"Aku akan menunggu diluar," ucap Renan, mencoba melepaskan tangan Rania yang menggantung di lengannya. Bukan apa-apa, itu supaya Rania nyaman saja. Nyatanya, tidak bagi Rania. "Kau sudah janji akan menungguku," elak Rania cepat. Mempererat cengkramannya di lengan Rania, mata kecilnya memandang Renan penuh harap, agar laki-laki itu mengerti dan menuruti permintaanya. Akhirnya, Renan menahan senyumnya, wanita ini sangat bucin sekali, ya, sekarang. "Ya sudah," jawabnya dengan kembali berdiri lebih dekat dengan Rania yang duduk di atas brankar. Renan membantu Rania melepas bajunya agar lebih mudah diobati. Wanita itu sedikit kesusahan dan merasa semakin ngilu jika lengannya terlalu banyak bergerak. Luka tembaknya tidak dalam, hanya saja rasa sayatannya begitu menyakitkan untuk dirasakan. "Berbaring, ya, Bu," titah perawat yang membantu Rania berbaring di atas brankar. Renan pun ikut membantu dan menahan hati-hati punggung Rania untuk sampai ke atas kasur brankar tersebut. Perawat mu
Abang!" "R-ren!" "Abang!" teriak Renan saat Yogi menutup kembali pintunya. Pria itu memilih menjauh dari sana dan belum siap bertemu dengan Renan. Hatinya kembali perih saat memandang Renan barusan, teringat mendiang ayahnya dan ibunya yang mati demi Renan. Belum lagi, dia di posisi membingungkan karena dia juga sangat menyayangi Renan sebagai adik angkatnya. "Abang!" panggil Renan lagi dengan nada yang nyaring, alhasil suaranya begitu menggema di koridor rumah sakit yang sedikit gelap karena pencahayaan yang remang. Laki-laki ini menyusul Yogi keluar dan berusaha menahan abangnya agar tidak pergi lagi. "Apa!" jawab Yogi ketus, sengaja. Berlagak tidak peduli pada adik angkatnya yang wajahnya terlihat seperti anak kecil yang sedang menahan tangis. Bibir merah ceri milik si bungsu bahkan mengerucut dan bergetar kecil menahan suara tangisan agar tidak pecah. Ia kembali menjadi sosok kecil yang bergantung pada Yogi, si tua sulung yang dingin namun perhatian. "A-abang... i-ini Enan,
"Ren," ucap Hani saatmelihat putranya digendong oleh Yogi. Anak laki-laki itu terlihat lebih tenang bersamanya dan lebih bahagia. Jika dibandingkan dengan Raihan, mereka terlihat kurang akur. Sekarang, Hani tahu bahwa Dirta memang adalah sosok yang baik dan menyayangi anak-anak."Oh, Ibu." Renan pun langsung turun sendiri dari gendongan Yogi. Pria dingin itu berbalik juga dan menatap Hani dengan datar dan sesekali melirik ke arah Raihan. Ada rasa benci yang masih tertinggal lantaran mata masih melihat jelas bahwa orang-orang yang mengambil kehidupan kedua orang tuanya masih terlihat baik-baik saja. Hm, bukankah ini tidak adil untuk Yogi? Tapi, waktu juga tidak bisa diputar kembali seperti sediakala. "Rania dimana?" tanya Hani pada putra bungsunya. "Di dalam, Ibu," jawab Renan sambil mengedarkan arah pandangannya pada ruangan yang ditempati oleh Rania saat mengobati luka tadi. "Ibu ingin menemuinya," tutur Hani dengan sedikit gugup karena merasa tidak enak pada Yogi. Apalagi, laki-l
"Ini surat cerai kita." Yogi mendorong sebuah amplop coklat ke arah Irene dengan perlahan. Sorot matanya jelas merasa bersalah pada sosok wanita yang sedari kecil hidup bersamanya. Mungkin, delapan tahun pernikahan bukanlah garis Tuhan yang membuat mereka untuk berjodoh. "Kau b-benar ingin bersama wanita ini?" tanya Irene dengan suara yang sedikit bergetar, dia juga melirik Jihan yang ada di sebelah suaminya. Gadis cantik dan tentu lebih muda dari Irene. "Irene, maaf ... a-aku tidak pantas untukmu," tutur Yogi. Jari jemarinya bergerak hendak menyentuh punggung tangan istrinya. Tes! Irene menjauhkan tangannya sebelum telapak tangan Yogi tiba lebih dulu. "D-dengan menyakitiku seperti ini?" Irene menghapus air matanya yang sedang turun. Kuku dari jari-jari lentiknya tidak sengaja menggores pinggiran matanya. Jujur, Yogi ingin memeluk wanita yang ada di depannya sekarang, menghapus air mata istrinya yang tidak bisa dikontrol lagi dan memberikan kecupan hangat sebagai penenang. "B-ba
"T-tapi ayah kalian jahat, Muma bahkan ditinggalkan sendiri. Dia tidak memiliki perasaan pada kita. K-kita hanya beban untuknya." Irene mengusap air mata sedih dengan punggung tangannya yang bening. "Mari hidup bersama Muma saja, tidak apa, Muma juga bisa menjadi ayah u-untuk kalian nanti." Lagi, air matanya mengalir semakin banyak. Seketika pundaknya semakin tertunduk dalam dan meluapkan tangisannya sambil meremat rumput yang ada di sekitar kakinya. Bahu wanita ini naik turun dan bergetar, tangisannya tidak terdengar jelas karena ia menyembunyikannya. Sebuah tangan mungil seperti jelly menyentuh pundak Irene. "M-ma-ma ... Mama." "Eoh-" jawab Irene sambil menoleh ke si pelaku. "Ma … ma," ucap jagoan kecil sambil menampilkan dua giginya yang sudah tumbuh sempurna di gusi atas. Seseorang menghampiri dengan perawakan tubuh super tegap dan sedikit kelelahan, terlihat dari dasinya yang melonggar dari kerah baju. "Po! Ayah cape ngejarin kamu tuh, gatal banget kakinya mentang-mentang ud
Flashback. "Buna, Ano mau yang ini duyu makannya," ucap Vano sambil jari telunjuknya yang mungil menunjuk ciki bergambar kartun pisang. Itu adalah snack dengan rasa pisang yang cocok dikonsumsi anak seusia Vano. "Sini, Handa bukakan jajannya." Bukan bunanya yang menjawab, melainkan handa Enannya yang merespon dan menengadahkan telapak tangannya ke hadapan Vano. Vano memberikan jajannya pada Renan dan tiba-tiba berlari meninggalkan buna dan handanya di bangku besi yang berada di dekat stadion olahraga yang ada di Jakarta. Mereka akan menyaksikan pertandingan bela diri yang diikuti oleh David sore ini. "Loh, katanya mau memakan jajannya, kok malah lari lagi. Ano jangan sampai lelah ya, nak," omel Rania melihat putranya berlarian ke arah kerumunan anak kecil sebayanya. Mungkin, Vano juga ingin bergabung bersama anak-anak tersebut dan bermain permainan yang seru. "Bertemu teman sebayanya sangat menyenangkan, biarkan saja," timpal Renan dan kembali meletakkan jajanan pisang tersebut k
Setelah satu minggu berlalu sejak mereka pergi ke arena pertandingan David, Ranialah yang bersusah payang mengurus kelinci kesayangan Vano. hingga suatu musibah terjadi, hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. "K-kau dimana?" "Ada apa? Aku masih di kantor mengurus surat kepindahanku ke Bandung." "Ah, aku mengganggu, ya." Ingatan kecil itu akan selalu membekas di buku yang sudah kita tulis sebagai bagian dari takdir. Terima kasih sudah menjadi anak mawar paling bersinar di antara lainnya. "Tidak, katakan ada apa," balas Renan lagi di ujung telpon sana, dirinya sedang bersiap membereskan dokumen kepindahannya sore ini. Dia akan segera pindah dari pekerjaannya di Jakarta. "Encinya mati, Ano menangis dari tadi, aku ingin mengubur encinya, tapi dia menolak sambil memeluk erat encinya, Ren." Dari ucapannya, Rania sepertinya sangat khawatir, pasalnya jika si bungsu sudah menangis seperti itu pasti akan membuat tubuhnya sendiri menjadi down dan akan mengganggu kesehata
"Hikss ... t-tidak! Ano tidak mau, enci tidak boleh mati." Vano berusaha menyembunyikan kelincinya di dalam pelukannya. Tidak ada seorangpun yang bisa memisahkannya dari si enci, termasuk Handa Enan. "Encinya butuh istirahat yang panjang, Ano tidak boleh begitu ya, sayang. Ibunya sudah menunggu disana, dia tertahan karena Ano mengurung tubuhnya disini." Renan berjongkok sambil menyentuh punggung Ano, diusap pelan sebagai bentuk kasih sayang dan menenangkan si kecil. "H-handa ...." "Ano tega lihat ibunya yang sedang menangis disana karena anaknya ditahan oleh Ano disini?" Pertanyaan Renan membuat hati Vano tergerak, pikirannya bercabang-cabang dan memikirkan ibu kelinci yang menangis karena anaknya ditahan di dunia ini. "Handaaaaa …," rengeknya pada Renan, dia tidak mau kelinci pergi, tapi dia juga kasihan dengan ibu si kelinci. Apa yang harus Ano lakukan sekarang? Ano bingung. Renan tersenyum dan mulai menghapus jejak air mata Ano yang membasahi pipi gemoynya. Vano sungguh sangat
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini