“Bunda suapin, ya?” tawar Vinza. Rufy mengangguk. Ia bangun dan duduk di pangkuan David. Ini hal yang Rufy impikan, makan sup ayam sambil disuapi Bundanya dan duduk di pangkuan Ayahnya. “Bunda dak keja, ya?” pinta Rufy. Vinza menggeleng. “Bunda di sini sama Rufy, ‘kan? Ayah juga, ya?”“Iya, Ayah hari ini mau asuh Rufy saja,” timpal David. Wajah Rufy berbinar. Ia begitu lahap makan yang Vinza suapi. Sesekali bergoyang kepalanya ke kanan ke kiri seakan ia mendengar irama. Rufy tersenyum, matanya menyipit dan lesung pipit terlihat. “Dak mo ulitna, Bunda.” Rufy menunjuk kulit ayam yang masih menempel pada daging. Lekas Vinza pisahkan. Tangan Rufy memegang tangan David. Ia begitu manja bersandar pada pria itu. Sesekali David kecup keningnya setiap Rufy mendongak untuk melihat wajah David. “Ayah tayang, Upi?”“Sayang banget,” jawab David. “Bunda tayang Upi?”Vinza mengangguk. “Kalau Bunda enggak sayang Upi, Bunda enggak akan cari Upi. Bunda enggak akan nangis setiap hari waktu Rufy hil
“Dengar, Damier! Selama ini Papaku selalu bantu Papamu mencari kamu. Dan begini balasan kamu untukku?” tegurnya. “Iyakah? Lalu kenapa enggak ketemu dan malah aku yang menemukannya? Satu lagi, kamu pikir aku tega membuat ratusan ribu karyawan hilang pekerjaan, hanya karena kamu? Tidak! Itu masalah yang keluar dari mulutmu sendiri dan kamu sendiri yang harus menanggungnya!” tegas David. “Kamu pikir aku akan menyangka itu akan bocor apa? Ada orang sialan yang menyadap ponselku! Aku akan temukan dia dan menghancurkannya. Dan kamu, aku enggak akan setuju pertunangan kita batal!” tegas Viane. David menggeleng. “Terlambat. Kamu bisa cek berita.”Viane membuka tas dan mengambil ponsel. Ia kaget akibat apa yang kini sedang dibicarakan. “Pertunangan Viane Zhou dengan Damier Lau resmi dibatalkan. Heaven Grouph memberi pernyataan jika mereka tidak tahu dan tidak membenarkan perbuatan Viane. Akibatnya mereka memilih membatalkan rencana perjodohan sebagai simbol rasa kemanusiaan. Heaven Grouph b
“Tulus bei cendal. Beina pacal kumis,” cerita Rufy. “Kamis,” ralat Vinza. “Iya. Itu!” tegas Rufy. Kadang saat Rufy salah bicara, jadi hiburan sendiri untuk kedua orang tuanya. Ponsel Vinza berdering. Wanita itu mengambil dan mengangkat telpon dengan nama Adam di kontak. “Maaf, Pak. Rufy lagi sakit. Jadi aku enggak bisa masuk tadi,” ungkap Vinza. “Terus sekarang gimana keadaan Rufy? Aku boleh jenguk?” tanya Adam.Vinza melirik Rufy yang masih bercerita dengan Ayahnya. “Kami lagi ada di rumah Ayah Rufy. Apa Pak Adam enggak keberatan?” Adam meneguk ludahnya. “Ouh, jadi kamu lagi di rumah mantan kamu?”Vinza tak mungkin bilang kalau dia tinggal di sini. “Karena lebih dekat ke dokter, jadi Rufy di sini. Gitu,” jelas Vinza. “Hmm, aku jenguk boleh? Sekalian aku mau ajak Galih. Dia nanyain Rufy terus. Kayaknya emang kangen. Apalagi mereka sudah lumayan dekat.”“Boleh. Nanti aku kasih alamatnya, ya?” Tak lama mereka menutup panggilan. Vinza kirim lokasi rumah pada Adam. Ia kemudian berj
“Maaf ya, Pak. Keadaannya ini enggak bisa ngedukung. Nanti kalau sudah baikan, aku beri tahu,” jawab Vinza di telpon saat Adam memberitahu kalau ia sudah ada di depan gerbang David. Ia terpaksa meminta Adam pulang. “Ya sudah, enggak apa-apa. Mudah-mudahan Rufy cepat membaik. Kamu yang tegar, ya? Ini cobaan. Namanya anak kadang ada waktunya bisa tantrum seperti itu kalau terlalu lama menahan perasaan. Hanya kita harus sabar ketika menghadapi itu. Ingat, emosi berlebihan saat menghadapi anak ketika tantrum malah akan memperburuk keadaan. Lebih baik diamkan sejenak sampai dia lebih tenang,” nasihat Adam. “Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih sudah mau memperhatikan Rufy. Walau dia bukan anak Bapak, tapi Pak Adam sangat pengertian.”Adam menunduk. Ia menarik napas. “Aku berharap dia bisa jadi anakku dan Galih jadi anakmu,” jawab Adam membuat Vinza terdiam. “Maksud Bapak gimana?” tanya Vinza bingung. “Vin, aku tahu ini enggak tepat. Cuman, aku ingin kamu jadi ibu untuk anak-anakku. D
“Kita nikah saja! Aku harus tanggung jawab, harus ngembaliin masa depan kamu, harus jadi ayah untuk Rufy. Kita mulai dari awal. Biar waktu yang bawa kita. Masa bodoh dengan masa lalu kalau kita punya Rufy sebagai masa depan kita.”Vinza menunduk. Ia gerak-gerakkan ujung kaki. Tangannya memegang ujung baju. “Kamu enggak takut nyesel? Aku kalau dibanding sama tunangan kamu jauh beda!”“Sudah jelas, enggak usah ditanya,” timpal David. “Enggak usah ditegasih napa?” David tersenyum kecil. “Gimana?”“Apa?”“Yang kita omongin tadi. Kamu nerima tawaranku? Kita bisa nyoba, jatuh cinta lagi.”Pertanyaan itu sulit untuk Vinza jawab. Ia bingung. Sesekali ia tatap pria di depannya. Dia masih tampan seperti dulu, masih berwibawa hanya saja sangat dingin. “Boleh aku tanya sesuatu? Kenapa kamu pergi?”“Karena aku harus pergi dengan orang tuaku. Aku rindu padanya. Aku tahu harus mulai hidup baru dan bahagia.”“Lalu aku?”David menunduk. “Hari itu aku masih berharap kamu mau memilihku. Ternyata tidak
“Aku akan menikahinya,” tegas David lalu menutup telpon. Ethan kaget dengan sikap putranya. Ia lantas memanggil para staf. “Dengar! Paksa Damier pulang. Rebut anaknya dan wanita itu, sogok saja dia! Dia tak pantas jadi menantu kelurga Lau!” tegas Ethan. Sementara itu David langsung bergegas. “Pak, tolong aku kali ini lagi. Panggilkan wartawan. Aku akan menikahi Vinza sekarang juga. Aku yakin Papaku akan melakukan banyak cara! Dan satu lagi, ini tanggungjawabmu karena memberitahunya!”David lekas meninggalkan kantor. Ia turun ke parkiran dan membawa mobil untuk mengejar waktu. “Dengar! Pertahankan Vinza di sana. Jangan sampai siapapun membawa dia dan Tuan Muda Rufy!”Biru lekas menyiapkan keperluan pernikahan. “Jomlo yang satu itu, sekalinya nikah malah kayak lari marathon!”Ia meminta staf menyiapkan masjid dan juga seorang penghulu. “Harus ada saksi tentu, Pak!” saran Roni. “Aku dan teman-temanku!”“Wali?”Biru memutar otak. “Ouh, hubungi teman polisi kita. Bilang kalau aku ingin
Ijab dan qabul sudah dibacakan. Vinza dan David sudah sah menjadi suami dan istri. Walau tak ada buku nikah untuk ditandatangani, tetapi pernikahan itu diumumkan ke seluruh negeri lewat siaran langsung sebuah televisi. “Damier Lau resmi menikahi seorang warga negara Indonesia dalam pernikahan sederhana di sebuah masjid,” menjadi tagline berita hari ini. Adam saat itu baru pulang kerja. Ia disambut oleh Galih yang meminta digendong. “Sudah makan belum, anak Papa?” tanya Adam. “Sudah dong, sama Nenek tadi disuapin. Soalnya sama ayam enggak bisa sendoknya,” jawab Galih. Adam pangku anak itu masuk ke dalam rumah. Ia duduk di sofa, sedang Galih turun untuk mengambil mainan. “Nyalain TV dong, Lih. Papa mau nonton berita,” pinta Adam sambil membuka tali sepatu. Galih mengangguk. Ia ambil remot dan menyalakan televisi. Sambil memasukan kaos kaki ke dalam sepatu, Adam meminta remote dari Galih. Ia pindahkan ke channel yang biasa menayangkan berita. Dilihatnya tagline tetang pernikahan Davi
“Selamat atas pernikahan kamu, Vin. Semoga kamu bahagia dengan pilihan kamu dan semoga ini yang terbaik untuk kamu. Terima kasih setidaknya sudah pernah hadir dalam hidupku.”Vinza mengangguk. “Makasih juga karena Bapak sudah bikin aku sadar kalau aku masih pantas dicintai seseorang.”“Sama-sama.”Mereka menutup telpon dengan perasaan sedih. Vinza sudah cukup nyaman dengan Adam, dengan sikap pria itu yang dewasa dan dengan sikap kebapakaanya. Pria itu memang tepat untuk jadi suami Vinza, tetapi bukan untuk jadi ayah Rufy. Benar, Vinza belajar dengan melihat Galih. Bagaimana ia dilupakan setelah kehadiran seorang adik dari lelaki lain. Kadang dengan adik kandung saja, anak sering terlupakan. Apalagi dengan adik tiri. Belum lagi tuntutan dari suami baru. Tak semua bisa menerima anak pria lain. Mungkin dari sikap bisa, hanya hati?Terdengar pintu ruang rias dibuka. Mata Vinza beralih. Ia lihat Rufy berdiri di sana dan David di belakangnya. “Bunda!” seru anak itu lekas berlari ke arah Vi
“Begini Bu Guru. Hari Minggu ini Rufy punya acara nonton di rumah. Bunda bolehin Rufy untuk nonton hanya setengah jam. Masalahnya ada dua yang mau Rufy tonton. Rufy suka Tayo juga suka Pocoyo. Baiknya Rufy pilih mana?” Bu Guru berpikir. “Mungkin untuk ini, Rufy bisa melakukan undian,” saran guru. “Undian?” Rufy rasanya belum pernah mendengar kata itu.“Iya, begini.” Guru membuat dua sobekan kertas. Ia tulis kedua nama acara itu di kedua kertas yang berbeda. Guru lipat kedua kertas dan memasukan dalam saku lalu memutar tangannya dalam saku agar kedua kertas itu teracak. Setelah itu, dia kembalikan ke atas meja. “Pilih salah satu,” saran guru dengan begitu detailnya.Rufy pilih salah satu kertas dan membacanya. “Tayo! Jadi Rufy nonton Tayo minggu ini. Yeay! Makasih banyak Bu Guru,” ucap Rufy. Dia senang karena apa yang menjadi beban belakangan ini hilang.Hari Minggu pun tiba. Rufy bangun subuh untuk salat subuh. Dia kenakan pakaian koko dan berjamaah dengan kedua orang tuanya. Selesa
Mr. Hang menahan tawa. “Maaf, Pak. Yang keren itu kalau banyak follower, bukan following.”“Iya, kah? Kalau gitu aku berhenti follow saja,” keluh David. “Pasti banyak yang follow anda, Pak. Apalagi anda seorang Chairman perusahaan besar. Anda tinggal umumkan saja pada media,” jelas Mr. Hang. “Benarkah?”“Iya. Apalagi kalau nama akunnya sudah centang biru. Pasti semakin banyak yang follow.”David menganggukan kepala. Ia lekas kembali memeriksa ponselnya. Tak lama dia berpikir. Jadi nama yang centang biru itu populer. Ia intip profil milik Biru Bamantara yang bercentang Biru. Di sana timbul rasa iri di hati David. “Dia pikir aku enggak bisa kayak dia apa!” Sore itu David pulang ke rumah. Dia sudah disambut pelayan dan istrinya di depan pintu. “Gimana kerjaan hari ini? Kamu sibuk terus main Instragram,” omel Vinza. “Maklum, soalnya akun aku ‘kan centang biru,” jawab David. Vinza menaikan alis. “Follower kamu baru empat biji, gimana bisa centang biru?” tanya Vinza bingung. Saking pen
“Aplod ini, ah!” seru Rufy saat dirinya selesai membuat vlog pribadi saat sedang mengerjakan PR. Dia punya akun instagram sendiri yang terhubung dengan akun Vinza. Jadi, Vinza bisa mengawasi penggunaan media sosial putranya. Zaman semakin maju, bukan artinya anak tak boleh memakai gadget bukan juga boleh memakai gadget. Untuk anak seusia Rufy yang baru menginjak kelas TK, penggunaan gadget hanya boleh selama lima belas menit sehari. Namun perlu diingat, orang tua harus lebih pintar dalam menggunakan teknologi dari pada putranya. Jangan seperti Koko Dapit. “Upload apa?” David mengintip ke layar ponsel Rufy. “Tadi Upi bikin vlog buat PR sendiri. Followers Rufy sudah banyak, Yah,” jawab Rufy. “Ouh. Vlog itu apa?” tanya David. David bukannya gaptek. Dia bisa melakukan peretasan, menggunakan tagar sebagai media komunikasi, bahkan merancang aplikasi. Hanya saja dia tak tahu bahasa media sosial kekinian karena dia hanya punya twitter. Itu pun tidak pernah membuat cuitan. Apalagi instagr
“Penting bagi kita menambah wawasan dalam berbagai bidang. Ini membantu mencari peluang bisnis baru apalabila bisnis lama terpuruk. Jangan sampai kita main dalam kubangan sampai kita tak sadar seluruh tubuh kita kotor dan kemungkinan badan kita sakit,” jelas David saat ditanya tentang sektor baru yang kini tengah ditekuni Heaven Grouph saat jam rehat seminar. Pengisi seminar itu adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia yang perusahaannya sudah menjadi perusahaan kelas dunia di Amerika. Karena itu David sangat bersemangat untuk datang. “Pasti wawasanmu luas sekali ya dengan usia segitu? Sepertinya Papamu sering ajak kamu jalan-jalan ke luar negeri,” ucap salah satu tamu undangan yang juga pengusaha. David melirik sumber suara. “Maaf?” tanya David bingung. “Iya, kadang bicara perubahan memang mudah. Apalagi bagi anak muda yang jiwanya masih menggebu. Hanya saja strategi kalau sedang tak untung ya pasti rugi besar. Banyak yang ingin mencoba sektor baru, justru malah bangkrut. Leb
“Bu,” panggil Cyan. “Apa?” tanya Vinza. Cyan menunjuk ke pintu. David sudah berdiri di depan pintu cattery. Kandang kucing Vinza ada di rumah keluarga Lau dan memiliki arena main sendiri. Ruangannya full AC dan ada keeper yang merawat setiap hari. “Assalamu’alaikum,” salam David. “Wa’alaikusalam, Yah,” jawab Rufy dan Vinza. Cyan berdiri lalu berlari mengulurkan tangan minta Ayahnya gendong. David lekas menggendong Cyan dan menciumnya. Lalu menghampiri Rufy pun mencium kening putranya. “Kakak gimana kabarnya?” tanya David. “Baik, Yah. Tadi Upi di sekolah dapat piala. Semua dapat piala, sih. Yang mau bikin origami dikasih piala,” cerita Rufy. “Alhamdulillah. Kakak senang dong di sekolah? Hebat anak Ayah mau belajar bikin origami,” puji Ayahnya. Rufy berjalan ke belakang David dan memeluk Ayahnya dari belakang. “Ayah baru pulang kerja?” tanya Rufy. “Sudah dari tadi. Ke rumah dulu, mandi, ganti baju baru ke sini. Kalau habis dari luar kan kita harus mandi dulu dan ganti baju.”“Iy
“Kucing yang ini sudah dibawa untuk diperiksa belum?” tanya Vinza memastikan kucing peliharaannya. Dia punya rumah kucing sendiri, di mana dia bisa memelihara dan breeding aneka kucing ras. Kucing yang ia pelihara awalnya hanya lima ekor dengan usia satu tahun. Vinza punya dua pasang kucing persia dan tiga ekor Scottish fold berbulu pendek. Kucing-kucing mahal itu David belikan karena tahu istrinya suka memelihara hewan. Benar saja, saat kucing Vinza berusia lebih dari setahun, mereka langsung berkembang biak dan memiliki masing-masing dua anak. Hanya ada satu kucing masih jomlo hingga Vinza jodohkan dengan kucing milik kenalan David. “Cyan, liat Unyil guling-guling,” seru Rufy menunjuk kucing scottish warna abu-abu yang masih berusia tiga bulan. Cyan mencoba berdiri meraih kucing itu, tetapi kucing berlari. Dengan langkah yang masih belum tegar, Cyan masih berusaha menangkap kucing. Akhirnya dia dapat kucing persia jingga. Dipeluk kucing itu, sayang karena salah peluk, kucingnya me
David berdiri di luar ruang bersalin. Vinza masih berada di dalam menunggu waktu untuk melahirkan. Sudah berjam-jam David menunggu. Vinza belum juga melahirkan. Tak lama dokter keluar. David lekas menghampiri dokternya. “Pak, istri anda harus melalui operasi Caesar karena ukuran bayinya cukup besar. Jadi anda tak bisa melihat prosesnya,” ucap dokter. “Tak apa, Dok. Lakukan yang terbaik untuk istri saya,” jawab David. Tak lama tindakan operasi langsung dilakukan. David semakin merasa tak tenang. Dia menunggu dengan Rufy di ruang tunggu VIP. Dalam pangkuan David, Rufy sempat tertidur pulas. Tak lama bayi mereka dibawa keluar ruangan menuju ruang bayi. David sempat melihat putrinya dan meminta untuk mengazani. Suster sempat menanyakan tentang nama bayi David dan Vinza, tetapi pria itu malah bengong. Dia sudah siapkan masah persalinan sampai penyambutan istri dan bayinya. Namun, masalah nama dia lupa. David melihat ke sisi kanan dan kiri. Dia melihat sebuah merk Waruna dengan logo de
“Hal yang harus dilakukan suami ketika menghadapi istri yang hendak melahirkan. Satu, tenangkan diri. Pastikan semua keperluan melahirkan sudah siap. Dua, telpon ambulan jika memang istri sudah terlihat banyak mengeluarkan keringat, atau lemas ....” David hampir setiap hari menonton video itu. Dia sudah sangat kecewa tak bisa menemani Vinza saat hamil Rufy pun tak melihat proses putranya lahir. Kali ini David ingin menjadi suami siaga yang akan menjaga istri dan bayinya dengan baik. “Ayah tonton pa, tuh?” tanya Rufy. Anak itu menyimpan tabletnya di atas nakas. Ia tengah belajar huruf mandari dengan aplikasi yang diberikan gurunya. Tablet itu akan membunyikan alarm jika waktu main tablet sudah habis. Karena itu Rufy menyimpan tabletnya. Ia selalu mematuhi peraturan yang dibuat dirumah karena aturan di rumah ini dibuat bersama-sama dengan Rufy. “Ini apa yang harus Ayah lakukan kalau dedek lahir,” jawab David. “Ouh, dedek mo ahin, ya?” tanya Rufy lagi. “Iya, kayaknya minggu depan. M
Sebelum Cyan lahir ....Vinza merenung di rooftop rumah. Hari ini dia tak punya semangat, hanya mengusap perut sambil manyun. Rufy sedang ada kelas. Karena masalah bahasa, anak itu harus homeschooling untuk belajar Bahasa Inggris dan mandarin sebelum memasuki taman kanak-kanak. Apalah daya ibunya. Bahasa Mandarin Vinza pun hanya sebatas bahasa untuk sehari-hari. Itu pun Vinza tak mampu membaca tulisan mereka. Cahaya matahari terasa hangat di awal musim gugur. Pepohonan mengalami kerontokan daun di bulan Oktober ini. “Aku mau jalan-jalan. Mau beli bala-bala,” batinnya. Di saat seperti ini, Vinza lekas mengambil ponselnya. Ia telpon David saat itu juga. “Kenapa?” tanya David. “Mau bala-bala,” pinta Vinza. “Bercanda kamu? Beli bala-bala di mana di Hongkong?” “Dulu di Taiwan ada,” keluh Vinza. “Terus aku harus ke Taiwan dulu gitu? Dateng ke rumah sudah basi itu bala-bala,” omel David. Vinza menunduk lesu. “Vid, ternyata cinta kita hanya sampai gorengan bala-bala,” keluh Vinza. “Tu