"Hikss ... t-tidak! Ano tidak mau, enci tidak boleh mati." Vano berusaha menyembunyikan kelincinya di dalam pelukannya. Tidak ada seorangpun yang bisa memisahkannya dari si enci, termasuk Handa Enan. "Encinya butuh istirahat yang panjang, Ano tidak boleh begitu ya, sayang. Ibunya sudah menunggu disana, dia tertahan karena Ano mengurung tubuhnya disini." Renan berjongkok sambil menyentuh punggung Ano, diusap pelan sebagai bentuk kasih sayang dan menenangkan si kecil. "H-handa ...." "Ano tega lihat ibunya yang sedang menangis disana karena anaknya ditahan oleh Ano disini?" Pertanyaan Renan membuat hati Vano tergerak, pikirannya bercabang-cabang dan memikirkan ibu kelinci yang menangis karena anaknya ditahan di dunia ini. "Handaaaaa …," rengeknya pada Renan, dia tidak mau kelinci pergi, tapi dia juga kasihan dengan ibu si kelinci. Apa yang harus Ano lakukan sekarang? Ano bingung. Renan tersenyum dan mulai menghapus jejak air mata Ano yang membasahi pipi gemoynya. Vano sungguh sangat
Beberapa jam sebelum kepergian Vano."Uwaaaaa, yumah angkasa," ucap Vano yang telah dipindahkan ke kamar VIP. Anak laki-laki imut ini sedang berada dalam gendongan Handa Enannya. Renan memang telah menepati janji dengan mengabulkan keinginan Vano untuk memiliki rumah angkasa seperti miliknya di apartemen. "Ini adalah janji handa Hahan kan untuk membuat rumah angkasa untuk Ano, jadi handa Enan yang membantu handa Hahan membuatnya, sayang. Apa Ano sekarang senang, nak?" tanya Renan, tangan kekarnya memeluk erat tubuh mungil Ano dengan penuh kelembutan. Dia sayang pada anak laki-laki ini, walaupun bukan anak kandungnya. Lagipula, Ano juga lebih dekat dengan handa Enan dibandingkan dengan handa Hahan yang merupakan ayah biologisnya. Vano menganggukkan kepalanya dengan semangat membara, dia antusias dan bersyukur bisa merasakan memiliki kamar angkasa. "Ano tukaaaa!!" jawabnya dengan kegirangan. Akhirnya, rumah angkasa impian telah dikabulkan, andai saja dia bisa lebih lama berada di du
Vano kecil menundukkan kepalanya pelan dan berdiam begitu saja saat mendengar penuturan dari bunanya. Sejujurnya, tubuhnya sangat lemah sekali, tapi ia ingin bermain bersama buna dan handa. Dia masih ingin bercanda ria ataupun bermain bersama kedua orang tuanya. Tuhan, apa tidak bisa kabulkan keinginan Vano untuk sembuh? "Kepalanya tertekuk? Handa dan Buna tentu seperti orang tua Tatan. Iya kan, Bun?" Raihan mendekat dan duduk disamping Rania. Dia berusaha membuat Vano percaya bahwa mereka adalah orang tua yang rukun. Tentunya, Rania pasti mengangguk sebagai persetujuan. "Sayang, jangan sedih .... Buna dan handa menyayangi Ano." Vano mengangkat kepalanya hati-hati dan menatap kedua orang tuanya dengan mata yang sayu. "Ano uga sayang Buna dan Handa," gumamnya dengan suara mengecil di akhir. Matanya bergantian menatapi Buna dan Handa, dia menunggu momen itu terjadi. Momen apa? Momen pasangan orang tua seperti orang tua Tatan. Ayo, kabulkan, Vano pasti akan sangat senang sekali atas i
"Euhh, Anyaku, kau gadis kuat sayang ...." Irene memeluk bahu Rania dengan erat. Menenangkan wanita itu yang sudah melewati batas kekuatan dan berakhir melemah seperti ini. "K-kakak …," ucap Rania tertatih-tatih, dia sedang berada dalam pelukan Irene. Hari ini, resminya Vano akan dimakamkan. Rania tidak sanggup, dia masih belum percaya bahwa putra bungsunya itu kini sudah menghadap Tuhan tanpa sakit menjadi bebannya. Di kediaman Haru, cukup ramai yang datang dan sedikit sesak. Hani juga sudah mati rasa, bahkan air matanya sudah benar-benar habis semalaman. Baru saja dia dipertemukan dengan cucunya, namun takdir tidak membiarkan dia berada lebih lama untuk menjaga dan menyayangi Vano. "A-abang, sudah waktunya …," tutur Renan yang sedang berdiri di dekat peti mati Vano yang masih kosong. Renan juga sama halnya, dia kehilangan dan dia akan menjadi penguat abangnya untuk saat ini. Raihan mendengarnya, tidak ada respon melainkan laki-laki ini menggigit bibir bawahnya dan terus menjatuh
"D-dia terbiasa m-mencium p-pipi eugh ... eughh s-sebelum t-tidur .... D-dia t-tidak akan nyaman t-tidur dengan p-pakaian itu ... eughh." Rania berusaha berjalan mendekat ke arah peti dikuburkan, namun Irene menahannya. Dia tahu, Rania pasti akan nekat meloncat jika sudah begini. "A-ano anakku ... s-siapa yang akan d-datang t-tengah malam untuk t-tidur di atas p-perut B-bu eugh- eugh ... B-buna ... eughh-- hhhh!" Akhirnya pertahanannya runtuh, Rania terduduk merosot ke tanah dengan deruan air mata yang terus turun membasahi. Irene dengan sigap menenangkannya kembali dan membawa Anya ke pelukan hangatnya. "R-ren, A-ano- ... eugh ... d-dia tidak bisa tidur sendirian ... euhh! J-jangan k-kubur anakku … eughh- hahh ... anakku s-sendirian," pintanya pada Renan dengan suara parau dan serak. Berharap Renan tidak melanjutkan mengubur anaknya. Mendengar suara Rania yang sangat parau, Renan berusaha mengabaikan dan pura-pura tidak mendengar saja. Jujur, laki-laki itu tidak sanggup melihat Ra
"Setelah aku pikirkan, tidak akan baik jika kita terus bersama. Maafkan aku ...." "Mas menyakiti dua wanita sekaligus …," lirih Jihan pelan. Jari-jarinya bergerak menghapus air matanya yang menempel di permukaan wajahnya. Bisa-bisanya Yogi memutuskan keputusan sepihak ini. Laki-laki yang penuh plin-plan dalam hidupnya. "Kau benar," ucap Yogi yang menyetujui perkataan Jihan barusan. "Aku menyakiti semuanya …," lanjutnya lagi. Tangannya meremat pinggiran bajunya sendiri dan kepalanya tertunduk dalam. Dia ingin segera bertemu dengan Irene dan memperbaiki hubungan mereka dari awal, karena sejujurnya cinta yang tulus dan nyaman hanya ia dapatkan dari istrinya itu. "Tidak bisakah bertahan sedikit lagi? Mungkin kau akan melupakannya," pinta Jihan dengan raut wajah memohon. Dia mencintai Yogi dan selalu ingin berada di dekat laki-laki berkulit putih pucat tersebut. "Tidak mungkin. Aku tidak akan mungkin bisa melupakannya. Dia tumbuh bersamaku dari kecil, aku tidak ingin mengkhianati wanita
"Kepalamu sudah besar, tidak akan muat lagi, Ren," kesal Rania karena Renan memaksa memakai helm biru masa kecilnya dan ingin memotretnya untuk dipamerkan ke sosial media. Akibatnya, Rania yang kewalahan membantunya dan berakhir sedikit kesal."Pakailah." Renan juga memaksa helm pink masa kecil ke kepala Rania. Sudah jelas tidak muat, masih juga dipaksa. Memang ada saja kelakuan laki-laki satu ini yang membuat Rania semakin menggeram ingin menggigitnya. "Buat apa sih?" tanya Rania keheranan. Lagi, dia masih ingin mempertanyakan manfaat dari tujuan pemakaian helm masa kecil yang begitu sempit itu. "Mau aku upload dengan caption akak Anya dan Enan kecil. Mendekatlah ...." Renan menarik lengan Rania untuk duduk lebih dekat dengannya, tepat di sebelahnya. Setelah itu, Renan mengambil foto mereka berdua yang sedang memakai helm biru dan helm pink masa kecil milik mereka dengan menggunakan ponsel laki-laki tersebut. Rania melepaskan helm pinknya dan Renan fokus mengetikkan sesuatu di han
"Mas Raihan, maafkan aku ... maafkan ayahku." Jihan memeluk kaki Raihan dengan erat, menangis hebat dengan penuh penyesalan. Raihan menyentuh bahu Jihan yang terduduk di lantai dingin itu, dirinya ikut berjongkok dan memeluk tubuh sang gadis dengan lembut. "Tidak apa-apa, aku paham perasaan ayahmu. Maafkan keluarga kami juga, ya. Harusnya setelah ini kau hidup tenang dan bahagia dengan pilihanmu sendiri," tuturnya pelan dan memberi perlindungan untuk lawan bicaranya."A-aku bersalah …," lirihnya sambil menghapus air mata yang berjejak di kedua pipi mulusnya. Hatinya semakin tersayat jika mengingat kelakuan jahat ayahnya kepada Raihan. "Semua bersalah, semua salah terhadap Rania. Minta maaflah pada dia, anak kami juga menjadi korban dari semua ini," selanya lagi dengan perkataan lembut tanpa amarah. Jihan mengangguk berkali-kali menanggapi ucapan Raihan, kini perhatiannya teralih menatap ke arah Haru yang duduk di kursi roda. Haru hanya menatap iba pada Jihan disana. Anak gadis yang
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini