(POV Fany)
-----
Hasil test DNA mengatakan jika Adrian bukan anak dari ayahku. Terima kasih Tuhan, terima kasih.
"Kenapa menangis, Fan?" tegur Rose, mengamati wajahku.
Ya Tuhan, aku tak sadar jika bulir hangat membasahi pipiku. Aku menggeleng, mengusap air mata sembari berusaha tersenyum. "Tidak ada apa-apa."
"Jangan berbohong, apa ada hal yang--"
Segera aku potong ucapannya, sebelum dia menerka-nerka hal aneh. "Nah, hanya saja nilai kuliahku anjlok, itu saja."
Rose lanjut memasak hidangan terakhir, telur omelet susu dan daging. "Apa kuliah begitu menyusahkan?"
"Hm
[POV Fany]-----Aku duduk di kasur mengeringkan rambut. Sesekali aku menoleh ke balkon. Dia tetap di sana.Semenjak pulang dari rumah Tuan Dohl, Adrian banyak diam seperti sekarang. Setelah mandi dia berada di balkon, duduk di kursi berselonjor kaki, tanpa melakukan apa-apa kecuali bernapas. Kasihan dia, kehilangan gairah hidup.Jika dia begini, aku juga merasa sedih. Dari kecil aku selalu ikut merasakan kesedihannya. Seperti kala dia dimarahi Bibi setelah jatuh dari motor, saat kehilangan ayah, dan banyak lagi.Bagaimana cara untuk membuatnya kembali tersenyum dan kembali penuh gairah seperti sedia kala? Ketika masih kecil, aku dan Alfred biasa menghiburnya dengan komedi konyol, tapi sekarang … Alfred berada di negara bagian lain, s
[POV Adrian]-----Beberapa hari berlalu, selama itu aku berlatih keras untuk kompetisi rodeo bodoh yang menyita banyak waktu juga tenaga. Aku benci diriku karena terjebak dalam hal tak penting ini. Selain itu aku juga selalu menjalankan kewajiban merawat hewan ternak Tuan Zul. Dia telah memberi kesempatan padaku membawa Fany ke sini, untuk membahagiakannya, apapun alasannya aku harus menepati janji, kan.Hari ini membuatku berdebar. Hari H pembuktian hasil latihan selama seminggu. Semoga menang. Aku berdiri menghadap cermin, menarik topi koboi di kepala, supaya lebih hot dilihat. Aku harus tetap menjaga penampilan, siapa tahu ada ... apa penting sekarang? Wanita bukan prioritasku lagi. Aku melepas topi.Tiba-tiba suara tawa Fany terdengar
[POV Adrian]-----"Wow, kamu datang!" Dengan sombongnya Clint mendekat, bersama teman-teman yang pernah nyaris kuhajar. "Aku kira kamu bakal kabur.""Nah, bagaimana mungkin aku kabur. Aku ingin melihat kekalahanmu, sobat."Dengan sombong dia terkekeh. Kakinya menginjak pagar bawah, kedua tangan melipat ke atas pagar dia mengamati banteng besar yang bergerak liar mengikuti irama musik. "Big Marko, banteng tua yang brutal. Sebaiknya kamu mundur sobat, kalau tidak mau jatuh dan terinjak badan besarnya."Sok perhatian. "Kenapa, takut?""Ya, aku takut melihat tunanganmu sedih ketika dia tahu selangkanganmu terinjak banteng." Teman-temannya tertawa mendengar ucapan ini.&nb
[POV Fany]-----Aku menutup mulut supaya angin tidak masuk dan suaraku tidak keluar. Bukan hanya diriku yang kaget, tapi semua orang di sini. Ya Tuhan, siapa yang menyangka Adrian mampu bertahan selama lima menit sembilan detik bermain rodeo."Dia bukan orang Texas, kan?" bisik seorang wanita duduk di kursi baris depan kami.Wanita di sebelah menggeleng. "Aku rasa dia natural."Suara dengung mic membuat semua menoleh. MC berucap dengan penuh semangat. "Adrian Bened! Lima menit sembilan detik! Siapa sangka kita menemukan koboi non Texas yang mampu menandingi Clint!"Semua penonton banyak yang membeku, lalu MC bertepuk tangan, barulah semua tersadar, ikut bertepuk tangan sambil bersiul.&nb
[POV Fany]------"Jangan mendorong mereka ke ujung jurang Clint." Senyumnya melemahkan siksa Clint pada pergelanganku. Entah siapa dia, sungguh aku tak tahu.Clint memeluknya. Kecupan lembut mendarat ke kening gadis itu. Aku semakin tak mengerti, ke mana perginya sikap mendominasi tadi?Adrian hinggap ke sisiku. Jari-jarinya menyusup ke sela-sela jariku-jariku. Tentu aku balas meremas semua itu."Adrian, aku rasa kami pernah bertemu. Aku ingat wajah gadis itu--"Adrian mendesis, menyuruhku diam.Clint merangkul gadis itu. Pandangan mereka mengejekku dan Adrian. "Ini pengalaman buat kalian. Secemburu apapun dengan pasangan
[POV Fany]-----Aku bangun dalam keadaan enteng. Ketika membuka mata mendapati Adrian berada di samping membuatku tersenyum. Punggungnya yang penuh tato, luka cakar tadi malam, aroma cinta. Aku masih perawan.Ya, aku masih perawan. Adrian Bened tidak mengambil, dia berkata, 'Semua itu untuk suamimu, nanti ketika aku menjadi suami baru kuambil.' Siapa sangka dia bisa bicara seperti itu. Lalu apa yang dia lakukan?Tangan, bibir, jari, dia membuatku melayang berapa kali memakai semua itu. Tentu aku membuatnya melayang dengan punyaku. Sekarang aku semakin nyaman.Kupeluk dia erat. Hangat punggungnya menjalar ke kulit badan bagian depan. Suara detak jantung yang teratur, elusan lembut pada punggung telapak tangan, sungguh, ini bukan mimpi, tapi mimpi
[POV Adrian]-----Mengganggu sekali. Aku tahu ini peternakannya, tapi fantasiku baru saja nyaris tersalur, fantasi liar dalam barn.Pintu, jendela, semua terbuka lebar. Angin dan cahaya matahari masuk memberi nuansa hangat dan sejuk alami dalam rumah.Tuan Zul berdiri menghampiri kami. Dalam setelan jas hitam, seperti biasa dia nampak elit. Entah ada apa hingga terlukis kekhawatiran di raut wajahnya. "Adrian, kamu baik-baik saja?""Ada apa Tuan?"Tuan Zul menarikku duduk. Dia mengamati sejenak Fany, seperti hendak menyuruhnya pergi tapi tertahan."Tak apa Tuan, Fany tunanganku."
[POV Adrian]-----Aku mencari solusi terbaik, tapi sekeras apapun otakku bekerja, belum ketemu. Tidak, aku tidak bisa menyerah, masa depan kami menjadi taruhan.Tuan Zul di sebelahku, mengecilkan volume TV. Sepertinya dia penasaran tentang masalah. "Apa dia baik-baik saja?""Fany tertidur di kamar.""Jangan biarkan dia kelaparan. Nanti bawakan makanan ke kamar, suapi gadismu. Ketika hati wanita kacau pasti nafsu makan hilang. Aku pengalaman menghadapi gadis seperti itu." Suara Tuan Zul kecil dan serius. "Istriku dulu dijodohkan orang tuanya dengan pria lain, sementara diriku belum jadi seperti sekarang."Sepertinya dia serius. "Bagaimana caramu menjadikan beliau istri?"
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du