Selesai berpakaian, David kembali harus berurusan dengan cara makan anaknya. Terdengar beberapa kali bunyi sendok dan piring beradu. “Kamu kalau makan bisa enggak bunyi apa? Aku pusing dengarnya!” omel David. Rufy naik dan berdiri di kursi. “Uapin! Upi dak bisa,” pinta Rufy. “Aku juga mau makan,” timpal David. Rufy merengut. Ia kembali duduk. Hendak tangannya mengambil makanan, David langsung berteriak. “Stop!” tegas David. Rufy terhenti. “Pelayan! Suapi Tuan Muda!” titah David.Rufy menyipitkan mata. “Oom teiak teiak aja. Dak nuluh olang tua!” omel Rufy. “Tadi juga kamu nyuruh aku nyuapi kamu,” balas David. “Itu minta,” ralat Rufy.David merengut. “Apa bedanya?” “Tau, ah! Oom galak!” protes Rufy. Pelayan lekas mengambil sendok dan menyuapi Rufy. Sedang David masih makan. “Tuan Muda, Nona Viane menelpon. Dia tanya kapan anda kembali ke Bogor?” ungkap sekretarisnya. “Katakan padanya. Aku ada di Batam.”“Nona Viane mengatakan, dia ingin anda yang memberi tahu sendiri keberadaan
“Silakan duduk. Tuan Lau akan turun sebentar lagi,” jelas pelayan itu lalu meninggalkan mereka. “Ini rumah orang yang nemuin anak saya, Pak?” tanya Vinza. Polisi yang mengantarnya mengangguk. “Menurut keterangan beliau, kalian saling mengenal,” ungkap polisi itu. Vinza nyengir. Seingatnya, tak pernah mengenal orang yang bernama Lau. Dari nama saja sudah terdengar bukan orang Sunda. Vinza yang besar di kampung di daerah Jawa Barat, rata-rata mengenal orang dari sukunya. Di Taiwan pun ia masih anak rumah, paling ke toko makanan dan mengajak Nenek ke taman. “Tuan Muda Lau sudah datang.”Vinza dan polisi berdiri untuk menyambut pemilik rumah. Namun, wanita itu malah dikejutkan karena melihat sosok mantan kekasihnya di sana. “David!” tunjuk Vinza dengan suara keras. Matanya terbelalak. David duduk santai menghadap mereka. “Saya ucapkan rasa terima kasih yang dalam sudah mempertemukan wanita ini dengan saya, Pak,” ucap David. Tak lama terdengar suara Rufy memanggil. “Bunda!” teriak an
“Tunggu!” David menahan pintu. Vinza berdiri sambil menggendong Rufy. Mereka saling berhadapan dalam jarak dua meter. Pria itu merapikan dasinya. “Kamu tinggal di mana? Pulang dari sini naik apa?”“Bukan urusan kamu!” timpal Vinza. “Tentu jadi urusanku. Kamu bawa anakku. Tempat tinggal, akomodasi dia tentu harus dijamin. Makanannya apalagi! Dia anakku. Aku enggak mau dia hidup kekurangan kayak aku dulu.”“Dengar! Aku kerja jauh-jauh ke luar negeri kamu pikir buat piknik? Di sana aku nyari uang banyak buat menuhin kebutuhan dia,” timpal Vinza. “Paling berapa, sih?” David balas menyindir. “Ouh, sombong banget kamu! Kamu pikir karena sudah jadi kaya, terus jadi oke?” Vinza memutar matanya. “Awas! Aku mau pulang!” “Mr. Hang!” panggil David. Tak lama sekretarisnya datang. “Saya menunggu perintah anda, Tuan Muda.”“Panggilkan sopir untuk mengantar wanita ini dan Tuan Muda. Pastikan rumah mereka layak huni. Jika tidak, hubungi aku!” tegas David. Pria itu langsung berjalan masuk sementa
Viane tersenyum. Ia berdiri dan menghampiri David. Hanya setiap Viane mendekat, David yang akan menjauh. “Kamu kenapa, sih? Kita akan menikah dan sebentar lagi aku akan jadi istri kamu.”“Bukannya aku bilang kalau aku ini punya istri?”“Aku enggak percaya Damier. Selama ini kamu menutup diri dari wanita.” Viane mendekat. Ia simpan kedua lengan di bahu David. Namun, David langsung mendorong wanita itu menjauh. “Kami sudah hidup bersama selama ini dan punya anak. Aku akan umumkan anak kami dalam waktu dekat.”Viane tersenyum licik. “Kamu pikir membatalkan pernikahan akan semudah itu? Kamu lupa bisnis apa yang akan jadi korban dengan batalnya ini? Papaku tidak akan diam saja.”David tersenyum sinis. “Bisnismu, bukan bisnisku. Aku memang anak kemarin sore. Hanya saja kamu tahu alasannya kenapa Papaku mempercayakan banyak hal padaku. Termasuk bisnis keluarga kamu dan aku. Lebih baik kamu pergi dari sini sebelum aku mengusir kamu!” tegas David. Viane mengambil ponsel dari tasnya. Ia menel
Rufy diajak masuk sementara Vinza melanjutkan beres-beres. Ia naik ke atas kursi untuk memasang pakaian ke gantungan yang ada di sisi paling atas. Tak lama Adam keluar. “Anak kamu gampang banget akrab sama orang lain, Vin. Dia mau main sama Galih di dalam.”“Alhamdulillah.” Vinza turun dari kursi. Ia simpan benda itu di sisi toko. “Kayaknya aku mau minta ibu cari orang baru, Pak. Aku mau pulang ke Cibeber.”“Kok? Memang di sini kenapa?” tanya Adam. Vinza menggaruk pergelangan tangan sekaligus menaikan kerah kaosnya. “Ada urusan keluarga. Uangku selama ini dilarikan sama pamanku. Jadi aku mau nuntut itu. Setidaknya balik sebagian,” jelas Vinza. “Banyak?” tanya Adam. Vinza mendengar dari Bu Hamid yang selama ini sering jadi teman bercerita Romlah. Pada Bu Hamid, Romlah mengaku hanya dapat dua juta setiap bulan. “Aku kerja di Taiwan selama dua tahun. Anggap uang bulan pertama untuk biaya berangkat dan bulan akhir untuk pulang. Sisa dua puluh dua bulan dikalikan sepuluh juta,” ungkap
Biru kaget luar biasa. Saat ia bangun dan hendak sarapan, sudah bertambah satu anggota keluarga di sana. “Vid, ngapain kamu di sini?” tegur Biru. Pria yang ditegur diam saja, begitu tenang memakan sereal dengan susu cokelat. Biru rebut sendoknya. “Jawab!” paksa Biru.“Makan,” jawab David sekenanya. Langit yang mendengar itu terkekeh. “La, aku enggak suka, ya ... kamu senyum-senyum sama dia.” Tak lama tangan Biru mengetuk-ngetuk meja di depan David. “Jawab!”“Aku enggak mau di rumah, Pak. Terkontaminasi.”“Ada apa memang?”“Kutilanak,” timpal David. “Pria macam apa itu! Kata guru agamaku, kuntilanak itu enggak ada. Itu cuman jin yang nyamar kayak badut!” Minara ikut dalam obrolan. Mulutnya belepotan dengan selai cokelat. “Ara, kamu diam saja. Papa lagi ngobrol serius sama dia!” tegas Biru. “Orang dewasa egois dan rumit. Pikiran yang terbelakang!” Anak itu melipat tangan di dada sambil mendengkus. “Aku menginap di sini sementara waktu. Sampai aku temukan tempat sembunyi,” jelas Da
“Mau, Bunda.” Rufy malah berusaha melepaskan diri. Vinza usap rambut putranya. “Bunda ....”“Kenapa? Kan sama saja?” tanya David bingung karena anak itu tak mau dia gendong. “Sama Ayah dulu, ya? Bunda sakit tangan. Dari tadi sudah Bunda gendong,” pinta Vinza. Rufy manyun dan terpaksa diam. “Ouh, sekarang aku sudah diakui jadi ayahnya?”“Kalau enggak mau, enggak usah,” balas Vinza. “Mau.” David terdiam beberapa saat. Dalam gendongan tubuh David yang tinggi, Rufy malah bisa melihat banyak hal lebih luas. Ia melihat ke arah belakang. Rambutnya tertiup angin sepoi-sepoi. “Bapak sama Ibu kamu apa kabar?” tanya David. “Bapak sudah meninggal setahun lalu. Ibu meninggal beberapa bulan lalu. Sama-sama sakit. Bapak kena Stroke. Dan ibu? Aku malah enggak tahu dia sakit. Dia enggak bilang sama aku. Soalnya waktu itu aku masih di Taiwan,” ungkap Vinza. “Taiwan? Ngapain?” tanya David kaget. “Kerja. Dari Rufy masih enam bulan, aku kerja di sana. Syukur dia mau dekat denganku. Aku pikir awalny
“Kenapa memang?”“Kamu pulang bawa Rufy. Aku akan cari dia,” tegas David. “Polisi sudah cari dia, kok. Enggak usah repot-repot.”“Sudah pulang sana. Ini urusan lelaki. Kalau sudah ketemu, aku bawa ke depan kamu.”Vinza pulang diantar sopir keluarga Bamantara. Sementara David pergi ke Silver tower, gedung milik perusahaan Bamantara. Di sana ia meminta sebuah ruangan untuk melancarkan aksinya. “Orang ini! Temukan dia!” tegas David pada staf yang sudah ia percayai untuk melakukan spionase. David duduk di depan laptop. Ia masih mencoba menemukan jejak digital Udin dan keluarganya. Beberapa perwira polisi kenalan Biru, ia hubungi juga.Sedang Vinza terus kepikiran. “Emang dia bisa nyari Mang Udin? Dia pikir dia itu polisi!” Dia sangat tidak percaya akan kemampuan pria itu. Baginya David hanya pria yang menghamili dan meninggalkannya begitu saja. Pria yang sering main game online sampai lupa belajar dan nilainya kecil. Tak lama ponselnya berdering. Vinza angkat telpon itu. “Mang Udin ada