[POV Fany]
-----
"Kamu tahu Romeo dan Juliet?"
Aku mengangguk tenang, siapa yang tidak tahu kisah legendaris mereka, cerita cinta tragedi klasik tentang sejoli yang tewas. Namun, kenapa dia membahas hal ini? "Apa rencanamu ingin supaya aku bunuh diri seperti Juliet?" Jika begitu, aku siap. Untuk bersama Adrian di akhirt, aku tidak menyesal.
Alex menggeleng kecil sambil memperlihatkan lesung menggemaskan di pipi. "Tentu saja tidak, tapi rencanaku memakai taktik seperti juliet. Berbohonglah pada kedua orang tuamu jika mau menikah denganku."
"Kamu tidak mengerti, ibu akan--"
Dengan tawa bersuara kecil, dia memotong ucapanku. "Kita akan menikah dan setelah Ibumu membebaskan Adrian, kamu bisa kabur lagi den
[POV Adrian]Sel sempit, bau, dingin, dan hening memberi waktu bagiku untuk beristirahat berselonjor di kasur lipat, berbantal tangan yang kulipat ke belakang kepala, sembari memikirkan kejadian tadi malam.Bagaimana bisa Helikopter langsung menyorot mobil kami, tanpa memberi kode terlebih dahulu?Sial, kenapa semakin lama berpikir malah semakin timbul pertanyaan bary? Tidak mungkin polisi tahu keberadaan kami tanpa ada yang memberitahu mereka.Tiba-tiba suara benda tumpul menggores tirai besi semakin mendekat, hingga sosok besar itu memberi seringai sombong menjijikkan jepadaku. Dia polisi brutal, mantan pacar Sea dulu. "Selamat pagi pahlawan, kita bertemu lagi.""Sudah pagi rupanya," jawabku, membalik badan
[POV Adrian]-----Keadaan menjadibtenang, hingga suara obrolan di ruang jauh terdengar sampai ke selku."Adrian Bened, ayo keluar, kasihan mereka menunggumu. Mereka jauh-jauh datang untukmu, Bened."Sea menanti di muka pintu yang terbuka, ketika aku duduk di tepi dipan. Mungkin dia tak sabar atau bahkan cemas melihat keadaanku, memilih menghampiri duduk di sebelah. "Ada apa Ad, ayo temui keluargamu. Jangan seperti ini."Aku menggeleng pelan. Sungguh aku bingung harus apa, mengingat baru beberapa bulan yang lalu aku bersumpah tidak akan membuat Ibu cemas."Kenapa? Kamu terkena masalah besar, mereka cemas."Wajah Sea terlihat sayu ketika tangannya memberi elusan lembut ke punggungku. "Di saat seperti ini, lebih baik berbagi dengan sahabat ata
[POV Adrian]-----Tiga sisi tembok dan satu sisi jeruji besi, semua ini membuatku kalut. Berapa hari, Minggu, atau tahun berlalu?"Pengacara tiba," ucap Sea ketika membukakan pintu jeruji besi, menyadarkanku dari lamunan. "Ayo Adrian, semangat."Aku keluar sel bersama Sea. Ketika melintasi ruang utama menuju ruang pertemuan, banyak mata memandang tanpa berkedip ke arahku. "Sea, ada apa?""Namamu terkenal. Penculik calon istri orang, berandal yang berani mencuri di kediaman Alex. Kamu pasti senang esok setelah keluar, akan banyak gadis ingin menikah denganmu.""Aku hanya ingin kesalah pahaman ini cepat berakhir," sahutku."Semoga." Sean membuk
[POV Fany]-----Beberapa hari berlalu, acara tv sama saja. Semua membahas pernikahanku dengan Alex yang akan diadakan sebentar lagi.Sampai detik ini aku belum percaya pada rencana cemerlang Alex, setidaknya sampai laporan Joshua tiba, tapi kapan?Aku mondar-mandir dalam kamar, lalu suara tawa di luar mengunggah rasa penasaran.Aku berdiri di balik gorden, bersembunyi sembari mengamati situasi di sana.Banyak pria berjas hitam berseliweran. Wajah-wajah baru yang tak aku kenal begitu serius. Orang-orang Ibu, aku yakin itu … Ya Tuhan, kenapa jadi serumit ini?Jadi begini rasa menjadi burung dalam sangkar? Apa kalian kuat menjadi diriku?Ibu menempatkan ba
[POV Fany]------Aku masuk ke dalam selimut kasur, pura-pura tidur, tapi siapapun yang berada di luar tak mau mengerti.Suara ketukan berulang diikuti suara pria terus mengusik. "Nona, aku masuk."Dia membuka pintu membuat cahaya menerobos masuk menerpa wajahku. Berani sekali dia masuk tanpa izin.Aku duduk mengucek mata. "Aduh silau, tutup pintunya!""Maaf, tapi--""Ada apa?" tanyaku dengan nada mengantuk. "Hei, kenapa malah masuk?""Maaf mengganggu, tapi pintu balkon Anda terbuka." Aduh, dia menutup rapat pintu balkon. Sekarang akan lebih sulit bagi Joshua untuk masuk.
[POV Adrian]-----Aku duduk di kursi bersebelahan dengan Tuan Trustword mendengar Hakim membuka persidangan di ruang tenang penuh wartawan yang menonton. Mungkin karena ini melibatkan Alex si jahanam, semua menjadi antusias. Sayang sekali dia tidak datang, hanya lima pengacaranya yang hadir.Aku sesekali menilik belakang, banyak orang yang aku kenal duduk berbaris, bahkan Ibu dan Kim ada di sana bersama Alfred. Mana Fany? Semoga dia baik-baik saja.Semenjak kejadian di Texas kami kehilangan kontak. Aku tidak bisa menghubunginya, begitu pula Fany seperti tidak peduli padaku--tidak, dia peduli, pasti ada jawaban untuk semua itu."Kami panggil saksi pertama, para gangster Mexican," ujar pria bersetelan jas, pengacara sewaan Alex. Mau apa dia memanggil anak
[POV Adrian]-----Kira-kira siapa saksi selanjutnya, kenapa lama sekali datang ke mari? Apa dia--Pintu dibuka dari luar diikuti suara kamera dipencet ketika cahaya flash mengguyur sosok itu. Bedebah, Alex! Kenapa dia jadi saksi?Dia berdiri gagah seperti calon Presiden akan kampanye, senyumnya menyebalkan, wajah pun menjijikkan. Harusnya kuhajar dia dulu ketika pertama kali bertemu.Sebelum Hakim bicara, dia menyela. "Saya di sini ingin menarik laporan tentang mesin yang dicuri karena memang, saya yang salah menawari Adrian mesin mobil. Semua salah paham."Semua orang berbisik-bisik, kilatan flash menyilaukan, keadaan tidak kondusif hingga Hakim mengetuk palu.
[POV Adrian]------Suara tamparan menggema dalam ruang lertemuan khusus. Ibu benar-benar murka memberi tatto telapak tangan merah ke pipiku."Kenapa kau tidak mengerti, arti kalimat jangan membuat masalah!" Suara beliau seperti letusan gunung Pompey, meluluhlantakkan hatiku.Aku harus apa? Semua memang salahku karena terlalu bodoh hingga tertelan perangkap hina Alex, yang bocah kecil pun bisa melihat dengan jelas. Aku tak berani memandang balik reaksi Ibu, juga Al dan Kim. Aku bagai sampah yang mencemari keluarga Bened, ini kali oertama aku merasa demikian hina."Ibu, cukup," pinta Alfred, menarik Ibu hingga wajah beliau terbenam ke dada berbalut kemeja, disusul suara sesenggakan pilu. "Semua akan baik-baik saja, semua akan--"