhi map berlabel tahun dan bulan. Beberapa dokumen bertumpuk di meja, menandakan tempat itu masih sering digunakan.Detektif Otero memasukkan buku catatannya ke dalam saku dan melirik Alphonse. “Kau ikut masuk?” tanyanya.Alphonse mengangguk tanpa menjawab. Langkah mereka bergema pelan di atas lantai marmer mengilap saat mereka menyusul Stefan, yang sudah berdiri di depan salah satu rak, jemarinya dengan cekatan menelusuri label di punggung map.“Kami masih menyimpan daftar tamu dalam bentuk fisik sebagai arsip,” ujar Stefan, matanya tetap tertuju pada dokumen yang sedang ia cari. “Kadang tamu lama kembali menginap setelah beberapa tahun, dan beberapa permintaan kh

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-21
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Kabar Buruk

    Kamis, 21 Maret 2024/10:21 Malam"Kalau ini cuma kasus receh, berikan saja pada mereka yang masih percaya dunia ini adil," ujar seorang pemuda yang bersandar di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada. Suaranya datar, nyaris malas—seolah kebodohan yang sama selalu mengetuk pintunya setiap hari.Di hadapannya berdiri seorang pria dengan tinggi rata-rata, sekitar 176 cm, dan bertubuh kokoh dengan postur yang tegap. Pria bersetelan rapi yang pas di tubuhnya itu mengenakan mantel panjang menjuntai di atas sepatunya yang dipoles.Dia mendengus mendengar komentar pemuda itu. Wajahnya mengeras sebelum akhirnya berkata, “Sekali saja, bisakah kau menjawab tanpa terdengar seperti orang putus asa?" Suara itu terdengar lebih tegas, lebih lugas—kontras dengan nada malas yang baru saja didengarnya.Pemuda itu menyeringai tipis, lalu tanpa banyak kata, dia mendorong pintu lebih lebar dan melangkah ke samping. "Masuk saja. Aku tahu kau nggak akan pergi sebelum dapat yang kau mau."Detektif Otero

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-07-01
  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Topeng Kematian

    Lorong hotel terasa lebih sunyi dari seharusnya. Hanya langkah Detektif Otero dan Alphonse yang menggema saat mereka mendekati kamar 207—tempat Marilyn Cass ditemukan tidak bernyawa. Tanpa banyak bicara, Detektif Otero mengeluarkan lencananya dan menunjukkannya pada dua petugas polisi yang berjaga di luar kamar. Salah satu petugas mengangguk, mengangkat sedikit garis polisi yang membentang di ambang pintu, lalu membiarkan mereka masuk.“Seperti yang kau lihat. Situasinya seperti ini,” ujar Detektif Otero, suaranya terbungkus dalam ketenangan.Bau khas bahan kimia dan kematian menyambut mereka begitu melewati ambang pintu. Kilatan lampu kamera forensik membelah kegelapan ruangan, menciptakan bayangan-bayangan tajam di dinding berwarna krem. Para petugas bergerak dalam keheningan profesional, mengumpulkan bukti tanpa membiarkan emosi mengintervensi. Di samping tempat tidur, sebuah kantong mayat berwarna hitam tergeletak dengan ritsleting yang tertutup rapat.“Ada perkembangan?” tanya De

    ปรับปรุงล่าสุด : 2024-07-02

บทล่าสุด

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Mata yang Merekam

    Stefan membuka pintu menuju ruang arsip di sudut ruangan. Cahaya di dalamnya redup, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil di langit-langit, menciptakan bayangan samar di antara rak-rak tinggi yang berisi ratusan dokumen tersusun rapi. Rak-rak logam berlapis perunggu berbaris rapi di sepanjang ruangan. Masing-masing dipenuhi map berlabel tahun dan bulan. Beberapa dokumen bertumpuk di meja, menandakan tempat itu masih sering digunakan.Detektif Otero memasukkan buku catatannya ke dalam saku dan melirik Alphonse. “Kau ikut masuk?” tanyanya.Alphonse mengangguk tanpa menjawab. Langkah mereka bergema pelan di atas lantai marmer mengilap saat mereka menyusul Stefan, yang sudah berdiri di depan salah satu rak, jemarinya dengan cekatan menelusuri label di punggung map.“Kami masih menyimpan daftar tamu dalam bentuk fisik sebagai arsip,” ujar Stefan, matanya tetap tertuju pada dokumen yang sedang ia cari. “Kadang tamu lama kembali menginap setelah beberapa tahun, dan beberapa permintaan kh

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Interogasi di Ruang Kendali

    Jumat, 22 Maret 2024/00:17 MalamStefan menegang. Tatapannya terpaku pada layar, ekspresi wajahnya sulit diartikan. Perlahan, ia mundur sedikit dari monitor, seolah ingin menjaga jarak dari apa yang baru saja dilihatnya. “Dia seharusnya sudah mati,” gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Detektif Otero menoleh cepat. “Apa maksudmu?” Nada suaranya tidak lagi santai.Alphonse tidak langsung bicara. Matanya masih tertuju pada rekaman itu, menganalisis setiap detail. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang belum dia pahami sepenuhnya.Seorang tamu VIP yang terlihat di layar monitor itu mengenakan setelan tiga potong berwarna gelap yang terlihat mewah. Sebuah tongkat bantu jalan dengan gagang perak berkilau tergenggam di tangan kanannya—bukan karena dia membutuhkannya untuk berjalan, tetapi lebih seperti aksesori elegan dari era yang telah lama berlalu. Ujung tongkat itu menyentuh lantai dengan gerakan halus, hampir seperti ketukan kecil yang disengaja.Sebagian wajahnya tersemb

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Kesan Pertama Alphonse

    “Aku tidak menyangka akan mendengar kata ‘metodis’ berulang kali malam ini,” keluh Detektif Otero sambil menekan pangkal hidungnya. “Kau pikir pelakunya orang yang sama?” tanyanya pada Alphonse.Detektif konsultan itu tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang berpikir untuk sesaat sebelum akhirnya buka suara. “Kesimpulan yang terburu-buru hanya akan menyesatkan kita…” Tatapannya jatuh pada tubuh kaku Sansa Strand. Dia menggeleng pelan sebelum menambahkan, “meskipun kelihatannya asumsi itu terdengar begitu meyakinkan.”Dr. Clara mengetuk jarinya di layar tablet, matanya bergerak cepat membaca laporan yang tersaji. “Kami bisa melakukan tes tambahan untuk memastikan komposisi zat yang digunakan untuk melumpuhkan korban,” katanya pada akhirnya.Detektif Otero mengangguk kecil. "Ya, lakukan itu." Dia menghela napas pelan, lalu beralih ke Alphonse. “Tidak peduli sebersih apa metode pembunuhan ini, pelaku pasti ada di suatu tempat.”Alphonse meliriknya. “Dan hotel ini punya mata di setiap

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Intravenous Injection

    Lima tahun yang laluNARASI ALPHONSE"Intravenous injection," kata mère, suaranya selembut beludru yang membungkus mata pisau. "Metode yang paling efisien untuk mengantarkan zat langsung ke dalam aliran darah. Cepat, presisi, tanpa hambatan."Udara di dalam ruangan ini lebih dingin daripada tempat-tempat lain di Wisteria Manor. Nggak ada wangi lavender atau teh chamomile seperti di ruang duduk, hanya bau antiseptik yang bersih—terlalu bersih, seperti sepotong logam yang baru diasah.Mère—atau yang biasa dipanggil orang ‘Lady Viscaria’, duduk dengan anggun di kursi tinggi, dia mengenakan gaun biru pucat yang lembut berkilau di bawah lampu putih. Cahaya itu nggak cukup terang untuk membuat silau, tapi cukup kejam untuk memperlihatkan semua yang ada di ruangan tanpa belas kasihan—termasuk set alat kedokteran di atas meja logam di antara kami.Diangkatnya jarum itu sedikit dan diputarnya perlahan, sehingga refleksi cahaya menari di permukaannya. "Namun, tidak semua orang memiliki tangan y

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Liontin yang Hilang

    16 menit sebelumnyaDingin. Bukan hanya dari pendingin ruangan yang terus berembus, tapi juga dari sesuatu yang lebih halus, lebih menusuk. Kamar tempat korban ketiga ditemukan masih dipenuhi aroma khas bahan kimia forensik dan sisa-sisa kematian yang menempel di udara. Cahaya lampu putih dingin menusuk setiap sudut kamar, mengukir bayangan tajam di dinding.Dr. Clara Donovan berdiri dengan tangan bersedekap di samping tempat tidur, matanya fokus pada seprai yang terlihat sedikit berantakan. Di sebelahnya, seorang petugas forensik, Langston, sedang membungkuk. Dia mencermati sesuatu dengan senter UV.“Aku menemukan sesuatu yang aneh,” gumam Langston sambil menyipitkan mata. Tangannya yang bersarung lateks mencubit untaian serat halus dari kain seprai dengan pinset. Dia mengangkatnya ke arah cahaya, membiarkan serat itu berkilau samar di bawah lampu. “Warnanya sedikit lebih kusam, dan teksturnya terasa lebih kasar, seperti bahan sintetis.”Dr. Clara meraih pinset dari kotak peralatan f

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Pertunjukan Graphology Alphonse

    Keheningan menyelimuti ruangan sesaat setelah Alphonse mengucapkan kata-katanya. Detektif Otero menatapnya dengan tajam, lalu beralih ke kertas yang dipegangnya. “Kau tahu siapa yang menulis ini?”Alphonse meraih sepasang sarung tangan baru dari sakunya, lalu mengambil kertas itu dengan hati-hati. Matanya menyapu baris tulisan yang terburu-buru namun tetap terkendali. Dia menghela napas pelan. “Aku tahu tipe orangnya.”Petugas forensik itu bersedekap, masih tampak belum sepenuhnya yakin. “Jadi Anda bisa menggambarkan seseorang hanya dari caranya menulis?”Alphonse meliriknya sekilas, lalu tersenyum tipis. “Tidak. Bukan menggambarkan, tapi saya bisa mempersempit kemungkinan.” Dia membalikkan kertas itu, seolah mencari sesuatu di baliknya. “Dan dalam kasus ini, saya cukup yakin penulisnya adalah seorang wanita paruh baya yang terbiasa berada di posisi otoritas, tapi sedang kehilangan kendali.”Detektif Otero menatapnya dalam diam, lalu berkata pelan, “Jelaskan semuanya padaku.”Alphonse

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Luka Tembak

    Ketika Alphonse dan Detektif Otero melangkah keluar kamar 207, langkah kaki nyaris tidak terdengar terhenti di ujung koridor. Sekilas, Alphonse menangkap bayangan samar yang lenyap di balik tikungan. Udara terasa lebih berat, seolah ada mata tak terlihat yang mengintai dari kegelapan.Tanpa ragu, Alphonse bergegas mengejar. Namun, saat tiba di tikungan, hanya kesunyian yang menyambutnya—sampai suara pintu di kejauhan tertutup pelan. Terlalu pelan. Terlalu disengaja.Detektif Otero menyusul, napasnya sedikit tersengal. “Ada apa?”Alphonse tetap memandang lurus ke deretan pintu hotel yang tertutup rapat. Rahangnya mengencang. “Kau nggak melihatnya?” bisiknya tajam.Detektif Otero mengernyit dan menyapu pandangannya ke koridor yang sunyi. "Melihat apa?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya.Alphonse tidak segera menjawab. Dia melangkah perlahan ke depan, telinganya menangkap setiap suara sekecil apa pun. Koridor terasa terlalu tenang, terlalu bersih—seolah seseorang baru saja me

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Senjata Pembunuhan

    Dua bulan yang laluNARASI ALPHONSEHal pertama yang kupikirkan saat wanita itu memasuki kantorku?Aku lebih baik tidur siang.Hujan turun dengan malas di luar, menambah kesan muram pada ruangan yang sudah cukup berantakan—tumpukan dokumen berserakan di meja dan lantai. Aku bisa saja pura-pura nggak mendengar ketukan di pintu, tapi sayangnya, tamu tak diundang ini nggak cukup tahu diri untuk pergi begitu saja.Wanita itu berhenti di ambang pintu, ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling ruangan—langit-langit yang mengelupas, meja berantakan, kursi yang tampak lebih cocok untuk rumah duka daripada kantor detektif swasta. Rahangnya mengatup. Lalu, dengan gerakan sedikit kaku, dia menggeser kursi tanpa benar-benar meminta izin. Dia duduk dengan tangan mencengkeram liontinnya sesaat tanpa sadar.Aku sudah bisa menebak tipe orang seperti ini: bahu menegang, jemari mencengkeram tali tas seolah-olah itu satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Ah, klien yang

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Topeng Kematian

    Lorong hotel terasa lebih sunyi dari seharusnya. Hanya langkah Detektif Otero dan Alphonse yang menggema saat mereka mendekati kamar 207—tempat Marilyn Cass ditemukan tidak bernyawa. Tanpa banyak bicara, Detektif Otero mengeluarkan lencananya dan menunjukkannya pada dua petugas polisi yang berjaga di luar kamar. Salah satu petugas mengangguk, mengangkat sedikit garis polisi yang membentang di ambang pintu, lalu membiarkan mereka masuk.“Seperti yang kau lihat. Situasinya seperti ini,” ujar Detektif Otero, suaranya terbungkus dalam ketenangan.Bau khas bahan kimia dan kematian menyambut mereka begitu melewati ambang pintu. Kilatan lampu kamera forensik membelah kegelapan ruangan, menciptakan bayangan-bayangan tajam di dinding berwarna krem. Para petugas bergerak dalam keheningan profesional, mengumpulkan bukti tanpa membiarkan emosi mengintervensi. Di samping tempat tidur, sebuah kantong mayat berwarna hitam tergeletak dengan ritsleting yang tertutup rapat.“Ada perkembangan?” tanya De

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status