"Kak Melly akan dipulangkan oleh pihak KBRI. Nanti kita jemput saja di bandara," ujarku pada sang istri. Kulihat raut bahagia disana karena sebentar lagi kakak kandung yang selama ini menghilang akan bertemu dan bersatu kembali seperti dulu. "Syukur juga ya Mas. Akhirnya kak Melly bisa pulang ke tanah air!" "Iya. Hmmm ... Ibu mana? Besok agak siang dikit kita berangkat ke bandara. Kasih tau ibu biar siap - siap," titahku pada wanita penghuni hati ini. "Kamar untuk kak Melly apa sudah di bersihkan? Bik Romlah mana? Suruh bersihkan kamar yang diatas. Kak Melly tinggal diatas aja ya sama dengan ibu. Hmmm ... tapi apa ibu sanggup naik turun tangga setiap hari?" tanyaku lagi. Ibu sudah tua dan lemah pasti tidak akan sanggup jika tiap hari naik turun tangga yang lumayan menguras tenaga juga. "Atau ibu sama kak Melly di bawah aja sementara kita tidur di lantai atas aja." Saranku langsung di sambut dengan gelengan kepala Naya. "Mas, kak Melly gak usah tinggal disini. Biar dia mandiri saj
Aku masih penasaran dengan siapa yang telah mengintai rumah kami. Semoga saja tidak mempunyai maksud jahat. Malam ini Daffa sangat bahagia karena di rumah ramai dan dia merasa banyak yang menyayangi. Karena paling kecil jadi perhatian semua tertuju kepadanya.Sehingga membuat Daffa menjadi cengeng dan manja. Rumah terasa riuh dengan tingkah anak semata wayang kami. Cucu satu - satunya. Dia sangat bahagia. Apalagi neneknya sudah mulai ceria lagi karena anaknya sudah berkumpul kembali seperti dahulu walaupun sudah tidak punya apa-apa lagi. Malam ini Daffa tidur dengan nenek dan tante Melly. Daffa sangat senang bisa bermain dengan tantenya. Ditambah tante Melly juga sangat menyukai anak-anak. Mungkin juga dia sudah sangat merindukan kehadiran anak dalam kehidupan rumah tangganya tapi apa daya suaminya lebih memilih wanita lain di bandingkan dirinya. Mungkin inilah yang terbaik untuk kak Melly daripada hidup dengan benalu sangat menyakitkan hati maka lebih bagus berpisah saja. Di sepe
Aku berfikir untuk menempati salah satu rumah kos yang berada tidak jauh dari toko kami dan juga tidak seberapa jauh dari rumah pak Herman. "Bagaimana pak Bayu? Kamar di rumah saya ada yang kosong. Bisa Bapak tempati untuk sementara waktu bersama keluarga," tawar pak RT. Beliau menawari kami sekeluarga untuk menempati rumahnya. "Gak apa - apa, Pak. Besok kami berencana mau menempati rumah kos yang terletak di kota, jadi kalau pun mau ke toko tidak terlalu jauh. Maaf, Pak. Bukan maksud untuk sombong tidak mau menerima bantuan, Pak. Buat apa kami meratapi semua ini toh gak ada gunanya juga kan? Saya sama istri harus bangkit kembali dari keterpurukan ini," ujarku memberi penjelasan kepada pak RT. Semoga saja mereka tidak tersinggung dengan penolakan ini. "Oh ya udah gak apa - apa, pak Bayu. Saya malah bangga sama Bapak sekeluarga. Masih muda sudah sukses. Jadi walaupun ada musibah begini masih ada rumah lain yang bisa di tempati. Beda dengan saya, Pak. Jika rumah saya terbakar entah ke
Kebakaran yang kami alami membuat trauma yang amat dalam. Tidak dapat aku bayangkan apa yang terjadi jika aku tidak terbangun malam itu. Seandainya Allah berkehendak dan mengambil kami, mungkin hari ini kami tidak bisa lagi melihat matahari bersinar. Alhamdulillah ya Allah, semua ini memang milik Mu. Dan Engkau ambil jika Engkau Berkehendak. Aku bersyukur Engkau masih memberikan waktu untuk kami menghirup oksigen di alam semesta Mu. Terima kasih Ya Allah, Engkau masih berikan kami waktu untuk beribadah dan bertaubat. "Oke karena waktu sudah mau masuk subuh kami permisi dulu. Nanti akan kami kerahkan anggota saya untuk mengamankan keluarga Bapak, ya." Ucap pak Abdi dan aku mengangguk pasti tanda setuju. "Kami sangat berterima kasih atas segala bantuan yang Bapak dan anak buah Bapak berikan. Tapi Pak ... untuk sementara waktu kami tidak tinggal disini dulu. Mungkin besok baru menempati rumah kos kosan yang berada di kota. Kebetulan ada dua pintu rumah yang belum ada penyewanya. Satu p
"Kenapa harus saya, sih? Masalah saya sudah terlalu banyak. Saya ingin ketenangan!" ungkap kak Melly dengan nada tidak suka. "Kenapa memang kalau saya yang bonceng, Mbak? Ada yang salah?" tanya polisi tersebut seakan dia tidak mengetahui status kak Melly saat ini. "Saya ini janda, nanti tidak enak dilihat warga sini. Walau saya tau itu tugas Bapak tapi alangkah baiknya saya jalan sendiri saja, tidak berboncengan dengan lelaki manapun," ujar kak Melly. "Kalau kita ikutin omongan tetangga, gak ada habisnya!" Memang ada benarnya apa yang dikatakan polisi tersebut. Jika mengikuti omongan tetangga tidak akan selesai-selesai. Semua yang kita lakukan ada saja yang salah dimata mereka. "Maaf, Pak. Bukan saya mau berlagak sombong, sok cantik, sok di sukai orang sampai manolak tawaran bapak untuk boncengan ke kantor polisi. Bukan karena itu. Saya pun tau diri siapalah diri ini janda kampung yang dekil. Justru karena status saya sebagai janda makanya saya menolak berboncengan sama bapak. Saya
"Dek, tega banget kamu! Gak sayang lagi kamu sama Mas? Kamu jangan begitu, walau bagaimanapun kita ini pernah saling menyayangi dan saling mencintai. Kalau sudah tak sayang lagi cukup dalam hati saja. Janganlah terlalu membenci. Sampai kamu memasukkan Mas kedalam penjara atas dosa yang tidak pernah Mas lakukan," ujar Haris menghiba. Biasalah ular. Jika sudah mulai kejepit mencari bantuan, menghiba seolah - olah dia adalah korban yang tertindas. Coba kalo dia sedang berkuasa semua akan di hancurkan. "Apa maksudmu atas dosa yang tidak kamu perbuat? Yang kamj lakukan terhadap keluargaku selama ini apa masih kurang banyak? Apa kamh gak sadar telah menghancurkan hidup aku? Dan adikku juga engkau zalimi. Kurang zalim bagaimana lagi kamu itu hah?" Emosi kak Melly semakin menjadi - jadi. Mungkin batas kesabarannya sudah habis. "Zalim bagaimana sih, Dek? Jangan mengada - ngada. Itu semua fitnah, supaya Adek membenci Mas. Mungkin mereka menginginkan kita hancur. Rumah tangga yang sudah berce
"Ikan gurame dari kolam kamu, ini ya?" tanya pak Abdi sambil menyeruput jus wortel. "Kayaknya iya, Pak. Karena cuma saya sendiri pemasok ikan-ikan segar ke restoran bu Hamidah ini. Setiap pagi sesudah subuh saya sudah bergerak mengais rejeki, Pak. Mencari sesuap nasi." "Ah kamu bisa aja. Terlalu merendah itu namanya. Padahal sebenarnya mencari sesuap nasi dan dapatnya segenggam berlian ya kan?" seloroh pak Abdi. "Ah gak juga, Pak. Kalo tiap hari dapat segenggam berlian, sudah kaya mendadak," ujarku merendah. "Cuma enaknya buka usaha sendiri, kita tidak dimarah-marahi atasan. Mau datang terlambat atau mau jungkir balikpun tidak akan ada yang marahin. Intinya bisa sesuka hati," ujarku lagi. Pak Abdi hanya manggut - manggut saja. "Ah ... nanti kalau saya pensiun mau juga berbisnis. Ajari saya ya!" "Dengan senang hati, Pak. Sekarang pun saya bersedia mengajari bapak berbisnis. Di desa suka tani banyak juga anggota polisi yang kerja sampingannya bertani. Bahkan ada juga tentara. Kata
"Iya juga ya. Semoga saja selama pak Abdi bergabung usaha kita gak ada yang berani menyenggolnya ya kan pak?" tanya Naya sementara lelaki bermata hazel itu hanya tersenyum saja. Bukan tidak ada modal kami menggantikan kerugian ikan yang mati keracunan. Hanya saja aku tidak tega melihat pak Abdi yang mau ikut menanam modalnya. Kalau aku tolak, pasti beliau kecewa. Dia pun sangat berkeinginan berbisnis seperti aku tetapi modalnya masih sedikit. Pasti tidak akan mencukupi. "Semoga semuanya berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan ya. Saya gak bisa menjamin ada atau gak orang yang menyenggol kita nantinya. Berdoa saja semoga di jauhkan dari orang yang iri hati dan dengki terhadap kita," ucap pak Abdi. "Aamiin," ucap kami serentak seperti di komandoi saja. "Iya, Pak. Oh ya Dek buatin minum buat pak Abdi. Masak dibiari aja tamunya." titahku pada mamanya Daffa. "Gak usah sibuk - sibuk. Kalau haus nanti saya ambil sendiri. Lagian kita 'kan barusan makan dan minum tadi. Masak saya mau