Pintu ruang ganti kebuka, tapi Alina nggak langsung noleh. Biasanya, Darren selalu jadi orang terakhir yang keluar. Alina ngerasa ada sosok tinggi berdiri yang melewatinya, dan pas Alina mendongak, mata yang biasa dia kagumi sedang balas ngelihatin dia. Tapi kali ini beda, bintik-bintik emas di matanya nggak keliatan. Tandanya, dia lagi kesel. Alina lihatin ekspresinya—rahangnya kenceng, nggak nyantai sama sekali. "Arion?" bisik Alina. "Lo kenapa?" Arion diem berdiri di sana sambil ngerutin keningnya. Padahal, dia baru aja menang pertandingan. Alina bahkan sempet lihat cowok itu keluar lapangan bareng bokapnya, mukanya waktu itu keliatan seneng banget. "Jangan pura-pura nggak tahu." Kulit di sekitar matanya ikut tegang. "Lo tidur sama Glen, kan?" Alina langsung tersentak, yang jelas bikin semuanya makin salah. Darahnya naik ke kepala, tapi Alina tahan supaya nggak meledak. "Lo serius nanya kayak gitu ke gue? Setelah lo pergi semalaman sama Clarissa?" Mukanya langsu
Vera sama Loly tadi udah ngechat, nawarin dia buat tinggal sementara di kamar mereka sampai kamarnya selesai diperbaiki. Tapi masalahnya, tempat tidur mereka kecil, dan jadwal tidur mereka beda banget. “Kalau gitu, ayo kita ambil barang-barang lo biar semuanya bisa diberesin.” Arion maju, pegang pergelangan tangan Alina dengan lembut. “Semua barangnya udah gue cuci, jadi dia aman-aman aja,” potong Darren sambil pegang tangan Alina yang satunya lagi. Dia ngelihat ke arah Alina. “Gue bisa antar jemput lo ke kafe. Lo juga bisa tidur di sofa atau, kalau mau, di kamar gue.” Alina bengong. Ini serius banget, dan dia nggak tahu harus gimana meresponnya. Arion melirik Darren dengan tatapan tajam. “Lepasin tangannya. Gue bisa ngurus dia sendiri,” katanya dingin, masih memegang pergelangan tangan Alina dengan cengkeraman yang nggak terlalu kuat, tapi cukup untuk bikin Darren melirik ke bawah dengan sedikit senyum mengejek. “Tenang, Kapten. Gue nggak nyulik dia,” jawab Darren sambil
"Jadi itu alasan lo?" Suara Arion serak. Alina mengangguk, terus menunduk, takut ngeliat ekspresi di wajah Arion. "Kalau gitu, ayo kita ambil barang-barang lo." Arion menyambut tangan Alina, menariknya ke arah lain. "Karena alasan yang sama, gue juga nggak tahan mikirin lo tinggal di tempat lain." Hati Alina buyar. Ini gawat. Alina sama Arion balik ke yang lain, dan Arion langsung ngasih kode ke Valerian. "Kenapa nggak lo aja yang bawa Alina ke tempat gue? Sementara gue ambil barang-barangnya dari kamar Darren sama Glen?" "Biar Clarissa dan mata-matanya nggak ngeh kalau ada yang janggal.." Valerian menaikkan alisnya. "Oke, gue sih setuju. Tapi gue butuh kuncinya." Arion ngeluarin kunci dari kantongnya terus ngasih itu ke Alina. "Ini buat buka pintu depan." "Eh, kenapa dia yang dapet kunci, bukan gue?" "Soalnya gue percaya sama dia," Arion jawab sambil nunjuk Valerian, Valerian cemberut. "Sama lo? Nggak.. Gue tau lo bakal bikin duplikat. Dan tahu-tahu gue nemu
"Darren itu temen gue," kata Alina pelan. "Kalo bukan dia, gue mungkin aja nelpon lo." Valerian melirik Alina lagi sambil nyalain AC. "Kalaupun lo nelpon gue, dia tetep bakal sakit hati. Mungkin nggak separah itu, karena dia tahu gue nggak bakal jadi ancaman. Tapi lo jangan pura-pura nggak tahu, Alina. Lo sama Arion jelas lebih dari sekadar temen, meskipun kalian nggak pernah mendefinisikan itu." Jantung Alina berdebar kencang. Kata-kata Valerian menyadarkannya kalau Arion mungkin sama bingungnya. Mungkin itu juga alasan kenapa Clarissa marah besar kemarin. Tapi apa pun alasannya, itu nggak penting. Dari awal, Arion udah bilang pernikahan ini cuma di atas kertas. Alina setuju. Dia nggak mau repot-repot patah hati, terutama saat masih berusaha berdamai sama kehilangan kedua orang tuanya. "Gue cuma kaget dia kasih lo kesempatan buat jelasin," kata Valerian akhirnya, "Meskipun, jujur, itu di luar dugaan." "Apa maksud lo?" Alina ngelirik penasaran. "Itu cerita dia, bukan cerita g
Alina berjalan cepat menuju meja pelanggan sambil membawa nampan berisi minuman. Tempat itu penuh sesak, bikin dia harus ekstra hati-hati biar nggak ada yang tumpah. Tapi baru aja sampai, seorang cowok dari Royal Crest langsung menghadang. Jaketnya jelas banget nunjukin logo tim futsal mereka, dan ekspresinya? Sok banget. “Eh, lo cantik juga, ya. Minumannya ada bonus nomor HP nggak?” katanya sambil nyengir lebar, matanya jelas-jelas ngeliatin Alina dari atas sampai bawah. Alina narik napas dalam, berusaha sabar. “Maaf, gue cuma pelayan di sini, bukan customer service,” jawabnya dingin sambil naro minuman di meja. Cowok itu malah ketawa kecil, makin nyebelin. “Jangan jutek gitu dong. Gue cuma mau bikin hari lo lebih seru. Lagian, gue kapten tim futsal Royal Crest, loh. Siapa tahu lo mau ketularan hoki gue.” Dia bersandar di meja, gayanya kayak ngerasa paling keren. Temen-temennya yang duduk di meja itu malah ikut ketawa, nambahin rasa bete Alina. Alina muter mata, udah nggak
Arion nuntun Alina naik tangga ke lantai satu, ngelewatin ruang tamu dan dapur, sebelum belok ke tangga lain menuju lantai dua. Di lantai atas, dia buka pintu di ujung lorong dan nyuruh Alina masuk. “Ini kamar lo.” Alina masuk, dan jujur, dia kaget bukan main. Kamar itu lebih gede dari kamar asrama Darren sama Glen kalau digabung. Tempat tidur king size ada di sisi kiri, lengkap dengan seprai biru muda dan selimut tebal yang warnanya senada. Lemari besar warna putih ada di seberang tempat tidur, dengan TV layar datar di atasnya. Nakas di kedua sisi tempat tidur juga serasi. Udara di kamar itu harum, kayak bau lemon segar. Alina ngeraba selimut di tempat tidur sambil ngelirik Arion. “Lo bersihin kamar ini sendiri?” Arion nyelipin tangannya ke saku dan mengangguk santai. “Iya. Gue nggak mau lo tidur di seprai apek yang udah lama nggak diganti. Lagian, biru kayaknya warna yang lo suka.” Alina senyum kecil. “Iya, gue suka.” Arion muterin bahunya, kayak lagi ngusir pegal. “Pa
Arion mengembuskan napas panjang, matanya masih nyari-nyari jawaban di wajah Alina. "Lo yakin banget ini yang lo mau?" Alina mengangguk cepat. "Lo nggak ngerti betapa gue butuh lo sekarang. Gue nggak bohong." Arion mengusap rambut Alina, nunduk sedikit sampai keningnya nempel di kening Alina. "Lo bikin gue kehilangan kendali atas diri gue.." Tapi Arion nggak mundur. Tangannya melingkar di pinggang Alina, mereka sama-sama merasakan detak jantung masing-masing. Alina nggak perlu ngomong apa-apa lagi. Karena malam itu, semuanya udah cukup jelas. Arion nggak mundur. Tangannya melingkar di pinggang gue, dan gue bisa ngerasain detak jantungnya, sama kayak dia pasti ngerasain detak jantung gue. Kita nggak perlu ngomong apa-apa lagi. Malam itu, semuanya udah cukup jelas. "Lo nggak tau, kan, betapa lo bikin gue gila?" kata Arion pelan. Rahangnya keliatan tegang, tapi mata dia berubah gelap. Hasratnya jelas terpancar. Jantung Alina berdebar kencang, kayak mau meledak. Dia diem,
Arion ketawa kecil, matanya berbinar nakal. "Oh ya? Gue rasa nggak gitu deh rasanya." Dia berguling turun dari tempat tidur, dan Alina hampir cemberut sampai Arion tiba-tiba ngelepas celana sama celana dalamnya. "Begini aja. Kita berdua sampai klimaks sambil humping, tapi masih pakai baju kayak pengantin baru.. Bareng lo, ini bisa jauh lebih seru daripada yang pernah gue bayangin." Arion ngejatuhin celananya ke lantai, dan Alina nggak bisa nahan pandangannya yang kini fokus ke tubuh Arion, dia polos sepenuhnya untuk pertama kalinya di depan Alina. "Arion..." Arion menyeringai lebar. "Lo suka apa yang lo lihat?" Alina mengangguk tanpa ragu. "Banget." Arion lompat balik ke tempat tidur, bikin Alina ketawa kecil karena gerakannya yang main-main. Dengan santai, Arion menarik selimut yang nutupin tubuh Alina dan ngelepas celana pendek Alina tanpa basa-basi. Alina nggak bisa nahan senyum lebar sampai pipinya sakit. Arion mendekat lagi, cium bibir Alina dengan lembut tapi
enin pagi datang, dan Alina masih melayang di awang-awang karena cinta. Sisa liburan mereka habis di rumah kota—nonton film bareng, makan enak, dan ya… ngelakuin hal-hal yang cuma bisa mereka lakuin berdua. Ketika Daniel mengabarkan kalau lamaran kuliahnya ke Universitas Nasional udah di-acc, Alina cuma bisa senyum setengah hati. Dia seneng, tapi juga takut. Rasanya dia belum siap ninggalin “dunia kecil” yang dia punya sama Arion sekarang. Tapi ya namanya juga hidup, kenyataan pasti datang dan menghampiri. Untungnya, mereka sekarang udah nggak perlu ngumpet-ngumpet di sekolah. Mereka jalan bareng, gandengan tangan, dan duduk bareng di kelas. Biasanya Arion duduk di belakang, tapi sekarang dia pindah duduk di sebelah Alina. Valerian yang awalnya duduk di situ, akhirnya ngalah juga. Arion narik Alina biar makin deket dan langsung nyium dia di depan murid lain. Bukan ciuman biasa—yang ini dalem banget sampe bikin lutut Alina lemas dan harus pegangan ke Arion biar nggak ambruk. “Eh,
Direktur Eric. Tatapan pria itu melunak saat menatap tangan Arion dan Alina yang saling menggenggam. Alina mendongak ke belakang, tak menyangka reaksi seperti itu dari ayah Clarissa sendiri. Arion menariknya keluar rumah. Saat pintu tertutup, Alina menarik napas dalam-dalam. “Arion, mungkin kita harus kembali masuk...” “Nggak mungkin,” jawab Arion, menarik Alina ke pelukannya. “Gue cuma butuh lo. Bersama lo adalah tempat yang paling pas buat gue. Gue laper. Yuk, kita cari makan malam yang kayak biasa lo dan nyokap lo masak.” Dada Alina terasa sesak, bukan karena takut, tapi karena emosi yang numpuk. Sejak orang tuanya meninggal, hari-hari libur selalu bikin dia cemas. Dia pengen nginget masa lalu, tapi rasanya nyakitin banget. Tapi bersama Arion, dia ngerasa... bisa. Bisa ngelewatin semuanya. Pikiran buat makan makanan kayak masakan nyokapnya bikin dia ngangguk semangat. “Emangnya ada tempat yang jual makanan gitu di sini?” Arion ketawa. “Ada aja, kok. Cuma bokap-nyokap gue
Alina melangkah mendekat, meletakkan tangannya di dada Arion. "Gue harus pergi.." Arion mendongak, wajahnya penuh keterkejutan. "Tapi kata Kakek, lo harus tetap di sini." "Lo serius sekarang? Lo benar-benar mau gue disini?" Alina menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak terkendali. "Tapi… mereka ayah dan ibu lo Arion. Lo harus nurutin apa kata mereka," ujarnya lirih. "Kalau saja kedua orang tua gue masih hidup… gue akan melakukan apa pun demi bisa menghabiskan satu liburan lagi bersama mereka." Tidakkah Arion menyadari betapa berharganya keberadaan seorang ayah, walau tak sempurna? Arion tersenyum getir. "Dia nggak pernah bertingkah seperti ayah gue. Ibu tiri gue dan saudara perempuan gue juga nggak pernah benar-benar nganggep gue bagian dari keluarga. Semuanya cuma soal kontrol dan citra di depan publik. Gue nggak akan tinggal disini." Ia mengecup puncak kepala Alina dengan lembut. "Tapi makasih ya… karena udah peduli. Ayo, kita
'Suara itu… suara Kakek…' Semua kepala menoleh ke arah pintu aula yang terbuka perlahan. Di sanalah, Kakek Hadi muncul, duduk di kursi roda, didorong oleh Daniel. “Aku yang menikahkan mereka,” kata Kakek Hadi lantang. Suaranya bergetar, tapi tegas. “Arion dan Alina… sudah sah sebagai suami istri di bawah saksi hukum dan agama.” Keheningan memekakkan telinga. Nyonya Mahendra memegang dada dengan mulut terbuka lebar, “Apa… maksud Ayah?” Nyonya Wijaya yang berdiri di samping suaminya, terbatuk kaget, lalu menatap Alina dari atas ke bawah seolah tak percaya. Dia mengerutkan kening dalam-dalam, seakan berita itu menampar harga dirinya. Clarissa melangkah maju, matanya menyipit penuh kebencian, tapi dengan senyum mengejek di sudut bibir. "Masih berani diem, ya?" "Lo tuh cuma istri gelap Arion, Alina. Dan berani-beraninya 'main’ di villa keluarga Arion. Udah status lo nggak jelas, keluarga Arion juga bahkan nggak ada yang nerima lo. Tapi lo santai aja seolah lo itu siapa."
Alina gugup setengah mati. Pak Remi udah ngasih tahu kalau Direktur Eric dan keluarganya bakal datang... termasuk Clarissa—orang yang paling nggak dia suka di dunia ini. Tinggal serumah sama keluarga Arion juga bikin Alina serba salah. Satu-satunya waktu yang terasa nggak bikin sesak cuma pas dia lagi berdua sama Arion. Tasha hampir nggak pernah nyapa, tapi itu juga nggak terlalu ngaruh karena dia juga gitu ke Arion. Yang bikin Alina nggak nyaman justru tatapan dari Pak Remi dan istrinya—tatapan yang bilang dengan jelas: 'Anda tidak diterima di sini.' Dan di tengah semua kekakuan itu, Arion malah suka tiba-tiba menyelinap ke kamarnya tiap malam. Alina kesel. Dia tahu, Pak Remi pasti mikir yang macem-macem soal mereka. Padahal, mereka belum ngelakuin apa-apa disini. Pagi itu, Alina turun buat bantu-bantu masak makan malam. Tapi ternyata, dapurnya bukan dapur biasa. Ada koki dan staf segala. Tapi Alina malah disuruh keluar dari dapur. Yah... makin jelas aja siapa yang s
Alina ingin memeluknya. Ingin bilang kalau dia nggak sendirian. Selama ini, dia pikir Arion cuma hidup di dunia yang penuh dengan kemewahan dan kebebasan. Tapi sekarang, dia sadar kalau hidup cowok itu jauh lebih berantakan daripada yang dia bayangkan. Dan dia benci karena pernah berasumsi sebaliknya. Pak Remi menatap tajam ke arah Arion. “Kamu harus fokus, nak. Sepak bola dan sekolah bakal memastikan kamu punya hidup yang nyaman. Kalau kamu kehilangan konsentrasi bahkan sedetik aja, itu bisa menghancurkan kamu. Kamu nggak punya waktu buat jalanin hubungan yang butuh banyak perhatian. Dan lebih parah lagi, gimana kalau dia hamil?” Arion menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal. “Dia nggak bakal hamil,” bantahnya, nada suaranya tajam. “Kami selalu hati-hati.” Alina ikut angkat bicara. “Terlepas dari apa pun yang Anda pikirin tentang saya, satu hal yang paling nggak saya mau adalah hamil.” Wajahnya menegang saat membayangkan harus membawa seorang anak ke dunia
BRAKK! Pintu kamar terbuka dengan kasar. Arion tetap bersikap santai, sementara Alina tersentak kaget. Jantungnya berdebar kencang, dan ia refleks beringsut menjauh, tapi pegangan Arion di pinggangnya terlalu erat. "Apa-apaan ini, Arion? Kenapa ada dia di kamarmu?" suara Pak Remi terdengar tajam, sorot matanya penuh tekanan. Arion melirik sekilas ke arah ayahnya sebelum menunjuk ke layar TV yang masih menampilkan adegan bersambung. "Aku cuma nonton sama dia. Itu aja. Kalau nggak keberatan, kita mau lanjut," jawabnya santai. Pak Remi semakin kesal, rahangnya mengeras. "Kamu mau bikin masalah apalagi? Clarissa nangis tadi, dia sampai telepon Eric sambil sesenggukan!" Arion menghela napas panjang, lalu meraih remote untuk mematikan TV. "Aku nggak pernah nyuruh dia ngurusin hidupku yah, jadi aku nggak ngerti kenapa ayah malah nyalahin aku." Alina menahan napas. Cara Arion menanggapi ayahnya begitu cuek, seolah ini bukan masalah besar. Padahal, Pak Remi jelas-jelas tidak
Alina menegang. Dia bisa merasakan suasana di ruangan ini berubah drastis—udara jadi lebih berat, dan tatapan Arion menggelap, penuh amarah. "Mulut lo itu," Arion mendekat selangkah, bahunya menegang. "Mau gue bikin diem?" Pria itu hanya menyeringai kecil, ekspresinya sama sekali nggak terpengaruh oleh nada tajam yang keluar dari mulut Arion. "Santai aja kali. Lagian Alina juga kayaknya seneng gue disini... By the way, kok lo balik sama Alina?" "Tch," Arion mendecakkan lidahnya, melepaskan genggaman tangannya dari Alina. "Suka-suka gue mau bawa dia kemana aja." Daniel menyipitkan mata, senyumnya tipis tapi penuh arti. "Kenapa lo bawa dia ke sini?" Dia melipat tangan di dada, menatap Arion dengan penuh minat. "Bukannya dia tinggal bareng Clarissa di villa Direktur Eric?" Alina menahan napas, berharap bisa menghilang saat itu juga. Arion melipat tangan di dada, wajahnya tanpa ekspresi. "Emangnya nggak boleh?" Daniel terkekeh, mengangkat bahu santai. "Boleh-boleh aj
Saat Arion menarik dirinya dari Alina, dia hanya melemparkan pandangan tajam ke Clarissa. "Ini cuma awal, Clar. Jangan ganggu hidup kami lagi." Alina, masih terengah-engah, menatap Arion—antara cemas dan bingung, belum sepenuhnya siap untuk apa yang baru saja terjadi. Tapi satu hal yang jelas, dia tahu ini bukanlah akhir dari cerita mereka. Clarissa tertawa sinis, matanya berkilat penuh amarah. "Gila. Ini semua nggak beneran kan?" "Gue nggak peduli apa yang lo pikirin." Arion menghela napas sambil menutup ritsleting koper Alina dengan gerakan cepat, lalu menarik koper itu dan menggulirkannya ke arah pintu. Clarissa masih berdiri di sana, menghalangi jalan. "Apa yang lo pikir lo lakuin?!" "Dia datang ke sini sama gue," lanjut Clarissa, nadanya penuh klaim kepemilikan. Arion menyeringai sinis. "Oh, iya? Kedengerannya lebih kayak lo bawa dia ke sini buat jadi samsak tinju lo." Dia melipat tangan di dada, menatap Clarissa dengan penuh penghinaan. "Dia bakal lebih aman d