Aku bangun di tengah malam. Aku mencari ponselku di atas nakas, tidak dapat. Kuulurkan tanganku sejauh mungkin untuk meraihnya tidak ada. Dengan malas aku bangun dan ponselku tidak ada di nakas. Biasanya suamiku menaruh di atas nakas. Dia tahu kebiasaanku begitu bangun tidur, melihat jam digital yang tertera di ponsel.’Mungkin pap tidak menemukan ponselku, mungkin jatuh di lantai karena keseruan kami di siang bolong membuat aku kalap dibuatnya, minta terus memasuki diriku,’ batinku sambil tersenyum mengingat kejadian siang hari tadi yang menurutku spektakuler.Aku meraih jubah kamar keluar kamar tidur. Terdengar suara suamiku menelpon seseorang,”Blokir akun sampah itu. Cari siapa yang menguploadnya. Kalau bisa polisikan dia, biar kapok!”“Pap..”“Eh, sudah bangun, maaf pap bangun duluan.” Kata suamiku lalu menghampiriku.“Ada apakah? Kok serius banget sampai mau diblokir dan dipolisikan?” tanyaku.“Berita sampah, mau pansos dengan merugikan orang lain.”“Pap lihat posnelku?” tanyaku.
Aku merasakan urat syarafku menggelenyar ketika mencoba menghadirkan Sari dalam pikiranku. Aku dan Sari sudah lama berteman, bahkan waktu itu aku merasakan Sari adalah sahabatku meskipun dia menganggap aku saingannya. Dia selalu ingin terlihat lebih unggul dalam pelajaran daripadaku, lebih terkenal daripadaku dan dia akan memuntahkan kemarahannya kepadaku jika ada siswa yang dinaksirnya berbicara denganku. Dia manipulative, tidak punya empati , boleh dikatakan narsis dan toxic.Dalam pergaulan dengan teman-teman Sari selalu memancing keributan, mengontrol orang lain, suka adu domba, akulah yang menjadi pemadam kemarahan teman-teman.Pertemanan kami mulia goyah dengan masuknya Wishnu ke sekolah kami, siswa pindahan dari Jogja. Dia dipindahkan karena bermasalah dengan guru. Wishnu terkenal karena kegantengannya, dia benar-benar tampan, sangat enak dilihat dan anak dari pengusaha kaya yang cukup terkenal di Surabaya.“Jeje, aku akan berkencan dengan dia.”Aku tertawa senang,”Jadi kau
Aku , Sari dan Tama teman di SD dan SMP yang sama. Karena tinggal satu kompleks kami sering pergi dan pulang sekolah bersama-sama bahkan mamanya Tama sering mengundang kami singgah ke rumah untuk menikmati makan siang bersama.Mamanya Tama menyukai Sari, dia tidak suka kepadaku, menurutnya aku tidak sepadan dengan putra kesayangannya.Tama anak satu-satunya keluarga Dharmadji, pengusaha beras yang mempunyai sawah berhektar-hektar serta penggilangan padi yang terkenal kaya di desa Sukolilo yang letaknya tidak jauh dari kompleks kami. Mungkin merasa kaya Tama menjadi pribadi yang menurutku sombong. Kekurangannya suaranya tidak sepadan dengan kelebihan yang dimilikinya serta menurutku dia tolol.Bagiku Tama sekedar teman jalan, tidak lebih dari itu.Ketika masuk ke jenjang SMA, Tama dipindahkan orangtuanya ke Jogja. Kelas dua SMA kelas kami menerima siswa pindahan dari Jogja , langsung menjadi idola di SMAN3 , anehnya Sari dan aku tidak mengenalnya karena perubahan pada postur tubuhnya
Ketika mengetahui bahwa Wishnutama menikah dengan Sari aku terheboh-heboh sendirian.Bukankah Sari pacaran dengan Surya bahkan mereka telah melakukan hubungan intim yang waktu itu kepergok olehku membuatku muntah-muntah. Kok bisanya dia menikah dengan Wishnutama ?Waktu perjalanan ke Jakarta, Sari mengatakan bahwa dia sakit hati pada Wishnu.“Jeje, kamu tahu, aku melamar Wishnu agar mau menjadi pacarku.”“Oh! “ Jawabku pura-pura kaget.“Ternyata dia tidak menerima lamaranku, dia akan menunggumu setelah kamu selesai kuliah.”“Silahkan menungguku. Aku tidak minta dia menungguku.Aku tidak peduli seberapa menggebu keinginannya untuk menungguku , bagai cebol merindukan bulan.”“Bagai pungguk merindukan bulan.” Ralat Sari.“Sama saja , mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.”“Aku patah hati dibuatnya.”“Lupakan Wishnutama, siapa tahu di kampus banyak pria tampan tertarik padamu. Kamu cantik….”Ujarku seolah-olah menghibur. Aku tahu yang keluar dari mulutku sekedar pemanis.Aku meng
Dalam benakku Erlangga Surya Hadipranoto, MM. itu saudara tiri suamiku, Bulus Sriyanto Hadiparoto, ST. Aku ingin membuktikan apakah yang ada di pikiranku benar adanya. Jika aku menanyakan saudara tirinya ada rasa tidak suka di wajahnya, suasana yang ceria berakhir dengan ketegangan dan dingin.Pagi hari ketika sarapan aku berusaha keras mengorek keberadaan saudara tirinya.“Pap minta waktu sebentar? Mam ingin bicara mengenai saudara tirimu. Sebelum bertemu dengannya mam ingin mengetahui karakternya.”Tanyaku penuh kehati-hatian.“Kalau mam ingin mengetahui karakter di bangsat cari saja di internet. Mendengar namanya saja aku mau muntah!”Aku menghela napas kasar, aku berusaha agar dapat menjembatani jurang yang menganga lebar antara suadara tiri suamiku dengan suamiku karena firasatku mengatakan bahwa Surya pacar Sari dulu adalah Surya saudara tiri suamiku.Keheningan menyelimuti sarapan kami, hanya terdengar denting sendok dan garpu yang bersentuhan di piring. Selesai sarapan, aku men
Aku berusaha melepaskan milik suamiku yang masih berada di dalam karena tidak mampu menahan kejang-kejang nikmat yang mengalir ke seluruh tubuhku tapi suamiku menahannya.“Jangan mam biarkan saja di dalam, aku bisa merasakan milikmu mengencang, menjepit keras milikku. Hum uenaakk…” Erangnya.Kami melakukan sudah ketiga kalinya, suamiku tidak puas kalau kami melakukannya sekali, meskipun kami orgasm bersama-sama. Guncangan di tempat tidur, disusul gerakan kasur yang semakin kuat menandakan kami melakukannya dengan intens dan kuat. “Hummh… Uenaakk.. sulit kulepaskan.”“Akhhh…”“Kamu uenaaakkk bangettt.” Teriak suamiku.Suamiku mempertahankan dengan intensitas tinggi agar bisa mencapai puncak kenikmatan,”Pap, santai saja, jangan terburu-buru mencapai klimaks.” Desahku dengan napas ngos-ngosan.“Aku ingin yang ketiga kalinya lebih indah, menyenangkan dan maksimal…Ohhh….Arrgggh…”Suamiku mendesah terus menggoyangkan tubuhnya di atas tubuhku. Kueratkan pelukanku, tubuhku mengejang. Sua
Aku merasakan usapan lembut di pipiku. Aku memincingkan mataku, ada perasaan malas membuka mata . Hembusan napas menerjang wajahku diiringi aroma kopi sachet kesukaanku.“Bangun pemalas, matahari sudah terbit dari tadi kamu masih tidur saja.”Ujar suamiku.“Aku masih ngantuk. ““Minum kopi , biar ngantukmu hilang.”“Ogah, capek dan lelah. Rasanya mau tidur lagi.”“Sudah jam sepuluh, belum puas kamu tidur dua belas jam?”“Apa…? Dua belas jam?” Tanyaku tidak percaya, langsung mengucek mataku, meregangkan tubuhku bak kucing malas.“Adhi sudah mandi, sudah sarapan dan ingin makan mie pangsit buatan mam.”“Begitu saja kok repot. Beli saja, aku malas masak.””Inilah isteri jaman sekarang, punya dapur dengan perlengkapan masak lengkap, ujug-ujung pesan makanan online.”Aku tidak mendengar protesnya, menyeruput kopi yang aromanya sangat menggoda hidungku, langsung menegak habis tanpa meninggalkan sisa dipandangi suamiku dengan menahan senyum.“Haus.” Kataku lalu menurunkan cangkir kopi dan men
Sesuai dengan arahan pengacara suamiku, seharian aku disibukkan menyiapkan beberapa bukti termasuk menunjuk saksi. Bukti-bukti bisa kusiapkan, foto-foto yang menyebarkan kabar hoax, video di media sosial yang juga kupunyai, percakapanku dengan Sari ,aku screenshot, ijazah S1 dari kampusku tempat aku mendapat beasiswa sudah difotocopy dan dilegalisir, foto ijzah waktu aku wisuda disertai ijazah S2 dan S3 ketika kuliah di LA.Tiba saatnya menyiapkan saksi, aku kebingungan menunjuk saksi yang akan aku ajukan?“Pap, aku kebingungan menunjuk saksi.” Kataku sambil menggaruk leherku, tanda aku sedang nervous.“Hum, menurut mas Marwan, saksinya orang yang menyaksikan kejadian tersebut di media sosial.”“Tapi ini rekayasa bukan kejadian?” protesku.“Mungkin saksi yang mengetahui dirimu yang sebenarnya , tidak seperti yang diunggah di medsos.” Ujar suamiku .“Tidak mungkin oom Bimo, tante Mayang dan Sakti ,teman kampus? Aku jarang bergaul dengan mereka karena setiap aku dekat dengan seseo