Rania meneteskan air matanya begitu saja. Lagi? Lagi, dia selalu mendapat hinaan dari seorang lelaki yang coba ia cintai dengan tulus. Ada apa? Apa memang dia semurah itu sehingga tidak ada nilainya lagi di mata laki-laki?
"A-apa kau bilang begitu karena aku merebut Jihan dari mas Raihan? Lalu, bagaimana dengan perempuan yang mencoba merebut kebahagianku juga? Kenapa dia juga tidak disebut murahan?" Dengan mata yang terus dibanjiri genangan air, Rania meluapkan energi terakhirnya untuk membela diri.Renan menarik rambutnya ke belakang dengan kasar. "Gila," gumamnya saat menghadapi permasalahan yang cukup rumit ini."JAWAB AKU! APA HANYA AKU YANG BERHAK MENDAPAT HINAAN MURAHAN KARENA AKU BERASAL DARI KELUARGA BERKASTA RENDAH? APA SEBUTAN MURAHAN TIDAK BOLEH UNTUK DISEMATKAN PADA GADIS BERKASTA TINGGI? APA AKU SEMURAH ITU? APA AKU SEPELACUR ITU JIKA AKU EGOIS SEDIKIT?" Rania memukul dada Renan dan menarik kasar kerah baju laki-laki itu. Dia lantang berter"Aku belum memutuskan apapun, aku juga harus memikirkan kedepannya, Ren," tutur Rania diiringi dengan lirihan di akhir suaranya. Berat untuk memutuskan sesuatu dengan keadaan yang seperti ini. "Tidak aku izinkan, Sayang." Renan mencium bahu mulus Rania dengan bibir basahnya. Dia tidak jadi memakai bajunya dan membiarkan jari-jari Rania bermain dengan otot perutnya. Laki-laki itu memeluk wanitanya sambil terus berbaring. Dia memang benar-benar memperlakukan Rania bak ratu yang harus di jaga dengan benar dan dengan pengawasan yang ketat. "Aku harus apa? Ayahmu tidak ingin jika kita bersama, Ren. Aku tidak ingin membebani pikiranmu lagi." Rania memberhentikan aktivitas jarinya yang mengelus otot perut Renan. Pandangannya masih sama, memandangi kulit sedikit kecoklatan dengan bentuk-bentuk perut yang menggoda kaum hawa. "Kau cukup diam dan aku yang akan menyelesaikannya." Renan menarik jari-jari Rania ke atas untuk dituntun mengusap dadanya. Laki-laki itu suka dan tentu paling menikmat
"Pernah. Bersama pacarku," jawab Renan dengan sejujurnya. "Kapan?" "Pacarku waktu SMA. Kami melakukannya dengan nekat, aku masih berumur 16 tahun waktu itu." "Dia melepaskan perawannya untukmu?" tanya Rania lagi dengan ragu-ragu. Ia tahu, raut wajah Renan yang sedikit berubah. Apa terlalu berlebihan untuk tahu tentang itu? Apa Renan akan marah? Dia hanya ingin tahu. Bukankah kejujuran sangat penting dalam memulai sebuah hubungan? Bukannya kalian akan saling menerima apa adanya? Renan meletakkan telapak tangan Rania di atas pipinya dan laki-laki itu pun mencium urat nadi Rania dan digigiti kecil-kecil. Dia tahu, Rania pasti ingin tahu tentang masa lalunya. Renan anggap, keingintahuan wanita itu karena ingin berusaha membuka hatinya lebih luas untuk cintanya. Setelahnya, Renan menggelengkan kepalanya. "Dia juga tidak perawan, aku bukan laki-laki pertama baginya." Rania sempat menaikkan kedua alisnya sedikit sebagai responnya yang sedikit kaget. "Kapan terakhir kau melakukan hubung
Melihat ekspresi anaknya yang seperti itu, Rania hanya menggeleng pasrah. "Game lagi, lagi, dan lagi. Akhirnya Buna yang dikacangin." "Bukan begitu Bunaaa. Buna kan sudah ada handa Enan, jangan marah ya, Bun," bujuk David yang sedikit memajukan tubuhnya ke depan. Dia menyembulkan kepalanya dari samping bahu Buna. Ekspresinya memohon pada sang Buna untuk tidak merajuk padanya. "Hm. Duduk yang benar David," titah Rania karena mobil sedang melaju. David pun menuruti dan kembali pada posisi semulanya. Renan menyentuh punggung tangan Rania dalam keadaan menyetir. Sesekali kepalanya menoleh ke wanita yang ada di sampingnya itu. "Biarkan saja, Bun. Nanti kita belikan dia mcd sebentar. Baru meninggalkannya di mobil, setidaknya dia punya makanan untuk mengisi perutnya itu." Rania menganggukkan kepalanya. "Baiklah jika begitu, Buna menurut saja apa kata Handa," tukas Rania, pandangannya masih berfokus pada luar jendela. Dia tidak marah, hanya David terlalu sibuk dengan game-nya. Renan terse
"Ren, kemarilah ... kau sibuk memotret dari tadi," protes Rania karena Renan seperti sibuk sendiri dan berakhir mengabaikan tujuan awal datang kesana. "Ah, iya. Pemandangannya sangat bagus, aku ingin mengirimkan ke seseorang," balas Renan. Kedua matanya masih terfokus pada benda pipih tersebut dan tampak memotret suatu objek yang menarik karena warna hijau yang terlihat mendominasi. Rania hanya berdehem sebagai respon atas balasan Renan, dia sedikit kesal. Pasalnya, laki-laki itu mengajak berkencan romantis dan hampir tengah hari dia hanya sibuk dengan ponselnya dan senyum-senyum sendiri. Lalu, dimana letak romantisnya? Pikir Rania, yang ada Rania hanya tampak seperti menemani laki-laki itu memotret objek. Akhirnya, tanpa disadari, Rania berjalan duluan meninggalkan Renan, dia mengelilingi lembang tersebut dan asik sendiri agar tidak kesal dengan pria yang sedang mengabaikannya. Mereka sedang berjalan di daerah lembang, salah satu tempat menarik yang wajib dikunjungi ketika ingin
"Aku benci k-kencan ini!" Rania memukul dada bidang Renan berulang kali dan berlari begitu saja meninggalkan Renan yang berusaha meraih tangannya. Stap! Renan malah mengangkat tubuh Rania dengan kedua tangannya, mengunci tubuh sang kesayangan dalam gendongannya. Sehingga, mau tidak mau wajah Rania jadi sangat berdekatan dengan wajah laki-laki tersebut. Renan sangat menyayanginya, dia tidak bermaksud untuk mengabaikan Rania. Tolong, maafkan untuk yang kali ini, dia pasti janji akan membahagiakan wanitanya dengan suka cita. "Maaf-maaf. Tidak lagi. Aku janji akan membuat Rania merasakan kencan romantis," tutur Renan yang mengelap jejak air mata Rania dengan bibirnya. Bahkan, dia melayangkan kecupan berulang kalo di kelopak mata si manis. "Awas saja jika masih sibuk dengan hp-mu. Aku benar-benar tidak akan mau lagi pergi kencan denganmu," ancam Rania dengan wajah dinginnya. "Aku janji. Sekarang nikmati sebentar jalan-jalannya. Aku akan terus menggendongmu agar kau tidak capek." "Bai
"Aku percaya," jawab Renan. Sorot matanya terlihat sangat serius mengatakannya. Benar, dia akan selalu percaya pada semua perkataan Rania. "Kamu bahkan nggak tahu kejadian sebenarnya tadi, harusnya kamu cari tahu dulu, Ren," sela Rania. Dia kagum pada Renan, tapi dibalik itu, Renan tidak seharusnya bersikap seperti itu dan lebih mencari tahu dulu kebenarannya seperti apa. "Aku percaya pada apapun yang dikatakan Rania," ucap Renan dengan matanya yang tidak pernah berpindah sedikitpun memandangi wajah Rania yang cantik. Apalagi, bulu mata yang sedikit lentik, menambah kesan manis yang dimiliki Rania. Dia akan selalu terpesona pada kecantikan yang ada pada diri wanita itu. "Aku bohong, Ren." Renan diam, membiarkan Rania berbicara lebih lanjut. Dia tidak suka, jika Rania memendam sendiri, apalagi pasal wanita Bandung itu. Sungguh, Renan ingin meluruskan semuanya, dia tidak menyukai Nindi. Memang benar, bahwa pertama kali bertemu Nindi, Renan sempat tertegun akan kecantikan dan keramah
Vano memanyunkan bibir bawahnya. "Nini tidak boleh," jawabnya dengan suara kecil agar tidak didengar oleh Hani. Hani menghela napas pasrah pada akhirnya. "Bukan tidak boleh, tapi akan lain jika memakannya dengan selai nanas, sayang." Hani mulai mengelupas beberapa kulit sosis, bsrsiap untuk dipanggang dan diolesi mentega terlebih dahulu. "Ano juga suka makan sosis pakai selai nanas ya, nak. Handa kecewa, sampai hal seperti ini saja tidak tahu." Lagi, Raihan mencium anaknya kembali, kali ini di dahi dan cukup lama. Begitu menyesalnya karena tidak ada di samping Ano saat anak itu masih balita. "Memang benar potokopianmu, Nak. Pangeran kecilku ini tidak ada bedanya dengan handanya. Aku saja terkejut saat dia bilang ingin makan sosis pakai selai nanas," celetuk Hani menyetujui perilaku Vano yang sangat mirip dengan putra sulungnya. "Ya sudah, Ano jangan cemberut lagi dong, nanti makan bersama Handa, ya, pakai selai nanas. Nini boleh, kan?" Raihan menatap ibunya untuk memohon agar dipe
"Bunaaaa!!!" "Anooo, Buna rindu Ano, huhu." Rania menggendong Vano saat anak laki-laki itu berlarian dari pintu apartemen. Rania sedang memasak nasi goreng di dapurnya dan Raihan datang untuk mengantarkan Vano pulang ke apartemen. "Ano uga lindu Bunaaa, muah ... muah ...." Vano menciumi pipi Rania seluruhnya. Dia sangat rindu sekali dengan ibunya. "Mas, duduklah," ucap Rania sambil menarik kursi pada meja makannya. Raihan mengangguk, dia juga datang dengan membawa kantong kresek besar berisi bahan-bahan makanan yang dibelinya tadi bersama Vano sebelum datang. "Terima kasih," balasnya sambil menaruh kantong kresek tersebut di atas meja makan. "Penghangat ruanganmu hidup, apa kau tidak gerah memakai baju rajut panjang seperti itu?" tanya Raihan yang sedikit keanehan dengan pakaian Rania, menurutnya terlalu tebal di saat penghangat ruangan juga menyala. Rania sedikit kikuk, matanya mengerjap begitu saja saat mendapat layangan protes dari handanya Vano. "E-eh, iya. Hanya ingin pakai
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini