"Mas Raihan, maafkan aku ... maafkan ayahku." Jihan memeluk kaki Raihan dengan erat, menangis hebat dengan penuh penyesalan. Raihan menyentuh bahu Jihan yang terduduk di lantai dingin itu, dirinya ikut berjongkok dan memeluk tubuh sang gadis dengan lembut. "Tidak apa-apa, aku paham perasaan ayahmu. Maafkan keluarga kami juga, ya. Harusnya setelah ini kau hidup tenang dan bahagia dengan pilihanmu sendiri," tuturnya pelan dan memberi perlindungan untuk lawan bicaranya."A-aku bersalah …," lirihnya sambil menghapus air mata yang berjejak di kedua pipi mulusnya. Hatinya semakin tersayat jika mengingat kelakuan jahat ayahnya kepada Raihan. "Semua bersalah, semua salah terhadap Rania. Minta maaflah pada dia, anak kami juga menjadi korban dari semua ini," selanya lagi dengan perkataan lembut tanpa amarah. Jihan mengangguk berkali-kali menanggapi ucapan Raihan, kini perhatiannya teralih menatap ke arah Haru yang duduk di kursi roda. Haru hanya menatap iba pada Jihan disana. Anak gadis yang
Tap! Jantung Raihan seperti berhenti berdetak. Satu pukulan dahsyat menimpa ulu hatinya. Darahnya terasa berdesir memenuhi permukaan kulitnya. Satu fakta yang mengenyam hatinya habis-habisan. Bagaimana dia bisa tidak tahu selama ini? Mengapa ibunya menyembunyikan hal sebesar ini? Bukankah dia semakin terlihat jahat pada Rania? Hani menangis dengan deras tanpa jeda, dia tidak dapat menahan semuanya. Bayang-bayang Rania saat berumur 13 tahun berputar di kepalanya. Dia mengingat dengan jelas, Rania berdiri dengan mata yang berkaca-kaca menatap Hani, gadis kecil itu berkata, 'Bibi, b-biarkan ibunku hidup .... A-anya .... A-ayah Anya sudah t-tiada, Bibi. J-jangan ambil j-jantung ibun Anya,' ucap Rania kala itu, gadis kecil yang tidak tahu apa-apa. Gadis itu tampak kebingungan sambil memeluk baju ibunnya. Dia bingung sekali, ayahnya baru dimakamkan dua hari yang lalu, tapi ibunnya juga sudah pergi secepat ini tanpa pamit. Lalu, kemana dia akan tinggal tanpa orang tuanya? Apakah ini meman
"Permisi, keluarga Renan Aditama dan Rania Arsita?" "Iya. Saya keluarga mereka. Ada apa, Pak?" tanya Raihan yang langsung berdiri saat pihak kepolisian menghampiri dirinya dan Hani. "Saya ingin meminta keterangan jika salah satu di antara mereka sudah sadar. Sampai saat ini, diketahui penyebab kecelakaan terjadi karena pengaruh alkohol yang dikonsumsi pengendara ferrari tersebut di luar batas normal," ungkap salah satu petugas kepolisian yang menangani dan menyelidiki kecelakaan yang menimpa Renan dan Rania. Raihan menganggukkan kepalanya. "Saya mengerti, tapi saya tetap akan mengajukan gugatan terhadap tersangka dengan tuntutan percobaan pembunuhan," pinta Raihan tanpa bisa dibantah atau dicegah oleh Hani yang juga berdiri di sana mendengarkan penjelasan polisi tersebut. "Sayang," tegur Hani pada putra sulungnya itu. Hani juga sedang menenangkan David yang menangis. Anak laki-laki itu sangat syok, belum lama ditinggal adiknya, kini sang buna mengalami masa kritis. "Tidak bisa Ib
"Ren … nan ... mana Ren … nan, uhukk." "Jangan banyak bergerak dulu, kau masih lemah sekali," ucap Raihan dengan suara panik, menahan bahu Rania yang berusaha untuk bangkit mencari Renan. Perempuan itu masih sangat lemah sekali, bahkan bicaranta juga tidak lancar. "Ren-nan ...." "Syut ... tubuhmu masih lemah, Anya." Raihan perlahan mengelus rambut Rania dengan lembut. Air matanya juga ikut turun karena tidak tega melihat Rania yang terbaring lemah seperti mayat. Dia paham pada perasaan Rania, tapi untuk saat ini, wanita itu harus banyak istirahat. Rania menyentuh perutnya yang begitu nyeri seperti nyerinya luka menganga yang baru tersayat. Dari air mukanya yang menahan perih, pasti itu sangat menyakitkan sekali, membuat laki-laki di hadapannya juga ikut meringis. "Apa sakit?" Rania menatap Raihan saat ditanya seperti itu, kemudian diam saja dan enggan menjawab. Menurutnya, Raihan tidak perlu tahu tentang dirinya yang hanya punya ginjal satu karena itu tidak penting. "A-aku tah
Raihan memejamkan matanya untuk mengatur nafasnya atas pernyataan Renan. "Are you sure?" Tidak, Raihan, tidak. Adikmu jelas masih ingin terus bersama Rania. Namun, dia memiliki perasaan yang rapuh, sehingga dia tidak ingin Rania kecewa saat tahu kebenaran bahwa kakinya lumpuh. "A-aku yakin," jawab Renan dengan suara yang bergetar. Matanya sedikit memerah dan deruan nafas yang seperti sesak. Raihan terkekeh dan tidak percaya. Laki-laki itu memijat batang hidungnya. "Wajahmu tidak menggambarkan bahwa kau siap hidup tanpa Rania." Setelah mengatakan perkataan barusan, Raihan bergegas melangkahkan kakinya keluar ruangan. Dia membawa kakinya berjalan menuju ruang administrasi bangsal yang dikediami oleh Renan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Raihan?" tanya perawat yang sudah mengenal Raihan karena ayah Raihan adalah salah satu penyumbang terbesar untuk yayasan rumah sakit besar yang menangani Raihan dan Rania sekarang. "Aku minta tolong padamu untuk menukar ranjang adikku dengan ukuran
Drap! Renan membalikkan layar handphone-nya pada sebuah meja bulat yang terletak di dekat jendela kaca milik mansion mewahnya. Pandangannya mengabur saat air hujan bercucuran turun melalui corong penampung. Di saat itu pikirannya kembali terlena tentang apa yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. "R-ren, tidak diangkat?" Seorang gadis cantik berwajah bulat itu bertanya pada sosok laki-laki yang ia rawat karena mengalami kelumpuhan pada kaki. Itulah perkerjaan yang ia tekuni beberapa tahun belakangan ini. Renan merespon dengan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Bibirnya terus bergerak-gerak menahan sesuatu saat ini. Ada yang ingin ia sampaikan pada semesta atau air hujan yang mengalir membasahi rumput nan hijau tersebut. "Mau mandi?" tanya gadis itu karena dia pikir sudah sore dan Renan harus mandi agar tidak terlalu kedinginan di cuaca yang seperti ini. "Nanti saja, Kak. Aku masih ingin memandangi air hujan ini ...." "Baiklah, panggil saja aku jika kau butuh sesuatu. A
"Kakak ...." Nana membuat bibirnya tersenyum tipis mendengar lirihan Renan. "Mandi, ya ... kau harus mandi agar tubuhmu lebih rilex lagi. Aku akan membantumu …," tawar Nana dengan mengelus bahu pria itu untuk memberikan penenangan. Dalam keadaan seperti ini, orang seperti Renan hanya butuh tempat bersandar dan orang yang mengerti dengan dirinya. "Aku mandi sendiri saja seperti biasanya ...." balas pria itu dan kembali memandang air hujan yang sejak tadi tidak ingin reda sebentar. Lalu, Nana berjongkok dan melepaskan kaos kaki yang sedang dikenakan oleh Renan. "Baiklah, jika itu maumu. Kakak tidak akan memaksa ...." "Terima ka-" Cklek! Pintu mansion milik Renan terbuka dan menampilkan seorang wanita bertubuh tinggi dengan penampilan swag-nya yang memakai topi baret gelap. Tangannya menjatuhkan koper bajunya saat melihat Nana yang sedang membantu Renan melucuti kaus kaki. "R-rania," reflek Renan saat melihat siapa wanita yang datang dengan wajah sedikit tirus dan tubuh yang sema
"Kakak Rania!!" "Iya?" Rania membalikkan tubuhnya saat ada yang memanggilnya. Bisa-bisanya dia menemukan seseorang yang mengenalnya di German. Tapi, dirinya juga reflek menoleh, mana tau bukan dirinya yang dipanggil, hanya nama saja yang sama. "Nah, kan bener. Ini Kakak," ucap Jeffrey yang sudah berhasil berdiri di depan Rania. Senyum dengan dimple yang dalam bisa membuat wanita mana saja meleleh. "Hah? K-kau Jeffrey, bukan?" Rania memajukan wajahnya, menelisik wajah laki-laki yang ada di depannya, sungguh sulit dipercaya jika itu adik tingkatnya. "Benar. Kakak sedang apa disini?" "Mengejar sesuatu." "Renan, ya?" Seolah tahu apa yang terjadi, Renan membuat Rania salah tingkah. Rasanya seperti satu dunia tahu bahwa Rania sekarang tengah mengejar Renan. Lalu, Rania berusaha menyimpulkan senyumannya. "Kau tahu?" Nada bicaranya mengecil di akhir. "Tahulah, feed ig renanadtm97 isinya foto anyarst95 semua, haha …," tawa Jeffrey dengan menampilkan senyum lesung pipitnya. Tangannya b