Share

BAD TRIP
BAD TRIP
Author: Arifiya Yukeneyza

Jeruji Besi Atau Panti Rehabilitasi

Seorang wanita paruh baya duduk gusar di sebelah anak gadisnya, sedang si gadis hanya menampakkan kekesalan di air mukanya. Ibu dan anak itu bosan menunggu dalam ruangan berukuran enam kali enam meter, di antara beberapa meja dan kursi yang tersedia, keduanya memilih tempat yang berdekatan dengan samping. Posisi yang paling jauh dari jangkauan pengawas.

“Ngapain kita buang-buang waktu kayak gini, sih, Ma?” tanya si Gadis.

“Ngapain kamu bilang? Ini gara-gara ulahmu sendiri. Ya udah terserah kalau kamu nggak mau ke luar dari sini,” jawab wanita paruh baya yang kerap disapa Silvi itu.

Nadia mencebik, memalingkan pandangan ke jendela di sebelah kirinya, melihat pemandangan kebun sayur di halaman belakang. Tak ada niat membalas ucapan sang mama. Gadis itu malas berdebat, tepatnya keengganan berinteraksi dengan ibunya semakin menjadi, setelah semua yang terjadi antara keduanya, Nadia seolah menghapus kehadiran Silvi.

“Nadia,” Silvi menarik pundak anaknya. “Kalau orang tua ngomong itu didengerin,” tegas wanita itu.

Sang Gadis terkekeh kecil sebelum menjawab,”Nggak usah sok peduli deh, Ma.”

Silvi menghela napas dalam. Tidak tahu dengaan cara apalagi dia harus memperbaiki kelakuan Nadia. Semakin hari, perangai gadi itu bertambah urakan, susah diatur. Jangan harap bisa memberi tahu dia dengan bahasa yang baik dan benar, bahkan terkurung di tempat itu saja seolah tidak membuat Nadia jera.

Saat Silvi hendak berkata, suara ketukan sepatu beradu dengan lantai menginterupsi debat ibu dan anak itu. Keduanya menoleh kea rah pintu, siapa yang datang? tentu yang sedari tadi ditunggu. Dua orang berjalan menghampiri Silvi dan Nadia, satu laki-laki dan satu perempuan. Kedua tamu itu berpakaian rapi, tampak ramah dengan seulas senyum mengesankan. Di belakang dua orang itu, ada si caregiver Nadia yang  mengekori langkah.

Silvi bangkit untuk menyalami tamu yang datang, sedang Nadia tak punya niat melakukan hal yang sama. gadis itu malah bersandar di tembok sembari menggumamkan sebuah lagu. Lagu kesukaannya, karena lirik lagu itu mewakili segala tentang dia dan ....

“Saudari Nadia ... kenalkan ....”

Gadis itu tak merespon.

“Nadia!” pekik Silvi sambil menepuk paha anaknya.

Yang ditegur malah melotot. Lalu dengan terpaksa dia memandang dua orang asing di depannya saat ini. Satu hal yang terlintas dalam benak Nadia, salah satu orang itu akan mengeluarkannya dari tempat terkutuk yang dia huni sekarang. Tidak lama lagi, kebebasan akan jadi miliknya lagi. Gadis it uterus berandai sampai tak sadar bahwa dia tersenyum, senyum itu dibalas oleh dua orang di hadapannya.

“Perkenalkan saya Petra, konselor dan Badan Narkotika tingkat Provinsi dan ini rekan kerja saya Jocelyn, dia psikiater yang ditugaskan oleh Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak.”

“Oh ... aku udah tahu. Mama udah cerita,” ucap Nadia abai.

“Baguslah kalau begitu, jadi kita bisa langsung membicarakan intinya, yaitu mengatur jadwal pertemuan rutin di awal masa rehabilitasi—“

“Apa? apa kamu bilang? jadwal rutin?” Nadia memotong kalimat Jocelyn.

Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu tak terkejut dengan reaksi Nadia. Sabar sudah menjadi agenda wajib yang harus dilakukan setiap waktu. Maka dar itu dengan suara yang masih sama rendahnya dia melanjutkan, “Benar, kamu akan menjalani masa pemulihan paling singkat enam bulan. Kalau kondisi psikis dan fisik kamu sudah dinyatakan baik dan sembuh, segera bisa ke luar dari sini.”

Nadia menggeleng keras. Tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Nggak, aku nggak mau. Aku mau pergi dari sini, aku mau pulang. Nggak mungkin, Ma. Ini semua becanda, kan?” Nadia menatap tajam mamanya yang haanya diam, tanpa ekspresi.

Kebisuan sang mama membuat Nadia terpukul. Pandangannya yang kabur beralih ke Jocyelin lagi, “Aku pengen pulang!” teriaknya ketika bulir bening meyeruak dari sudut mata.

“Kamu mau ke mana, Nad?!” pekik Silvi sembari menarik tangan Nadia, gerakannya mencegah gadis itu berlalu dari sana.

Hati Nadia hancur, tangisnya semakin menjadi. Dia tak mau ada di sana, tinggal selama, enam bulan ke depan. Baru tiga hari saja, rasanya seperti tiga bulan. Banyak pertanyaan menyelusup dalam benak gadis itu, bagaimana nanti sekolahnya? Dia akn dikeluarkan. Apa yang akan dikatakan teman-temannya kalau mereka tahu tentang semua ini. Mungkin, mungkin semua orang sudah tahu. Akan tetapi, Nadia pikir akan terbebas setelah mamanya melapor ke Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak.

“Aku mau pulang, Ma. Pulang!” teriakan Nadia menggema di ruangan itu. Sontak menarik perhatian beberapa orang yang ada di sana.

Silvi menyentak tangan Nadia, hingga anak itu terduduk kembali, masih dengan tangis yang belum mereda. Petra dan Jocelyn yang sudah terbiasa dengan situasi seperti ini bersikap tenang dan penuh pertimbangan. Memang tidak mudah bagi semua pelaku, atau tersangka satu kasus untuk menerima konsekuensi dari tindakan mereka. Apalagi jika ada sikap penyangkalan seperti yang Nadia lakukan saat ini. reaksi gadis itu mengindikasikan stress yang bisa disebabkan oleh beberapa faktor, misal latar belakang kejadian atau peristiwa di masa lalu, karakteristik individu itu sendiri, atau bisa juga karena luka mental.

“Bu, tolong jangan kasar pada anak di bawah umur,” lerai Jocelyn.

 Silvi tak bisa menyembunyikan kesedihan, titik bening mulai membasahi pipinya yang kini terdapat beberapa keriput. Usia memang tidak bisa dibohongi, berapa pun uang yang dihabiskan untuk merawat diri. Pada akhirnya, fisik tak mampu menyembunyikan usia yang menua, kini wanita berumur lima puluh tahun itu hanya memikirkan Nadia. Gadis itu, putri semata wayang, buah cintanya dengan suami yang sudah lebih dulu meninggalkan dunia yang fana ini.

Suasana menjadi canggung, ketika ibu dan anak itu menangis. Pun belum ada yang buka suara selama beberapa menit berlalu.

Petra menilik jam yang melingkar di pergelangan kanannya sebelum membujuk, “Sepertinya waktu besuk hampir habis, Saudari Nadia kita bisa bicara berdua ... apa berkenan saya antar kembali ke kamar?”

“Pak Petra dan Bu Jocelyn. Saya sudah menandatangai semua berkas nota kesepakatan. Saya mohon, kalian bisa membantu, apapun akan saya lakukan untuk ke luar dari masalah ini,” iba Silvi.

Yang diajak bicara mengangguk pelan. Tanpa meminta pun, sudah tentu Petra dan Jocelyn akan melakukan yang terbaik untuk membantu. Isakan Nadia yang mulai mereda, dimanfaatkan oleh Petra untuk membujuk gadis itu sekali lagi. Sampai akhirnya dia setuju untuk kembaali ke kamar, meski ada spekulasi pemberontakan yang akan dilakukan. Tetapi, untuk saat ini, Nadia terlalu lelah untuk melawan. Tepatnya belum menemukan cara yang tepat.

Langkah Nadia sejajar dengan Petra, menyusuri koridor panjang yang membentuk huruf L. Kamar Nadia dan banyak penghuni lain ada di ujung koridor, bersisian tepat dengan mushola dan kantin. Sang caregiver setia mengikuti ke mana langkah pasiennya pergi.

“Nadia ...,” Petra ragu melanjutkan, namun langkah ini sepertinya baik. jadi dia membulatkan tekad, “apa boleh saya memanggil Anda begitu?”

Yang ditanya hanya menggumam.

“Baiklah, saya anggap itu sebuah persetujuan. Sejujurnya, kami sudah menemui pengawas, dan mengatur jadwal konseling untukmu,” papar Petra.

“Udah kuduga,” jawab Nadia tanpa memerhatikan Petra.

Arah pandang gadis itu terfokus ke halaman tengah yang setahu Nadia dan selama dua hari terakhir, tempat itu digunakan untuk kegiatan olahraga. Olahraga adalah hal paling Nadia sukai saat sekolah. Sekolah, hati gadis itu merasa teriris mengingat sekolah dan teman-temannya. Betapa bahagianya dia ketika di sekolah, menghabiskan waktu bersama dengan orang yang ....

“Nadia.”

Gadis itu terkesiap saat si caregiver menepuk pelan punggungnya. Dia tak mendengar apa saja yang Petra informasikan, pikirnya untuk apa kalau tak bisa membantunya ke luar dari tempat itu. mengingat jangka waktu enam bulan, Nadia mendengkus kasar. Enam bulan itu terlalu lama, baru membayangkannya saja dia sudah merasa tersiksa.

Ayunan kaki ketiganya berhenti saat tiba di depan pintu ruangan dua lantai, di dalamnya terdapat deretan kamar yang saling berhadapan, satu kamar ditempati oleh tiga atau empat orang. Di sanalah Nadia tidur dalam tiga hari terakhir.

“Lusa kita akan mulai pertemuan pertama, sore hari setelah ashar. Kamu mau berbincang di mana, Nad? Raung besuk atau—“

“Udahlah, semua udah diatur, kan? Jadi pendapatku nggak penting lagi,” tukas Nadia.

Konselor itu tersenyum simpul. Sikap gadis di depannya memang tergolong menyebalkan, tapi tidak cukup membuat laki-laki berusia dua puluh lima tahun itu kesal. Sebagai konselor, dia memahami benar perilaku Nadia di usianya yang sekarang adalah hal wajar. Remaja memang selalu punya banyak masalah.

“Meski begitu, saya harus tetap memberi tahu. Itu sudah kewajiban saya, dan kamu jadi tanggung jawab saya,” jawab Petra.

“Oke, sekarang beri tahu aku, ada nggak cara cepet buat ke luar dari panti sialan ini?”

“Sayangnya tidak ada. Sebab pilihannya cuma ada dua, saya harap kamu sudah tau soal ini.”

“Apa itu?”

“Tinggal di balik jeruji besi atau panti rehabilitasi.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status