Ketika aku akan beranjak pergi tiba-tiba saja suara ponselku berbunyi, ada yang menelponku dari nomor yang tidak di kenal. "Assalamualaikum." Sapaku. Dengan sedikit penasaran siapa gerangan yang menelpon dan dapat darimana nomor telpon ini? Semoga saja masalah bisnis. "Halo selamat siang. Ini dengan keluarga bu Naya?" tanya seseorang dengan suara bariton dari seberang sana. "Iya, Pak. Saya suaminya! Hmmm ... ini dengan siapa, ya? Dan ada apa?" tanyaku penasaran. "Maaf, Pak. Saya dari pihak rumah sakit hanya mau memberitahukan bahwa istri Bapak kecelakaan. Sekarang sedang di rawat di rumah sakit melati. Tapi sayangnya penabrak istri anda kabur melarikan diri." jawabannya memberitahukan istriku mengalami kecelakaan. Tiba-tiba jantung ini seakan berhenti berdetak. Bagaimana tidak, Naya menggendong Daffa, padahal sudah kunasehati tapi tidak dipedulikan. Masih terngiang dalam ingatanku bagaimana tadi pagi Daffa sangat ceria dan dia minta aku gendong dan tidak ingin dilepaskan. Apakah
"Bu, saya mau menjual rumah kos-kosan yang baru saya beli minggu lalu untuk biaya operasi patah tulang istri saya, Bu." "Jangan dijual, Dit. Sayang dan juga pantang barang yang sudah di beli di jual lagi. Takutnya kamu gak akan bisa membeli lagi nantinya." Jelas bu Ratna panjang lebar. Beliau tidak menginginkan aku dan keluarga kecilku akan menderita, seperti seorang ibu yang tidak menginginkan anaknya susah dan menderita. "Gak apa - apa, Bu. Yang penting anak dan istri saya sehat kembali seperti dulu lagi. Buat apa harta banyak dan berlimpah jika anak istri sakit - - sakitan?" Ku ceritakan segala keluh kesahku pada bu Ratna karena beliau sudah aku anggap seperti orang tua ku sendiri. "Ibu tau bagaiamana perasaanmu saat ini, Bay. Tapi tidak juga karena itu kamu menjual semua. Dari pada kamu jual rumah itu lebih bagus kamu ambil saja uang simpanan Ibu. Nanti kapan ada uang baru kamu bayari." Terlalu banyak sudah bu Ratna sama pak Irawan membantu kami berdua. Aku gak mau membebani pa
"Adek rasa ada orang yang mau melenyapkan kami berdua. Mereka begitu nekat dan tidak memperdulikan orang-orang sekitar," jelas Naya. Dia juga memberi penjelasan sedetailnya. "Maksud Adek bagaimana?" tanyaku penasaran. Mana mungkin Naya bisa melihat dan mengetahui ada orang yang berniat buruk terhadapnya. Paling juga itu hanya ketakutan dia aja. Aku yakin kejadian tersebut murni karena kecelakaan. "Pengendara sepeda motor sengaja menabrak kami berdua, Mas," ucap Naya dengan wajah tertunduk dengan air mata yang semakin menetes membasahi pipinya. "Kita tidak boleh berprasangka buruk terhadap orang lain. Yakinlah ini hanya kecelakaan biasa. Murni kecelakaan," ujarku berusaha menenangkan kegalauan hati istriku. Nampaknya istriku sangat ketakutan sehingga untuk melihat orang asing saja dia sudah berfikir yang tidak - tidak. "Kalau tidak percaya. Sekarang coba ke tempat kejadian perkara dan minta mereka untuk memutar cctv kejadian hari kecelakaan itu." tantang Naya. Dia begitu yakin jika
Aku masih penasaran dengan apa yang dikatakan Naya. Jika memang ada seseorang yang hendak melenyapkan istriku, siapa orangnya. Ada masalah apa mereka dengan kami, sehingga mereka nekat ingin menghabisi anak dan istriku. Semoga saja dugaan Naya tidak benar, mungkin saja halusinasi dia saja sehingga berkesimpulan begitu. "Assalamualaikum," ucap pak Irawan memberikan salam. "Wa alaikum salam," jawabku dari dalam dan beranjak dari kursi malas untuk membuka pintu. Ceklek. "Silahkan masuk," ujarku seraya mengulurkan tangan untuk menyalami pak Irawan. "Iya, Bay," jawab lelaki enam puluh tahun itu sambil meraih tanganku dan beliau berjalan menuju ruanag tamu. "Bagaimana kondisi istri dan anakmu? Apa udah baikan?" tanya beliau lagi sambil menghempaskan bobot tubuhnya diatas kursi ruang tamu. "Udah lumayan sih, Pak. Tapi ..." Aku menggantungkan ucapanku karena bingung mau melanjutkan dan harus memulainya dari mana. "Tapi kenapa, Bay?" Tanya pak Irawan seraya menoleh kearahku. Beliau men
Kring ... kring ... kring. Dering suara telpon terdengar menandakan ada seseorang menelpon. Segera aku rogoh ponsel yang berada di saku celana dan melihat nomor asing yang menelpon. Diri ini bertanya-tanya, siapa yang menelpon dengan nomor tidak terdaftar di ponselku?Kemudian jari ini menekan tombol biru, dan terhubung ke orang yang menelpon tersebut. "Halo assalamualaikum," salam kuucapkan tetapi terdengar suara isak tangis dari seberang sana. Menurut pendengaranku seperti suara ibu mertua. Ada apa gerangan dengan mertuaku saat ini. Kenapa beliau menangis. Pasti ada masalah yang terlalu berat dan tidak bisa diselesaikan makanya beliau menangis. "Ibu ... kenapa menangis. Ada apa, Bu. Tolong ceritakan sama Bayu. Mana tau Bayu bisa membantunya," ujarku berusaha menenangkan ibu mertua yang semakin kencang tangisannya. "Ibu ada perlu dengan Naya. Boleh Ibu berbicara dengannya sebentar saja, Bayu?" tanya ibu mertua diujung sana. Nampaknya beliau sedang dalam masalah besar karena yang
"Nanti agak siang dikit Ibu di jemput sama pak Saiful ya, Bu." Janjiku pada ibu mertua. Sementara Naya belum mengetahui perihal rumah orang tuanya yang sudah di sita pihak Bank. "Gak apa - apa, Bay. Kamu bekerja saja dulu. Besok pun bisa kalau kamu mau menjemput Ibu. Kan masih ada waktu sehari lagi," ujar beliau di ujung telpon. "Barang yang mau ibu jual apa sudah diangkat sama pembelinya? Atau belum laku?" "Belum semua," "Ya udah Saya share di grup jual beli. Biasanya cepat laku, Bu. Dan harganya tidak terlalu jatuh dari harga beli baru kok," ujarku untuk meyakinkan bu Lastri. "Terserah kamu aja, Bay. Ibu ikut aja bagaimana baiknya. Baik di mata kalian berarti baik juga di mata ibu." lirihnya. Suara ibu masih terdengar pilu. Melihat beliau membuat siapapun tidak tega, karena saat inilah beliau merasa sangat terpukul dan juga tidak berguna lagi. Beliau tidak mempunyai siapa - siapa lagi saat ini. Hanya aku dan Naya harapan mertuaku satu - satunya. "Udah ya, Kamu mandi aja dulu
"Naya, kamu jangan begitu. Bagaimanapun bu Lastri itu ibu kandungmu. Jangan sampai jadi anak durhaka. Mas tidak pernah mengajarin kamu seperti itu." Nasehatku pada Naya disaat dia tidak mau pulang untuk menjumpai ibu kandungnya sendiri. "Mas, adek gak pernah membenci ibu. Naya selalu sayang pada beliau dan tidak akan pernah berubah. Karena beliau orang tua yang telah bersusah payah melahirkan diri ini mana mungkin Naya membencinya, Mas," jawab Naya tergugu. "Jadi apa yang membuat kamu tidak mau pulang untuk menjumpai beliau?" tanyaku kesal. Katanya sayang sama ibu tetapi malah tidak mau menjumpainya. Namanya saja saja bohong. "Jangan gara - gara harta kekayaan kamu menjadi lupa diri, Dek. Ingat harta itu titipan Allah dan hanya sebentar saja. Jangan sombong. Jangan kamu tenggelam apa lagi silau dengan kekayaan." Nasehatku lagi. "Apa hubungannya dengan harta kekayaan sih. Bukan karena itu, Mas. Adek kesal sama kak Melly aja. Dulu dia begitu sombongnya memperlakukan kamu, Mas. Masih
Seperti biasa aku terbangun saat dini hari untuk bermunajat kepada sang Maha Pemberi Kehidupan. Selama ini cobaan hidup terus menerus menerpa hidupku, tubuh ini tidak bisa lagi tidur senyenyak dahulu. Selalu saja terbangun di sepertiga malam. Itu semua aku manfaatkan untuk mencurahkan isi hati ini kepada sang Pemilik Kehidupan. Begitu juga malam ini. Malam pertama aku meninggalkan rumah peninggalan suamiku dan tinggal bersama dengan anakku, Naya. Ada yang hilang begitu di dalam relung hati. Ingin ku teriak sekencang - kencangnya tapi apalah daya tubuh tua ini tidak bisa melakukannya hal seperti itu. Aku juga tidak mau menyusahkan anak - anak. Biarlah semua ku pendam sendiri dalam hati. Sesakit apapun cobaan hidup, tidak akan ku umbar, cukup Tuhan yang tau penderitaan ini. Aku turun dari ranjang perlahan - lahan agar tidak membangunkan penghuni rumah ini. Kulangkahkan kaki tua ini menuju ke kamar mandi yang berada di kamar belakang. Semua itu kulakukan supaya tidak berisik dan akan
Tiga bulan telah berlalu. "Kak, tadi malam pak Bayu melamar kakak untuk menjadi istrinya. Beliau sangat menginginkan kakak menjadi ibu sambung bagi putra semata wayangnya," ujarku pada kakak ipar yang sedang membuat sarapan untuk sekeluarga. "Kamu jawab apa?" tanyanya seraya terus mengaduk nasi diatas penggorengan. "Bayu belum berani membuat keputusan. Semua keputusan Bayu serahkan kepada Kakak. Kan yang menjalani rumah tangga bersama pak Abdi, Kakak. Bukan Bayu," ujarku seraya duduk diatas kursi meja makan Pagi-pagi aku telah bertandang ke rumah mertua untuk menyampaikan berita gembira ini. Menurut aku sih kabar gembira. Karena akhirnya kak Melly dilamar oleh pak Bayu yang merupakan seorang perwira polisi. Setelah rumah kami selesai dibangun, kami bertiga pindah ke rumah baru. Sementara kak Melly dan ibu mertua tetap bertahan di rumah sewa, begitu juga pak Abdi. Jadi mereka tetap bertentangga sampai sekarang. "Kakak tidak mau, Bay. Kakak masih betah menjanda," jawab kak Melly.
Melly"Tante, kenapa tidak mau menikah dengan ayahku. Apa ayahku terlalu jelek sehingga tante tidak mau menjadi istrinya?" tanya Aldo memelas.Bukan aku tidak mau menjadi istri dari pak Abdi. Tapi bagaimana ya? Pak Abdi sendiri tidak pernah membahas masalah itu. Masak aku duluan yang harus nyosor beliau? Dimana harga diri aku sebagai wanita. Walaupun seorang janda aku juga punya harga diri. Tidak mudah obral sana sini."Tante tidak bisa menikah dengan polisi. Tante takut melihat lelaki berseragam coklat. Bisa-bisa Tante pipis di celana karena ketakutan," ujarku berbohong. Pak Abdi hanya melihat sekilas saja, kemudian melempar pandangannya keluar kamar hotel. "Ayah Aldo tidak jahat, Tante. Ayolah Tante menikah dengan ayah Aldo. Kalau tidak mau, Aldo bunuh diri!" Ancam bocah lima tahun itu. Kemudian dia berlari ke luar penginapan. Baru saja sampai penginapan dia sudah banyak drama, padahal capeknya saja belum hilang."Aldo!" Teriak pak Abdi seraya mengejar jagoannya yang hendak menyebe
"Bajingan kamu," teriak Andre. Tangannya memegang sebilah belati dan melempar ke arahku. Bersyukur tidak mengenai tubuh ini karena sempat mengelaknya. "Jangan kau harap akan keluar hidup-hidup dari sini." Ancam mas Andre dengan melancarkan tendangan demi tendangan ke arahku sehingga mengenai perut ini. Bugh Sebuah tendangan mengenai dada membuat tubuh ini limbung dan hampir saja terjatuh jika saja tidak segera aku pegangan ke dinding. Sebelum dia melancarkan kembali aksinya, para aparat keamanan sudah mengepung sehingga membuat dia tidak bisa berkutik lagi. Aku segera mundur dan polisi pun melaksanakan tugasnya. "Bedebah kau, pengkhianat. Kau menjebakku dengan pura-pura menjadi kurir. Dasar bajingan!" Segala sumpah serapah keluar dari mulut busuk mas Andre. Dia sangat sakit hati karena telah dijebak tetapi dia tidak sadar jika perbuatannya dengan menjebak aku dengan Risma lebih sakit lagi. "Kamu tidak kenapa-kenapa kan, Bay?" tanya pak Abdi. Dia bertanya dengan nafas tersengal-s
"Tadi malam wanita yang bernama Sofia menelpon aku. Dia mengancam akan menyebarkan foto bugil kita berdua jika kita tidak jadi menikahi!" ucapan Risma membuat emosiku naik keubun-ubun."Jadi, dalangnya Sofi?" tanyaku dan dijawab dengan anggukan oleh wanita yang telah dijebak denganku dikamar hotel itu."Kamu kenal wanita itu?" tanya Risma takut-takut."Aku gak terlalu kenal sama dia tapi setauku, Sofi sahabat dekat dengan Andre, mantan kakak ipar," beberku. Kurasa ini ada hubungannya dengan Andre. Mungkin juga dia sudah keluar dari tahanan dan pasti sedang merencanakan kehancuran aku dan Naya. Aku tidak akan tinggal diam atas perlakuan mereka itu. Akan kutuntut siapapun dia, walaupun sampai ke lobang semut. Tidak akan kubiarkan mereka bebas menikmati udara segar diluar sana."Tapi kenapa aku yang dijadikan korban disini?" tanya Risma dengan suara serak."Kebetulan saja kamu ada disitu," jawabku dengan tangan mengepal kuat, buku-buku jariku memutih sangking kuatnya. Jika ada Andre di
"Kau harus menikah dengan Bayu." titah Sopia."Kau tau sendiri 'kan. Bayu itu sudah punya anak dan istri. Aku tidak sudi berbagi suami. Aku tidak mau menjadi pelakor dalam rumah tangga orang," tandasku."Sekarang pilihan semuanya kuserahkan padamu. Menikah dengan Bayu dan namamu akan bersih. Video syur kamu akan ku hapus tetapi ... " suara Sopia terputus dan aku merasakan ada yang tidak beres dengan perkataannnya."Tetapi apa." Aku semakin penasaran dengan wanita berhati srigala ini. Yang jelas aku sudah dijebak oleh mereka."Jika kamu menolaknya siap - siap aja kamu menerima hinaan dan cacian karena foto syur kamu dengan Bayu akan aku sebarkan.""Kamu manusia paling jahat berhati iblis.""Hahaha ... sekarang kamu pilih mana. Aku tidak akan memaksamu. Semua ku serahkan kepadamu," ujar Sofia seraya memutuskan panggilannya.Aku harus mengikuti perintah Sofia sebelum foto itu disebar. Diri ini menjadi curiga kenapa bisa aku dan Bayu bisa berada sekamar hotel. Berarti Sofia yang telah mem
"AAAAARRRRGGGGHHHH." Aku menyugar kasar rambut ini. Apa yang telah terjadi tadi malam. Kenapa diri ini bisa berada di kamar hotel bersama wanita? Siapa yang telah membawa aku berdua dengan Risma kemari?Dan ...Wanita ini kenapa tidak menolak saat dibawa ke hotel dan tidur dengan orang yang tidak dikenal sama sekali. Atau ini semua hasil perbuatan Risma? Otakku terus bertanya - tanya.Masih teringat terakhir aku minum jus orange dan aku masih sadar, sesudah itu kepala ini terasa sangat pusing dan tiba - tiba saja pandangan ikut gelap. Hmmm ... apakah ada orang yang sengaja menjebakku dengan menaroh sesuatu dalam minuman?"Aku gak mau tau. Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu terhadap aku.""Risma ... aku gak kenal kamu. Dan aku juga tidak tahu apa yang telah terjadi tadi malam. Aku yakin kamu telah menjebak aku. Kamu kan yang menaruh obat dalam minumanku?" Tuduhku kepada wanita yang baru kukenal tetapi telah membuat hancur duniaku. Apa yang akan terjadi jika Naya mengetahui
"Bay, aku ke kamar mandi dulu, ya?" pamit Hendra. "Silahkan, Hen." Setelah kepergian Hendra aku sendirian saja duduk dikursi tamu. Tidak ada yang berkeinginan untuk duduk sekedar basa basi saja. Diri ini seperti tersangka yang siap dikuliti hidup-hidup. Tidak enak rasanya seperti ini. Kalau tahu begini jadinya tidak akan aku menghadiri acara ini. Mereka betul - betul telah memperlakukan aku begitu hina didepan khalayak ramai. Tak berapa lama datang seorang wanita muda dan aku betul-betul tidak ingat siapa namanya. Sepertinya dia bukan kalangan pengusaha. Mungkin salah satu istri dari anggota pengusaha. Entahlah. Aku pusing gara-gara Ratih yang sedang meringkuk di jeruji besi. "Bay, aku tau bagaimana serba salahnya kamu. Aku juga tau kamu tidak bersalah dalam masalah ini. Gak usah terlalu kamu pikirkan mereka itu yang bisanya hanya menuduh dan menghakimi orang aja bisa tanpa mau tau kebenarannya." Aku hanya melihat wanita yang sok akrab tersebut tanpa bereaksi apa-apa. Entah kenap
"Dek, Mas berangkat dulu, ya?" Berat rasanya meninggalkan belahan jiwaku. Kenapa rasanya seperti akan meninggalkan mereka dalam waktu yang lama? Aku sangat menyayangi Naya dan Daffa. Bersama merekalah aku bahagia. Naya pandai menghargai aku sebagai seorang suami. Bersamanya aku bisa merasakan menjadi lelaki seutuhnya, lelaki yang mempunyai martabat dan harga diri. "Iya. Hati-hati ya, Mas. Jangan lama-lama pulang. Nanti kami kangen," titah Naya seraya tersenyum. "Iyalah. Sebenarnya Mas sangat malas menghadiri acara itu. Gak ada manfaatnya bagi kita. Makanya mas ajak Adek biar ada alasan nanti jika mau pulang sebelum jam 12.00." "Kalau Adek sih mau-mau aja. Kasian Daffa kena angin malam, Mas!" "Kan gak setiap malam kita bergadang di jalan. Sekali setahun. Yok lah." Ajakku dan tetap saja Kinan menolaknya. "Bukan masalah begadang. Bahaya bawa anak kecil di jalan malam-malam. Jalannya macet, padat merayap. Biasanya banyak kecelakaan. Nauzubillah. Mas hati-hati ya?" pesan Naya seraya
"Mas, jangan lupa besok lusa ada acara temu ramah dan silaturrahim antara pengurus dan anggota Himpunan pengusaha muda di hotel Leon jalan pahlawan, ya!" ujar Naya mengingatkan karena dia sangat tau jika suaminya pelupa. "Adek ikut juga ya." ajakku. "Kalau Adek ikut, bagaimana dengan Daffa? Dia sudah terlalu sering kita tinggal, Mas. Anak itu jadi kurang kasih sayang dari orang tuanya. Takutnya dia tidak dekat sama kita. Malah lebih nurut kepada orang lain daripada orang tuaya sendiri." Alasan Naya ada benarnya juga. "Bukan gitu, Dek. Mas ingin mengenali istri kepada sesama pengusaha muda, Nay? Mereka gak ada yang kenal Adek katanya." "Adek rasa tidak perlu juga adek terlalu dikenali sama kawan Mas. Nanti mereka kepincut pula," seloroh Naya sambil berlalu dan aku hanya bisa tersenyum - senyum sendiri melihat tingkah istriku. "Dek, besok ikut aja ya?" Aku memohon pada Naya untuk tetap menemaniku pada acara temu ramah yang diadakan dihotel menjelang pergantian tahun. Acara puncak d