"Ah, masih lama. Dua jam lagi..." gumam Alina sambil melirik jam dinding. Dia lagi rebahan mendengarkan musik di tempat tidur. Tapi dia merasa kayak ada yang salah.. "ASTOGE! JAM DELAPAN YA INI! UDAH JAM SEGINI AJA!" Alina langsung panik. Ini jam delapan yang berarti dua jam lagi dia harus sampai sekolah! Tanpa mikir panjang, dia langsung menyambar handuk dan lari ke kamar mandi. Setelah mandi dan pakai baju dengan kilat, Alina berdiri di depan cermin. Dia mengambil liptint merah muda dan maskara tipis, biar kelihatan fresh tapi nggak menor. Ketika sudah puas dengan penampilannya, dia buru-buru mengunci pintu rumah dan cek peta di ponsel untuk lihat rute ke sekolah. "Serius harus jalan sejauh ini? Duh, kenapa gak ada angkot lewat sih disekitar sini?" Dia menghela napas panjang. Sebenarnya satu kilometer bukan masalah. Tapi siang itu panas banget, matahari terik kayak mengajak duel. Bikin dia jadi mikir dua kali buat jalan. “Dua puluh menit ke sekolah, nembus cuaca kayak ov
Mulut Alina ternganga lebar. Jalanan di depan mereka dipenuhi mobil-mobil media dan wartawan yang sibuk banget, siap dengan kamera dan mikrofon. Sepertinya, semua berita lokal sampai nasional lagi ada di sini. Alina langsung ngerasa gugup. Dia gak bisa berhenti memperhatikan sobekan di celananya yang makin gede aja, dan ia buru-buru mengambil jaket Arion buat menutupi pahanya supaya lebih tertutup. “Makasi, ya… Gue gak bakal bisa tenang kalau lo gak ada di sini,” kata Alina pelan, merasa malu tapi juga lega. Di teras kantor sekolah, Direktur Eric udah berdiri bareng istri dan putrinya. Mereka semua senyum-senyum manis dan melambaikan tangan ke kamera. Arion yang mulai gandeng tangan Alina menuntun Alina menaiki tangga. Mereka langsung disambut hangat oleh Direktur Eric. Salah satu wartawan yang lagi sibuk dengan kamera, tiba-tiba melihat mereka berdua dan mengikuti langkah mereka ke tangga. "Nona Alina, apa betul ini Anda? Gadis yang sangat beruntung bisa masuk Horizon Intern
Alina tersentak, merasa bingung dan sedikit terluka. "Maksud lo apa? Apa yang dilakukan ayah lo?" Arion menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. "Duh, Alina, jangan terlalu dipikirin deh," Clarissa memutar bola matanya dengan angkuh. "Dan tolong... jangan ganggu Arion gue lagi." Arion mendesah, memandang Clarissa frustrasi. "Gue benci banget denger lo nyebut gitu, Clarissa. Telinga gue rasanya pengen pecah! Semua ini cuma akting demi nyenengin ayah kita!" Clarissa cuma mendengus. "Lo pergi dulu deh ke kantor. Gue pengen ngomong berdua sama cewek ini." Alina penasaran dan sedikit khawatir, "Apa ya yang bakal dia bilang? Kenapa dia bisa begitu marah sama gue?" Clarissa menghentakkan kakinya ke tanah, tapi entah kenapa, dia tetap bisa menjaga penampilannya. Kuku panjang berwarna pink tua miliknya menusuk-nusuk dada Alina. "Gue nggak tau lo mau ngapain," katanya dingin, "Tapi jangan harap lo bisa main-main sama ayah gue. Gue nggak akan biarin cewek pemeras kayak l
"Nama gue Darren. Dan lo... Alina, kan?” Alina mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. “Iya, makasih banget, Darren.” Beberapa saat kemudian, mereka udah keluar dari sana sambil bawa kantung buku. Keduanya nggak ngobrol sambil jalan, tapi Darren sesekali ngecek daftar yang ada di pintu-pintu kelas. Bel berbunyi. "Eh, ternyata kelas lo di sini," kata Darren sambil tiba-tiba menarik lengan Alina dan mereka udah sampai di ruang kelas. Clarissa, Arion, dan beberapa cowok lainnya berdiri di depan. Dua cowok lainnya kelihatan kekar dan berotot. Ketiganya bisa jadi maskot dari brosur sekolah. Tapi ketika Alina lihat Arion lagi fokus ngeliatin dia, jantungnya langsung berdebar kencang. “Setidaknya dua murid pindahan udah kenalan,” kata Arion, rahangnya yang kaku bikin wajahnya yang tegas jadi keliatan makin garang. Dari tiga cowok di sekitarnya, dia yang paling ganteng sejauh ini. “Iya, kami ketemu dan sama-sama butuh buku buat kelas hari ini,” jawab Darren dengan senyum malas
"Terima kasih, Nak. Mata ini sudah tak sejelas dulu... rasanya sulit mengurus semuanya sendirian.” Ia berhenti sejenak, tangannya gemetar saat mencoba menyeimbangkan dokumen di pangkuannya. “Sepertinya tangan tua ini sudah tidak sanggup lagi.” Alina menatapnya dengan lembut. Alina biasa memanggilnya Pak Hadi. Ia duduk di sebelahnya sambil mengambil dokumen dari tangannya. “Biar saya yang pegang, Pak Hadi. Anda tidak perlu khawatir, saya akan bantu.” Pak Hadi menatap Alina dengan penuh terima kasih. “Kamu selalu baik, Nak. Padahal kita nggak ada hubungan apa-apa... namun kamu seperti cucu sendiri.” Alina tersenyum kecil, menatap kakek itu dengan mata penuh kasih. “Pak Hadi, Anda nggak perlu mengatakan itu. Saya senang bisa membantu.” “Bagaimana kabar Anda hari ini?” “Sejujurnya, tidak terlalu baik,” kata Pak Hadi dengan suara pelan. “Setiap kali saya menjalani perawatan, rasanya semakin berat. Kadang, saya merasa sendirian di sini.” Alina menatapnya dengan empati. “Saya m
Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion terkejut, sementara Alina juga terperangah, nggak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Arion ngotot, "Kakek, aku nggak mau! Kita bisa lawan ini! Jangan pikirin soal nikah, ya. Kita bakal lewatin semua ini bareng-bareng." Pak Hadi langsung bangkit dari tidurnya. "Kenapa nggak??!!" "Kamu dan Alina punya ikatan yang kuat... Kakek lihat cara kalian saling peduli. Aku cuma ingin lihat cucuku nikah sebelum aku pergi. Itu harapanku." Arion dan Alina saling pandang dengan mata terbelalak. "Apa?! Kakek, itu nggak—" Arion terhenti, bingung banget sama apa yang baru dibilang kakeknya. "Cukup!" Pak Hadi membentak. "Kalau kamu cinta sama Alina, tunjukin! Nikah sama dia! Lakuin buat kakek. Kakek ingin pergi dengan tenang, aku harus tahu kalau cucuku bakal bahagia..." Pak Hadi ngomong begitu dengan mata penuh semangat. Alina merasa... "Pak Hadi," kata Alina pelan, "Saya... saya nggak tahu apa yang bakal terjadi. Semua ini terlalu cep
"Nggak, gue nggak bisa kayak gitu dengan mata gue yang sakit. Lu emang bego banget... nggak bisa mikir panjang." Alina mendelik tajam. "Ya, maaf deh gue nggak sepinter lo! Tapi kalau lo emang nggak bisa mikir jernih, jangan nyalahin gue juga dong! Mata lo sakit, tapi mulut lo lancar banget ya buat ngata-ngatain orang!" Arion menghela napas panjang, suaranya mulai melembut, "Oke, gue salah ngomong. Gue nggak mau ribut. Tapi mata gue beneran nggak bisa lihat jelas sekarang." Dia lalu melirik setir sambil mengusap matanya yang masih perih. "Pokoknya sekarang lo harus tanggung jawab. Gue nggak mau mobil ini malah nyemplung ke got gara-gara kita ribut terus." Nada bicaranya terdengar serius, tapi wajahnya sedikit memerah saat mengatakan itu. "Jangan mikir macem-macem. Gue cuma mau kita selamat sampai rumah." "Hmm yaudah, gue lakuin ini cuma biar lo sampai rumah dengan selamat aja ya, habis mata lo sembuh gue pulang?" Arion menyeringai tipis, menatap Alina dengan tatapan isen
"Ah ya… gue bakal ngompres mata lo, terus nyiapin air hangatnya," gumam Alina pelan, mencoba menahan detak jantung yang makin kencang. Alina keluar dari dapur dengan napkin dan mangkuk berisi air hangat. "Sial, pelan-pelan.." Arion mengerang. Alina menggeleng pelan sambil mulai mengusap mata Arion. "Yah, mata lo tertutup. Lo harus buka kalau mau gue bersihin." "Lo ngomong gampang. Coba deh rasain sendiri sakitnya," balas Arion dengan suara tertahan. Dia akhirnya membuka matanya perlahan. Rahangnya mengeras. "Sial. Sakit banget." Alina mengambil beberapa tisu dari tas kecilnya. "Harusnya ini cepat membaik... atau ya, semoga aja." Tatapan Arion tiba-tiba jatuh ke mulut Alina. Dia menjilat bibir bawahnya perlahan. Kepalanya sedikit menunduk, sementara Alina mendekat tanpa sadar. Tangan Alina sempat menyentuh dada Arion. Hangat. Otot dadanya terasa jelas di bawah telapak tangannya. Tapi begitu pandangannya jatuh ke leher Arion yang sedikit basah, dia langsung ter
Emosinya terlalu berat buat ditahan. Alina nggak bisa nahan itu, tangisannya pecah lagi di kursi Jeep Darren.. Ketika mereka sampai di depan asramanya, Darren langsung turun dan bawa barang-barang Alina. Hujan udah reda, tapi udara masih dingin menusuk. Darren memapah Alina masuk ke dalam gedung. Di dalam, ada sofa kulit hitam, meja-meja kayu, sama beberapa cowok yang lagi main PS di pojok. Suasana sepi. Darren nggak berhenti, langsung masuk ke lift. Begitu sampai di lantai lima, Darren bawa Alina ke sebuah pintu dan langsung kebuka. Di dalam, Alina lihat sofa kulit, futon hitam di pojok, dan dapur kecil dengan kulkas mini. Tempatnya lebih bagus dari kontrakannya, meskipun nggak semewah rumah Arion. Glen, teman sekamar Darren, udah ngaturin bantal sama selimut di sofa. Dia tersenyum sedih pas lihat Alina. “Lo bisa mandi dulu. Gue udah taruh handuk sama baju ganti di kamar mandi,” katanya. “Gue pikir lo bakal butuh.” Alina ragu, tapi Glen lanjutin, “Kalau lo mau, lo bisa
Dengan tangan gemetaran, Alina keluarin ponsel dari kantong belakang. Awalnya, dia kepikiran buat telepon Arion. Tapi, Alina stop. Dia udah terlalu sering ganggu Arion kalau ada masalah, dan dia nggak kasih kabar sama sekali malam ini. Dia pasti lagi sama Clarissa. Alina nggak mau kelihatan lebih butuh di depan dia. Alina akhirnya buka kontak Darren. Dia dan Glen kan baru aja nongkrong di kafe, jadi kemungkinan besar mereka masih melek. Teleponnya langsung diangkat di dering pertama. “Alina? Lo nggak apa-apa?” tanya Darren, suaranya serius. Begitu denger suaranya, Alina langsung nggak tahan lagi. Dia terisak, terus bilang, “Kamar gue bocor dan kebanjiran.” Darren sempat diem sebentar, terus nanya, “Maksud lo kebanjiran? Gue denger ada suara musik, temen-temen lo lagi pada party, kan?” “Ada air setinggi mata kaki lebih di kamar gue. Gue nggak tau mesti gimana. Loly sama Vera lagi minum, dan gue nggak mau ganggu mereka. Tapi gue nggak bisa tinggal di sini,” jawab Alina, suaran
Malam itu Alina berangkat kerja seperti biasa naik Go-Jek. Arion ngajak Clarissa makan malam bareng keluarganya dan kepala sekolah. 'Lagi-lagi dia janji bakal nemenin gue, tapi akhirnya malah sama cewek lain.' Walaupun Alina udah bilang sama diri sendiri kalau mereka cuma temenan, dia nggak bisa berhenti mikirin itu. Hujan nggak berhenti turun selama dua jam terakhir. Pas sampai kafe, suasananya jauh lebih ramai dari biasanya. Orang-orang saling desak-desakan, bikin kulit Alina merinding setiap kali ada yang nabrak. Alina tarik napas dalam-dalam, nyoba tetap fokus. Dia singkirin pikiran soal Arion dan jalan ke meja baru yang ada di pojok ruangan. Ada Darren dan Glen duduk di sana. Alina angkat alis sambil ngeluarin buku catatan dan pena. “Ngapain lo berdua di sini? Besok kan lo pada tanding. Arion bilang kalian harus tidur lebih awal.” Glen cengengesan. “Percaya nggak percaya, meskipun Arion itu kapten kita, dia bukan bos kita kali.” Alina ketawa kecil. “Tapi gue yak
Bu Sylvia dan Dr. Gustav berdiri di satu sisi kantor kepala sekolah dengan tatapan tajam seperti mau melubangi kepala murid-muridnya. Di sisi lain, ada Valerian, juga Arion yang berdiri disamping mantan pacarnya yang sok kecentilan. “Ada sedikit kecelakaan waktu makan siang tadi,” kata Arion, menunjuk ke celana jinsnya. “Ada minyak tumpah kena celana saya. Jadi daripada saya bolos, saya minta Valerian buat bantuin beli celana baru. Saya nggak suka bikin guru nunggu lama.” Arion melirik Valerian. “Semua ini gara-gara Valerian, Pak... Minyak itu kan minyak yang lo tumpahin ke meja gue?” Valerian yang berdiri di sebelahnya, nyengir sambil nyikut pelan Arion. “Minyaknya sih enggak, Bro. Tapi kalau celana lo basah, gue yakin itu gara-gara ada Alina di samping lo. Iya nggak, Lin?” Alina menatap Valerian tajam, wajahnya memerah campur marah. “Lo ngomong apa sih? Ngaco banget!” Sementara itu, Arion menghela napas panjang, lalu berkata dingin, “Val, gue nggak perlu lo buat tambah
“Kayanya seru ngobrol sama Bu Sylvia,” kata Valerian, sambil senyum nakal. “Tapi saya lebih suka ngabisin waktu sama kelompok kimia saya... apalagi lihatin pasangan di depan kita beraksi biar tahu apa itu pemanas tangan.” Dia dan Luther langsung ketawa barengan. Alina langsung ngerasa panas banget di pipi. Ini sih udah bener-bener malu, apalagi Valerian dan Luther kayak nggak berhenti ketawa, sementara Arion tetep santai aja. Alina menunduk, berusaha nyembunyiin mukanya yang udah merah, dan tiba-tiba Alina menemukan tatapan tajam Clarissa di belakangnya. Dia nengok pelan, dan… jelas banget dia cemburu, matanya nyaris meledak. 'Mampus aja gue.' "Jadi apa sebenarnya penghangat tangan itu, Bu?" "Kimia termal, Arion," jawab Bu Sylvia datar sambil tetap fokus ke buku catatan. "Kita pakai buat menghangatkan tangan." Arion malah menyeringai, senyumnya lebar dan sombong banget. Dia sedikit menoleh ke Alina, ekspresinya udah ketebak bakal ngomong sesuatu yang ngeselin. "Tapi gue ya
Alina melangkah masuk ke kelas dengan santai, tapi perhatiannya langsung tersedot ke keributan di pojok ruangan. Di sana, Arion lagi nangkring sambil menoyor kepala Valerian. “Gara-gara lo,” terdengar suara santai Arion. Valerian malah terkekeh santai sambil menangkis tangan Arion. “Ya ampun, bro. Gue enggak sengaja, sumpah! Lagian, lo juga yang salah duduk di situ.” “Apa urusannya salah gue? Lo tuh yang ceroboh!” Alina yang baru aja masuk cuma nangkep kata-kata itu sekilas, tapi jelas ada sesuatu yang aneh. Alina nggak tahan buat nggak penasaran, jadi dia mendekat. Saat Alina jalan ke arah mereka, mata Arion langsung ngelirik. Tatapannya tajam, kayak lagi ngelihat sesuatu yang nggak bisa dia baca. Sementara Valerian, ya ampun, dasar cowok playboy kelas, dia malah sempet-sempetnya mengedipkan mata ke arah Alina. “Eh, Alina! Lo pas banget dateng. Sini, duduk deket gue aja. Arion lagi bad mood, kayaknya butuh cewek buat nenangin.” Alina lihat Arion yang memperhatikanny
Arion menyuruh Luther untuk pergi lebih dulu. "Pagi Daniel." Sebenarnya waktu Luther bilang Daniel tiba-tiba nongol, Alina langsung mikir, pasti ada hubungannya sama insiden di pertandingan minggu lalu. Dia kan pelatih kepala dan serius soal reputasi tim. Mungkin dia mau ngomong sama kepala sekolah atau ngurus laporan resmi soal tabrakan itu. Ada kejadian yang nggak diinginkan sebelumnya. Alina inget jelas momen itu. Arion lagi ngejar bola ke arah gawang lawan. Gerakannya cepat, kayak biasa. Tapi di detik berikutnya, pemain bertahan lawan datang dari samping, tabrakan nggak terhindarkan. Suara benturannya kedengeran jelas, sampai bikin Alina kaget. Pemain lawan jatuh duluan, kepala membentur tanah, sementara Arion cuma terhuyung sebelum balik berdiri. Daniel langsung ngelambaiin tangannya ke wasit, nyuruh Alina maju ke lapangan. Tapi pas dia jalan ke arah pemain yang jatuh, wasit malah fokus ke Arion. Mereka debat soal tabrakan itu—apakah pelanggaran atau nggak. Pemain lawan m
"Val. Jangan ganggu Alina lagi. Lo ngerti maksud gue, kan?" Semua orang tahu siapa yang ngomong, bahkan tanpa harus nengok. Valerian langsung menyeringai, dan berhenti mengganggu Alina. Arion ngeliatin Alina sebentar, terus kembali fokus ke ujian, meski wajahnya masih menunjukkan ketegangan yang nggak hilang begitu aja. Lalu gak lama, Pak Rangga mengumumkan kalau sudah waktunya ngumpulin kertas ujian. Luther, sebagai ketua kelas, langsung berdiri dan mulai berjalan ke depan untuk ngumpulin kertas dari murid-murid. Setelah tugasnya selesai, dia bilang ke Pak Rangga kalau dia perlu ke kantor sebentar. Setelah beberapa menit, Luther masuk kembali ke kelas sambil ngos-ngosan. Matanya tampak panik, dan dia langsung mendekati Arion yang duduk tenang di bangku belakang. "Arion, lo harus dengerin gue!" Luther ngomong sambil berusaha ngatur napasnya yang masih berat. Arion yang tadinya asyik dengan buku di mejanya, langsung menoleh ke Luther. "Kenapa lo panik banget?" Luther hamp
Clarissa menatapnya lama, lalu mengangguk. “Bagus. Kalau gitu, semoga lo tetap fokus.” Setelah itu, dia pergi begitu aja. Begitu dia pergi, Alina langsung kirim pesan ke Arion, ngasih tahu semua yang baru aja terjadi, terus minta Loly buat jemput. Loly bales cepat, bilang bakal dateng nanti. Setelah itu, Alina jalan ke kantin. Darren masih di sana, mukanya cemberut ngelihatin pilihan makanan yang ada. Alina ketawa kecil. Setidaknya ada satu hal yang bikin hari ini lebih baik: Darren akhirnya belajar buat nggak gegabah. Kemudian... beberapa minggu berikutnya berlalu begitu aja. Sudah pertengahan September, dan Arion masih rutin nganterin Alina ke sekolah. Dia cuma sampai parkiran, nggak pernah sampai ke gedung sekolah. Malamnya, dia juga selalu tepat waktu antar jemput Alina ke tempat kerja. Alina mulai terbiasa sama keberadaannya. Bahkan, ada beberapa kali dia iseng nge-chat Arion cuma buat ngajak jalan atau sekadar ketemu. Alina benci mengakui ini, tapi lama kelamaan Alina