"Apa kau mengenal perempuan yang bersama ayah mu itu?" tanya Sean yang sebenarnya ia sendiri sudah tahu siapa wanita yang bergandengan tangan bersama Frans.
"Di...a...dia...dia adalah alasan di balik ibu ku meninggal." jawab Aurora gugup. Hati nya kembali perih ketika mengingat bagaimana ibu nya meninggal.
Sean tahu betul, bagaimana rasa nya kehilangan seorang ibu. Perjalanan pulang ke mansion cukup jauh, Aurora tak banyak bicara, sejak Sean mengajaknya pulang seketika senyum dan tawa nya menjadi hilang dalam sekejap.
Sesampainya di mansion, gadis itu bergegas masuk ke dalam kamar nya. Begitu juga dengan Sean, lelaki itu masih terngiang bagaimana ia harus kehilangan ibu nya dulu.
"Aku bersumpah,..." ucap Sean dengan sorot mata tajam "Aku bersumpah akan mencari siapa dalang dari kecelakaan kapal itu? Dia harus membayar mahal akibat dari rasa kehilangan aku dan adik ku!" timpal Sean bertekad.
Ketika Sean berumur lima belas tahun dan Allena berumur sepuluh tahun. saat itu adalah hari perayaan ulang tahun pernikahan ke dua orang tua mereka. Anderson mengajak keluarga kecil mereka pergi berlibur ke pulau pribadi milik keluarga Egalia. Namun, kapal yang mereka tumpangi tiba-tiba karam dan perlahan tenggelam. Sean saat itu bisa berenang sedangkan Allena harus di bantu oleh Andreson. Kepanikan akan anak-anak nya membuat Andreson lupa untuk menyelamatkan istri nya yang ternyata tidak bisa berenang.
Sejak Anderson memberi tahu Sean jika kapal yang mereka tumpangi telah di manipulasi oleh orang dalam, sejak saat itu Sean bertedak untuk membalas dendam. Sebenarnya, sudah sejak lama Sean mencurigai satu orang namun kurang nya bukti membuat pria itu enggan bertindak gegabah.
Selesai mandi, Sean pergi menuju kamar Aurora, lelaki itu memanggil Aurora untuk segera keluar dari kamar nya.
"Ada yang bisa saya bantu tuan?" tanya Aurora hati-hati. Desir jantunt gafis itu tidak henti nya menebak akan tugas yang di berikan oleh Sean.
"Ikut aku...!" perintah pria itu dengan suara dingin nya.
Paman Smith memandang curiga, lelaki paruh baya itu sangat takut jika Sean akan melakukan hal yang tidak masuk di akal lagi. "Aku ingin kau berlatih!" ucap Sean datar membuat gadis itu mendongakan kepala nya.
"Berlatih?" ulang gadis itu bingung.
"Ya,..aku ingin kau menguasai setidak nya dua jenis bela diri." lelaki itu tiba-tiba melemparkan pakaian ganti untuk Aurora berlatih. "Ganti pakaian mu, malam ini kau akan berlatih bersama ku.
"Tapi untuk apa?" tanya Aurora bingung.
"Dasar bodoh!"cibir Sean. "Jika suatu saat ada yang hendak membunuh mu, kau harus bisa melawan!"
Tak mau membantah perintah Sean, gadis itu bergegas berganti pakaian. tak berapa lama, Aurora telah siap. Gadis itu mengikat rambut nya bagai buntut kuda, memperlihatkan leher jenjang putih hingga membuat Sean menelan saliva nya sendiri.
Dari pada Aurora mengerjakan hal tidak masuk di akal, lebih baik ia berlatih seperti ini. Pemanasan dan gerakan dasar, sudah membuat gadia itu kelelahan. Malam semakin larut, Sean lupa jika tenaga diri nya berbeda dengan Aurora.
Lelaki itu terus memaksa gadis itu untuk terus berlatih hingga Aurora mengalami terkilir pada kaki nya. Wajah nya memucat bahkan tak segan gadis itu mengeluarkan air mata menahan sakitnya. Sean sejenak terdiam lalu beranjak dan langsung menggendong gadis itu.
Entah kenapa, ada desiran aneh dalam benak Sean. Melihat air mata gadis itu tumpah, ia merasa bersalah. Paman Smith bergegas membantu Sean, membawakan es batu untuk meredakan sakit dari pergelangan kaki Aurora. Paman Smith mencoba memijat pergelangan kaki Aurora hingga membuat ia berteriak menahan sakit. Tangan nya kuar mencengkam otot kekar Sean.
"Kau menyakiti nya...!" bentak Sean pada Smith lalu menyingkirkan tangan lelaki paruh baya itu.
"Tidak tuan, maafkan saya. Esok pagi kaki nona Aurora akan segera pulih." paman Smith mencoba menjelaskan.
"Apa masih sakit?" tanya Sean memijat lembut kaki gadis itu. Entah sejak kapan Sean menjadi tertarik dengan gadis yang di beli nya beberapa bukan lalu.
"Tidak, sudah mendingan." jawab Aurora sedikit takut.
"Aku akan mengantar mu ke kamar." ujar Sean lalu mmenggendong gadis itu menuju kamar. Paman Smith mematung, memperhatikan perubahan tuan nya. Lelaki paruh baya itu hanya bisa membututi dari belakang.
Dengan sangat hati-hati Sean merebahkan bobot tubuh yang seperti kapas itu. "Terimakasih..." ucap Aurora tulus, gambar mata nya menampakan kehangatan.
"Istirahat lah." sahut Sean datar kemudian pria itu keluar dari kamar Aurora. Meski seperti itu, Sean memberikan Aurora fasilitas kamar yang lumayan. "Berikan dia makanan yang enak dan jangan biarkan tubuh nya kurus." perintah Sena pada Smith. Dengan santainya, Sean kembali ke kamar nya. Entah kenapa malam ini hati nya sedikit berbunga-bunga.
Tak pernah sebelum nya paman Smith melihat sikap Sean yang seperti ini. "Setidaknya dia tidak menyiksa Aurora kembali." batin paman Smith mengucap syukur.
Pagi menjelang, dengan penuh semangat paman Smith mengerjakan apa yang di perintahkan Sean tadi malam. Berbagai hidangan dab jenis makanan telah terhindang di atas meja makan yang berlapis emas itu.
"Di mana di sekarang?" tanya suara mengejutkan paman Smith.
"Masih di kamarnya tuan." jawab paman Smith mencoba menstabilkan jantungnya. Sean kemudian pergi menuju kamar Aurora, masuk begitu saja hingga membuat gadis itu terkejut.
"Jika kau lapar, keluar lahlah!" ucap Sean tanpa ekspresi.
Aurora hanya mengangguk lalu turun dari atas tempat tidurnya. Dengan langkah tertatih gadis itu mengekor di belakang langkah Sean yang lebar.
Sean menoleh kebelakang dan Mendapati gadis nya masih menahan sakit dari raut wajahnya. Sean membuang nafas kasar, lelaki itu berbalik arah lalu menggendong Aurora tanpa permisi.
Aurora yang terkejut hanya bisa mengatur detak jantung dan menstabilkan bentuk mukanya. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka berdua. Sean mendudukkan gadis nya di kursi lalu mereka saling berhadapan.
"Terimakasih..." ucap Aurora gugup.
"Makanlah, kau masih harus berlatih lebih keras lagi." suara yang biasanya sangat dingin itu tiba-tiba terasa habgat merasuk di hati Aurora. Bukan hanya Aurora, paman Smith juga merasakan hal yang sama. "Cepat makan!" perintah Sean sekali lagi.
Dengan perasaan ragu Aurora mengangkat ke dua sendoknya. Mereka makan dalam diam, hanya ada dentingan sendok yang berirama menghempas piring mahal.
"Apa kaki mu masih sakit?" tanya Sean membuka suara. "Jika masih sakit, aku akan membawa mu ke rumah sakit." timpal nya kembali.
"Tidak, tidak terlalu sakit." sahut Aurora.
"Mulai sekarang, jangan melakukan pekerjaan apa pun kecuali atas perintah ku!" ucap Sean membuat gadis itu semakin merasa aneh dengan sikap pria itu.
"Kenapa tidak mempekerjakan ku saja? Aku ingin membayar diri ku sendiri." gadis itu membuka suara. Sejak di kamar tadi, ia sudah bertekad untuk memperjelas hidupnya.
Sean meletakan ke dua sendok nya laku menatap manik mata indah yang terlihat menahan rasa takut nya itu. "Kau ingin bebas dari ku?" tanya nya dengan suara dingin.
"Aku manusia, meski ayah sudah menjual ku pada mu, setidak nya aku berharap sebuah kebebasan yang aku sendiri tidak tahu kapan aku bebas dari mu. Apa itu salah?" Sejak kapan gadis itu banyak bicara, Aurora hanya tertunduk diam ketika Sean terus memandangnya. "Tuan, aku sangat iri dengan burung di luar sana..!"
Sean tak menjawab, pria itu malah meninggalkan Aurora di meja makan nya. Aurora semakin meremas tangan nya, gadis itu sudah bisa menebak hukuman apa yang akan di berikan lelaki itu.
Bulan telah berganti bulan, Aurora sudah belajar banyak hal tentang ilmu bela diri. Bahkan gadis itu belajar bagaimana cara menembak dan memanah. Keinginan nya untuk keluar dari mansion ini sudah tipis. Aurora hanya berpikir jika ia keluar akan kemana dirinya pulang. Ayah? tidak,jika ayah nya tahu dia bebas sudah pasti Aurora akan di jual kembali.Sean juga memberi nya guru untuk belajar beberapa bahasa luar. Aurora sangat pintar, tak butuh waktu lama untuk mengajari gadis itu. Sean sangat kagum pada kepintaran gadis itu.Ada satu hal yang membuat Sean jengah, Julian dan Aurora sangat akrab bahkan Aurora bisa tertawa lepas dengan Julian. Sedangkan dengan Sean, hanya ada rasa canggung ketika mereka sedang berdua."Tidak bisakah kau pergi ke kantor? hampir setiap hari kau datang ke mansion ku!" ucap Sean kesal. Meski Sean sedang menekuk wajah nya, namun lelaki itu tetap terlihat sangat tampan."Kau mengusir ku?" dengan enteng nya Julian bertan
Sean mengajak Aurora bicara hanya empat mata tanpa siapa pun yang boleh masuk ke ruang kerja nya. Aurora hanya diam karena gadis itu takut untuk bertanya. Tiba-tiba, Sean menyodorkan selembar kertas kepada Aurora."Apa ini?" tanya gadis itu bingung dan tidak berniat untuk mengambil nya."Jika kau menandatangani ini,maka kau akan bebas!" seru Sean membuat Aurora semakin bingung maksud dari lelaki itu. "Baca lah...!" perintahnya, dengan perasaan takut Aurora mengambil kertas tersebut lalu membacanya inci demi inci tulisan yang di ketik komputer itu."Apa ini? apa maksud dari semua nya? aku harus menikah dengan mu?" rentetan pertanyaan itu keluar dari mulut gadis yang masih bingung dengan isi penjelasan dalam kertas itu."Ya, setuju atau tidak setuju,kau akan tetap menikah dengan ku selama satu tahun. Jika kau berhasil bertahan dalam satu tahun dengan waktu aku yang tentukan, kau boleh pergi dari sini." Sean mencoba menjelaskan maksudnya.
Saat ini, Andreson sedang memandang Aurora dari ujung kaki hingga kepala, sorot mata nya tajam seakan mengintimidasi gadis yang sedang menundukkan kepala itu. Sedangkan Allena, gadis itu sangat senang ketika melihat kedatangan kakak nya dan juga calon ipar nya.Aurora lebih tua satu tahun dari Allena, namun sikap manja Allena membuat dia terkesan seperti anak-anak sekolah menengah atas. Namun, Sean belum membuka suara untuk memperkenalkan Aurora pada Andreson."Siapa nama nya?" suara berat khas Andreson tertuju pada Sean."Kenalkan diri mu...!" perintah Sean pada gadis yang sejak tadi berkeringat panas dingin itu."Perkenalkan, nama saya Aurora..." tenggorokan Aurora seakan cekat menahan ketakutan."Hai kak Rora, nama ku Allena." sapa Allena dengan senyum yang terus menghias di wajah nya."Hai....Allena," sapa balik Aurora dengan senyum manis nya."Kami akan menikah besok...!" kali ini Sean memb
"Kenapa uncle malah mengizinkan perempuan itu menikah dengan Sean?" Alice bertanya dengan nada tingggi, emosi gadis itu sudah menjulang di atas kepala nya."Turunkan sedikit nada bicara mu!" tegur Andreson memandang tidak suka dengan ketidaksopanan Alice.Alice mengerutkan kening nya, gadis itu sejenak terdiam sambil mencerna perkataan Andreson. "Uncle membela nya?" Alice bertanya dengan suara datarnya.Awalnya Andreson tidak menyetujui pernikahan Sean dan Aurora, namun ketika Andreson melihat jauh lebih dalam ke dua bola mata Aurora, ada sesuatu yang harus dirinya pikirkan. "Menikah dengan siapa pun, itu hak Sean. Aku tidak bisa melarang nya." gumam Andreson kemudian beranjak pergi meninggalkan Alice yang sudah menahan emosi nya sejak tadi.Gadis itu mengepalkan ke dua tangannya, mata nya memerah tidak terima atas penghina yang telah di berikan Sean. "Aku harus menyingkirkan perempuan!" ucap Alice dengan menggerakkan gigi nya. Alice kem
Sesampainya di mansion, Sean merasa tidak enak hati kepada istri nya. Perlakuan Alice yang menjorokan kepala Aurora membuat lelaki itu geram. Aurora bukan gadis yang suka melawan, sudah tentu itu membuat Sean semakin merasa kesal. Sean tersadar jika Aurora belum makan apa pun di restoran tadi."Tuan membutuhkan sesuatu?" tanya paman Smith ketika melihat raut wajah Sean yang berubah-ubah."Siapkan makan siang, Rora belum makan apa pun." perintah Sean seakan lelaki itu terlihat khawatir."Baik tuan..." paman Smith langsung pergi ke dapur. Sean kembali ke kamarnya, namun lelaki itu terlihat gelisah dan dia sendiri tidak tahu penyebabnya."Ah,...sial...!" umpat Sean kesal.Tak berapa lama, paman Smith memanggil Sean, "Makan siang sudah siap tuan.", lelaki paruh baya itu memberitahu."Hmmmm....aku akan segera turun." sahut lelaki itu dari dalam kamar.Sean kemudian keluar dari kamar dan langsung pergi ke
Televisi menyala, namun bukan Aurora yang menonton nya melainkan televisi yang menonton diri nya. Sean yang baru masuk langsung mematikan televisi lalu menghampiri Aurora yang masih terlelap. Sungguh, wajah polos itu mampu membuat hati Sean menghangat.Sean berlutut, mengusap lembut pipi putih milik Aurora. Bibir Sean melengkung, memancarkan senyum yang tak di lihat oleh Aurora. Gadis itu tiba-tiba menggeliat, Sean buru-buru berdiri."Sudah bangun?" tanya Sean membuat Aurora langsung duduk.b"Maaf, aku ketiduran." ucap gadis itu dengan suara serak khas bangun tidur."Ayo pergi, sekarang jam makan siang. Cuci dulu wajah mu." perintah Sean lalu bergegas Rora pergi mencuci wajah nya.Sean dan Aurora juga Julian pergi makan siang di restoran langganan mereka. Gadis itu tidak banyak bicara, seakan hidup nya sangat membosankan.Sean memesan banyak makanan, mereka makan saling mengobrol terkecuali Aurora. Gadis itu tidak
"Apa kau masih marah?" tanya Sean kepada gadis yang setengah menikmati sarapan nya itu.Aurora mengangkat wajah nya lalu berkata, "Tidak ada yang perlu aku marahkan. Untuk apa? kau tidak ada hubungannya dengan semua ini."Kata-kata Aurora membuat lelaki itu terdiam. Gadis ini sudahlah pendiam, di tambah lagi sekarang wajah nya berubah dingin. Seperti ada selapis salju yang menghiasi wajah Aurora.Hari telah berganti, tak terasa usia pernikahan Sean dan Aurora sudah lewat dari satu bulan. Namun, pernikahan mereka bukan seperti pernikahan biasanya. Meski hubungan sepasang suami istri itu sudah mulai akrab, namun Aurora lebih suka menjaga jarak dengan Sean."Daddy meminta kita untuk pulang." ujar Sean memberitahu istrinya."Aku sih, terserah saja!" jawab Aurora dengan suara datarnya. Sean sangat tidak suka dengan sikap gadis itu, Aurora akan bicara jika Sean yang memulai, meski satu bulan ini mereka selalu pergi berdua, namun
Allena sangat senang ketika kakak nya mengajak Aurora makan malam di rumah. Gadis yang biasanya kesepian kini terlihat nampak bahagia dengan kehadiran Auroran. Masih sama, Andreson selalu menatap tajam ke arah Aurora yang sejak tadi makan sambil mengobrol bersama Allena. Sean menyadari hal itu, namun diri nya masih enggan untuk bertanya pada Andreson."Siapa nama ibu mu?" tanya Andreson tiba-tiba membuka suara. Sean mendongak lalu bertanya balik. "Daddy bertanya dengan siapa?""Dengan istri mu...!" seru nya.Aurora diam, gadis itu menoleh ke arah suami nya dan menjawab. "Camelia...." jawab Aurora membuat Andreson memegang dada nya nyeri."S-siapa nama ayah mu?" Andreson semakin penasaran."Harryson....!" jawab Aurora.Andreson meninggalkan meja makan, membuat anak dan menantu nya kebingungan. Aurora terutama Sean merasakan hal aneh yang terjadi dengan Daddy nya."Daddy kenapa?" tanya Aurora ketakuta
"Cepat katakan pada ku, Jhon. Apa tujuan mu yang ingin menghabisi keluarga ku?" Sekali lagi Andreson bertanya pada Jhon yang sampai saat ini masih tidak mau membuka suara. "Papi,.....!!" Lirih Alice memalingkan wajahnya saat melihat tuan Andreson menginjak bekas luka tempak di kaki Jhon. Cuiiiiih............Jhon yang tidak memiliki rasa takut meludahi sepatu milik Andreson. Anderson menoleh ke atas bawah, pria ini merasa jijik lalu mengusapkan sepatunya ke arah wajah Jhon. Emosi Andreson telah memuncak, pria paruh baya ini dengan bringas menembaki tubuh Jhon. Dor.....Dor.....Dor.....Dor......Empat peluru bersarang tepat di dada Jhon, Alice yang melihat hal tersebut tentu saja histeris. Jhon di tembak mati tepat di depan mata anaknya. "Papi,....papi......papi.....!!" Alice berteriak histeris, ingin rasanya wanita ini menghampiri tubuh Jhon tapi apa daya ia sendiri di kurung di kurungan yang berbeda. "Kedua anak ku telah merasakan kehilangan salah satu orang tua. Bagaimana A
"Oh, badan ku sakit semua. Apa ini yang di rasakan Aurora saat aku menyuruhnya menguras kolam renang?" Batin Sean. Sean memijat sendiri tangan dan kakinya yang terasa lelah. "Pegal ya?" Tanya Aurora yang sebenarnya sudah tahu jawabannya."Aku minta maaf karena aku pernah menyuruh mu menguras kolam renang waktu itu," ucap Sean merasa bersalah. "Makanya, kalau mau melakukan sesuatu itu di pikir dulu. Tidak semua orang memiliki tenaga yang kuat." Sean menggesekkan kepalanya di pundak Aurora. "Aku benar-benar lelah. Tangan dan kaki ku sakit sekali, aku tidak bisa tidur!" Keluhnya. "Berbaringlah, aku akan memijat mu!" "Tapi sudah malam, kau harus segara tidur!" "Tidak apa-apa. Baru jam sepuluh malam,aku akan memijat mu setengah jam!" "Seriusan?" Tanya Sean memastikan. "Tapi tidak gratis!" Ujar Aurora yang mencari kesempatan. "Katakan, berapa yang harus aku bayar?" "Tidak mahal, cukup ajak aku pantai. Aku rindu suasana laut!" "Hanya itu?" "Ya," jawab Aurora singkat. "Baiklah,
"Di mana Daddy dan kak Sean?" Tanya Allena penasaran. "A-ada,...!" jawab Rora gugup. "Mereka sedang ada pekerjaan!" Allena mengerutkan keningnya heran dengan sikap Aurora yang terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. "Kak, apa kakak sakit?" Tanya Allena penasaran. "Aku baik-baik aja. Allena, apa aku boleh bertanya sesuatu pada mu?" "Katakanlah, apa kak?" "Tentang kakak mu, apa dia tidak memiliki kekasih?" Tanya Aurora membuat Allena tertawa. "Kulkas delapan pintu seperti kak Sean tidak akan ada perempuan yang bisa meluluhkan hatinya. Percayalah!" "Kulkas delapan pintu, apa dia sedingin itu?" "Kak, lihatlah kehidupan kak Sean. Hidup menyendiri di tengah hutan, kakak saja yang mau jadi istrinya!" Allena mengupas menertawakan kakaknya sendiri. Menurut Allena, Sean sangat aneh yang tidak mau tinggal di tengah keramaian. "Jangan takut untuk jatuh cinta dengan kak Sean. Dia adalah tipe laki-laki setia," ucap Allena. "Dia pernah menyiksa ku," adu Aurora. "Hah? menyiksa bagaimana
Aurota langsung menutup matanya saat Sean menunjukan keadaan Alice yang sudah tak beraturan. Wajahnya yang memar bahkan luka ada di mana-mana. Rambut Alice di potong acak-acakan, Aurora merasa kasihan pada wanita yang sudah menculiknya ini. "Aku tidak mau melihat dia,"ucap Aurora yang masih menutup kedua matanya. "Siapa pun yang berani menyentuh mu, akan ku buat dia jauh lebih menderita." Ujar Sean yang menatap tajam ke arah Alice. "Kau sudah melewati batasan mu Sean!" Ucap Alice yang masih memiliki tenaga. "Batasan mana yang aku lewati?" Tanya Sean dengan wajah dinginnya. "Bisa-bisa kau lebih memilih perempuan yang baru kau kenal di banding aku yang sudah mengenal mu sejak kecil. Kau benar-benar keterlaluan Sean!" "Kau lupa di saat keluarga mu sedang berduka aku dan anakku lah yang sudah menghibur mu dulu," ucap Jhon mengingatkan. "Dan kau pasti masih ingat yang sudah membuat aku dan anak ku berduka?" Suara berat Andreson mengejutkan mereka yang ada di dalam ruangan tersebut
Kembali pulang ke mansion, Aurora langsung masuk ke dalam kamar nga sedangkan Sean pergi ke salah satu tempat yang ada di mansion nya. Wajah nya dingin, bahkan paman Smith tidak berani untuk menyapa pria yang terlihat sedang marah sekarang. Langkah Sean yang lebar, membuat nya sedikit cepat dalam berjalan. Dua orang pria bertubuh besar membukakan pintu untuk pria itu, Sean masuk lalu pintu tersebut di tutup kembali. Yang ada dalam pikiran Sean, wajah memar Aurora yang sampai sekarang belum memudar. Benarkah laki-laki ini telah jatuh cinta pada Aurora? sedangkan pernikahan nya hanya tinggal beberapa bulan saja. "Sean, lepaskan aku!" teriak Alice ketika wanita itu melihat Sean dari balik jeruji besi. Sean tak bergeming, wajah pria itu semakin dingin. Sean memandang lekat rambut panjang Alice, bibir Sean langsung tersungging. "Apa Jhon Charles sudah mati?" tanya Sean dengan suara berat nya. "Lepaskan aku Sean, bagaimana bisa kau memperlakukan teman masa kecil mu seperti ini?" lagi-l
Alice memainkan gunting di tangan nya, wanita itu tersenyum licik memandang Aurora yang sedang ketakutan. Jhon melipat ke dua tangan nya, pria itu sangat mendukung apa yang di lakukan oleh anak nya. Alice maju selangkah, membuat Aurora mundur dengan sisa tenaga nya. "Jangan sakiti aku!" mohon Aurora namun nyata nya Alice masih mencoba menakuti Aurora. "Kau sudah menghalangi ku untuk mendapatkan Sean. Jadi, kau harus lenyap agar aku bisa menjadi satu-satu nya ratu dalam hidup Sean." ucap Alice dengan bangga nya. Sementara itu, Sean dan Julian cukup kesulitan untuk mencari Aurora. Sudah berapa kali Sean berusaha melacak keberadaan istri nya namun tidak bisa. "Seharusnya, menurut pelacakan ku Aurora ada di sekitar sini." ujar Sean bingung. "Apa kau yakin, apa chip itu bekerja dengan baik?" tanya Julian memastikan. Sean kemudian menunjukkan ponsel nya pada Julian, seharusnya Aurora ada di lorong ini namun mereka tidak menemukan siapa pun di sini. Sean kemudian melanjutkan pencarian n
Andreson marah besar kepada Sean pada saat diri nya mengetahui jika menantu nya itu telah di culik. Lelaki paruh baya itu mengepalakan ke dua tangan nya geram. Andreson bahkan dengan tega menampar wajah Sean hingga membuat Allena dan Sean saling pandang kebingungan. Bukan kah selama ini Andreson tidak merestui pernikahan Sean dan Aurora, lalu kenapa dia begitu marah ketika mengetahui Aurora telah di culik. "Bukankah aku telah memberi mu perintah untuk menjaga istri mu? lalu kenapa kau begitu ceroboh Sean?" suara berat itu menggema di ruang keluarga hingga membuat Sean bergidik ngeri ketika menatap mata merah milik Daddy nya. "Aku hanya meninggalkan istri ku sebentar untuk mengambil pakaian nya." sahut Sean lagi-lagi mendapatkan tamparan keras dari Daddy nya. Allena ketakutan, gadis itu memilih masuk ke dalam kamar. Gadis itu hanya berharap jika kakak nya tidak akan mati dj tangan Daddy nya. "Kenapa kau begitu bodoh...? apa guna nya kau memiliki banyak anak buah?" tanya Andreson mem
Aurora mulai mengerjapkan mata nya, gadis itu sudah sadar namun belum sepenuhnya sadar. Pandangan mata nya masih kabur, kepala nya masih sangat pusing juga tubuh nya sangat lemas tak berdaya. Bahkan Aurora tidak bisa mengenali sosok pria yang ada di depan wajah nya yang seperti sejak tadi memanggil nama nya."Sean.....!" ucap nya lirih setelah gadis itu sudah berhasil mengumpulkan kesadaran nya. "Rumah sakit...?" gumam nya lirih."Ya, kau ada di rumah sakit. Kau sudah berhasil membuat ku khawatir semalam. Apa kau puas?" lekai itu tidak bisa mengontrol emosi nya."Maaf tuan, pasien belum sepenuhnya pulih. Tolong jangan membuat keributan." Dokter perempuan itu menegur Sean dengan tatapan tidak suka karena menurut nya Sean sudah bertindak kasar pada seorang perempuan. "Jika anda masih ingin membuat keributan, silahkan keluar!" usir Dokter tersebut tanpa tahu siapa Sean sebenarnya."Dia istri ku, aku ingin tetap di sini." sahut Sean cuek.&nb
"Apa kau serius dengan segala ucapan mu tadi Sean?" tanya Aurora dengan pandangan serius.Sean tersentak kaget namun pria itu masih bisa membuang rasa keterkejutan nya dengan pertanyaan Aurora. Sebagai seorang lelaki Sean tidak mau ingkar pada ucapan nya. "A-aku...serius...!" jawab nya tegas namun terdengar jelas suara nya gugup.Aurora kemudian tidak bersuara lagi, gadis itu memilih naik kapal lalu duduk menyendiri. Begitu juga dengan Sean yang memilih untuk duduk menyendiri karena lelaki itu sungguh sangat menyesal dengan segala ucapan nya. Cukup lah bagi Aurora untuk berpikir selama perjalanan pulang, pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk memilih pergi dari kehidupan Sean."Jika kau serius dengan ucapan mu, maka aku akan pergi sekarang!" seru nya ketika Sean baru saja menginjakan kaki di daratan.Langkah Sean terhenti, pria itu menatap mata istri nya dengan penuh kasih namun diri nya juga tidak ingin mengekang Aurora seperti apa yang di kata