“Selamat atas pernikahan kamu, Vin. Semoga kamu bahagia dengan pilihan kamu dan semoga ini yang terbaik untuk kamu. Terima kasih setidaknya sudah pernah hadir dalam hidupku.”Vinza mengangguk. “Makasih juga karena Bapak sudah bikin aku sadar kalau aku masih pantas dicintai seseorang.”“Sama-sama.”Mereka menutup telpon dengan perasaan sedih. Vinza sudah cukup nyaman dengan Adam, dengan sikap pria itu yang dewasa dan dengan sikap kebapakaanya. Pria itu memang tepat untuk jadi suami Vinza, tetapi bukan untuk jadi ayah Rufy. Benar, Vinza belajar dengan melihat Galih. Bagaimana ia dilupakan setelah kehadiran seorang adik dari lelaki lain. Kadang dengan adik kandung saja, anak sering terlupakan. Apalagi dengan adik tiri. Belum lagi tuntutan dari suami baru. Tak semua bisa menerima anak pria lain. Mungkin dari sikap bisa, hanya hati?Terdengar pintu ruang rias dibuka. Mata Vinza beralih. Ia lihat Rufy berdiri di sana dan David di belakangnya. “Bunda!” seru anak itu lekas berlari ke arah Vi
“Kamu yang rese! Kalau pakai kartu ini pasti yang bayar aku, Munaroh!”“Tinggal bilang ke Mbak Kasir, kok!”“Emang Mbak Kasirnya itu direktur bank? Ya sudah, besok kamu jajan pakai receh saja!” Biru mengambil kartu itu dan dimasukan dalam dompetnya. “Berapa kali aku bilang, jauhkan kartu itu dari anakmu!” David ikut bicara. Ia gendong Rufy dan mencium gemas pipi anaknya. “Oom David sudah meracuni pikiran Papaku!” Minara memalingkan wajah sambil melipat tangan di dada. “Sudah sana ke Bunda. Beneran aku kasih receh ratusan perak buat jajan, baru tahu rasa!”Minara lekas pergi. David menggeleng. “Belum apa-apa, Putrimu sudah mencuci otak putraku.”“Makanya aku bilang apa, jangan dekatkan Rufy dengan Minara. Anakmu ngondek, bukan tanggungjawabku!” “Ayah, mo kaltu item,” pinta Rufy. “Itu bukan buat anak kecil, Sayangku. Nanti kalau mau beli apa-apa, panggil saja Bunda, ya?”“Ental Upi dak jadi olang kaya.”“Jangan percaya kata-kata Kak Minara. Percaya sama Allah saja. Kalau percaya Ka
David dan keluarga barunya akhirnya tiba di rumah. Vinza lekas mandi. Sementara Rufy, mandi dengan David. Hari yang penuh dengan segala buru-buru hingga terasa melelahkan. Selesai berganti baju, Vinza keluar kamar karena pelayan memanggilnya. “Tuan David menunggu anda untuk makan, Nyonya,” jelas pelayan itu.Vinza ikuti ke ruang makan. Di sana ia sudah melihat David dan Rufy duduk. “Wah, banyak sekali makanannya.”“Iya banak! Kata Ayah bial Upi bica pilih. Ya, ‘kan?” Rufy berpaling pada David.“Iya. Rufy bisa pilih mana yang Rufy suka sekali, Ayah beliin ini semua biar Rufy cepat besar, ya?” jawab David yang langsung dibalas anggukan Rufy.Mereka sempatkan makan bersama. Seperti biasa, Vinza akan menyuapi Rufy lebih dulu. Kali ini ada yang berbeda. David menunggu sampai Vinza makan. Hal yang langsung mengundang banyak pertanyaan di otak Vinza. Waktu mereka berdua habiskan dengan mengajak Rufy bermain dan belajar baik mengaji dan mengenal huruf dan angka. “Ni iyoy tiga,” jawab Rufy sa
Sambil menatap Rufy, mereka tak hentinya tertawa. “Ada lagi, nih!” Dari tas itu ada pula sebuah buku gambar, pensil, serutan dan penghapus. “Ini buku keuangan.”Malam itu mereka tidur sambil memeluk Rufy. Mereka memang harus mulai kembali membangun chemistry. Walau artinya mereka harus mulai lagi sebagai dua sahabat yang saling berbagi. Bedanya jika dulu mereka berbagi masalah remaja, kini mereka berbagi cerita tentang anak mereka. “Kamu kangen Ibu dan Ayah kamu?” tanya David. Vinza mengangguk. “Apalagi kalau ingat aku hanya bisa membuat mereka kecewa. Andai kalau ada tambahan waktu, aku ingin berbakti walau hanya satu hari.”David membasahi bibirnya. “Andai saja aku juga diberi waktu sehari saja bertemu Mamaku. Aku juga ingin melakukan apa yang kamu lakukan.” Wajahnya terlihat sangat sedih. Vinza kini bisa mengerti perasaan David di masa lalu.***“Ayah mana, Bun?” tanya Rufy saat mereka tengah main di ruang main. “Ayah ke kantor, ada urusan. Tunggu saja, ya? Ayah harus kerja ‘kan
“Baik, Bu. Maaf baru ke sini. Habis nikah aku sibuk ngurus rumah,” jawab Vinza. Padahal ia sibuk untuk belajar kesetaraan. Apalagi David banyak tuntutan, harus bisa bahasa asing lah, bisa etiket lah. Sekalian saja harus bisa malak preman!“Apa kabar suami kamu? Enggak ikut ke sini?” “Lagi kerja, Bu.”“Eh, masuk atuh!” ajak Bu Cucu.Melewati toko yang tergantung banyak pakaian, mereka masuk ke dalam pintu yang langsung terhubung ke ruang tamu rumah Bu Cucu. Di sana Vinza duduk dengan Rufy. “Galih! Ada Upi, mau main!” panggil Bu Cucu.Tak lama Galih keluar kamarnya. Ia langsung menyapa Rufy. “Upi! Kakak kangen!” seru Galih sambil berlari lalu memeluk Rufy. Putra Vinza balas memeluk. Kedua anak itu sama-sama tertawa. “Main sama Kakak, yuk!” ajak Galih yang langsung diiyakan oleh Rufy.Sementara mereka main, Vinza mengobrol dengan Bu Cucu. “Ibu cukup kaget dengar kamu sudah nikah, Vin. Apalagi Adam. Dia sangat berharap sama kamu,” ungkap Bu Cucu.“Mau gimana lagi, Bu. Bukannya Pak Adam
Vinza nyengir kuda begitu melihat sosok David sudah berdiri di teras menyambut mereka. Tatapan mata pria itu tajam dan wajahnya mencerminkan kesongongan yang hakiki. Andai saja jika Vinza tak menyadari kesalahan, ia akan biasa saja menghadapi pria itu. Masalahnya di sini, dia sadar salah karena tidak mengirimkan David pesan. Lupa, maklum sudah emak-emak. “Aku pergi bentar, kok. Enggak sampai seharian juga. Pergi siang dan pulang sore. Gitu saja marah. Tadi mau kirim pesan, cuman lupa. Lagian Rufy enggak lecet apa-apa, kok. Ini masih utuh. Dari ujung rambut sampai kaki. Cuman rambut rontok dikit maklum, ya? Namanya juga rambut,” alasan Vinza. “Ke mana kamu?” tanya David tegas sambil berkacak pinggang. Ia berdiri di dekat tiang besar yang lebih besar dari tubuhnya. Pertanyaan itu membuat Vinza gemetaran. Iya, tak apa kalau dia bilang ke rumah Adam. Masalahnya di sini, karena lupa kirim pesan, jadilah ini membesar. David pasti kesal karenanya. Vinza meneguk ludah dan membasahi bibir d
“Hei, kalau ngomong dijaga! Awas ya!” Vinza mencoba mencubit pinggang David, sayang dia malah David hentikan. Pria itu menahan tangan Vinza dan semakin menekannya ke tembok. Tubuh keduanya menjadi sangat dekat. “Dengar, di mall ada namanya area bermain. Di sana ada banyak anak-anak main dan ibu-ibu yang menunggu. Kamu bisa kenalan sama ibu-ibu itu. Mengerti?” tanya David sambil berbisik. Vinza menganggukan kepala. Matanya dan David saling terkunci. “Aku enggak keberatan kamu bergaul. Hanya saja, kamu ini sekarang punya suami. Kalau kamu dekat sama lelaki, orang akan omongin kamu yang macam-macam, ya?”Lagi Vinza mengangguk. Suara David terdengar begitu lembut. Pipi Vinza memerah, jantungnya berdebar. Anehnya, ia masih terkunci dalam pandangan dengan David. “Kamu itu sekarang bawa nama suami kamu dan anak kamu. Jangan sampai keluarga kamu dinilai buruk karena perilaku kamu. Bisa?” Suara David yang ngebas terdengar nyaman di telinga hingga Vinza kembali mengangguk. David mendekatkan
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka. Vinza kaget, ia kembali berbalik dan melihat David keluar dari sana. “Mau ngapain kamu?” tegur David. “Apa? Aku mau ke bawah,” dusta Vinza. Sayang, wajahnya terlihat mencurigakan. “Rufy tidur?” Vinza mengangguk. Mata David terlihat melirik ke arah kamar Rufy. “Vid, Rufy tadi ngerengek. Dia mau main sama kamu. Kamunya malah sibuk sendiri gitu. Bukan apa-apa, ya? Dia tuh masih butuh perhatian kita. Kamu bilang bakalan kasih waktu keluarga. Baru juga hitungan hari, sudah sibuk sendiri!” “Ada masalah di perusahaan. Evergrande,” jawab David dengan suara lemah. Tak lama ia menatap Vinza. “Kamu tahu itu apa?”Vinza mengedipkan mata lalu menggeleng. “Apa yang bisa aku harapkan dari kamu, sih? Kamu ya, kamu saja!” ledeknya. Ucapan itu membuat Vinza kesal. Ia lekas berbalik dan hendak berjalan ke kamar Rufy, tetapi David langsung menarik tangannya. “Hei, aku belum selesai ngomong!”“Aku enggak mau denger ledekan kamu. Kalau cuman mau bikin ana
“Begini Bu Guru. Hari Minggu ini Rufy punya acara nonton di rumah. Bunda bolehin Rufy untuk nonton hanya setengah jam. Masalahnya ada dua yang mau Rufy tonton. Rufy suka Tayo juga suka Pocoyo. Baiknya Rufy pilih mana?” Bu Guru berpikir. “Mungkin untuk ini, Rufy bisa melakukan undian,” saran guru. “Undian?” Rufy rasanya belum pernah mendengar kata itu.“Iya, begini.” Guru membuat dua sobekan kertas. Ia tulis kedua nama acara itu di kedua kertas yang berbeda. Guru lipat kedua kertas dan memasukan dalam saku lalu memutar tangannya dalam saku agar kedua kertas itu teracak. Setelah itu, dia kembalikan ke atas meja. “Pilih salah satu,” saran guru dengan begitu detailnya.Rufy pilih salah satu kertas dan membacanya. “Tayo! Jadi Rufy nonton Tayo minggu ini. Yeay! Makasih banyak Bu Guru,” ucap Rufy. Dia senang karena apa yang menjadi beban belakangan ini hilang.Hari Minggu pun tiba. Rufy bangun subuh untuk salat subuh. Dia kenakan pakaian koko dan berjamaah dengan kedua orang tuanya. Selesa
Mr. Hang menahan tawa. “Maaf, Pak. Yang keren itu kalau banyak follower, bukan following.”“Iya, kah? Kalau gitu aku berhenti follow saja,” keluh David. “Pasti banyak yang follow anda, Pak. Apalagi anda seorang Chairman perusahaan besar. Anda tinggal umumkan saja pada media,” jelas Mr. Hang. “Benarkah?”“Iya. Apalagi kalau nama akunnya sudah centang biru. Pasti semakin banyak yang follow.”David menganggukan kepala. Ia lekas kembali memeriksa ponselnya. Tak lama dia berpikir. Jadi nama yang centang biru itu populer. Ia intip profil milik Biru Bamantara yang bercentang Biru. Di sana timbul rasa iri di hati David. “Dia pikir aku enggak bisa kayak dia apa!” Sore itu David pulang ke rumah. Dia sudah disambut pelayan dan istrinya di depan pintu. “Gimana kerjaan hari ini? Kamu sibuk terus main Instragram,” omel Vinza. “Maklum, soalnya akun aku ‘kan centang biru,” jawab David. Vinza menaikan alis. “Follower kamu baru empat biji, gimana bisa centang biru?” tanya Vinza bingung. Saking pen
“Aplod ini, ah!” seru Rufy saat dirinya selesai membuat vlog pribadi saat sedang mengerjakan PR. Dia punya akun instagram sendiri yang terhubung dengan akun Vinza. Jadi, Vinza bisa mengawasi penggunaan media sosial putranya. Zaman semakin maju, bukan artinya anak tak boleh memakai gadget bukan juga boleh memakai gadget. Untuk anak seusia Rufy yang baru menginjak kelas TK, penggunaan gadget hanya boleh selama lima belas menit sehari. Namun perlu diingat, orang tua harus lebih pintar dalam menggunakan teknologi dari pada putranya. Jangan seperti Koko Dapit. “Upload apa?” David mengintip ke layar ponsel Rufy. “Tadi Upi bikin vlog buat PR sendiri. Followers Rufy sudah banyak, Yah,” jawab Rufy. “Ouh. Vlog itu apa?” tanya David. David bukannya gaptek. Dia bisa melakukan peretasan, menggunakan tagar sebagai media komunikasi, bahkan merancang aplikasi. Hanya saja dia tak tahu bahasa media sosial kekinian karena dia hanya punya twitter. Itu pun tidak pernah membuat cuitan. Apalagi instagr
“Penting bagi kita menambah wawasan dalam berbagai bidang. Ini membantu mencari peluang bisnis baru apalabila bisnis lama terpuruk. Jangan sampai kita main dalam kubangan sampai kita tak sadar seluruh tubuh kita kotor dan kemungkinan badan kita sakit,” jelas David saat ditanya tentang sektor baru yang kini tengah ditekuni Heaven Grouph saat jam rehat seminar. Pengisi seminar itu adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia yang perusahaannya sudah menjadi perusahaan kelas dunia di Amerika. Karena itu David sangat bersemangat untuk datang. “Pasti wawasanmu luas sekali ya dengan usia segitu? Sepertinya Papamu sering ajak kamu jalan-jalan ke luar negeri,” ucap salah satu tamu undangan yang juga pengusaha. David melirik sumber suara. “Maaf?” tanya David bingung. “Iya, kadang bicara perubahan memang mudah. Apalagi bagi anak muda yang jiwanya masih menggebu. Hanya saja strategi kalau sedang tak untung ya pasti rugi besar. Banyak yang ingin mencoba sektor baru, justru malah bangkrut. Leb
“Bu,” panggil Cyan. “Apa?” tanya Vinza. Cyan menunjuk ke pintu. David sudah berdiri di depan pintu cattery. Kandang kucing Vinza ada di rumah keluarga Lau dan memiliki arena main sendiri. Ruangannya full AC dan ada keeper yang merawat setiap hari. “Assalamu’alaikum,” salam David. “Wa’alaikusalam, Yah,” jawab Rufy dan Vinza. Cyan berdiri lalu berlari mengulurkan tangan minta Ayahnya gendong. David lekas menggendong Cyan dan menciumnya. Lalu menghampiri Rufy pun mencium kening putranya. “Kakak gimana kabarnya?” tanya David. “Baik, Yah. Tadi Upi di sekolah dapat piala. Semua dapat piala, sih. Yang mau bikin origami dikasih piala,” cerita Rufy. “Alhamdulillah. Kakak senang dong di sekolah? Hebat anak Ayah mau belajar bikin origami,” puji Ayahnya. Rufy berjalan ke belakang David dan memeluk Ayahnya dari belakang. “Ayah baru pulang kerja?” tanya Rufy. “Sudah dari tadi. Ke rumah dulu, mandi, ganti baju baru ke sini. Kalau habis dari luar kan kita harus mandi dulu dan ganti baju.”“Iy
“Kucing yang ini sudah dibawa untuk diperiksa belum?” tanya Vinza memastikan kucing peliharaannya. Dia punya rumah kucing sendiri, di mana dia bisa memelihara dan breeding aneka kucing ras. Kucing yang ia pelihara awalnya hanya lima ekor dengan usia satu tahun. Vinza punya dua pasang kucing persia dan tiga ekor Scottish fold berbulu pendek. Kucing-kucing mahal itu David belikan karena tahu istrinya suka memelihara hewan. Benar saja, saat kucing Vinza berusia lebih dari setahun, mereka langsung berkembang biak dan memiliki masing-masing dua anak. Hanya ada satu kucing masih jomlo hingga Vinza jodohkan dengan kucing milik kenalan David. “Cyan, liat Unyil guling-guling,” seru Rufy menunjuk kucing scottish warna abu-abu yang masih berusia tiga bulan. Cyan mencoba berdiri meraih kucing itu, tetapi kucing berlari. Dengan langkah yang masih belum tegar, Cyan masih berusaha menangkap kucing. Akhirnya dia dapat kucing persia jingga. Dipeluk kucing itu, sayang karena salah peluk, kucingnya me
David berdiri di luar ruang bersalin. Vinza masih berada di dalam menunggu waktu untuk melahirkan. Sudah berjam-jam David menunggu. Vinza belum juga melahirkan. Tak lama dokter keluar. David lekas menghampiri dokternya. “Pak, istri anda harus melalui operasi Caesar karena ukuran bayinya cukup besar. Jadi anda tak bisa melihat prosesnya,” ucap dokter. “Tak apa, Dok. Lakukan yang terbaik untuk istri saya,” jawab David. Tak lama tindakan operasi langsung dilakukan. David semakin merasa tak tenang. Dia menunggu dengan Rufy di ruang tunggu VIP. Dalam pangkuan David, Rufy sempat tertidur pulas. Tak lama bayi mereka dibawa keluar ruangan menuju ruang bayi. David sempat melihat putrinya dan meminta untuk mengazani. Suster sempat menanyakan tentang nama bayi David dan Vinza, tetapi pria itu malah bengong. Dia sudah siapkan masah persalinan sampai penyambutan istri dan bayinya. Namun, masalah nama dia lupa. David melihat ke sisi kanan dan kiri. Dia melihat sebuah merk Waruna dengan logo de
“Hal yang harus dilakukan suami ketika menghadapi istri yang hendak melahirkan. Satu, tenangkan diri. Pastikan semua keperluan melahirkan sudah siap. Dua, telpon ambulan jika memang istri sudah terlihat banyak mengeluarkan keringat, atau lemas ....” David hampir setiap hari menonton video itu. Dia sudah sangat kecewa tak bisa menemani Vinza saat hamil Rufy pun tak melihat proses putranya lahir. Kali ini David ingin menjadi suami siaga yang akan menjaga istri dan bayinya dengan baik. “Ayah tonton pa, tuh?” tanya Rufy. Anak itu menyimpan tabletnya di atas nakas. Ia tengah belajar huruf mandari dengan aplikasi yang diberikan gurunya. Tablet itu akan membunyikan alarm jika waktu main tablet sudah habis. Karena itu Rufy menyimpan tabletnya. Ia selalu mematuhi peraturan yang dibuat dirumah karena aturan di rumah ini dibuat bersama-sama dengan Rufy. “Ini apa yang harus Ayah lakukan kalau dedek lahir,” jawab David. “Ouh, dedek mo ahin, ya?” tanya Rufy lagi. “Iya, kayaknya minggu depan. M
Sebelum Cyan lahir ....Vinza merenung di rooftop rumah. Hari ini dia tak punya semangat, hanya mengusap perut sambil manyun. Rufy sedang ada kelas. Karena masalah bahasa, anak itu harus homeschooling untuk belajar Bahasa Inggris dan mandarin sebelum memasuki taman kanak-kanak. Apalah daya ibunya. Bahasa Mandarin Vinza pun hanya sebatas bahasa untuk sehari-hari. Itu pun Vinza tak mampu membaca tulisan mereka. Cahaya matahari terasa hangat di awal musim gugur. Pepohonan mengalami kerontokan daun di bulan Oktober ini. “Aku mau jalan-jalan. Mau beli bala-bala,” batinnya. Di saat seperti ini, Vinza lekas mengambil ponselnya. Ia telpon David saat itu juga. “Kenapa?” tanya David. “Mau bala-bala,” pinta Vinza. “Bercanda kamu? Beli bala-bala di mana di Hongkong?” “Dulu di Taiwan ada,” keluh Vinza. “Terus aku harus ke Taiwan dulu gitu? Dateng ke rumah sudah basi itu bala-bala,” omel David. Vinza menunduk lesu. “Vid, ternyata cinta kita hanya sampai gorengan bala-bala,” keluh Vinza. “Tu