Tempat ini sunyi, pohon-pohon pinus berjajar rapi. Seperti sengaja ditata oleh tukang kebun ternama, semak belukar tampak cantik dengan bunga-bunga merekah. Tempat apa ini?
Aku berdiri di bawah salah satu pohon pinus, memandang sekitar dengan waspada, entah mengapa, padahal tak ada yang patut dicurigai, kecuali hanya suasana lengang tanpa seorang pun di sini.
Apakah aku terlempar ke zaman dimana para Dinosaurus mendiami Bumi? Bukankah tadi Nyla mengajak bermain jam pasir?
Barangkali ... ah, tidak! Tidak mungkin begitu! Memangnya ini negeri dongeng, yang hanya dengan bermain jam pasir, seseorang bisa terlempar ke masa lalu? Konyol!
Rasa penasaran membuat langkah terayun setapak demi setapak menyusuri tempat ini, tenang. Tak meragu harus ke mana kaki melangkah. Entahlah.
Insting menuntunku mengikuti jalan setapak berkerikil halus, cukup lama. Belum ada tanda-tanda terdapat manusia.
Tanpa sadar, aku tiba di sebuah tempat yang lebih mirip kota. Mengusap mata, memastikan pemandangan di depan ini bukan ilusi semata.
Berkali mengerjap, tak berubah, ini ... nyata.
Wow, luar biasa!
Di hadapan berdiri bangunan-bangunan megah terbuat dari susunan batu, mirip pertokoan zaman Eropa kuno. Menakjubkan.
Tapi kejanggalan itu masih terasa ada dan sama, sejauh ini, aku tak menemukan seorang pun.
Lebih heran lagi, semua fasilitas di sini bersih dan terawat, lalu siapa yang merawat?
Semakin memasuki kota tanpa penghuni ini, aku merasa diawasi oleh berpasang-pasang mata. Tapi, di mana mereka?
Apa mereka manusia?
Atau hewan melata menjijikkan?
Atau bahkan, Dinosaurus?
Tidak, jangan berpikiran negatif, Rayna. Ini pasti tempat yang aman. Iya, pasti begitu.
Sekelebat bayangan melintas di belakang, membuatku berbalik, tak ada siapa-siapa.
Lalu yang tadi itu?
"Rayna!"
Teriakan samar itu seperti berada di kejauhan, tapi berpindah-pindah. Siapa?
"Siapa di sana?"
Nihil, tak ada sahutan.
Apa aku halusinasi?
"Rayna, bantu kami!"
Lagi. Kali ini terdengar seperti serombongan orang yang bicara.
"Si ...
"Tuan Putri, maaf terlambat menjemput, silakan naik."
Aku melongo, dari mana datangnya lelaki berpakaian kerajaan ini?
Dia ... membawa kereta kuda dengan dua gadis berseragam pelayan?
Apa-apaan ini?
"Ka-kalian siapa?"
"Kami diutus Pangeran untuk menjemput Tuan Putri, mari ...."
Lelaki itu membungkuk, mempersilakan aku naik, sementara dua pelayan wanita mengulurkan tangan menyambut tangan kanan dan kiriku masing-masing.
Selanjutnya ....
***
PLAK!
"Aduh," ringis gadis yang masih telentang di atas tempat tidur.
Matanya terbuka, duduk lalu mengusap-usap pipi kiri yang tadi ditampar lumayan kuat.
"Ah, syukurlah."
Gumaman lega dari arah samping membuatnya menoleh, kemudian melotot.
"Nyla! Kau menamparku?"
"He he. Maaf, Rayn, kau ... ta-tadi kau mengigau," cengir gadis berambut hitam sebahu, Nyla.
"Mimpi," gumam Rayna ragu, itu tadi ... seperti nyata.
"Sudahlah, cepat mandi dan kita harus berangkat ke sekolah. Aku tidak mau dimarahi oleh Mr. Ricko yang galak itu.”
Nyla beranjak, membuka lemari kemudian meraih baju seragam untuk dipakai hari ini.
"Kau masih mau di situ? Mau melihat aku ganti baju?"
Rayna mendengkus, gadis berkulit putih sayu itu menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi.
***
"Aku masak roti kari," ujar Nyla saat melihat sahabatnya menuruni anak tangga.
"Aku sarapan di sekolah."
"Oke, kau boleh tidak memakan masakanku dan sarapan di sekolah. Tapi, jangan harap nanti siang kau bisa makan di rumah."
Rayna mendesis, ini yang ia tak suka dari Nyla, terlalu perhatian. Jadi terkesan mengekang.
"Baiklah, Nona Nyla Vedruso, kau menang kali ini. Kebetulan uangku habis dan belum dikirim oleh Ibu jadi nanti siang aku pinjam mie ramenmu ya."
Ganti Nyla yang mendesis saat melihat Rayna duduk di kursi dan mengedipkan sebelah matanya, apa-apaan?!
"Kau pikir aku lelaki genit yang suka mengincar remaja baru mekar sepertimu, maaf saja, Nona Rayna Almarine. Enak saja."
***
"Aku mimpi yang sama lagi," keluh Rayna saat duduk di kelas bersama kedua sahabatnya.
Nyla tampak biasa, ia sudah sering melihat Rayna mimpi yang terkadang membuatnya mengeluarkan suara. Dan hal paling ampuh untuk membangunkan gadis bermata bening itu hanya satu, menampar pipi kirinya.
"Tapi kali ini lebih panjang, eum ... ada seorang lelaki berpakaian kerajaan dan dua orang gadis berseragam pelayan. Mereka membawaku naik kereta kuda setelahnya ...
"Setelahnya apa?" Vioren tampak penasaran, gadis berambut pirang itu memang tak sabaran.
"Setelahnya Nyla menampar pipiku dan aku terbangun," sahut Rayna polos.
Tawa Nyla meledak seketika, "Lagi pula siapa yang menyuruhmu bermimpi sampai pagi. Kalau kita terlambat, kau tahu apa yang akan dilakukan oleh Mr. Ricko, guru menyebalkan itu pasti menghukum kita."
"Hmm ... tapi aku penasaran dengan kelanjutan mimpi itu, Nyla. Dan kenapa mimpi itu datang hampir tiap malam selama hampir dua bulan ini, tujuh minggu tepatnya."
Vioren tampak menimbang, ia seperti ingin mengatakan sesuatu, sesekali mulutnya terbuka namun ditutup lagi. Ragu.
Suara ketukan sepatu beradu dengan lantai membuat ketiga gadis itu diam, duduk rapi di tempat masing-masing.
Seorang pemuda tampan berbadan sedikit berisi memasuki kelas, melirik sekilas ke arah Rayna, pandangan keduanya bertemu.
Gadis berambut panjang itu terdiam, dingin. Sebuah aura merasuki jiwanya. Seperti ada sesuatu yang telah lama hilang dari dalam dirinya dan baru disadari saat ini. Apa?
***
Kedua pemuda itu berhadapan, saling bicara lewat isyarat mata masing-masing, sebelum salah satunya buka suara.
"Haruskah aku menemuinya sendirian?"
"Kami sedang berusaha, Pangeran. Mengembalikan ingatan seseorang yang telah lama hilang, tidaklah mudah."
Pemuda tampan di hadapan bergerak gelisah, rambut hitamnya berkilau ditimpa cahaya bulan, hutan ini ... tampak mengerikan sekaligus menakjubkan pada malam hari.
"Lalu apa usahamu?"
"Kami berusaha sedikit demi sedikit, dia pias tiap kali bertemu pandang denganku."
"Jangan membuatnya takut, Dylon."
"Tidak pangeran, dia adalah sosok yang memiliki rasa penasaran tinggi."
Lagi, pemuda dengan pahatan rupa sempurna itu bergerak gelisah, pakaian serba putihnya bergoyang pelan ditiup angin.
"Aku takut terjadi sesuatu padanya."
"Gordhova sangat takut akan ketuaan, dia takkan berani melangkah ke dunia manusia," sahut pemuda yang dipanggil Dylon.
"Kau benar tapi, utusannya?"
"Kami yang akan melindungi Tuan Putri. Dia satu-satunya harapan kita, bukan? Satu-satunya keturunan dari suku Edelyn yang tersisa. Setelah ayah kandungnya gugur dalam peperangan." Dylon menghela napas berat.
"Aku percaya padamu, Dylon. Jaga dia baik-baik."
"Baik, Pangeran."
Keduanya berpisah, melangkah ke arah berlawanan, meninggalkan tempat.
Hanya angin dan pepohonan yang menjadi pendengar pembicaraan yang hanya mereka berdua mengerti.
***
Aku dibawa memasuki pelataran istana yang indah, berbeda dengan sebelumnya. Jika tadi tak terlihat seorang pun manusia, tapi di sini, manusia lalu lalang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Ada yang aneh, manusia di sini ... memiliki mata yang berbeda-beda warnanya.
Aku? Mataku bening, sejernih air di telaga tengah hutan.
"Mari, Tuan Putri, kami akan mengantar Tuan Putri."
Salah satu pelayan mempersilakan, aku hanya mengikuti.
Melewati lorong bangunan, lampu berhias mutiara dan batu safir menggantung di langit-langit.
Lukisan bunga-bunga dan tetumbuhan langka menghias dinding di sepanjang lorong. Cantik.
Sampai akhirnya, tibalah kami di depan sebuah pintu kokoh berwarna coklat.
Pelan, salah satu pelayan mengetuk pintunya.
"Pangeran, Tuan Putri sudah datang."
Tak berapa lama, pintu dibuka, menampakkan wajah tampan seorang pemuda.
Rambutnya hitam pekat dan berkilau, alis melengkung bagai kepakkan sayap elang, bola mata sebiru safir memancarkan keteduhan, hidung mancung membelah pipinya, dilengkapi dengan rahang yang kokoh. Tubuhnya terbentuk sempurna. Tinggi dan tegap.
Senyuman pemuda itu menyadarkanku, segera menunduk, tak tahu harus berbuat apa.
"Rayna," sapanya.
Aku tersentak, suara itu seperti tak asing.
"Sa-saya, Pangeran."
"Tinggalkan kami berdua," titahnya pada kedua pelayan.
Keduanya membungkuk sopan lalu meninggalkan tempat, kini hanya aku dan pemuda tampan bak Dewa Yunani di depan pintu kamar ini.
"Aku ...
***
Rayna terengah-engah usai bangun dari mimpinya, menoleh ke kiri, Nyla terlelap di sana. Kali ini ia bangun sendiri. Melirik jam di atas pintu masuk, pukul dua dini hari.
Itu tadi ... mimpi lagi?
"Varo Valerius," gumamnya pelan.
***
"Hah? Siapa, Rayn? Varo Valerius?" Vioren menatap Rayna yang duduk di depannya, gadis berambut hitam itu mengangguk malas, "Apa ... matanya biru?"
Rayna yang tengah menyeruput minumannya sontak mendongak, "Dari mana kau tahu, Vio?"
"Eum ... itu, a-aku hanya menebak saja," cengirnya.
Mata bening itu menyelidik, "Bukan karena kau tahu sesuatu?"
"Hah? Apa? Tahu apa?"
Nada suara Vioren terlalu buru-buru, membuat Rayna yakin ada yang ia sembunyikan.
"Kau kenal Varo Valerius?"
"Ti-tidak."
"Jangan bohong, Vioren. Sudah cukup lama kita berteman."
Vioren menoleh kiri-kanan, "Kalau aku bicara ... apa kau akan mendengarkan dan percaya?"
"Eum ... iya."
"Baiklah, tapi tidak di sini." Vioren beranjak, "Ikut aku!"
***
Rayna memerhatikan sekitar, banyak pepohonan tumbuh liar, belakang sekolahnya memang masih hutan.
"Apa?"
Belum ada sahutan dari Vioren, gadis berambut pirang bertubuh tinggi langsing itu menoleh ke kiri-kanan, memastikan sekitarnya aman.
"Vioren, siapa Varo Valerius?"
"Dia ... dia pangeran di negeri kami," sahut Vioren akhirnya.
"Pangeran?"
"Iya."
"Kau anggota kerajaan mana?"
"Aku anggota kerajaan dari dimensi lain, Rayn. Kerajaanku bernama Azzario, duniaku bernama Vhoris."
Rayna mengernyit, Azzario? Vhoris? Tempat apa itu?
Apa sahabatnya ini tengah membuat lelucon?
"Aku tidak mengerti, dimensi lain bagaimana, jelas-jelas kau manusia." Terkekeh gadis itu.
Vioren mendengus, "Kau sudah berjanji untuk mendengar dan mempercayaiku, Rayn."
"Oh, maaf, bisakah kau menjelaskannya?"
"Eum ... di negeriku, manusianya berbeda dengan di Bumi. Mata kami memiliki warna yang berbeda-beda. Sesuai sukunya."
"Hmm, lalu?"
"Tiga suku terkuat adalah suku Edelyn yang hanya menyisakan satu keturunan murni, mereka memiliki mata sejernih embun."
Rayna mendengarkan, potongan adegan di mimpinya membenarkan ucapan Vioren. Gadis di hadapannya tahu banyak hal. Barangkali saja, ia bisa mendapat pencerahan akan mimpinya.
"Lalu suku Rosan, para keturunannya memiliki mata berwarna biru. Terakhir suku Nevish, bola mata mereka berwarna coklat terang. Biasanya suku Nevish ini menduduki jabatan tinggi di kerajaan. Seperti ahli pedang dan prajurit pilihan."
"Eum ... kalau suku Rosan?"
"Pangeran kami terlahir dari campuran suku Edelyn dan Rosan. Ratu Ava adalah murni keturunan Edelyn sementara Raja Zius dari suku Rosan. Dan pangeran mewarisi suku ayahnya dengan mata biru cerah."
"Lalu bagaimana keturunan suku Edelyn?" Rasa penasaran membuat Rayna bertanya.
"Edelyn, suku terkuat, hanya tinggal memiliki satu keturunan murni. Dan dia sekarang ada di Bumi manusia."
"Benarkah?"
"Ya."
"Aku penasaran, apa kau tahu dia di mana?"
"Di hadapanku."
"Hah?!"
Rayna melongo, di hadapanku?
Apa maksud Vioren? Di sini hanya ada mereka berdua, kan? Lalu, siapa?
Apa mungkin keturunan terakhir suku Edelyn itu adalah
... dirinya? Tak mungkin! Ha ha, lelucon macam apa itu?
"Ya, kaulah keturunan terakhir suku Edelyn, Rayna," ujar Vioren tanpa tedeng aling-aling.
Rayna terhenyak, sejenak gadis itu melongo lalu mengerjap-ngerjap perlahan.
"Ka-kau bercanda?"
"Tidak, aku punya banyak bukti."
"A-apa?"
"Pertama, bola matamu bening seperti embun. Kedua, rambut aslimu tidak hitam, tapi keperakan. Kau yang mewarnainya menjadi hitam, lalu jarimu, di jari telunjuk kananmu ada tanda bintang berwarna putih terang. Itu ciri-ciri keturunan suku Edelyn murni."
"A-aku? Ta-tapi, aku manusia Bumi, Vio. A-aku ....
"Sampai bertemu di Azzario, Rayna."
Vioren tersenyum lalu melangkah pergi. Meninggalkan Rayna tergugu dengan pemikirannya, sesaat kemudian hujan turun tanpa disangka-sangka. Gadis itu kelabakan meninggalkan hutan, mencari tempat berteduh.
Di sanalah, terlihat jelas tanda bahwa ia keturunan suku Edelyn. Rambut yang dicat berwarna hitam, tertimpa air hujan, melunturkan warnanya dan berubah menjadi keperakan.
***
"Ada telepon dari Bibi Gea, kau diminta menemuinya di rumah."Kata-kata Nyla menyambut telinga Rayna saat ia tiba di kontrakan, gadis itu melepas sepatu lalu masuk, menaiki tangga dan hilang di balik pintu kamar.Nyla mengernyit, "Rayn kau hujan-hujanan? Cepat mandi dan ganti baju lalu turun ke bawah, biar kubuatkan bubur dan teh hangat."Tak ada sahutan. Gadis berambut sebahu itu segera naik ke atas untuk melihat kondisi sahabatnya."Rayn?"Nyla mengguncangkan bahu sahabatnya yang telungkup di karpet dengan seragam basah."Rayn, cepat mandi!"Rayna beranjak, menyambar handuk dan bersungut-sungut ke kamar mandi.Nyla sudah seperti ibu kedua baginya. Cerewet.***"Ini bubur daging dan teh hangat, agar kau tidak kedinginan lagi."Nyla meletakan semangkuk bubur daging dan segelas teh hangat di meja kecil atas karpet."Terima kas
Rayna memerhatikan Nyla, sahabatnya tengah berbicara dengan pemuda berambut coklat di depan kontrakan. Serius sekali tampaknya, sampai tak sadar dirinya berdiri di depan pagar.Sesaat kemudian pemuda itu mengangguk kemudian meninggalkan Nyla, berjalan ke luar pagar dan kini berdiri di hadapan Rayna.Mata coklat terangnya tampak menilai Rayna, sebelum kemudian tersenyum ramah."Saya permisi. Mari."Gadis berambut keperakan yang sudah kembali dicat hitam itu memerhatikan, mengikuti langkah si pemuda dengan matanya."Rayn kau sudah kembali? Kenapa tidak mengabari? Harusnya aku sudah mencoba resep baru sambil menikmati hari libur ini." Nyla mendekat."Ah, maaf. Ibuku pamit hendak keluar kota maka dari itu kemarin aku disuruh pulang," sahut Rayna berbohong.Tak ada sahutan lagi dari Nyla, gadis itu hanya tersenyum lalu mengamit lengan sahabatnya memasuki kontrakan.
“Genggaman pada pedangmu lemah, Azyea! Perkuat!”Gadis yang diingatkan segera mempererat pegangan pedangnya.“Lihat gerakan-gerakan lawan!”Azyea mengikuti instruksi sang kakak, “Awas kepalamu, Sharoon!”Sharoon mengelak kemudian melompat keluar dari arena latihan, menyarungkan pedang lalu menggantungnya di punggung. Pemuda tampan dengan garis wajah tegas itu mengusap rambut gondrongnya yang sedikit berantakan.“Ilmu pedangmu meningkat pesat, Zye,” pujinya tulus.Gadis berambut panjang diikat satu itu tersenyum, menggantung pedangnya di punggung lalu menghampiri sang kakak.“Itu juga berkat bantuanmu.”“Tanpa usaha, bantuanku tak berarti apa-apa.”“Satu lagi ilmu yang kupelajari darimu, Sharoon.”“Apa itu?”“Kerendahan hati. Kau tak pernah sombong meski ilmu pedangmu begitu hebat.”Pemuda berjubah merah itu tersenyum mendengar pujian sang adik, “Kita tak boleh sombong, suka tak suka masih ada yang lebih hebat la
Dua buah guci besar samping singgasana pecah berkeping, setelah kaki jenjang Gordhova menghantamnya, wanita berparas jelita dengan gaun hitam bersulam mutiara dan kalung berlian itu mengamuk saat menerima laporan dari tangan kanannya yang baru sembuh.“Jadi Valerius berhasil melarikan gadis dari suku Edelyn itu?”“Benar, Ratu.”“Bodoh kau, Arren! Menangkap anak kecil saja tak becus!”“Maafkan saya, Ratu. Tapi, dia dilindungi oleh Varo, Dylon dan Vioren.”Ratu kegelapan menatap tangan kanannya tajam, “Cari mereka! Bawa ke hadapanku dalam keadaan hidup atau mati. Akan kucabik-cabik wajah keturunan suku Edelyn itu. Hmm ... apa dia lebih cantik dariku, Arren?”“Tentu tidak, Ratu. Bagiku, Ratulah yang tercantik.”Arren tidak berbohong, ia mencintai Gordhova, di matanya, wanita itulah yang tercantik. Sayang ... Ratu kegelapan tak pernah mau melihat bersihnya cinta si pemuda, meski tak dipungkiri, pemuda berambut pirang itu memiliki kekejaman laksa
“Silakan, Ratu.” Audrin membukakan daun pintu ruang pemerintahan saat Rayna datang.Beberapa menteri dan petinggi lainnya segera berdiri begitu mengetahui sang ratu telah tiba.“Maaf, apakah aku terlambat cukup lama?” tanya gadis itu seraya duduk di singgasananya.“Tidak, Ratu. Kami baru saja berkumpul.”Lelaki berpakaian coklat tua yang duduk di samping penasihat menjawab, Rayna belum pernah melihat dia sebelumnya.“Baiklah.” Ratu muda tersebut menyapukan pandangan ke arah para petinggi yang hadir, “Apa yang akan kita bahas?”“Soal Gordhova, Ratu. Anda harus tahu siapa orang yang akan menjadi lawan Yang Mulia. Tapi, sebelum itu perkenalkan, ini Tiezer dia adalah kepala prajurit.”Rayna mengangguk saat Varo memperkenalkan pria paruh baya berpakaian coklat di sebelah penasihat, “Selamat datang kembali, Paman,” sambutnya ramah, “ceritakanlah tentang Gordhova.”
Philip mendadak menghentikan lari membuat Rayna nyaris terjatuh dari punggungnya, gadis itu cepat memeluk leher kuda tunggangannya.“Ada apa, Phil?”“Maafkan hamba, Yang Mulia. Dia di depan.”Rayna menatap ke depan, di sana Arren berdiri dengan seringai buas membuat sang gadis sedikit terkejut. Tangan ratu Azzario itu meraba pedang tipis yang tergantung di pinggang.“Arren,” desis gadis itu.“Sudah di sini rupanya calon ratu Azzario euh, atau sudah menjadi ratu?” Pemuda itu mengumandangkan tawa sejenak kemudian wajahnya sudah berubah kembali menjadi bengis, “Rakyatmu yang bodoh akan berduka, Almarine. Mereka akan kehilangan ratu mereka!”“Kau tidak akan bisa menyentuh junjunganku!”Philip menghardik dengan geram, kuda jantan itu membungkuk untuk mempersilakan sang ratu turun dari punggungnya.Rayna segera turun dari punggung kuda tunggangannya, tan
Para petinggi istana membungkuk hormat saat Rayna masuk ke ruang rapat diikuti oleh Audrin, mereka kembali duduk setelah dipersilakan.Ratu Azzario itu duduk di tempatnya lalu memandang satu demi satu orang di ruangan tersebut.“Nexus,” ujarnya sembari memandang pemuda berambut kebiruan yang duduk di samping Sharoon.“Hamba, Yang Mulia.”“Perbanyak mata-mata kita, selidiki pertahan kota Edden juga cari tahu di mana Gordhova menyekap kedua ibuku.”“Baik, Yang Mulia.”Rayna mengangguk, pandangannya menoleh ke arah lelaki tua berpakaian putih di samping Varo.“Kakek, kau tentu sudah mendengar tentang apa yang terjadi padaku. Bagaimana Arren berusaha membunuhku, andai saat itu Zenus tak datang mungkin saja aku tak ada lagi. Bagaimana pendapatmu?”Kakek Velix memberi hormat, “Kita perkuat pertahanan kita, Yang Mulia. Lambat laun Gordhova pasti menemukan tempa
Azyea bersusah payah menghindari serangan demi serangan dari Venthura. Meski ilmu pedangnya jelas lebih tinggi dari adik Gordhova itu tapi, mau tak mau masalah pengalaman gadis suku Nevish itu masih tertinggal jauh dibandingkan dengan lawannya yang berusia hampir sama dengan sang ayah. Arthen yang menyaksikan jalannya pertarungan jadi mendesah masygul, tampak sekali adik dari Sharoon itu sekuat tenaga mencoba bertahan bahkan, kini gadis itu terdesak hingga ke tepi sungai. Pada satu kesempatan, saat Venthura membuat gerakan melingkar diikuti kibasan jubah hitamnya tetiba Azyea terpekik saking terkejut melihat pakaiannya di bagian bahu robek besar, gadis itu melompat keluar dari arena pertarungan. Ia menyentuh bahu dan menatap pias ke arah lawannya yang malah mengumbar senyum. Di sini Azyea baru sadar bahwa, serangan demi serangan tadi tidak diniatkan untuk membunuh, jika saja Venthura mau tentu bukan
Rayna melompat turun dari punggung Zenus saat mereka tiba di lorong barat, ini kali ketiga Rayna masuk ke dalam istana bawah tanah melalui tempat ini. Akses lorong di sebelah barat ini memang digunakan untuk keluar masuk menggunakan kuda. Pintu masuk lorong barat merupakan batu besar yang ditumbuhi lumut dan akar-akar liar, untuk membuka pintu jelas harus menggeser batu tersebut. Gadis muda itu meletakkan batu sebesar kepalan tangan ke dalam lubang yang terdapat di permukaan batu besar, letaknya tersembunyi karena ditutupi oleh tetumbuhan merambat. Batu besar itu bergeser membuka, senyap, tanpa menimbulkan suara sama sekali. Rayna memasuki lorong diikuti oleh Zenus, setelah tiba di dalam, gadis belia tersebut menggerakan tuas untuk membuat batu besar penutup lorong kembali ke tempat semula. Obor-obor dari gas alam langsung menyala saat batu kembali menutupi lorong, Rayna naik ke punggung tunggangannya dan meminta b
Azyea bersusah payah menghindari serangan demi serangan dari Venthura. Meski ilmu pedangnya jelas lebih tinggi dari adik Gordhova itu tapi, mau tak mau masalah pengalaman gadis suku Nevish itu masih tertinggal jauh dibandingkan dengan lawannya yang berusia hampir sama dengan sang ayah. Arthen yang menyaksikan jalannya pertarungan jadi mendesah masygul, tampak sekali adik dari Sharoon itu sekuat tenaga mencoba bertahan bahkan, kini gadis itu terdesak hingga ke tepi sungai. Pada satu kesempatan, saat Venthura membuat gerakan melingkar diikuti kibasan jubah hitamnya tetiba Azyea terpekik saking terkejut melihat pakaiannya di bagian bahu robek besar, gadis itu melompat keluar dari arena pertarungan. Ia menyentuh bahu dan menatap pias ke arah lawannya yang malah mengumbar senyum. Di sini Azyea baru sadar bahwa, serangan demi serangan tadi tidak diniatkan untuk membunuh, jika saja Venthura mau tentu bukan
Para petinggi istana membungkuk hormat saat Rayna masuk ke ruang rapat diikuti oleh Audrin, mereka kembali duduk setelah dipersilakan.Ratu Azzario itu duduk di tempatnya lalu memandang satu demi satu orang di ruangan tersebut.“Nexus,” ujarnya sembari memandang pemuda berambut kebiruan yang duduk di samping Sharoon.“Hamba, Yang Mulia.”“Perbanyak mata-mata kita, selidiki pertahan kota Edden juga cari tahu di mana Gordhova menyekap kedua ibuku.”“Baik, Yang Mulia.”Rayna mengangguk, pandangannya menoleh ke arah lelaki tua berpakaian putih di samping Varo.“Kakek, kau tentu sudah mendengar tentang apa yang terjadi padaku. Bagaimana Arren berusaha membunuhku, andai saat itu Zenus tak datang mungkin saja aku tak ada lagi. Bagaimana pendapatmu?”Kakek Velix memberi hormat, “Kita perkuat pertahanan kita, Yang Mulia. Lambat laun Gordhova pasti menemukan tempa
Philip mendadak menghentikan lari membuat Rayna nyaris terjatuh dari punggungnya, gadis itu cepat memeluk leher kuda tunggangannya.“Ada apa, Phil?”“Maafkan hamba, Yang Mulia. Dia di depan.”Rayna menatap ke depan, di sana Arren berdiri dengan seringai buas membuat sang gadis sedikit terkejut. Tangan ratu Azzario itu meraba pedang tipis yang tergantung di pinggang.“Arren,” desis gadis itu.“Sudah di sini rupanya calon ratu Azzario euh, atau sudah menjadi ratu?” Pemuda itu mengumandangkan tawa sejenak kemudian wajahnya sudah berubah kembali menjadi bengis, “Rakyatmu yang bodoh akan berduka, Almarine. Mereka akan kehilangan ratu mereka!”“Kau tidak akan bisa menyentuh junjunganku!”Philip menghardik dengan geram, kuda jantan itu membungkuk untuk mempersilakan sang ratu turun dari punggungnya.Rayna segera turun dari punggung kuda tunggangannya, tan
“Silakan, Ratu.” Audrin membukakan daun pintu ruang pemerintahan saat Rayna datang.Beberapa menteri dan petinggi lainnya segera berdiri begitu mengetahui sang ratu telah tiba.“Maaf, apakah aku terlambat cukup lama?” tanya gadis itu seraya duduk di singgasananya.“Tidak, Ratu. Kami baru saja berkumpul.”Lelaki berpakaian coklat tua yang duduk di samping penasihat menjawab, Rayna belum pernah melihat dia sebelumnya.“Baiklah.” Ratu muda tersebut menyapukan pandangan ke arah para petinggi yang hadir, “Apa yang akan kita bahas?”“Soal Gordhova, Ratu. Anda harus tahu siapa orang yang akan menjadi lawan Yang Mulia. Tapi, sebelum itu perkenalkan, ini Tiezer dia adalah kepala prajurit.”Rayna mengangguk saat Varo memperkenalkan pria paruh baya berpakaian coklat di sebelah penasihat, “Selamat datang kembali, Paman,” sambutnya ramah, “ceritakanlah tentang Gordhova.”
Dua buah guci besar samping singgasana pecah berkeping, setelah kaki jenjang Gordhova menghantamnya, wanita berparas jelita dengan gaun hitam bersulam mutiara dan kalung berlian itu mengamuk saat menerima laporan dari tangan kanannya yang baru sembuh.“Jadi Valerius berhasil melarikan gadis dari suku Edelyn itu?”“Benar, Ratu.”“Bodoh kau, Arren! Menangkap anak kecil saja tak becus!”“Maafkan saya, Ratu. Tapi, dia dilindungi oleh Varo, Dylon dan Vioren.”Ratu kegelapan menatap tangan kanannya tajam, “Cari mereka! Bawa ke hadapanku dalam keadaan hidup atau mati. Akan kucabik-cabik wajah keturunan suku Edelyn itu. Hmm ... apa dia lebih cantik dariku, Arren?”“Tentu tidak, Ratu. Bagiku, Ratulah yang tercantik.”Arren tidak berbohong, ia mencintai Gordhova, di matanya, wanita itulah yang tercantik. Sayang ... Ratu kegelapan tak pernah mau melihat bersihnya cinta si pemuda, meski tak dipungkiri, pemuda berambut pirang itu memiliki kekejaman laksa
“Genggaman pada pedangmu lemah, Azyea! Perkuat!”Gadis yang diingatkan segera mempererat pegangan pedangnya.“Lihat gerakan-gerakan lawan!”Azyea mengikuti instruksi sang kakak, “Awas kepalamu, Sharoon!”Sharoon mengelak kemudian melompat keluar dari arena latihan, menyarungkan pedang lalu menggantungnya di punggung. Pemuda tampan dengan garis wajah tegas itu mengusap rambut gondrongnya yang sedikit berantakan.“Ilmu pedangmu meningkat pesat, Zye,” pujinya tulus.Gadis berambut panjang diikat satu itu tersenyum, menggantung pedangnya di punggung lalu menghampiri sang kakak.“Itu juga berkat bantuanmu.”“Tanpa usaha, bantuanku tak berarti apa-apa.”“Satu lagi ilmu yang kupelajari darimu, Sharoon.”“Apa itu?”“Kerendahan hati. Kau tak pernah sombong meski ilmu pedangmu begitu hebat.”Pemuda berjubah merah itu tersenyum mendengar pujian sang adik, “Kita tak boleh sombong, suka tak suka masih ada yang lebih hebat la
Rayna memerhatikan Nyla, sahabatnya tengah berbicara dengan pemuda berambut coklat di depan kontrakan. Serius sekali tampaknya, sampai tak sadar dirinya berdiri di depan pagar.Sesaat kemudian pemuda itu mengangguk kemudian meninggalkan Nyla, berjalan ke luar pagar dan kini berdiri di hadapan Rayna.Mata coklat terangnya tampak menilai Rayna, sebelum kemudian tersenyum ramah."Saya permisi. Mari."Gadis berambut keperakan yang sudah kembali dicat hitam itu memerhatikan, mengikuti langkah si pemuda dengan matanya."Rayn kau sudah kembali? Kenapa tidak mengabari? Harusnya aku sudah mencoba resep baru sambil menikmati hari libur ini." Nyla mendekat."Ah, maaf. Ibuku pamit hendak keluar kota maka dari itu kemarin aku disuruh pulang," sahut Rayna berbohong.Tak ada sahutan lagi dari Nyla, gadis itu hanya tersenyum lalu mengamit lengan sahabatnya memasuki kontrakan.
"Ada telepon dari Bibi Gea, kau diminta menemuinya di rumah."Kata-kata Nyla menyambut telinga Rayna saat ia tiba di kontrakan, gadis itu melepas sepatu lalu masuk, menaiki tangga dan hilang di balik pintu kamar.Nyla mengernyit, "Rayn kau hujan-hujanan? Cepat mandi dan ganti baju lalu turun ke bawah, biar kubuatkan bubur dan teh hangat."Tak ada sahutan. Gadis berambut sebahu itu segera naik ke atas untuk melihat kondisi sahabatnya."Rayn?"Nyla mengguncangkan bahu sahabatnya yang telungkup di karpet dengan seragam basah."Rayn, cepat mandi!"Rayna beranjak, menyambar handuk dan bersungut-sungut ke kamar mandi.Nyla sudah seperti ibu kedua baginya. Cerewet.***"Ini bubur daging dan teh hangat, agar kau tidak kedinginan lagi."Nyla meletakan semangkuk bubur daging dan segelas teh hangat di meja kecil atas karpet."Terima kas