Para petinggi istana membungkuk hormat saat Rayna masuk ke ruang rapat diikuti oleh Audrin, mereka kembali duduk setelah dipersilakan.
Ratu Azzario itu duduk di tempatnya lalu memandang satu demi satu orang di ruangan tersebut.
“Nexus,” ujarnya sembari memandang pemuda berambut kebiruan yang duduk di samping Sharoon.
“Hamba, Yang Mulia.”
“Perbanyak mata-mata kita, selidiki pertahan kota Edden juga cari tahu di mana Gordhova menyekap kedua ibuku.”
“Baik, Yang Mulia.”
Rayna mengangguk, pandangannya menoleh ke arah lelaki tua berpakaian putih di samping Varo.
“Kakek, kau tentu sudah mendengar tentang apa yang terjadi padaku. Bagaimana Arren berusaha membunuhku, andai saat itu Zenus tak datang mungkin saja aku tak ada lagi. Bagaimana pendapatmu?”
Kakek Velix memberi hormat, “Kita perkuat pertahanan kita, Yang Mulia. Lambat laun Gordhova pasti menemukan tempa
Azyea bersusah payah menghindari serangan demi serangan dari Venthura. Meski ilmu pedangnya jelas lebih tinggi dari adik Gordhova itu tapi, mau tak mau masalah pengalaman gadis suku Nevish itu masih tertinggal jauh dibandingkan dengan lawannya yang berusia hampir sama dengan sang ayah. Arthen yang menyaksikan jalannya pertarungan jadi mendesah masygul, tampak sekali adik dari Sharoon itu sekuat tenaga mencoba bertahan bahkan, kini gadis itu terdesak hingga ke tepi sungai. Pada satu kesempatan, saat Venthura membuat gerakan melingkar diikuti kibasan jubah hitamnya tetiba Azyea terpekik saking terkejut melihat pakaiannya di bagian bahu robek besar, gadis itu melompat keluar dari arena pertarungan. Ia menyentuh bahu dan menatap pias ke arah lawannya yang malah mengumbar senyum. Di sini Azyea baru sadar bahwa, serangan demi serangan tadi tidak diniatkan untuk membunuh, jika saja Venthura mau tentu bukan
Rayna melompat turun dari punggung Zenus saat mereka tiba di lorong barat, ini kali ketiga Rayna masuk ke dalam istana bawah tanah melalui tempat ini. Akses lorong di sebelah barat ini memang digunakan untuk keluar masuk menggunakan kuda. Pintu masuk lorong barat merupakan batu besar yang ditumbuhi lumut dan akar-akar liar, untuk membuka pintu jelas harus menggeser batu tersebut. Gadis muda itu meletakkan batu sebesar kepalan tangan ke dalam lubang yang terdapat di permukaan batu besar, letaknya tersembunyi karena ditutupi oleh tetumbuhan merambat. Batu besar itu bergeser membuka, senyap, tanpa menimbulkan suara sama sekali. Rayna memasuki lorong diikuti oleh Zenus, setelah tiba di dalam, gadis belia tersebut menggerakan tuas untuk membuat batu besar penutup lorong kembali ke tempat semula. Obor-obor dari gas alam langsung menyala saat batu kembali menutupi lorong, Rayna naik ke punggung tunggangannya dan meminta b
Tempat ini sunyi, pohon-pohon pinus berjajar rapi. Seperti sengaja ditata oleh tukang kebun ternama, semak belukar tampak cantik dengan bunga-bunga merekah. Tempat apa ini?Aku berdiri di bawah salah satu pohon pinus, memandang sekitar dengan waspada, entah mengapa, padahal tak ada yang patut dicurigai, kecuali hanya suasana lengang tanpa seorang pun di sini.Apakah aku terlempar ke zaman dimana para Dinosaurus mendiami Bumi? Bukankah tadi Nyla mengajak bermain jam pasir?Barangkali ... ah, tidak! Tidak mungkin begitu! Memangnya ini negeri dongeng, yang hanya dengan bermain jam pasir, seseorang bisa terlempar ke masa lalu? Konyol!Rasa penasaran membuat langkah terayun setapak demi setapak menyusuri tempat ini, tenang. Tak meragu harus ke mana kaki melangkah. Entahlah.Insting menuntunku mengikuti jalan setapak berkerikil halus, cukup lama. Belum ada tanda-tanda terdapat manusia.Tanpa sadar, aku tiba di
"Ada telepon dari Bibi Gea, kau diminta menemuinya di rumah."Kata-kata Nyla menyambut telinga Rayna saat ia tiba di kontrakan, gadis itu melepas sepatu lalu masuk, menaiki tangga dan hilang di balik pintu kamar.Nyla mengernyit, "Rayn kau hujan-hujanan? Cepat mandi dan ganti baju lalu turun ke bawah, biar kubuatkan bubur dan teh hangat."Tak ada sahutan. Gadis berambut sebahu itu segera naik ke atas untuk melihat kondisi sahabatnya."Rayn?"Nyla mengguncangkan bahu sahabatnya yang telungkup di karpet dengan seragam basah."Rayn, cepat mandi!"Rayna beranjak, menyambar handuk dan bersungut-sungut ke kamar mandi.Nyla sudah seperti ibu kedua baginya. Cerewet.***"Ini bubur daging dan teh hangat, agar kau tidak kedinginan lagi."Nyla meletakan semangkuk bubur daging dan segelas teh hangat di meja kecil atas karpet."Terima kas
Rayna memerhatikan Nyla, sahabatnya tengah berbicara dengan pemuda berambut coklat di depan kontrakan. Serius sekali tampaknya, sampai tak sadar dirinya berdiri di depan pagar.Sesaat kemudian pemuda itu mengangguk kemudian meninggalkan Nyla, berjalan ke luar pagar dan kini berdiri di hadapan Rayna.Mata coklat terangnya tampak menilai Rayna, sebelum kemudian tersenyum ramah."Saya permisi. Mari."Gadis berambut keperakan yang sudah kembali dicat hitam itu memerhatikan, mengikuti langkah si pemuda dengan matanya."Rayn kau sudah kembali? Kenapa tidak mengabari? Harusnya aku sudah mencoba resep baru sambil menikmati hari libur ini." Nyla mendekat."Ah, maaf. Ibuku pamit hendak keluar kota maka dari itu kemarin aku disuruh pulang," sahut Rayna berbohong.Tak ada sahutan lagi dari Nyla, gadis itu hanya tersenyum lalu mengamit lengan sahabatnya memasuki kontrakan.
“Genggaman pada pedangmu lemah, Azyea! Perkuat!”Gadis yang diingatkan segera mempererat pegangan pedangnya.“Lihat gerakan-gerakan lawan!”Azyea mengikuti instruksi sang kakak, “Awas kepalamu, Sharoon!”Sharoon mengelak kemudian melompat keluar dari arena latihan, menyarungkan pedang lalu menggantungnya di punggung. Pemuda tampan dengan garis wajah tegas itu mengusap rambut gondrongnya yang sedikit berantakan.“Ilmu pedangmu meningkat pesat, Zye,” pujinya tulus.Gadis berambut panjang diikat satu itu tersenyum, menggantung pedangnya di punggung lalu menghampiri sang kakak.“Itu juga berkat bantuanmu.”“Tanpa usaha, bantuanku tak berarti apa-apa.”“Satu lagi ilmu yang kupelajari darimu, Sharoon.”“Apa itu?”“Kerendahan hati. Kau tak pernah sombong meski ilmu pedangmu begitu hebat.”Pemuda berjubah merah itu tersenyum mendengar pujian sang adik, “Kita tak boleh sombong, suka tak suka masih ada yang lebih hebat la
Dua buah guci besar samping singgasana pecah berkeping, setelah kaki jenjang Gordhova menghantamnya, wanita berparas jelita dengan gaun hitam bersulam mutiara dan kalung berlian itu mengamuk saat menerima laporan dari tangan kanannya yang baru sembuh.“Jadi Valerius berhasil melarikan gadis dari suku Edelyn itu?”“Benar, Ratu.”“Bodoh kau, Arren! Menangkap anak kecil saja tak becus!”“Maafkan saya, Ratu. Tapi, dia dilindungi oleh Varo, Dylon dan Vioren.”Ratu kegelapan menatap tangan kanannya tajam, “Cari mereka! Bawa ke hadapanku dalam keadaan hidup atau mati. Akan kucabik-cabik wajah keturunan suku Edelyn itu. Hmm ... apa dia lebih cantik dariku, Arren?”“Tentu tidak, Ratu. Bagiku, Ratulah yang tercantik.”Arren tidak berbohong, ia mencintai Gordhova, di matanya, wanita itulah yang tercantik. Sayang ... Ratu kegelapan tak pernah mau melihat bersihnya cinta si pemuda, meski tak dipungkiri, pemuda berambut pirang itu memiliki kekejaman laksa
“Silakan, Ratu.” Audrin membukakan daun pintu ruang pemerintahan saat Rayna datang.Beberapa menteri dan petinggi lainnya segera berdiri begitu mengetahui sang ratu telah tiba.“Maaf, apakah aku terlambat cukup lama?” tanya gadis itu seraya duduk di singgasananya.“Tidak, Ratu. Kami baru saja berkumpul.”Lelaki berpakaian coklat tua yang duduk di samping penasihat menjawab, Rayna belum pernah melihat dia sebelumnya.“Baiklah.” Ratu muda tersebut menyapukan pandangan ke arah para petinggi yang hadir, “Apa yang akan kita bahas?”“Soal Gordhova, Ratu. Anda harus tahu siapa orang yang akan menjadi lawan Yang Mulia. Tapi, sebelum itu perkenalkan, ini Tiezer dia adalah kepala prajurit.”Rayna mengangguk saat Varo memperkenalkan pria paruh baya berpakaian coklat di sebelah penasihat, “Selamat datang kembali, Paman,” sambutnya ramah, “ceritakanlah tentang Gordhova.”
Rayna melompat turun dari punggung Zenus saat mereka tiba di lorong barat, ini kali ketiga Rayna masuk ke dalam istana bawah tanah melalui tempat ini. Akses lorong di sebelah barat ini memang digunakan untuk keluar masuk menggunakan kuda. Pintu masuk lorong barat merupakan batu besar yang ditumbuhi lumut dan akar-akar liar, untuk membuka pintu jelas harus menggeser batu tersebut. Gadis muda itu meletakkan batu sebesar kepalan tangan ke dalam lubang yang terdapat di permukaan batu besar, letaknya tersembunyi karena ditutupi oleh tetumbuhan merambat. Batu besar itu bergeser membuka, senyap, tanpa menimbulkan suara sama sekali. Rayna memasuki lorong diikuti oleh Zenus, setelah tiba di dalam, gadis belia tersebut menggerakan tuas untuk membuat batu besar penutup lorong kembali ke tempat semula. Obor-obor dari gas alam langsung menyala saat batu kembali menutupi lorong, Rayna naik ke punggung tunggangannya dan meminta b
Azyea bersusah payah menghindari serangan demi serangan dari Venthura. Meski ilmu pedangnya jelas lebih tinggi dari adik Gordhova itu tapi, mau tak mau masalah pengalaman gadis suku Nevish itu masih tertinggal jauh dibandingkan dengan lawannya yang berusia hampir sama dengan sang ayah. Arthen yang menyaksikan jalannya pertarungan jadi mendesah masygul, tampak sekali adik dari Sharoon itu sekuat tenaga mencoba bertahan bahkan, kini gadis itu terdesak hingga ke tepi sungai. Pada satu kesempatan, saat Venthura membuat gerakan melingkar diikuti kibasan jubah hitamnya tetiba Azyea terpekik saking terkejut melihat pakaiannya di bagian bahu robek besar, gadis itu melompat keluar dari arena pertarungan. Ia menyentuh bahu dan menatap pias ke arah lawannya yang malah mengumbar senyum. Di sini Azyea baru sadar bahwa, serangan demi serangan tadi tidak diniatkan untuk membunuh, jika saja Venthura mau tentu bukan
Para petinggi istana membungkuk hormat saat Rayna masuk ke ruang rapat diikuti oleh Audrin, mereka kembali duduk setelah dipersilakan.Ratu Azzario itu duduk di tempatnya lalu memandang satu demi satu orang di ruangan tersebut.“Nexus,” ujarnya sembari memandang pemuda berambut kebiruan yang duduk di samping Sharoon.“Hamba, Yang Mulia.”“Perbanyak mata-mata kita, selidiki pertahan kota Edden juga cari tahu di mana Gordhova menyekap kedua ibuku.”“Baik, Yang Mulia.”Rayna mengangguk, pandangannya menoleh ke arah lelaki tua berpakaian putih di samping Varo.“Kakek, kau tentu sudah mendengar tentang apa yang terjadi padaku. Bagaimana Arren berusaha membunuhku, andai saat itu Zenus tak datang mungkin saja aku tak ada lagi. Bagaimana pendapatmu?”Kakek Velix memberi hormat, “Kita perkuat pertahanan kita, Yang Mulia. Lambat laun Gordhova pasti menemukan tempa
Philip mendadak menghentikan lari membuat Rayna nyaris terjatuh dari punggungnya, gadis itu cepat memeluk leher kuda tunggangannya.“Ada apa, Phil?”“Maafkan hamba, Yang Mulia. Dia di depan.”Rayna menatap ke depan, di sana Arren berdiri dengan seringai buas membuat sang gadis sedikit terkejut. Tangan ratu Azzario itu meraba pedang tipis yang tergantung di pinggang.“Arren,” desis gadis itu.“Sudah di sini rupanya calon ratu Azzario euh, atau sudah menjadi ratu?” Pemuda itu mengumandangkan tawa sejenak kemudian wajahnya sudah berubah kembali menjadi bengis, “Rakyatmu yang bodoh akan berduka, Almarine. Mereka akan kehilangan ratu mereka!”“Kau tidak akan bisa menyentuh junjunganku!”Philip menghardik dengan geram, kuda jantan itu membungkuk untuk mempersilakan sang ratu turun dari punggungnya.Rayna segera turun dari punggung kuda tunggangannya, tan
“Silakan, Ratu.” Audrin membukakan daun pintu ruang pemerintahan saat Rayna datang.Beberapa menteri dan petinggi lainnya segera berdiri begitu mengetahui sang ratu telah tiba.“Maaf, apakah aku terlambat cukup lama?” tanya gadis itu seraya duduk di singgasananya.“Tidak, Ratu. Kami baru saja berkumpul.”Lelaki berpakaian coklat tua yang duduk di samping penasihat menjawab, Rayna belum pernah melihat dia sebelumnya.“Baiklah.” Ratu muda tersebut menyapukan pandangan ke arah para petinggi yang hadir, “Apa yang akan kita bahas?”“Soal Gordhova, Ratu. Anda harus tahu siapa orang yang akan menjadi lawan Yang Mulia. Tapi, sebelum itu perkenalkan, ini Tiezer dia adalah kepala prajurit.”Rayna mengangguk saat Varo memperkenalkan pria paruh baya berpakaian coklat di sebelah penasihat, “Selamat datang kembali, Paman,” sambutnya ramah, “ceritakanlah tentang Gordhova.”
Dua buah guci besar samping singgasana pecah berkeping, setelah kaki jenjang Gordhova menghantamnya, wanita berparas jelita dengan gaun hitam bersulam mutiara dan kalung berlian itu mengamuk saat menerima laporan dari tangan kanannya yang baru sembuh.“Jadi Valerius berhasil melarikan gadis dari suku Edelyn itu?”“Benar, Ratu.”“Bodoh kau, Arren! Menangkap anak kecil saja tak becus!”“Maafkan saya, Ratu. Tapi, dia dilindungi oleh Varo, Dylon dan Vioren.”Ratu kegelapan menatap tangan kanannya tajam, “Cari mereka! Bawa ke hadapanku dalam keadaan hidup atau mati. Akan kucabik-cabik wajah keturunan suku Edelyn itu. Hmm ... apa dia lebih cantik dariku, Arren?”“Tentu tidak, Ratu. Bagiku, Ratulah yang tercantik.”Arren tidak berbohong, ia mencintai Gordhova, di matanya, wanita itulah yang tercantik. Sayang ... Ratu kegelapan tak pernah mau melihat bersihnya cinta si pemuda, meski tak dipungkiri, pemuda berambut pirang itu memiliki kekejaman laksa
“Genggaman pada pedangmu lemah, Azyea! Perkuat!”Gadis yang diingatkan segera mempererat pegangan pedangnya.“Lihat gerakan-gerakan lawan!”Azyea mengikuti instruksi sang kakak, “Awas kepalamu, Sharoon!”Sharoon mengelak kemudian melompat keluar dari arena latihan, menyarungkan pedang lalu menggantungnya di punggung. Pemuda tampan dengan garis wajah tegas itu mengusap rambut gondrongnya yang sedikit berantakan.“Ilmu pedangmu meningkat pesat, Zye,” pujinya tulus.Gadis berambut panjang diikat satu itu tersenyum, menggantung pedangnya di punggung lalu menghampiri sang kakak.“Itu juga berkat bantuanmu.”“Tanpa usaha, bantuanku tak berarti apa-apa.”“Satu lagi ilmu yang kupelajari darimu, Sharoon.”“Apa itu?”“Kerendahan hati. Kau tak pernah sombong meski ilmu pedangmu begitu hebat.”Pemuda berjubah merah itu tersenyum mendengar pujian sang adik, “Kita tak boleh sombong, suka tak suka masih ada yang lebih hebat la
Rayna memerhatikan Nyla, sahabatnya tengah berbicara dengan pemuda berambut coklat di depan kontrakan. Serius sekali tampaknya, sampai tak sadar dirinya berdiri di depan pagar.Sesaat kemudian pemuda itu mengangguk kemudian meninggalkan Nyla, berjalan ke luar pagar dan kini berdiri di hadapan Rayna.Mata coklat terangnya tampak menilai Rayna, sebelum kemudian tersenyum ramah."Saya permisi. Mari."Gadis berambut keperakan yang sudah kembali dicat hitam itu memerhatikan, mengikuti langkah si pemuda dengan matanya."Rayn kau sudah kembali? Kenapa tidak mengabari? Harusnya aku sudah mencoba resep baru sambil menikmati hari libur ini." Nyla mendekat."Ah, maaf. Ibuku pamit hendak keluar kota maka dari itu kemarin aku disuruh pulang," sahut Rayna berbohong.Tak ada sahutan lagi dari Nyla, gadis itu hanya tersenyum lalu mengamit lengan sahabatnya memasuki kontrakan.
"Ada telepon dari Bibi Gea, kau diminta menemuinya di rumah."Kata-kata Nyla menyambut telinga Rayna saat ia tiba di kontrakan, gadis itu melepas sepatu lalu masuk, menaiki tangga dan hilang di balik pintu kamar.Nyla mengernyit, "Rayn kau hujan-hujanan? Cepat mandi dan ganti baju lalu turun ke bawah, biar kubuatkan bubur dan teh hangat."Tak ada sahutan. Gadis berambut sebahu itu segera naik ke atas untuk melihat kondisi sahabatnya."Rayn?"Nyla mengguncangkan bahu sahabatnya yang telungkup di karpet dengan seragam basah."Rayn, cepat mandi!"Rayna beranjak, menyambar handuk dan bersungut-sungut ke kamar mandi.Nyla sudah seperti ibu kedua baginya. Cerewet.***"Ini bubur daging dan teh hangat, agar kau tidak kedinginan lagi."Nyla meletakan semangkuk bubur daging dan segelas teh hangat di meja kecil atas karpet."Terima kas