"Kepalamu sudah besar, tidak akan muat lagi, Ren," kesal Rania karena Renan memaksa memakai helm biru masa kecilnya dan ingin memotretnya untuk dipamerkan ke sosial media. Akibatnya, Rania yang kewalahan membantunya dan berakhir sedikit kesal."Pakailah." Renan juga memaksa helm pink masa kecil ke kepala Rania. Sudah jelas tidak muat, masih juga dipaksa. Memang ada saja kelakuan laki-laki satu ini yang membuat Rania semakin menggeram ingin menggigitnya. "Buat apa sih?" tanya Rania keheranan. Lagi, dia masih ingin mempertanyakan manfaat dari tujuan pemakaian helm masa kecil yang begitu sempit itu. "Mau aku upload dengan caption akak Anya dan Enan kecil. Mendekatlah ...." Renan menarik lengan Rania untuk duduk lebih dekat dengannya, tepat di sebelahnya. Setelah itu, Renan mengambil foto mereka berdua yang sedang memakai helm biru dan helm pink masa kecil milik mereka dengan menggunakan ponsel laki-laki tersebut. Rania melepaskan helm pinknya dan Renan fokus mengetikkan sesuatu di han
"Mas Raihan, maafkan aku ... maafkan ayahku." Jihan memeluk kaki Raihan dengan erat, menangis hebat dengan penuh penyesalan. Raihan menyentuh bahu Jihan yang terduduk di lantai dingin itu, dirinya ikut berjongkok dan memeluk tubuh sang gadis dengan lembut. "Tidak apa-apa, aku paham perasaan ayahmu. Maafkan keluarga kami juga, ya. Harusnya setelah ini kau hidup tenang dan bahagia dengan pilihanmu sendiri," tuturnya pelan dan memberi perlindungan untuk lawan bicaranya."A-aku bersalah …," lirihnya sambil menghapus air mata yang berjejak di kedua pipi mulusnya. Hatinya semakin tersayat jika mengingat kelakuan jahat ayahnya kepada Raihan. "Semua bersalah, semua salah terhadap Rania. Minta maaflah pada dia, anak kami juga menjadi korban dari semua ini," selanya lagi dengan perkataan lembut tanpa amarah. Jihan mengangguk berkali-kali menanggapi ucapan Raihan, kini perhatiannya teralih menatap ke arah Haru yang duduk di kursi roda. Haru hanya menatap iba pada Jihan disana. Anak gadis yang
Tap! Jantung Raihan seperti berhenti berdetak. Satu pukulan dahsyat menimpa ulu hatinya. Darahnya terasa berdesir memenuhi permukaan kulitnya. Satu fakta yang mengenyam hatinya habis-habisan. Bagaimana dia bisa tidak tahu selama ini? Mengapa ibunya menyembunyikan hal sebesar ini? Bukankah dia semakin terlihat jahat pada Rania? Hani menangis dengan deras tanpa jeda, dia tidak dapat menahan semuanya. Bayang-bayang Rania saat berumur 13 tahun berputar di kepalanya. Dia mengingat dengan jelas, Rania berdiri dengan mata yang berkaca-kaca menatap Hani, gadis kecil itu berkata, 'Bibi, b-biarkan ibunku hidup .... A-anya .... A-ayah Anya sudah t-tiada, Bibi. J-jangan ambil j-jantung ibun Anya,' ucap Rania kala itu, gadis kecil yang tidak tahu apa-apa. Gadis itu tampak kebingungan sambil memeluk baju ibunnya. Dia bingung sekali, ayahnya baru dimakamkan dua hari yang lalu, tapi ibunnya juga sudah pergi secepat ini tanpa pamit. Lalu, kemana dia akan tinggal tanpa orang tuanya? Apakah ini meman
"Permisi, keluarga Renan Aditama dan Rania Arsita?" "Iya. Saya keluarga mereka. Ada apa, Pak?" tanya Raihan yang langsung berdiri saat pihak kepolisian menghampiri dirinya dan Hani. "Saya ingin meminta keterangan jika salah satu di antara mereka sudah sadar. Sampai saat ini, diketahui penyebab kecelakaan terjadi karena pengaruh alkohol yang dikonsumsi pengendara ferrari tersebut di luar batas normal," ungkap salah satu petugas kepolisian yang menangani dan menyelidiki kecelakaan yang menimpa Renan dan Rania. Raihan menganggukkan kepalanya. "Saya mengerti, tapi saya tetap akan mengajukan gugatan terhadap tersangka dengan tuntutan percobaan pembunuhan," pinta Raihan tanpa bisa dibantah atau dicegah oleh Hani yang juga berdiri di sana mendengarkan penjelasan polisi tersebut. "Sayang," tegur Hani pada putra sulungnya itu. Hani juga sedang menenangkan David yang menangis. Anak laki-laki itu sangat syok, belum lama ditinggal adiknya, kini sang buna mengalami masa kritis. "Tidak bisa Ib
"Ren … nan ... mana Ren … nan, uhukk." "Jangan banyak bergerak dulu, kau masih lemah sekali," ucap Raihan dengan suara panik, menahan bahu Rania yang berusaha untuk bangkit mencari Renan. Perempuan itu masih sangat lemah sekali, bahkan bicaranta juga tidak lancar. "Ren-nan ...." "Syut ... tubuhmu masih lemah, Anya." Raihan perlahan mengelus rambut Rania dengan lembut. Air matanya juga ikut turun karena tidak tega melihat Rania yang terbaring lemah seperti mayat. Dia paham pada perasaan Rania, tapi untuk saat ini, wanita itu harus banyak istirahat. Rania menyentuh perutnya yang begitu nyeri seperti nyerinya luka menganga yang baru tersayat. Dari air mukanya yang menahan perih, pasti itu sangat menyakitkan sekali, membuat laki-laki di hadapannya juga ikut meringis. "Apa sakit?" Rania menatap Raihan saat ditanya seperti itu, kemudian diam saja dan enggan menjawab. Menurutnya, Raihan tidak perlu tahu tentang dirinya yang hanya punya ginjal satu karena itu tidak penting. "A-aku tah
Raihan memejamkan matanya untuk mengatur nafasnya atas pernyataan Renan. "Are you sure?" Tidak, Raihan, tidak. Adikmu jelas masih ingin terus bersama Rania. Namun, dia memiliki perasaan yang rapuh, sehingga dia tidak ingin Rania kecewa saat tahu kebenaran bahwa kakinya lumpuh. "A-aku yakin," jawab Renan dengan suara yang bergetar. Matanya sedikit memerah dan deruan nafas yang seperti sesak. Raihan terkekeh dan tidak percaya. Laki-laki itu memijat batang hidungnya. "Wajahmu tidak menggambarkan bahwa kau siap hidup tanpa Rania." Setelah mengatakan perkataan barusan, Raihan bergegas melangkahkan kakinya keluar ruangan. Dia membawa kakinya berjalan menuju ruang administrasi bangsal yang dikediami oleh Renan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Raihan?" tanya perawat yang sudah mengenal Raihan karena ayah Raihan adalah salah satu penyumbang terbesar untuk yayasan rumah sakit besar yang menangani Raihan dan Rania sekarang. "Aku minta tolong padamu untuk menukar ranjang adikku dengan ukuran
Drap! Renan membalikkan layar handphone-nya pada sebuah meja bulat yang terletak di dekat jendela kaca milik mansion mewahnya. Pandangannya mengabur saat air hujan bercucuran turun melalui corong penampung. Di saat itu pikirannya kembali terlena tentang apa yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. "R-ren, tidak diangkat?" Seorang gadis cantik berwajah bulat itu bertanya pada sosok laki-laki yang ia rawat karena mengalami kelumpuhan pada kaki. Itulah perkerjaan yang ia tekuni beberapa tahun belakangan ini. Renan merespon dengan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Bibirnya terus bergerak-gerak menahan sesuatu saat ini. Ada yang ingin ia sampaikan pada semesta atau air hujan yang mengalir membasahi rumput nan hijau tersebut. "Mau mandi?" tanya gadis itu karena dia pikir sudah sore dan Renan harus mandi agar tidak terlalu kedinginan di cuaca yang seperti ini. "Nanti saja, Kak. Aku masih ingin memandangi air hujan ini ...." "Baiklah, panggil saja aku jika kau butuh sesuatu. A
"Kakak ...." Nana membuat bibirnya tersenyum tipis mendengar lirihan Renan. "Mandi, ya ... kau harus mandi agar tubuhmu lebih rilex lagi. Aku akan membantumu …," tawar Nana dengan mengelus bahu pria itu untuk memberikan penenangan. Dalam keadaan seperti ini, orang seperti Renan hanya butuh tempat bersandar dan orang yang mengerti dengan dirinya. "Aku mandi sendiri saja seperti biasanya ...." balas pria itu dan kembali memandang air hujan yang sejak tadi tidak ingin reda sebentar. Lalu, Nana berjongkok dan melepaskan kaos kaki yang sedang dikenakan oleh Renan. "Baiklah, jika itu maumu. Kakak tidak akan memaksa ...." "Terima ka-" Cklek! Pintu mansion milik Renan terbuka dan menampilkan seorang wanita bertubuh tinggi dengan penampilan swag-nya yang memakai topi baret gelap. Tangannya menjatuhkan koper bajunya saat melihat Nana yang sedang membantu Renan melucuti kaus kaki. "R-rania," reflek Renan saat melihat siapa wanita yang datang dengan wajah sedikit tirus dan tubuh yang sema
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini