Gadis itu menengok ke kiri, melihat bangku Dirga untuk kesekian kali. Lalu helaan napas beratnya terembus, menyiratkan lara hati yang membelenggu. Sedari tadi pikirannya tak berada dalam kelas itu, sebab keadaan Dirga menyita seluruh perhatian. Meski laki-laki itu sudah memberi tahu kalau dia semakin membaik, namun kabar itu tak cukup membuat Nadia merasa lebih baik.
“Nad.”
Nadia terkesiap ketika dia disenggol oleh teman sebangkunya.
“Apa?” desis Nadia sembari menyipitkan mata.
“Ditanya sama Pak Guru, tuh.”
Gadis itu sontak menghadap ke depan, dan benar saja, guru fisika yang terkenal pelit nilai tengah menatapnya tajam. Nadia malah merengut mendapati hal itu, dia tak takut dimarahi sebab berada di ruang kelas juga rasanya percuma. Dalam hati, Nadia malah berharap dihukum agar dia tak perlu berpura-pura menyimak.
“Nadia, maju dan jawab pertanyaan ini,” perintah Pak Guru seraya menunjuk papan tulis.
Gadis itu menoleh ke teman sebangkunya, dahi berkerut menandakan Nadia sama sekali tak paham apa yang harus dia kerjakan.“Aku juga nggak tahu.”
“Kamu pernah tahu apa, sih? Nama Lola, loading lama,”
ejek Nadia saat berdiri.
Ledekannya mengundang tawa beberapa teman yang mendengar hal itu. Nadia pun tertawa kecil ketika berjalan maju. Dia sedikit terhibur dengan menjadikan Lola bahan candaan. Tanpa diduga bel istirahat terdengar ketika Nadia baru saja memegang spidol. Sontak seisi kelas langsung mengemasi buku pelajaran mereka, bahkan beberapa murid sudah keluar kelas sebelum pak guru mengakhiri sesi pelajaran.
“Murid sekarang minim sopan santun,” gerutu Pak Guru, “pertanyaan itu PR buat kamu di pertemuan berikutnya.”
Guru Fisika itu berlalu tanpa menunggu jawaban Nadia. Dalam benak, gadis itu membalas ucapan gurunya, harusnya guru juga memberi contoh yang baik. Dia saja mengajak bicara tapi tak peduli dengan tanggapan lawan bicaranya. Tetapi, berharap diperlakukan dengan baik oleh anak didiknya. Senyum miring terulas di bibir gadis itu, menyadari terkadang orang tua selalu memaksakan kehendak dan pemahaman mereka, tak terkecuali mamanya sendiri.
“Nad, ngapain bengong? Ke kantin, yuk,” ajak Lola.
Nadia mengangguk sebelum mengembalikan spidol ke tempatnya semula. “Bentar ada telepon.”
“Oke.” Lola bersedia menunggu.
Nadia meraih ponsel yang dia simpan di saku rok abu-abunya. Mata gadis itu berbinar kala membaca nama si penelpon, namun sesaat kemudian pandangannya mendadak muram. Dia ragu mengangkat panggilan, malahan berniat untuk membalas sikap Dirga yang sering membuatnya khawatir.
“Kenapa nggak diangkat, sih?” cecar Lola mendapati Nadia yang sedari tadi hanya menatap layar ponselnya. Bahkan setelah nada panggilan berhenti lalu terdengar lagi, yang artinya panggilan pertama sudah berakhir.
“Dirga,” ucap Nadia datar.
“Elah, kalian kenapa lagi? lagi marahan?” terka Lola. Dia menggandeng tangan Nadia, keduanya mulai bergerak meninggalkan kelas.
“Bukan.”
Nadia menggeleng lalu membisukan profil ponselnya, agar tak terdengar lagi panggilan telpon yang belum mau dia angkat. Pun, gadis itu tak tahu kenapa orang tua Dirga kemarin bersikap seperti itu. Aneh sekali. Nadia bingung, sebab dulu tak pernah ada larangan atau apa pun ketika Nadia berteman dengan Dirga.
“Terus kenapa itu tadi telpon dari Dirga nggak diangkat?”
“Aku bingung, La.”
“Bingung kenapa?”
Nadia mengurai tangan Lola yang masih menggamitnya, lalu duduk di salah satu kursi kantin. Hanya duduk tanpa berniat memesan sesuatu. Sedang Lola yang telanjur penasaran, mengekori gerak Nadia dengan ikut duduk di sebelahnya.
Tanpa diminta, Nadia menceritakan kejadian dua hari lalu. Saat orang tua Dirga mengusirnya dari klinik. Setelah itu Dirga melarang Nadia menjenguk sebab ada papa dan mamanya yang bergantian menunggui.
“Kamu nggak tanya ke Dirga, maksudku kenapa orang tuanya tiba-tiba gitu dan apa alasannya,” usul Lola sebelum menyesap air mineral dalam kemasan yang tersedia di meja kantin.
“Udah, aku udah tanya,” jawab Nadia lirih.
Hati Nadia berkecamuk tak menentu ketika membicarakan itu. Ada patahan yang begitu nyata untuk dikesampingkan. Sikap penolakan orang tua Dirga membuat luka sepi yang dialami Nadia kian perih.
“Terus, Dirga bilang apa?”
“Nggak apa-apa katanya, aku coba tanya lagi, eh dia malah mengalihkan pembicaraan,” keluh Nadia diiringi desahan lelah.
Lola mengusap punggung Nadia, mencoba menenangkan teman sebangkunya itu. Benak Lola pun menyisir beragam kemungkinan dan kejangggalan atas cerita yang baru saja didengar. “Yang sabar ya, Nad. Nanti pasti Dirga cerita sendiri,” ucap Lola.
Yang diajak bicara hanya mengangguk lemah. Nadia tak tahan dengan situasi ini, ingin mencari tahu tapi ke mana dan pada siapa. Dia tak punya jalan keluar selain menunggu, meski tak ada jaminan apapun penantiannya akan berbuah jawaban. Tak terasa bulir air mata mengalir dari sudut matanya. Dengan gerak cekatan Nadia menyeka lelehan bening itu, malu kalau dilihat orang lain.
“Nadia!” panggil seseorang.
Sontak Nadia dan Lola mencari sumber suara, dan mendapati seorang teman sekelasnya berlari mendekat. Siswi berkucir kuda itu berhenti di samping Nadia dengan napas terengah.
“Ada apa?” tanya Nadia.
Lola menautkan alis atas ekspresi penasaran yang sama.
Yang ditanyai mengumpulkan udara yang terkikis dari pernapasannya seraya mencari kalimat yang ingin dikatakan. “Ada yang ... nyariin kamu, tuh,” katanya terbata.
Nadia dan Lola saling pandang, lalu keduanya menatap siswi itu lagi. “Buruan ke kelas, gih,” perintah siswi itu lagi.
“Siapa, sih?” tukas Nadia.
“Kamu bakal tahu sendiri.”
Siswi itu menarik tangan Nadia, setengah menyeretnya agar berjalan lebih cepat. Lola pun tak mau ketinggalan, dia melempar uang pas ke meja kasir untuk membayar minumannya lalu mengejar Nadia yang sudah agak jauh.
Sampainya di kelas, ketiganya berhenti ambang pintu. Lola menyerobot masuk, dia menyapu pandang ke seluruh ruangan.
“Mana, siapa yang nyari Nadia?” cerca Lola setelah tak mendapati orang lain di kelas itu selain teman-teman mereka sendiri.
“Iya, ih. Jangan becanda deh, ini nggak lucu,” sergah Nadia.
Gadis itu merasa dipermainkan dan akan marah besar kalau benar ini hanya candaan. Suasana hati Nadia sedang buruk akhir-akhir ini, sedikit terpancing amarah akan meluap.
“Hai, Nad. Apa kabar?” ucap seseorang yang berdiri di belakang Nadia.
Nadia tercekat. Udara dalam rongga pernapasannya seolah terenggut paksa, kosong. Logikanya pun menolak sadar suara siapa yang dia dengar. Tetapi Nadia belum lupa, masih basah dalam ingatan semua tentang siapa dan apa yang pernah terjadi. Reflek tangan gadis itu menutupi mulutnya sendiri, menahan tangis atau teriakan. Nadia pun tak tahu pasti.
Lola dan satu temannya tadi, melihat ke arah siswa yang berdiri di belakang punggung Nadia. Lola melempar pandang ke temannya dan dijawab dengan kedikan bahu, pertanda tak tahu.
“Kamu kenal sama Nadia?” tanya Lola pada akhirnya.
“Jangan bilang cowok brengsek ini yang nyariin aku?” sergah Nadia ke temannya sendiri. “
Yang ditanya mengangguk. Bahu Nadia merosot seketika.
Siswa itu mengayun langkah, memosisikan diri di hadapan Nadia sebab yang diajak bicara sepertinya tak punya niat untuk memutar badan. Senyum lebar terulas di bibir siswa itu, menunjukkan ekspresi seramah mungkin ke semua orang, termasuk teman-teman Nadia.
“Asal kamu tahu, aku sengaja pindah ke sini agar kita bisa mengulang lagi ... semuanya,” ucapnya dengan sedikit mencondongkan tubuhnya. Hingga jarak antara dia dan Nadia tersisa beberapa sentimeter.
Nadia mundur, defensif.
Sialnya, siswa itu melangkah maju. Membuat usaha bertahan Nadia terlihat sia-sia. Malahan dia semakin bersikap berani dengan mendekatkan wajahnya ke telinga kiri Nadia, sebelum berbisik, “Penolakanmu nggak ada gunanya, dulu atau sekarang. Aku sudah mendapatkanmu dan akan melakukannya lagi.”
“Kurang ajar!”
Seorang wanita paruh baya duduk gusar di sebelah anak gadisnya, sedang si gadis hanya menampakkan kekesalan di air mukanya. Ibu dan anak itu bosan menunggu dalam ruangan berukuran enam kali enam meter, di antara beberapa meja dan kursi yang tersedia, keduanya memilih tempat yang berdekatan dengan samping. Posisi yang paling jauh dari jangkauan pengawas.“Ngapain kita buang-buang waktu kayak gini, sih, Ma?” tanya si Gadis.“Ngapain kamu bilang? Ini gara-gara ulahmu sendiri. Ya udah terserah kalau kamu nggak mau ke luar dari sini,” jawab wanita paruh baya yang kerap disapa Silvi itu.Nadia mencebik, memalingkan pandangan ke jendela di sebelah kirinya, melihat pemandangan kebun sayur di halaman belakang. Tak ada niat membalas ucapan sang mama. Gadis itu malas berdebat, tepatnya keengganan berinteraksi dengan ibunya semakin menjadi, setelah semua yang terjadi antara keduanya, Nadia seolah menghapus kehadiran Silvi.“Nadia,”
Angka di jam tangan digital milik Nadia menunjukan pukul satu dini hari. Gadis itu memikirkan cara masuk tanpa ketahuan oleh mamanya, melihat lampu tengah masih menyala, pasti sang mama duduk di depan televisi menunggu Nadia pulang. Memang benar begitu adanya. Namun, gadis yang suka pergi keluar malam itu tak pernah jera dengan semua hukuman yang Silvi berikan.Perlahan tangan Nadia memutar anak kunci, terbuka dan dia menyelinap masuk, lewat pintu belakang. Langkah kaki dibuat seringan mungkin agar tak menimbulkan suara, karena penasaran apa benar mamanya ada di ruang tengah, Nadia hendak mengecek. Kepala gadis itu melongok sedikit sebelum menginjak anak tangga pertama. Silvi berbaring di sofa, tampak memejam dan itu kesempatan Nadia untuk lolos dari amukan.Sampainya di kamar, Nadia merain ponsel dari dalam tas dan melemparkan diri ke tempat tidur. Gerak mata dan jarinya selaras mencari nama kontak seseorang, hendak menelepon.“Halo ....”&ld
Jocelyn mengusap-usap punggung tangan Silvi, mencoba memberi dampak nyaman dan berempati atas kesedihan seorang ibu. Keduanya masih dududk di tempat semula, ruang besuk panti rehabilitasi. Mata Jocelyn berkaca-kaca melihat kondisi Silvi, pasti berat baginya menerima kenyataan bahwa putrinya tersandung masalah serius.Sebelum bertandang ke panti, Jocelyn sudah mempelajari berkas perkara nota kesepahaman yang ditandatangai Silvi sebagai orang tua satu-satunya. Di sana jelas tertulis bahwa dua kasus yang menjerat Nadia bukanlah perkara sepele, untuk itu Jocelyn menyarankan agar menyewa pengacara. Besar kemungkinan keputusan akan sampai ke meja sidang. Terlebih kalau pihak korban tidak mau berdamai dan menempuh jalan kekeluargaan.“Kalau boleh saya tahu, siapa yang namanya Fando ini?” tanya Celyn, penggilan akrab wanita itu.Silvi menggeleng, dengan air mata terus merebak dari pelupuk matanya. Wanita paruh baya itu tidak tahu, dan benar-benar tak mengena
Nadia memacu kecepatan motornya, tanpa memperhatikan jarum speedometer yang terus bergerak ke kanan. Air mata berderai dan isakan tangis menambah pedih hatinya, benak gadis itu membayangkan semua kemungkinan buruk. Nadia merasa tak berdaya dan tak kuasa apabila Dirga ... cepat-cepat dias menggeleng, menepis kemungkinan yang mengganggu.“Nggak, itu nggak akan terjadi,” ucapnya pada diri sendiri.Di tengah pikiran yang kacau, gadis itu sempat berdoa. Tetapi bukan, bukan berdoa yang seperti itu, dia memohon dan berharap. Kekalutan hatinya memberi keberanian bertindak ekstrem, gadis itu berkali-kali menyalip mobil dan kendaraan bak terbuka. Bahkan hampir saja dia menyerobot lampu merah, Nadia sontak menarik tuas rem motornya.“Woe. Kalem dong,” tegur seseorang yang berhenti di baris paling depan. Dia terkejut sebab Nadia menabrak bagian belakang motor besar yang dikendarainya.Nadia membuka kaca helm saat balas berteriak, &ldq