"Kenapa kau terlambat sekali? Aku kira kau tidak akan jadi datang kemari."
Sandisc mendapatkan sambutan pertanyaan bernada kesal dari sang kembaran, ketika Selena membukakan pintu rumah untuknya.
Sandisc menyengir dengan ekspresi yang tak bersalah. "Aku terlambat 30 menit."
"Kau bilang di pesan, kau hanya akan datang terlambat paling lama lima belas menit."
"Yang penting aku sudah datang bukan? Kau cerewet sekali." Sandisc berujar dengan santai, tidak terpancing kekesalan Selena.
Kedua kaki dilangkahkan semakin cepat agar bisa berjalan di samping Selena. Mudah dilakukan sebab sang kembaran melangkah dengan begitu santai, bahkan pelan.
"Harusnya kau senang aku jadi ke sini. Ka--"
"Iya, iya. Kau sudah datang."
Sandisc tak akan pernah bisa menolak permintaan dari Selena untuk bertemu. Ia pun berupaya mengatur jadwal. Pekerjaan segera diselesaikan.
Sekitar pukul lima sore, Sandisc sudah berhasil menuntaskan semua yang harus dirampungkan. Lalu, bergegas meninggalkan kantornya.
Setengah jam saja yang dibutuhkan perjalanan tanpa kemacetan untuk sampai di kediaman sang ipar, Fernand Arthur. Dan hanya Selena di rumah.
Memanglah sejak hamil, saudarinya itu izin tidak terlibat dalam bisnis secara langsung. Alhasil, tanggung jawab penuh dipikul olehnya.
Selama ini, Sandisc tak pernah merasa iri dengan apa pun yang dimiliki Selena.
Namun, ketika sang kembaran sebentar lagi akan punya seorang bayi, ia tak mampu menyembunyikan kecemburuan.
"Kau mau aku buatkan apa?"
Sandisc menggeleng cepat. "Aku sedang malas makan apa pun."
Sandisc mengembuskan napas yang cukup panjang dahulu. Barulah, berkata. "Aku lebih suka tidur sekarang."
Walaupun, hanya menyampaikan singkat tentang keluhan yang dirasakan akhir-akhir ini, tak akan sulit membuat Selena paham.
Sandisc sangat yakin kembarannya bisa peka. Tentu juga, menawarkan diri menjadi pendengar jika dirinya lanjut bercerita.
"Tapi, karena aku ingin aku kemari, aku rela menunda keinginanku untuk tidur."
"Haha. Kau memang saudara terbaikku."
Sandisc memamerkan senyumannya yang sarat kebanggaan. "Ah, jelas aku terbaik."
"Mom dan Dad jadi ke sini juga?"
"Iya, Mom dan Dad akan kemari. Tapi, aku tidak tahu pasti kapan sampainya."
Sandisc hanya membalas dengan anggukan. Ia lalu merebahkan kepala di punggung sofa ruang tamu Selena. Rasanya nyaman.
Sandisc juga menutup mata. Mungkin ia akan tidur sebentar. Sepuluh menit cukup untuk mengurangi rasa lelah dan kantuk.
"Kenapa kau malas makan?"
"Bukankah kau harus banyak makan buah dan sayur, kalau mau hamil?"
Telinga Sandisc mendengar kata-kata tanya yang dilontarkan Selena, ia pun segera saja menunjukkan reaksinya.
Sandisc duduk tegap. Baru kemudian, kepala diangguk-anggukan seraya memandang ke arah Selena yang berada di seberang.
"Aku masih tetap mau hamil." Sandisc alunkan suaranya dengan nada merajuk.
"Aku juga sudah rutin makan sayur, daging, dan vitamin yang membantu kesuburan."
"Hanya saja, malam ini aku tidak bernafsu makan. Kau tidak boleh memaksaku."
"Baiklah. Oke. Aku tidak akan memaksamu. Aku yakin kau sudah lebih tahu apa yang baik untukmu, Kembaranku."
"Aku selalu mendukungmu untuk hamil."
Sandisc merasakan wajahnya sedikit panas. Jelas malu karena ucapan Selena.
Sandisc kemudian menyengir dengan cukup lebar, saat Selena menoleh ke arahnya dan menunjukkan seringaian yang menggoda.
"Aku sangat ingin punya anak." Sandisc pun menunjukkan antusias lewat suaranya.
"Kau harus segera merealisasikan. Aku tahu kau sangat ambisius soal kehamilan."
"Tidak ada yang salah dengan keinginanmu punya anak, tanpa menikah dulu."
Sandisc mengangguk-angguk semangat dan senyum terus mengembang. Namun, hanya berselang beberapa detik, memudar.
Lebih tepat, setelah melihat ayah dan sang ibu. Sandisc segera memasang ekspresi yang serius memandang kedua orangtuanya.
"Kenapa Mom dan Dad, tidak mau memiliki pemikiran fleksibel seperti kita?" Sandisc pun dengan sengaja menyindir.
"Hamil dan juga punya anak, tanpa menikah harusnya bukan masalah," imbuh Sandisc.
"Jangan mulai lagi sekarang, Nak. Baik, Dad dan Mom sedang malas berdebat."
"Keputusan kami masih tetap sama. Tidak ada toleransi apa pun untukmu."
"Kalau, kau mau hamil dan punya anak, kau harus menikah dengan seorang pria dulu."
Sandisc mengembuskan napas panjang. Lalu ia menggeleng. "Ayolah, Mom dan Dad."
"Kita hidup di Amerika yang bebas."
"Mau punya anak tanpa pernikahan bukan hal yang wajib, Mom, Dad." Sandisc bicara santai, tapi diberi penekanan di setiap kata.
"Dan, kenapa kau tidak mau menikah, Nak? Kaulah yang membuat kami tidak paha.."
Kali ini, Sandisc kesulitan dalam menelan ludahnya sendiri akibat pertanyaan sang ibu. Kebingungan seketika melanda.
Namun, enggan menjawab lama. Diputar cepat kepala guna dapat memikirkan alasan yang masuk akal untuk dilontarkan.
"Karena aku tidak mau menikah saja."
Oke. Bodoh!
Sedetik selepas jawaban diluncurkan, baru Sandisc menyadari bagaimana tak logisnya pembelaan yang diutarakan.
Orangtuanya pasti akan bertanya lagi.
Benar saja, ayah dan sang ibu menunjukkan kekompakan dengan mendelik ke arahnya.
Sama-sama memerlihatkan ekspresi marah sekaligus juga kekesalan.
Baiklah, Sandisc memilih mengalah.
Tidak akan beradu argumen bersama kedua orangtuanya. Ia pasti kalah.
Ceramah ayah dan sang ibu sudah tentunya panjang lebar, saat ia lontarkan bantahan.
"Oke, Mom, Dad."
Sandisc mengembuskan napas yang cukup panjang, hendak mengurangi kejengkelan di di dalam dirinya.
Lalu, berupaya tersenyum manis. "Aku akan menikah, kalau aku sudah siap."
"Hmm, dan aku sudah sangat ingin punya bayi. Aku lebih siap menjadi seorang ibu."
Kali ini, cengiran dipertontonkan. "Kalau aku hamil dulu tanpa menikah bagaimana?"
"Mom dan Dad tidak mungkin menyuruhku menggugurkan kandunganku, 'kan?"
Tanpa menunggu amukan serta amarah kedua orangtuanya, Sandisc segera beranjak bangun.
Bergegas berlari sambil cekikikan. Menjaga jarak sejauh mungkin dari ayah dan ibunya.
"Benar-benar anak ituuu!"
"Sandisccc!!"
Hanya bisa diloloskan kekehan semakin kencang, mendengar orangtuanya berseru jengkel.
Gerack merasakan debaran jantungnya yang kian kencang, seiring dengan tombol bel apartemen Sandisc Mikkler dipencetnya.Gerack sangat tegang. Berdiri kaku sembari memegang sebuah buket bunga mawar.Pandangan begitu tertuju lurus ke depan. Tepat pada pintu apartemen Sandisc yang belum dibuka juga oleh wanita itu.Sandisc ada di dalam. Sudah dikonfirmasi setengah jam lalu lewat pesan dikirimkan ke wanita itu. Tinggal ditunggu Sandisc keluar.Setiap detik berjalan terasa begitu cepat bagi Gerack. Tidak terasa sudah lima menit ia menanti sambutan Sandisc.Tak berniat menekan kembali bel supaya wanita itu segera membukakan pintu untuk dirinya. Gerack rela menanti lebih lama.Waktu yang ada, dimanfaatkannya untuk menyusun sejumlah kalimat sapaan dan pertanyaan nantinya pada Sandisc.Otak Gerack tidak bisa diajak memikirkan kata-kata puitis yang romantis. Ia jela
Sandisc harus mengakhiri tidur nyenyaknya karena handphone berdering. Ia pun segera beranjak turun dari ranjang dan mengambil ponsel yang diletakkan di meja sofa.Sandisc pun mengenakan jubah tidur untuk membalut tubuh telanjangnya. Tak dipakai bra ataupun celana dalam."Selena? Kenapa dia meneleponku begitu pagi?" gumam Sandisc pelan, setelah dilihat nama sang penelepon di layar ponselnya.Tak cepat diangkat panggilan dari saudara kembarnya itu. Sandisc justru tertarik untuk mengecek pesan dari Selena dulu. Dikirim oleh kembarannya, satu jam yang lalu."Aku hamil." Sandisc membaca dua patah kata dalam chat Selena. Selebihnya diisi oleh wanita itu dengan emoticon penuh senyum.Kemudian, Sandisc tertawa. Ia seperti bisa merasakan kebahagiaan yang menyelimuti saudara kembarnya itu.Tentu, harus dihubungi Selena kembali. Tadi sambungan telepon sudah
"Maafkan aku, Mom, Dad. Suamiku sangat sibuk hari ini. Dia tidak bisa bergabung.""Tidak apa-apa, Nak. Mom mengerti.""Hihi. Trims, Mom." Selena menambah lebih lebar senyuman ke arah sang ibu."Tidak mudah menjadi pengusaha dengan bisnis yang mulai berkembang. Suamimu pasti akan semakin sibuk, Nak."Selena mengangguk. "Iya, Dad. Aku pasti akan selalu mendukungnya.""Kau manis sekali, Sayang."Pujian sang ibu, membuat Selena terkekeh. Ia lalu pamerkan senyum bangga. "Aku ini sudah menikah dan akan segera punya baby, Mom. Aku berhenti menjadi anak manis."Selena melirikkan mata cepat ke arah sang kembaran yang asyik makan. "Mom dan Dad masih punya satu anak perempuan lagi yang manis," candanya sembari tertawa."Dia belum menikah. Jadi, dia masih anak manis Mom dan Dad.""Sebentar lagi, Sandisc akan menikah, Nak. Mom
Sandisc melangkah dengan cukup cepat dan tak sabaran, setelah keluar dari lift. Ia tidak masalah berjalan dengan laju yang kencang, walau memakai sepatu hak tinggi.Ruangan khusus restoran tengah ditujunya masih berjarak lima meter lagi. Terletak di paling ujung lantai tiga.Sandisc terus menambah kecepatan. Ia pun bertekad hitungan beberapa detik lagi akan sampai di sana. Masuk ke dalam guna temui Gerack yang sudah menunggunya.Sandisc tak dikatakan telat datang. Mereka sepakat acara makan malam akan dimulai pukul tujuh. Tapi, Gerack datang tiga puluh menit lebih awal.Saat menerima pesan dari pria itu, Sandisc sedang di jalan. Jadi, ia pun mengemudikan mobilnya dengan laju yang lebih cepat juga."Hai."Sandisc langsung berhenti melangkah, saat di depan pintu ruangan yang telah dipesan, Gerack berdiri menjulang. Pria itu kenakan kemeja putih dengan celana jeans.
Ketika handphone miliknya berdering, maka Sandisc segera mengambil benda tersebut yang ditaruh di atas kasur. Ia pun membuat posisi duduknya lebih sensual.Kedua kaki saling disilangkan. Bagian bawah lingerie diangkat ke atas guna menampakkan paha-paha putihnya. Dengan tujuan menunjukkan keseksiannya pada Gerack Brown."Aku sudah sampai, Sayang. Kau di mana?""Aku di kamar." Sandisc menjawab dengan nada biasa saja.Kontras dengan senyuman lebar yang terpatri di wajahnya. Bayangan sosok gagah Gerack pun sudah memenuhi benaknya.Memperkuat rasa rindu Sandisc. Dan, ingin segera berjumpa langsung pria itu pula."Tunggu aku, Sayang."Tidak dilontarkan balasan apa-apa. Bahkan, sambungan telepon langsung diakhiri.Memberikan kesan tak terlalu antusias akan kedatangan Gerack. Justru sebaliknya.
"Hei, bangunlah."Tidak ucapan lembut Sandisc yang menyebabkan Gerack langsung terjaga. Namun, sentuhan halus telapak tangan kekasih barunya itu di lengan kiri.Ketika mata sudah membuka secara penuh, wajah menawan Sandisc dengan ekspresi kesal menjadi pemandangan utama yang dapat diabadikan. Ia beranjak dari posisi berbaring. Duduk di dekat Sandisc."Aku sudah bangun, Sayang." Gerack berucap dalam nada ceria."Ada apa membangunkanku?"Tak menunggu jawaban dilontarkan oleh Sandisc, tengkuk wanita itu segera diraihnya.Bibir mereka tak lama kemudian menyatu. Diberi pagutan yang lumayan cepat sembari memejamkan mata.Saat Sandisc tidak membalas, ciuman pun diakhiri Gerack. Dipandang sang kekasih dengan tatapan heran.Kedua tangannya sudah menangkup wajah wanita itu. Mata mereka saling bersirobok."Apa yang membuatmu terganggu?" tanyanya lagi. Jelas merasa penasaran.Semua hal menyangkut Sandisc ada
"Kenapa kau terlambat sekali? Aku kira kau tidak akan jadi datang kemari."Sandisc mendapatkan sambutan pertanyaan bernada kesal dari sang kembaran, ketika Selena membukakan pintu rumah untuknya.Sandisc menyengir dengan ekspresi yang tak bersalah. "Aku terlambat 30 menit.""Kau bilang di pesan, kau hanya akan datang terlambat paling lama lima belas menit.""Yang penting aku sudah datang bukan? Kau cerewet sekali." Sandisc berujar dengan santai, tidak terpancing kekesalan Selena.Kedua kaki dilangkahkan semakin cepat agar bisa berjalan di samping Selena. Mudah dilakukan sebab sang kembaran melangkah dengan begitu santai, bahkan pelan."Harusnya kau senang aku jadi ke sini. Ka--""Iya, iya. Kau sudah datang."Sandisc tak akan pernah bisa menolak permintaan dari Selena untuk bertemu. Ia pun berupaya mengatur jadwal. Pekerjaan segera diselesaikan.Sekitar pukul lima sore, Sandisc sudah berhasil menuntaskan semua yang harus
"Hei, bangunlah."Tidak ucapan lembut Sandisc yang menyebabkan Gerack langsung terjaga. Namun, sentuhan halus telapak tangan kekasih barunya itu di lengan kiri.Ketika mata sudah membuka secara penuh, wajah menawan Sandisc dengan ekspresi kesal menjadi pemandangan utama yang dapat diabadikan. Ia beranjak dari posisi berbaring. Duduk di dekat Sandisc."Aku sudah bangun, Sayang." Gerack berucap dalam nada ceria."Ada apa membangunkanku?"Tak menunggu jawaban dilontarkan oleh Sandisc, tengkuk wanita itu segera diraihnya.Bibir mereka tak lama kemudian menyatu. Diberi pagutan yang lumayan cepat sembari memejamkan mata.Saat Sandisc tidak membalas, ciuman pun diakhiri Gerack. Dipandang sang kekasih dengan tatapan heran.Kedua tangannya sudah menangkup wajah wanita itu. Mata mereka saling bersirobok."Apa yang membuatmu terganggu?" tanyanya lagi. Jelas merasa penasaran.Semua hal menyangkut Sandisc ada
Ketika handphone miliknya berdering, maka Sandisc segera mengambil benda tersebut yang ditaruh di atas kasur. Ia pun membuat posisi duduknya lebih sensual.Kedua kaki saling disilangkan. Bagian bawah lingerie diangkat ke atas guna menampakkan paha-paha putihnya. Dengan tujuan menunjukkan keseksiannya pada Gerack Brown."Aku sudah sampai, Sayang. Kau di mana?""Aku di kamar." Sandisc menjawab dengan nada biasa saja.Kontras dengan senyuman lebar yang terpatri di wajahnya. Bayangan sosok gagah Gerack pun sudah memenuhi benaknya.Memperkuat rasa rindu Sandisc. Dan, ingin segera berjumpa langsung pria itu pula."Tunggu aku, Sayang."Tidak dilontarkan balasan apa-apa. Bahkan, sambungan telepon langsung diakhiri.Memberikan kesan tak terlalu antusias akan kedatangan Gerack. Justru sebaliknya.
Sandisc melangkah dengan cukup cepat dan tak sabaran, setelah keluar dari lift. Ia tidak masalah berjalan dengan laju yang kencang, walau memakai sepatu hak tinggi.Ruangan khusus restoran tengah ditujunya masih berjarak lima meter lagi. Terletak di paling ujung lantai tiga.Sandisc terus menambah kecepatan. Ia pun bertekad hitungan beberapa detik lagi akan sampai di sana. Masuk ke dalam guna temui Gerack yang sudah menunggunya.Sandisc tak dikatakan telat datang. Mereka sepakat acara makan malam akan dimulai pukul tujuh. Tapi, Gerack datang tiga puluh menit lebih awal.Saat menerima pesan dari pria itu, Sandisc sedang di jalan. Jadi, ia pun mengemudikan mobilnya dengan laju yang lebih cepat juga."Hai."Sandisc langsung berhenti melangkah, saat di depan pintu ruangan yang telah dipesan, Gerack berdiri menjulang. Pria itu kenakan kemeja putih dengan celana jeans.
"Maafkan aku, Mom, Dad. Suamiku sangat sibuk hari ini. Dia tidak bisa bergabung.""Tidak apa-apa, Nak. Mom mengerti.""Hihi. Trims, Mom." Selena menambah lebih lebar senyuman ke arah sang ibu."Tidak mudah menjadi pengusaha dengan bisnis yang mulai berkembang. Suamimu pasti akan semakin sibuk, Nak."Selena mengangguk. "Iya, Dad. Aku pasti akan selalu mendukungnya.""Kau manis sekali, Sayang."Pujian sang ibu, membuat Selena terkekeh. Ia lalu pamerkan senyum bangga. "Aku ini sudah menikah dan akan segera punya baby, Mom. Aku berhenti menjadi anak manis."Selena melirikkan mata cepat ke arah sang kembaran yang asyik makan. "Mom dan Dad masih punya satu anak perempuan lagi yang manis," candanya sembari tertawa."Dia belum menikah. Jadi, dia masih anak manis Mom dan Dad.""Sebentar lagi, Sandisc akan menikah, Nak. Mom
Sandisc harus mengakhiri tidur nyenyaknya karena handphone berdering. Ia pun segera beranjak turun dari ranjang dan mengambil ponsel yang diletakkan di meja sofa.Sandisc pun mengenakan jubah tidur untuk membalut tubuh telanjangnya. Tak dipakai bra ataupun celana dalam."Selena? Kenapa dia meneleponku begitu pagi?" gumam Sandisc pelan, setelah dilihat nama sang penelepon di layar ponselnya.Tak cepat diangkat panggilan dari saudara kembarnya itu. Sandisc justru tertarik untuk mengecek pesan dari Selena dulu. Dikirim oleh kembarannya, satu jam yang lalu."Aku hamil." Sandisc membaca dua patah kata dalam chat Selena. Selebihnya diisi oleh wanita itu dengan emoticon penuh senyum.Kemudian, Sandisc tertawa. Ia seperti bisa merasakan kebahagiaan yang menyelimuti saudara kembarnya itu.Tentu, harus dihubungi Selena kembali. Tadi sambungan telepon sudah
Gerack merasakan debaran jantungnya yang kian kencang, seiring dengan tombol bel apartemen Sandisc Mikkler dipencetnya.Gerack sangat tegang. Berdiri kaku sembari memegang sebuah buket bunga mawar.Pandangan begitu tertuju lurus ke depan. Tepat pada pintu apartemen Sandisc yang belum dibuka juga oleh wanita itu.Sandisc ada di dalam. Sudah dikonfirmasi setengah jam lalu lewat pesan dikirimkan ke wanita itu. Tinggal ditunggu Sandisc keluar.Setiap detik berjalan terasa begitu cepat bagi Gerack. Tidak terasa sudah lima menit ia menanti sambutan Sandisc.Tak berniat menekan kembali bel supaya wanita itu segera membukakan pintu untuk dirinya. Gerack rela menanti lebih lama.Waktu yang ada, dimanfaatkannya untuk menyusun sejumlah kalimat sapaan dan pertanyaan nantinya pada Sandisc.Otak Gerack tidak bisa diajak memikirkan kata-kata puitis yang romantis. Ia jela