Hidangan tersedia di atas meja makan malam itu. Vinza masih cemberut. Ia bahkan tak ingin menatap David. Sedang Rufy terpaku akan banyaknya daging ayam di atas meja. “Tugas kamu itu mengasuh Rufy. Menyediakan kebutuhannya layaknya seorang ibu. Jangan berharap lebih!” David sudah memberi peringatan. “Ngarep apa? Ngarep apa? Apa yang bisa aku harepin dari lelaki kayak kamu? Enggak ada!” serang Vinza. “Satu lagi! Jangan jatuhkan harga diriku di depan anakku!”“Tak usah dijatuhkan pun sudah jatuh!” Vinza menaikan sisi bibir sebelah kanan. Mereka makan di meja itu walau David terus memberi peringatan kalau Vinza boleh makan kalau Rufy sudah selesai dia suapi. “Memang dasar manusia laknat! Aku dia jadikan pelayan dan pengasuh. Dia pikir, anaknya lahir dilepehin? Dia pikir melahirkan itu enggak sakit? Hamil itu kayak main di taman hiburan? Awas saja David! Aku balas kamu nanti!” Vinza tak berhenti mengumpat dalam hati. Tiba-tiba saja ponsel wanita itu berdering. Vinza lekas mengangkatnya
“Pak Adam!” seru Vinza. Untuk sampai di sini, dia harus naik taksi. Untung Vinza masih menyimpam uang. Habis dari rumah David ke jalan raya lumayan jauh. Ia pun tak mungkin bilang pada Adam kalau ia tinggal dengan David. “Loh, Rufy mana?” tanya Adam karena Vinza hanya sendiri. Vinza senyum. “Ouh, Rufy pergi sama Ayahnya. Sudah lama enggak ketemu, ya biarin saja, lah.”“Ayahnya?” tanya Adam kaget. “Iya, aku sudah ketemu sama Ayahnya Rufy.”“Terus kalian gimana?” Adam agak sedikit lemah saat menanyakan itu. “Ouh, itu. Ya enggak gimana-gimana. Rufy mau menerima dia dan anakku punya Ayah, tentu aku bersyukur. Rufy ingin banget punya Ayah supaya enggak dipanggil anak haram sama teman-temannya,” cerita Vinza. “Kamu sama laki-laki itu enggak balikan?” Bagian paling penting untuk Adam adalah itu. Vinza menggeleng. “Aku enggak bisa nerima dia lagi. Terlalu berat dan menyakitkan,” jawab Vinza. Kali ini Adam merasa lega. “Kita pergi sekarang?” ajak Adam. Mereka lekas naik mobil minibus Ad
Selesai makan, Adam lekas membayar ke kasir. Sedang Vinza menunggu di meja dengan Galih. Wanita itu sempat melihat ke arah televisi. Ada berita bisnis di sana. “Viane Zhou, tunangan Damier Lau yang merupakan pewaris tunggal dari Heaven Grouph kini sedang diadukan oleh pemerintah negara ***** atas kasus pelecehan terhadap negara mereka. Hingga kini pihak Zhou Yu Tong Corp belum memberikan keterangan.”Vinza melihat foto pertunangan Viane dengan David di layar televisi. Ia mengusap dada yang terasa sesak. “Pihak Heaven Grouph yang merencanakan perjodohan dengan keluarga ZYT corp berjanji akan memberikan klarifikasi hari ini. Sementara itu unjuk rasa menuntut ditutupnya toko brand fashion milik Viane Zhou terus bergejolak di berbagai negara sebagai bentuk solidaritas,” tambah pembawa acara berita. Tangan Vinza meremas ujung kaos panjang yang ia kenakan. “Wanita itu cantik,” batinnya. Ia ingat ucapan David yang membandingkan dirinya dengan Viane. Tak lama Adam kembali. “Kita pulang, ya
“Itu sih bunyi klakson Bus antar kota dan provinsi. Tetettoret. Kan kalau nikah backsoundnya kayak gitu.”“Makanya Pak. Selama belum ada kepastian manusia akan baik-baik saja pindah ke MARS, lebih baik masih pakai bahasa manusia!” ledek David. “Aku benci kamu!”Tak lama mereka kembali terdiam. Rufy menunjukan mainan mobil-mobilan yang ia bongkar. “Pa, dak bagus agi,” adu anak itu.“Kenapa dibongkar?” David mengusap rambut Rufy sambil menaikan sebelah alis.“Mo pacang dili, Pa. Gimana?” tanya Rufy. David langsung mengajari anak itu. Satu per satu komponen ia contohkan bagaimana cara memasangnya. Sedang Biru beberapa kali manyun. “Jadi gimana?”“Tinggal pasang dinamonya, nanti nyala lagi,” jawab David. “Bukan mobil, aku tanya kamu dan Vinza gimana?”David menarik napas. Ia berhenti sejenak. “Aku dan dia ya hidup sendiri-sendiri. Aku hanya akan menggaji dia untuk mengasuh Rufy. Hubungan kami sebatas anak ini.”Biru menggelengkan kepala. “Dengar! Soal ini aku lebih punya pengalaman dar
Terdengar tawa di ruangan kamar itu. Di kasur ukuran nomor dua, tubuhnya berguling-guling. Sesekali ia memekik gemas ketika adegan di layar ponsel berisi hal romantis antara lee young joon dan kim ji yoo.“Beruntung banget sih bisa nikah sama CEO ganteng, gagah dan romantis kayak gini. Ngimpi kali ya aku kalau bisa nikah sama CEO.” Kaki Vinza bergerak-gerak menendang pelan dinding. Ia mengusap perut yang terasa tak enak. Tiba-tiba saja tayangan dramanya berhenti dan berganti jadi putaran kekesalan alias buffering. “Lha, ini kenapa?” tanya Vinza bingung. Baru bertanya, operator sudah peka duluan mengiriminya SMS pemberitahuan berisi ....Paket Reguler kamu sudah habis. Beli paket kuota tambahan di *123#, atau langsung beli di website ****“Yah, kenapa enggak kerasa? Padahal baru diisi kuota. Duh, kalau gini uangku bisa cepet habis cuman buat isi kuota. Tak lama ponselnya langsung memberikan notifikasi pendeteksian jaringan wifi. “Apa ini? Ada wifi? Bahkan enggak cuman satu.”Vinza mer
Menunggu David masak, Vinza masih anteng melanjutkan menonton drama. “Ya Allah, kenapa CEO ganteng-ganteng, sih? Kirim satu saja CEO kayak gini buat aku. Bisa enggak, ya?”Mendengar itu David terbatuk-batuk. Tentu, ia CEO di salah satu perusahaan di bawah naungan HG. “Mau pedes, enggak?” tanya David. Yang ditanya malah cekikikan. “Mau pedes enggak?” tanya pria itu lagi. Vinza tetap saja terpaku pada ponselnya. Ternyata wanita itu memakai earphone. David mendekati dan menarik earphone Vinza. Merasa earphonenya dicabut, Vinza berbalik. Saat itulah, bibirnya tanpa sengaja bersentuhan dengan bibir David. Keadaannya karena kaget, mereka malah mematung dengan posisi itu. David mendorong Vinza begitu sadar. Vinza hampir terjungkal karena tak berpegangan. David yang kaget langsung menarik lengan Vinza dan lagi bibir mereka bersentuhan. Vinza dorong tubuh David. “Kamu ngapain, sih? Aku merasa dinodai!” bentak Vinza sambil mengusap bibirnya. Dia pergi ke wastafel dan mencuci bibirnya. “Dih
“Rufy, kamu kenapa?” tanya Vinza. David berdiri dan menggendong putranya. Ia bawa ke kamar diikuti Vinza. “Rufy, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, ‘kan?” tanya Vinza. David baringkan tubuh Rufy di atas tempat tidur. Rufy berguling sambil memegang perutnya. Ia meringis kesakitan sambil merengek. “Ayah cakit. Bunda cakit,” adunya. Vinza duduk di pinggir tempat tidur. Ia usap rambut Rufy. David meminta pelayan memanggil dokter. David berdiri dengan wajah panik. Ia seperti melihat dirinya dulu saat sakit perut. Tak satu pun orang yang peduli. Ia hanya menahan sendiri. Kadang mengeluh pada kakak-kakaknya di panti, ia malah dikatai manja. Jika Bu Ifa ke panti, barulah ia bisa mengadu. Maklum, tak banyak tenaga di panti itu. Anak-anak di sana pun bisa makan saja untung. Jarang ada bantuan dan Bu Ifa harus mencari dana sendiri. David hampiri putranya. Ia gendong Rufy dan mengusap kepala Rufy. “Yang kuat, Sayang. Ayah di sini,” ucapanya. Matanya melirik ke arah pelayan di sana. “Kenapa d
“Bunda suapin, ya?” tawar Vinza. Rufy mengangguk. Ia bangun dan duduk di pangkuan David. Ini hal yang Rufy impikan, makan sup ayam sambil disuapi Bundanya dan duduk di pangkuan Ayahnya. “Bunda dak keja, ya?” pinta Rufy. Vinza menggeleng. “Bunda di sini sama Rufy, ‘kan? Ayah juga, ya?”“Iya, Ayah hari ini mau asuh Rufy saja,” timpal David. Wajah Rufy berbinar. Ia begitu lahap makan yang Vinza suapi. Sesekali bergoyang kepalanya ke kanan ke kiri seakan ia mendengar irama. Rufy tersenyum, matanya menyipit dan lesung pipit terlihat. “Dak mo ulitna, Bunda.” Rufy menunjuk kulit ayam yang masih menempel pada daging. Lekas Vinza pisahkan. Tangan Rufy memegang tangan David. Ia begitu manja bersandar pada pria itu. Sesekali David kecup keningnya setiap Rufy mendongak untuk melihat wajah David. “Ayah tayang, Upi?”“Sayang banget,” jawab David. “Bunda tayang Upi?”Vinza mengangguk. “Kalau Bunda enggak sayang Upi, Bunda enggak akan cari Upi. Bunda enggak akan nangis setiap hari waktu Rufy hil