Mata Vinza melotot begitu bertemu dengan pamannya. Ia otomatis memberikan Rufy pada David. “Pegang. Bawa keluar, jangan sampai anak kita lihat kekerasan!” titah Vinza. Tak tahu kenapa David menurut saja membawa Rufy ke luar walau, Rufy menolak ikut. Ia terus memukul tubuh David minta dikembalikan pada Bundanya. Sementara Vinza menaikan lengan kemeja. Ia raih kerah baju Udin. “Kamu! Enggak tahu diri! Nipu aku bertahun-tahun! Buang anakku di jalanan!” omel Vinza. Polisi sampai mencoba meraih wanita itu. “Sabar, Bu,” nasihat polisi. “Mana bisa, Pak! Saya nyari anak saya enam bulan! Dia pasti trauma, ketakutan! Sampai enggak mau lepas dari saya. Dan dia! Dia bawa uangku ratusan juta! Emang dasar maling!” tangan Vinza terus memukuli Udin dengan kasarnya. Udin sampai berusaha lari. “Bu, kalau sampai pelaku kenapa-kenapa, Ibu bisa jadi pelaku juga.”“Aku emosi, Pak! Ibuku meninggal karena ditipu dia! Anakku hidup sengsara padahal ibunya gaji belasan juta! Semua karena dia! Ganti uangku!
Rufy memeluk Vinza dengan erat. “Mr. Hang. Carikan mainan Ultraman. Aku mau yang besar. Carikan cepat!” titah David. Ia melipat tangan di dada. Kakinya berpangku di atas kaki yang lain. Vinza hanya bisa menggelengkan kepala. Pria itu sekarang berubah sangat angkuh. Padahal dulu, David orang yang rendah hati. Semua orang mengenalnya karena begitu ramah. Mereka tiba di kontrakan Vinza. Staf David sudah menunggu di sana. Mata Rufy membulat hingga mulutnya terbuka. Ada action figure Ultraman sebesar pintu berdiri di depan rumah itu. “Kami sudah temukan sesuai keinginan anda, Tuan.”“David! Apa-apaan ini?” tegur Vinza. David menundukan tubuh. “Ayah bisa beliin apa pun yang kamu mau. Masih mau Ayah yang lain?” tanya David. Rufy menggosok kedua matanya. “Heli! Upi mau heli!” seru Rufy. “Jangan belikan semua kemauannya. Cukup belikan kebutuhannya. Kalau gini, sama saja kamu didik dia dengan buruk! Belajar dulu jadi ayah, sebelum kamu mau besarin dia dengan baik!” Vinza menuntun Rufy masuk
Vinza membuka kotak makanan Rufy. Ia hendak menyuapi putranya. Sedang Rufy memainkan tas Vinza dan tanpa sengaja mengeluarkan uang ratusan ribu dari sana. Rufy menyipitkan mata. “Ini uang ada. Bunda dak jujun!” bentak Rufy. Vinza nyengir. “Kan ini buat beli susu Rufy. Kalau enggak beli susu, mau Rufy enggak minum susu dan diganti sama kacang?”Dengan jelas Rufy menggeleng. Vinza suapi putranya. “Iyoy agi?” Rufy protes karena lagi-lagi sarapan dengan telur. “Emang Rufy mau makan apa?”“Ayam,” jawab Rufy. “Ini juga ayam. Kan ayam keluar dari dalam telur. Jadi dalam telur ini ada ayamnya,” dusta Vinza. “Kok endak lasa ayam?” tanya Rufy bingung karena tak ada rasa daging ayam dalam telur. “Ada, kok. Coba kunyahnya sambil merem. Bunda saja bisa rasain daging ayamnya.” Bisa saja dia bohongi putranya itu. Sementara itu staf David langsung memberi laporan. David yang baru bangun langsung kaget sampai jatuh dari tempat tidurnya. “Apa?” tanya David. Ia masih mengenakan celana pendek mera
“Ogah!” tegas Vinza lagi. Ia tuntun Rufy untuk meninggalkan Hadi di sana. Namun, pria tua itu tak mau menyerah. Ia tarik tangan Vinza dan berusaha memeluk wanita itu. Jelas Vinza langsung berteriak. Ia pukuli Hadi yang terus memaksa ingin mencium.Rufy yang melihat berusaha menyelamatkan ibunya. Ia pukuli tubuh Hadi dengan tas kecil. “Epasin Bunda! Dak nakalin Bunda!” bentak Rufy. Bahkan ia nekat menggigit paha Hadi hingga pria itu berteriak dan mendorong tubuhnya. Rufy jatuh tersungkur. “Dasar anak haram!” umpat Hadi yang marah lantas meraih kerah baju Rufy dan menarik balita itu. “Jangan!” teriak Vinza memukili lengan Hadi. Hadi hendak menurunkan lengan untuk menampar Rufy. Namun, malah ia yang kena tonjok di pipi oleh seseorang. Hadi terjatuh ke tanah. Ia memegangi pipi dan mendongak mencari tahu siapa pelaku yang menyerangnya. Vinza berlari menghampiri Rufy dan memeluk putranya. “Siapa kamu?” tanya Hadi menunjuk pelaku. “Siapa? Aku ingat ada yang pernah bilang padaku begini,
“Ya Allah! Kenapa rumahku jadi kayak rumah hantu begini? Kalau Ibu masih ada, pasti dia sudah banyak ngomel.”David membuka jas Pradanya dan digunakan untuk melap kursi teras yang kotor. Ia dudukan Rufy di sana. “Kamu sakit? Mana yang sakit? Mau Ayah obati?” tawar David. Rufy menggeleng. “Kalau sakit, bilang sakit.”“Upi dagoan,” tolak Rufy. “Ultraman juga kalau sakit ke dokter. Kalau sakitnya parah, nanti enggak bisa lawan monster lagi,” nasihat David. “Gitu?” “Iya. Makanya .... Mana yang sakit? Biar Ayah yang obati.”Rufy menunjukan lengannya yang terkena gesekan ke tanah. “Wah, ini harus diberi iodine. Ayah beli dulu, ya?”David berdiri dan lari ke warung di depan. Saat ke sana, Pak Hamid yang menunggui warung kaget melihat penampilan David sekarang. Anak yang dulu nongkrong pakai seragam dengan topi yang padnya diputar ke belakang, kini jadi terlihat gagah dengan kemeja rapi dan rambut yang ditata. “David? Kamu sudah balik? Alhamdulillah. Kasian itu Si Vinza nyariin kamu. Di
“Karena dulu aku bodoh.”Tangan Vinza langsung menggetok kepala David. Pria itu berdiri dan langsung menatap Vinza dengan dingin. “Kamu tahu aku ini siapa?”“Enggak tahu, enggak penting dan enggak butuh!” Vinza memeletkan lidah di depan David. Sedang David menggerak-gerakan bibirnya. “Beantem agi!” protes Rufy. Bu Hamid dan Pak Hamid tertawa mendengar itu. “Ya sudah. Cuman kami ingatkan. Jangan tinggal serumah. David biar kamu nginep di sini rumah Bapak saja.”“Aku tidur di mobil,” jawab David. Ia tatap Rufy yang sedang mengedipkan mata. “Lagipula mereka harus ikut pulang.”🪵🪵🪵Hari itu mau tidak mau David harus pergi ke panti. Ia bertemu dengan ibu asuhnya. Wanita yang kini sudah sepuh itu memeluk David erat. “Kamu kenapa? Marah sama Ibu? Kenapa enggak pernah ke sini? Ibu kangen kamu,” ucap wanita itu mengusap rambut David. “Aku bukan marah sama Ibu. Aku Cuma enggak mau ingat masa lalu itu. Dikatai orang, dihina, diremehkan. Mereka tahu apa soal aku?”“Maafin Ibu yang tak terla
“Masuk!” tegas David setelah melepar tas Vinza ke dalam mobil. “Kamu enggak bisa maksa aku, ya! Kamu pikir kamu siapa?” omel Vinza begitu David terus mendorongnya masuk dalam mobil. David berpaling pada Rufy. “Upi! Kamu mau ikut Bunda dan dikasih makan telur setiap hari atau ikut Papa dan makan daging ayam setiap hari?”Rufy tak menjawab dan langsung naik ke dalam mobil. Jelas Vinza tercengang. “Rufy, kok gitu sih? Ini Bunda, loh. Bunda cari-cari Rufy ....” Mulut Vinza didekap David dan langsung didorong masuk ke mobil. “Lama!” protes David langsung menutup pintu mobil. Baru akan masuk ke pintu pengemudi, David dihentikan teriakan seseorang. “Hadi? Ngapain dia?” tanya Vinza yang mengintip dari dalam. Pria itu datang dengan beberapa orang yang membawa sajam pun dengan orang yang David tahu berpengaruh di kampung ini. Vinza syok, ia turunkan kaca mobil. “David masuk, David! David!” panggil Vinza yang ketakutan. Namun, David masih berdiri santai menunggu mereka mendekat. “Itu! Anak
“Sekarang dia sedang punya skandal, menikah dengannya malah akan membuat masalah dengan negara kita. Apalagi semua orang tahu ini menyangkut harga diri sebuah negara. Tentu rakyatnya tidak akan tinggal diam. Mr. Hang bilang mereka mengajukan petisi agar produk fashion brand Viane tak masuk ke negara mereka dan didukung masyarakat negara lain. Jangan ikut-ikutan.”Ethan mengusap tengkuk. Apa yang dikatakan David ada benarnya. “Tapi orang tua Viane itu sahabat Papa!” “Papa hanya kehilangan satu sahabat, tetapi membantu satu sahabat itu akan membuat ratusan mungkin ribuan karyawan kita kehilangan pekerjaan. Ingat, Pa! Tanpa mereka perusahaan kita tidak akan maju.” Ia pandai mengubah pikiran Papanya.“Semua orang sudah tahu kamu dan Viane sudah bertunangan.” David melirik ke arah spion. Ia melihat Rufy yang tengah bertepuk tangan dan menyanyi. “Aku malah ingin memanfaatkan ini untuk mengambil simpati masyarakat. Aku segera kembali ke Bandung. Tolong siapkan konferensi pers.”“Kamu mau a
“Begini Bu Guru. Hari Minggu ini Rufy punya acara nonton di rumah. Bunda bolehin Rufy untuk nonton hanya setengah jam. Masalahnya ada dua yang mau Rufy tonton. Rufy suka Tayo juga suka Pocoyo. Baiknya Rufy pilih mana?” Bu Guru berpikir. “Mungkin untuk ini, Rufy bisa melakukan undian,” saran guru. “Undian?” Rufy rasanya belum pernah mendengar kata itu.“Iya, begini.” Guru membuat dua sobekan kertas. Ia tulis kedua nama acara itu di kedua kertas yang berbeda. Guru lipat kedua kertas dan memasukan dalam saku lalu memutar tangannya dalam saku agar kedua kertas itu teracak. Setelah itu, dia kembalikan ke atas meja. “Pilih salah satu,” saran guru dengan begitu detailnya.Rufy pilih salah satu kertas dan membacanya. “Tayo! Jadi Rufy nonton Tayo minggu ini. Yeay! Makasih banyak Bu Guru,” ucap Rufy. Dia senang karena apa yang menjadi beban belakangan ini hilang.Hari Minggu pun tiba. Rufy bangun subuh untuk salat subuh. Dia kenakan pakaian koko dan berjamaah dengan kedua orang tuanya. Selesa
Mr. Hang menahan tawa. “Maaf, Pak. Yang keren itu kalau banyak follower, bukan following.”“Iya, kah? Kalau gitu aku berhenti follow saja,” keluh David. “Pasti banyak yang follow anda, Pak. Apalagi anda seorang Chairman perusahaan besar. Anda tinggal umumkan saja pada media,” jelas Mr. Hang. “Benarkah?”“Iya. Apalagi kalau nama akunnya sudah centang biru. Pasti semakin banyak yang follow.”David menganggukan kepala. Ia lekas kembali memeriksa ponselnya. Tak lama dia berpikir. Jadi nama yang centang biru itu populer. Ia intip profil milik Biru Bamantara yang bercentang Biru. Di sana timbul rasa iri di hati David. “Dia pikir aku enggak bisa kayak dia apa!” Sore itu David pulang ke rumah. Dia sudah disambut pelayan dan istrinya di depan pintu. “Gimana kerjaan hari ini? Kamu sibuk terus main Instragram,” omel Vinza. “Maklum, soalnya akun aku ‘kan centang biru,” jawab David. Vinza menaikan alis. “Follower kamu baru empat biji, gimana bisa centang biru?” tanya Vinza bingung. Saking pen
“Aplod ini, ah!” seru Rufy saat dirinya selesai membuat vlog pribadi saat sedang mengerjakan PR. Dia punya akun instagram sendiri yang terhubung dengan akun Vinza. Jadi, Vinza bisa mengawasi penggunaan media sosial putranya. Zaman semakin maju, bukan artinya anak tak boleh memakai gadget bukan juga boleh memakai gadget. Untuk anak seusia Rufy yang baru menginjak kelas TK, penggunaan gadget hanya boleh selama lima belas menit sehari. Namun perlu diingat, orang tua harus lebih pintar dalam menggunakan teknologi dari pada putranya. Jangan seperti Koko Dapit. “Upload apa?” David mengintip ke layar ponsel Rufy. “Tadi Upi bikin vlog buat PR sendiri. Followers Rufy sudah banyak, Yah,” jawab Rufy. “Ouh. Vlog itu apa?” tanya David. David bukannya gaptek. Dia bisa melakukan peretasan, menggunakan tagar sebagai media komunikasi, bahkan merancang aplikasi. Hanya saja dia tak tahu bahasa media sosial kekinian karena dia hanya punya twitter. Itu pun tidak pernah membuat cuitan. Apalagi instagr
“Penting bagi kita menambah wawasan dalam berbagai bidang. Ini membantu mencari peluang bisnis baru apalabila bisnis lama terpuruk. Jangan sampai kita main dalam kubangan sampai kita tak sadar seluruh tubuh kita kotor dan kemungkinan badan kita sakit,” jelas David saat ditanya tentang sektor baru yang kini tengah ditekuni Heaven Grouph saat jam rehat seminar. Pengisi seminar itu adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia yang perusahaannya sudah menjadi perusahaan kelas dunia di Amerika. Karena itu David sangat bersemangat untuk datang. “Pasti wawasanmu luas sekali ya dengan usia segitu? Sepertinya Papamu sering ajak kamu jalan-jalan ke luar negeri,” ucap salah satu tamu undangan yang juga pengusaha. David melirik sumber suara. “Maaf?” tanya David bingung. “Iya, kadang bicara perubahan memang mudah. Apalagi bagi anak muda yang jiwanya masih menggebu. Hanya saja strategi kalau sedang tak untung ya pasti rugi besar. Banyak yang ingin mencoba sektor baru, justru malah bangkrut. Leb
“Bu,” panggil Cyan. “Apa?” tanya Vinza. Cyan menunjuk ke pintu. David sudah berdiri di depan pintu cattery. Kandang kucing Vinza ada di rumah keluarga Lau dan memiliki arena main sendiri. Ruangannya full AC dan ada keeper yang merawat setiap hari. “Assalamu’alaikum,” salam David. “Wa’alaikusalam, Yah,” jawab Rufy dan Vinza. Cyan berdiri lalu berlari mengulurkan tangan minta Ayahnya gendong. David lekas menggendong Cyan dan menciumnya. Lalu menghampiri Rufy pun mencium kening putranya. “Kakak gimana kabarnya?” tanya David. “Baik, Yah. Tadi Upi di sekolah dapat piala. Semua dapat piala, sih. Yang mau bikin origami dikasih piala,” cerita Rufy. “Alhamdulillah. Kakak senang dong di sekolah? Hebat anak Ayah mau belajar bikin origami,” puji Ayahnya. Rufy berjalan ke belakang David dan memeluk Ayahnya dari belakang. “Ayah baru pulang kerja?” tanya Rufy. “Sudah dari tadi. Ke rumah dulu, mandi, ganti baju baru ke sini. Kalau habis dari luar kan kita harus mandi dulu dan ganti baju.”“Iy
“Kucing yang ini sudah dibawa untuk diperiksa belum?” tanya Vinza memastikan kucing peliharaannya. Dia punya rumah kucing sendiri, di mana dia bisa memelihara dan breeding aneka kucing ras. Kucing yang ia pelihara awalnya hanya lima ekor dengan usia satu tahun. Vinza punya dua pasang kucing persia dan tiga ekor Scottish fold berbulu pendek. Kucing-kucing mahal itu David belikan karena tahu istrinya suka memelihara hewan. Benar saja, saat kucing Vinza berusia lebih dari setahun, mereka langsung berkembang biak dan memiliki masing-masing dua anak. Hanya ada satu kucing masih jomlo hingga Vinza jodohkan dengan kucing milik kenalan David. “Cyan, liat Unyil guling-guling,” seru Rufy menunjuk kucing scottish warna abu-abu yang masih berusia tiga bulan. Cyan mencoba berdiri meraih kucing itu, tetapi kucing berlari. Dengan langkah yang masih belum tegar, Cyan masih berusaha menangkap kucing. Akhirnya dia dapat kucing persia jingga. Dipeluk kucing itu, sayang karena salah peluk, kucingnya me
David berdiri di luar ruang bersalin. Vinza masih berada di dalam menunggu waktu untuk melahirkan. Sudah berjam-jam David menunggu. Vinza belum juga melahirkan. Tak lama dokter keluar. David lekas menghampiri dokternya. “Pak, istri anda harus melalui operasi Caesar karena ukuran bayinya cukup besar. Jadi anda tak bisa melihat prosesnya,” ucap dokter. “Tak apa, Dok. Lakukan yang terbaik untuk istri saya,” jawab David. Tak lama tindakan operasi langsung dilakukan. David semakin merasa tak tenang. Dia menunggu dengan Rufy di ruang tunggu VIP. Dalam pangkuan David, Rufy sempat tertidur pulas. Tak lama bayi mereka dibawa keluar ruangan menuju ruang bayi. David sempat melihat putrinya dan meminta untuk mengazani. Suster sempat menanyakan tentang nama bayi David dan Vinza, tetapi pria itu malah bengong. Dia sudah siapkan masah persalinan sampai penyambutan istri dan bayinya. Namun, masalah nama dia lupa. David melihat ke sisi kanan dan kiri. Dia melihat sebuah merk Waruna dengan logo de
“Hal yang harus dilakukan suami ketika menghadapi istri yang hendak melahirkan. Satu, tenangkan diri. Pastikan semua keperluan melahirkan sudah siap. Dua, telpon ambulan jika memang istri sudah terlihat banyak mengeluarkan keringat, atau lemas ....” David hampir setiap hari menonton video itu. Dia sudah sangat kecewa tak bisa menemani Vinza saat hamil Rufy pun tak melihat proses putranya lahir. Kali ini David ingin menjadi suami siaga yang akan menjaga istri dan bayinya dengan baik. “Ayah tonton pa, tuh?” tanya Rufy. Anak itu menyimpan tabletnya di atas nakas. Ia tengah belajar huruf mandari dengan aplikasi yang diberikan gurunya. Tablet itu akan membunyikan alarm jika waktu main tablet sudah habis. Karena itu Rufy menyimpan tabletnya. Ia selalu mematuhi peraturan yang dibuat dirumah karena aturan di rumah ini dibuat bersama-sama dengan Rufy. “Ini apa yang harus Ayah lakukan kalau dedek lahir,” jawab David. “Ouh, dedek mo ahin, ya?” tanya Rufy lagi. “Iya, kayaknya minggu depan. M
Sebelum Cyan lahir ....Vinza merenung di rooftop rumah. Hari ini dia tak punya semangat, hanya mengusap perut sambil manyun. Rufy sedang ada kelas. Karena masalah bahasa, anak itu harus homeschooling untuk belajar Bahasa Inggris dan mandarin sebelum memasuki taman kanak-kanak. Apalah daya ibunya. Bahasa Mandarin Vinza pun hanya sebatas bahasa untuk sehari-hari. Itu pun Vinza tak mampu membaca tulisan mereka. Cahaya matahari terasa hangat di awal musim gugur. Pepohonan mengalami kerontokan daun di bulan Oktober ini. “Aku mau jalan-jalan. Mau beli bala-bala,” batinnya. Di saat seperti ini, Vinza lekas mengambil ponselnya. Ia telpon David saat itu juga. “Kenapa?” tanya David. “Mau bala-bala,” pinta Vinza. “Bercanda kamu? Beli bala-bala di mana di Hongkong?” “Dulu di Taiwan ada,” keluh Vinza. “Terus aku harus ke Taiwan dulu gitu? Dateng ke rumah sudah basi itu bala-bala,” omel David. Vinza menunduk lesu. “Vid, ternyata cinta kita hanya sampai gorengan bala-bala,” keluh Vinza. “Tu