Jocelyn mengusap-usap punggung tangan Silvi, mencoba memberi dampak nyaman dan berempati atas kesedihan seorang ibu. Keduanya masih dududk di tempat semula, ruang besuk panti rehabilitasi. Mata Jocelyn berkaca-kaca melihat kondisi Silvi, pasti berat baginya menerima kenyataan bahwa putrinya tersandung masalah serius.
Sebelum bertandang ke panti, Jocelyn sudah mempelajari berkas perkara nota kesepahaman yang ditandatangai Silvi sebagai orang tua satu-satunya. Di sana jelas tertulis bahwa dua kasus yang menjerat Nadia bukanlah perkara sepele, untuk itu Jocelyn menyarankan agar menyewa pengacara. Besar kemungkinan keputusan akan sampai ke meja sidang. Terlebih kalau pihak korban tidak mau berdamai dan menempuh jalan kekeluargaan.
“Kalau boleh saya tahu, siapa yang namanya Fando ini?” tanya Celyn, penggilan akrab wanita itu.
Silvi menggeleng, dengan air mata terus merebak dari pelupuk matanya. Wanita paruh baya itu tidak tahu, dan benar-benar tak mengenal siapa Fando. Dia sendiri justru terkejut mengetahui fakta bahwa Fando sekolah di tempat yang sama dengan Nadia. Polisi curiga kalau ini bukan murni kecelakaan tapi berencana. Sebagai ibu, Silvi takut anakanya akan dihukum berat atas tuduhan kelalaian dalam mengemudi, ditambah lagi pada saat kejadian Nadia terbukti menggunakan obat-obatan terlarang.
Hancur hati Silvi memikirkan semua itu, dari mana dan sejak kapan Nadia mengenal narkoba, bagaimana bisa? Kenapa dan kenapa ... Silvi terus menyalahkan diri sendiri yang selama ini tak memerhatikan keseharian Nadia. Memang sudah lama, anak gadisnya itu gemar keluar malam, tapi Silvi tidak sampai berpikir Nadia akan mengenal barang haram itu. Kalau sudah begini, menyesal pun tiada guna.
“Saya tidak tahu,” jawab Silvi pada akhirnya. Suaranya parau sebab tangis yang belum reda.
“Tapi saya dengar, keluarga Fando mengenal Nadia dan membenarkaan kemungkinan kalau tabrak lari itu memang disengaja,” papar Celyn hati-hati.
Celyn terbayang kembali pertemuannya dengan keluarga Fando, sehari sebelum dia berkunjung ke panti untuk melihat Nadia. Orang tua Fando, bersikeras dan mengatakan dengan tegas tindakan Nadia murni ada unsure kesengajaan, atau bahkan mengancam akan menuntut dengan pasal pembunuhan berencana. Pengacara yang mendampingi keluarga Fando pun menuturkan hal serupa secara tersirat.
Satu hal yang membuat Celyn bertanya-tanya adalah, tampak jelas ada sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya. Reaksi keluarga Fando tidak salah, tetapi sedikit berlebihan. Menurut Celyn bila benar, Nadia dan Fando saling mengenal baik. Tentu kemungkinan untuk menyudahi perkara itu dengan jalan damai adalah solusi bagi semua orang. Tidak perlu lagi melibatkan polisi dan tentu Nadia juga bisa segera pulih. Melihat sekilas keadaan gadis itu, hati Celyn terasa ngilu. Tampak jelas, Nadia mengalami trauma dan serangan panik.
Amarah Silvi tersulut mendengar pernyataan Jocelyn barusan. ibu satu anak itu mendoangak dengan tatapan sengit.
“Apa Anda pikir anakku punya jiwa kriminal seperti itu?” sanggah Silvi defensive.
Jocelyn menegakkan badan, seulas senyum terulas, menunjukkan kesabaran dan empati yang masih sama. “Bukan begitu, saya hanya berusaha membantu, sebelum saya berbincang dengan putri Anda. Tidak ada salahnya saya menggali informasi tentang sesuatu yang Anda ketahui tentangnya. Baiklah, kalau Anda tidak berkenan, mari kita bicarakan hal-hal yang lebih umum. Seperti ... apa kebiasaan Nadia, apa yang dia sukai dan tidak,” tutur Celyn.
Silvi mulai menceritakan apa yang dia ketahui tentang Nadia. Sayangnya tidak banyak hal yang bisa dia uraikan, sebab Silvi tidak dekat anak gadisnya. Bahkan sejak mereka masih tinggal di Jakarta. Dari dulu, Nadia dekat dengan papa-nya, setelah kepala keluarga menghembuskan napas terakhir, Silvi memutuskan untuk kembali ke kampung halaman, Semarang.
Nadia gemar membaca dan menonton film-film aksi, nilai akademiknya terbilang baik. Tidak terlalu suka makanan pedas, dan gemar minum minuman bersoda, meski sudah diberi tahu kalau kandungan minuman seperti itu kurang baik untuk kesehatan. Setiap hari masih saja ada botol kosong tergeletak di tempat sampah dapur. Gadis itu nyaris tidak pernah bercerita tentang kesehariannya, selain kalau ada panggilan dari sekolah untuk orang tua atau wali murid. Silvi juga tak mendapati apa alasan Nadia suka membolos dan membuat masalah di sekolah, misalnya mengerjai guru yang tak disukai.
Setiap ditanya, yang ada Nadia marah dan membalik pernyataan bahwa Silvi tak perlu mendiktenya. Ibu dan anak itu akan adu mulut dan berakhir dengan bantingan pintu kamar. Kalau sudah begitu, Nadia akan menghindari tatap muka dengan Silvi. Diajak bicara juga percuma, karena percakapan mereka tak pernah berlangsung harmonis, perselisihan yang sama akan terulang.
“Tenangkan diri Anda, maaf kalau pertanyaan saya membuat Anda semakin bersedih,” ucap Celyn.
“Memang kenyataannya gitu, dan aku pikir semua baik-baik saja.”
Silvi mulai sesenggukan lagi.
“Apa Anda perlu saya antar pulang?” tawar Celyn.
Silvi menolak dengan gelengan kepala. Sembari mengusap lelehan air mata di kedua pipinya, dia menyampirkan tali tas di pundak kiri. Pun keduanya menyadari kedatangan Petra, sekembalinya konselor muda itu mengantar Nadia ke kamar.
“Aku meminta bantuan kalian, lakukan apapun yang terbaik. Permisi.”
Silvi berlalu tanpa menunggu jawaban Jocelyn dan Petra. Bahkan, konselor muda itu belum sampai duduk di kursinya lagi, pandangannya langsung beralih menatap Joceylin.
“Duduklah,” perintah Celyn ketika bisa membaca air muka penuh tanda tanya yang ditampakkan Petra.
“Aku punya opsi tempat lain,” kode Petra.
Wanita yang masih duduk itu menatapnya dengan senyum mengerti, tanpa bertanya dia tahu maksud ucapan Petra.
“Dan sepertinya, aku butuh kafein lebih untuk hari ini.” Celyn berdiri sejajar dengan Petra, lantas keduanya pergi dari sana.
Tak lama kemudian, kendaraan mereka membelah jalanan kota Semarang yang kerap macet di jam menjelang sore, dan bertambah parah saat jam pulang kerja. Hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai di kawasan simpang lima, atas usul Jocelyn tak ada salahnya mengusir penat dengan menonton film. Kabarnya bulan ini ada beberapa rilisan terbaru.
“Masih lama?” tanya Petra.
Laki-laki itu memerhatikan Celyn yang sedari tadi mengamati tiket nonton di tangannya. Karena dia tiak ikut mengantre atau sekadar membaca pamphlet jadi tak tahu jadwalnya dan film apa yang Jocelyn pilih.
“Nggak kok, setengah jam lagi. Kita bisa ngopi dulu di bawah,” usul Jocelyn.
Petra mengangguk. Lantas keduanya menghampiri escalator turun ke lantai dasar.
“Celyn.”
“Iya.” Wanita itu mengalihkan pandangan dari toko pernak-pernik ulang tahun.
“Bagaimana menurutmu tentang ini?”
Jocelyn menghela napas dalam sebelum menjawab, “Cukup mengkhawatirkan.”
“Aku rasa juga begitu.” Petra mengiyakan sembari mempersilakan Jocelyn duduk lebih dulu.
Keduanya memilih kedai kopi kenamaan untuk menemani obrolan. Pun sebelum duduk keduanya sudah memesan kopi favorit masing-masing.
“Baik Tante Silvi juga Nadia kondisi psikisnya nggak stabil,” tutur Nadia mengurai analisis.
“Terlebih Nadia, sepertinya ada trauma berat atau depresi berkepanjangan yang dialami anak itu.”
“Begitukah menurutmu?”
“Semoga tidak terlalu buruk.”
Nadia memacu kecepatan motornya, tanpa memperhatikan jarum speedometer yang terus bergerak ke kanan. Air mata berderai dan isakan tangis menambah pedih hatinya, benak gadis itu membayangkan semua kemungkinan buruk. Nadia merasa tak berdaya dan tak kuasa apabila Dirga ... cepat-cepat dias menggeleng, menepis kemungkinan yang mengganggu.“Nggak, itu nggak akan terjadi,” ucapnya pada diri sendiri.Di tengah pikiran yang kacau, gadis itu sempat berdoa. Tetapi bukan, bukan berdoa yang seperti itu, dia memohon dan berharap. Kekalutan hatinya memberi keberanian bertindak ekstrem, gadis itu berkali-kali menyalip mobil dan kendaraan bak terbuka. Bahkan hampir saja dia menyerobot lampu merah, Nadia sontak menarik tuas rem motornya.“Woe. Kalem dong,” tegur seseorang yang berhenti di baris paling depan. Dia terkejut sebab Nadia menabrak bagian belakang motor besar yang dikendarainya.Nadia membuka kaca helm saat balas berteriak, &ldq
Gadis itu menengok ke kiri, melihat bangku Dirga untuk kesekian kali. Lalu helaan napas beratnya terembus, menyiratkan lara hati yang membelenggu. Sedari tadi pikirannya tak berada dalam kelas itu, sebab keadaan Dirga menyita seluruh perhatian. Meski laki-laki itu sudah memberi tahu kalau dia semakin membaik, namun kabar itu tak cukup membuat Nadia merasa lebih baik.“Nad.”Nadia terkesiap ketika dia disenggol oleh teman sebangkunya.“Apa?” desis Nadia sembari menyipitkan mata.“Ditanya sama Pak Guru, tuh.”Gadis itu sontak menghadap ke depan, dan benar saja, guru fisika yang terkenal pelit nilai tengah menatapnya tajam. Nadia malah merengut mendapati hal itu, dia tak takut dimarahi sebab berada di ruang kelas juga rasanya percuma. Dalam hati, Nadia malah berharap dihukum agar dia tak perlu berpura-pura menyimak.“Nadia, maju dan jawab pertanyaan ini,” perintah Pak Guru seraya menunjuk papan tu
Seorang wanita paruh baya duduk gusar di sebelah anak gadisnya, sedang si gadis hanya menampakkan kekesalan di air mukanya. Ibu dan anak itu bosan menunggu dalam ruangan berukuran enam kali enam meter, di antara beberapa meja dan kursi yang tersedia, keduanya memilih tempat yang berdekatan dengan samping. Posisi yang paling jauh dari jangkauan pengawas.“Ngapain kita buang-buang waktu kayak gini, sih, Ma?” tanya si Gadis.“Ngapain kamu bilang? Ini gara-gara ulahmu sendiri. Ya udah terserah kalau kamu nggak mau ke luar dari sini,” jawab wanita paruh baya yang kerap disapa Silvi itu.Nadia mencebik, memalingkan pandangan ke jendela di sebelah kirinya, melihat pemandangan kebun sayur di halaman belakang. Tak ada niat membalas ucapan sang mama. Gadis itu malas berdebat, tepatnya keengganan berinteraksi dengan ibunya semakin menjadi, setelah semua yang terjadi antara keduanya, Nadia seolah menghapus kehadiran Silvi.“Nadia,”
Angka di jam tangan digital milik Nadia menunjukan pukul satu dini hari. Gadis itu memikirkan cara masuk tanpa ketahuan oleh mamanya, melihat lampu tengah masih menyala, pasti sang mama duduk di depan televisi menunggu Nadia pulang. Memang benar begitu adanya. Namun, gadis yang suka pergi keluar malam itu tak pernah jera dengan semua hukuman yang Silvi berikan.Perlahan tangan Nadia memutar anak kunci, terbuka dan dia menyelinap masuk, lewat pintu belakang. Langkah kaki dibuat seringan mungkin agar tak menimbulkan suara, karena penasaran apa benar mamanya ada di ruang tengah, Nadia hendak mengecek. Kepala gadis itu melongok sedikit sebelum menginjak anak tangga pertama. Silvi berbaring di sofa, tampak memejam dan itu kesempatan Nadia untuk lolos dari amukan.Sampainya di kamar, Nadia merain ponsel dari dalam tas dan melemparkan diri ke tempat tidur. Gerak mata dan jarinya selaras mencari nama kontak seseorang, hendak menelepon.“Halo ....”&ld