[POV Fany]
-----
Mereka berkumpul di ruang tamu rumah, memandang bengis seperti kucing ketika perutnya digaruk, kecuali Ayah.
Beliau langsung merangkul hangat diriku ketika baru melangkah masuk. "Ya Tuhan, syukurlah kamu tidak apa-apa."
"Kami menemukannya di Texas bersama bajingan bernama Bened."
Aku berbalik memandang komisaris sembari membentak, "Namanya Adrian Bened, bukan bajingan, tapi suamiku."
"Jaga sopan snatunmu, gadis muda!" Sentak Ibu, menarikku mundur hingga mau tak mau terpaksa melihat wajahnya yang seperti kotoran sapi terinjak ayam.
Sok perhatian iblis tua memegang keningku, seperti khawatir padahal semua palsu
[POV Fany]-----"Kamu tahu Romeo dan Juliet?"Aku mengangguk tenang, siapa yang tidak tahu kisah legendaris mereka, cerita cinta tragedi klasik tentang sejoli yang tewas. Namun, kenapa dia membahas hal ini? "Apa rencanamu ingin supaya aku bunuh diri seperti Juliet?" Jika begitu, aku siap. Untuk bersama Adrian di akhirt, aku tidak menyesal.Alex menggeleng kecil sambil memperlihatkan lesung menggemaskan di pipi. "Tentu saja tidak, tapi rencanaku memakai taktik seperti juliet. Berbohonglah pada kedua orang tuamu jika mau menikah denganku.""Kamu tidak mengerti, ibu akan--"Dengan tawa bersuara kecil, dia memotong ucapanku. "Kita akan menikah dan setelah Ibumu membebaskan Adrian, kamu bisa kabur lagi den
[POV Adrian]Sel sempit, bau, dingin, dan hening memberi waktu bagiku untuk beristirahat berselonjor di kasur lipat, berbantal tangan yang kulipat ke belakang kepala, sembari memikirkan kejadian tadi malam.Bagaimana bisa Helikopter langsung menyorot mobil kami, tanpa memberi kode terlebih dahulu?Sial, kenapa semakin lama berpikir malah semakin timbul pertanyaan bary? Tidak mungkin polisi tahu keberadaan kami tanpa ada yang memberitahu mereka.Tiba-tiba suara benda tumpul menggores tirai besi semakin mendekat, hingga sosok besar itu memberi seringai sombong menjijikkan jepadaku. Dia polisi brutal, mantan pacar Sea dulu. "Selamat pagi pahlawan, kita bertemu lagi.""Sudah pagi rupanya," jawabku, membalik badan
[POV Adrian]-----Keadaan menjadibtenang, hingga suara obrolan di ruang jauh terdengar sampai ke selku."Adrian Bened, ayo keluar, kasihan mereka menunggumu. Mereka jauh-jauh datang untukmu, Bened."Sea menanti di muka pintu yang terbuka, ketika aku duduk di tepi dipan. Mungkin dia tak sabar atau bahkan cemas melihat keadaanku, memilih menghampiri duduk di sebelah. "Ada apa Ad, ayo temui keluargamu. Jangan seperti ini."Aku menggeleng pelan. Sungguh aku bingung harus apa, mengingat baru beberapa bulan yang lalu aku bersumpah tidak akan membuat Ibu cemas."Kenapa? Kamu terkena masalah besar, mereka cemas."Wajah Sea terlihat sayu ketika tangannya memberi elusan lembut ke punggungku. "Di saat seperti ini, lebih baik berbagi dengan sahabat ata
[POV Adrian]-----Tiga sisi tembok dan satu sisi jeruji besi, semua ini membuatku kalut. Berapa hari, Minggu, atau tahun berlalu?"Pengacara tiba," ucap Sea ketika membukakan pintu jeruji besi, menyadarkanku dari lamunan. "Ayo Adrian, semangat."Aku keluar sel bersama Sea. Ketika melintasi ruang utama menuju ruang pertemuan, banyak mata memandang tanpa berkedip ke arahku. "Sea, ada apa?""Namamu terkenal. Penculik calon istri orang, berandal yang berani mencuri di kediaman Alex. Kamu pasti senang esok setelah keluar, akan banyak gadis ingin menikah denganmu.""Aku hanya ingin kesalah pahaman ini cepat berakhir," sahutku."Semoga." Sean membuk
[POV Fany]-----Beberapa hari berlalu, acara tv sama saja. Semua membahas pernikahanku dengan Alex yang akan diadakan sebentar lagi.Sampai detik ini aku belum percaya pada rencana cemerlang Alex, setidaknya sampai laporan Joshua tiba, tapi kapan?Aku mondar-mandir dalam kamar, lalu suara tawa di luar mengunggah rasa penasaran.Aku berdiri di balik gorden, bersembunyi sembari mengamati situasi di sana.Banyak pria berjas hitam berseliweran. Wajah-wajah baru yang tak aku kenal begitu serius. Orang-orang Ibu, aku yakin itu … Ya Tuhan, kenapa jadi serumit ini?Jadi begini rasa menjadi burung dalam sangkar? Apa kalian kuat menjadi diriku?Ibu menempatkan ba
[POV Fany]------Aku masuk ke dalam selimut kasur, pura-pura tidur, tapi siapapun yang berada di luar tak mau mengerti.Suara ketukan berulang diikuti suara pria terus mengusik. "Nona, aku masuk."Dia membuka pintu membuat cahaya menerobos masuk menerpa wajahku. Berani sekali dia masuk tanpa izin.Aku duduk mengucek mata. "Aduh silau, tutup pintunya!""Maaf, tapi--""Ada apa?" tanyaku dengan nada mengantuk. "Hei, kenapa malah masuk?""Maaf mengganggu, tapi pintu balkon Anda terbuka." Aduh, dia menutup rapat pintu balkon. Sekarang akan lebih sulit bagi Joshua untuk masuk.
[POV Adrian]-----Aku duduk di kursi bersebelahan dengan Tuan Trustword mendengar Hakim membuka persidangan di ruang tenang penuh wartawan yang menonton. Mungkin karena ini melibatkan Alex si jahanam, semua menjadi antusias. Sayang sekali dia tidak datang, hanya lima pengacaranya yang hadir.Aku sesekali menilik belakang, banyak orang yang aku kenal duduk berbaris, bahkan Ibu dan Kim ada di sana bersama Alfred. Mana Fany? Semoga dia baik-baik saja.Semenjak kejadian di Texas kami kehilangan kontak. Aku tidak bisa menghubunginya, begitu pula Fany seperti tidak peduli padaku--tidak, dia peduli, pasti ada jawaban untuk semua itu."Kami panggil saksi pertama, para gangster Mexican," ujar pria bersetelan jas, pengacara sewaan Alex. Mau apa dia memanggil anak
[POV Adrian]-----Kira-kira siapa saksi selanjutnya, kenapa lama sekali datang ke mari? Apa dia--Pintu dibuka dari luar diikuti suara kamera dipencet ketika cahaya flash mengguyur sosok itu. Bedebah, Alex! Kenapa dia jadi saksi?Dia berdiri gagah seperti calon Presiden akan kampanye, senyumnya menyebalkan, wajah pun menjijikkan. Harusnya kuhajar dia dulu ketika pertama kali bertemu.Sebelum Hakim bicara, dia menyela. "Saya di sini ingin menarik laporan tentang mesin yang dicuri karena memang, saya yang salah menawari Adrian mesin mobil. Semua salah paham."Semua orang berbisik-bisik, kilatan flash menyilaukan, keadaan tidak kondusif hingga Hakim mengetuk palu.
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du