Arion mengembuskan napas panjang, matanya masih nyari-nyari jawaban di wajah Alina. "Lo yakin banget ini yang lo mau?" Alina mengangguk cepat. "Lo nggak ngerti betapa gue butuh lo sekarang. Gue nggak bohong." Arion mengusap rambut Alina, nunduk sedikit sampai keningnya nempel di kening Alina. "Lo bikin gue kehilangan kendali atas diri gue.." Tapi Arion nggak mundur. Tangannya melingkar di pinggang Alina, mereka sama-sama merasakan detak jantung masing-masing. Alina nggak perlu ngomong apa-apa lagi. Karena malam itu, semuanya udah cukup jelas. Arion nggak mundur. Tangannya melingkar di pinggang gue, dan gue bisa ngerasain detak jantungnya, sama kayak dia pasti ngerasain detak jantung gue. Kita nggak perlu ngomong apa-apa lagi. Malam itu, semuanya udah cukup jelas. "Lo nggak tau, kan, betapa lo bikin gue gila?" kata Arion pelan. Rahangnya keliatan tegang, tapi mata dia berubah gelap. Hasratnya jelas terpancar. Jantung Alina berdebar kencang, kayak mau meledak. Dia diem,
Arion ketawa kecil, matanya berbinar nakal. "Oh ya? Gue rasa nggak gitu deh rasanya." Dia berguling turun dari tempat tidur, dan Alina hampir cemberut sampai Arion tiba-tiba ngelepas celana sama celana dalamnya. "Begini aja. Kita berdua sampai klimaks sambil humping, tapi masih pakai baju kayak pengantin baru.. Bareng lo, ini bisa jauh lebih seru daripada yang pernah gue bayangin." Arion ngejatuhin celananya ke lantai, dan Alina nggak bisa nahan pandangannya yang kini fokus ke tubuh Arion, dia polos sepenuhnya untuk pertama kalinya di depan Alina. "Arion..." Arion menyeringai lebar. "Lo suka apa yang lo lihat?" Alina mengangguk tanpa ragu. "Banget." Arion lompat balik ke tempat tidur, bikin Alina ketawa kecil karena gerakannya yang main-main. Dengan santai, Arion menarik selimut yang nutupin tubuh Alina dan ngelepas celana pendek Alina tanpa basa-basi. Alina nggak bisa nahan senyum lebar sampai pipinya sakit. Arion mendekat lagi, cium bibir Alina dengan lembut tapi
Panas langsung nyambar wajah Alina, dan dia sibuk ngeliatin lantai. “Eh, udah lah, nggak usah jaim-jaim lagi depan gue.” “Gue tahu... cuma, ya aneh aja rasanya.” Alina nunduk, mukanya merah. “Lo kan bilang kita cuma temenan dan nggak bisa kayak gini. Gue takut malah bikin hubungan kita jadi ribet.” Arion naruh panci sambil narik napas panjang, terus dia jalan ke arah Alina. Dengan santai, dia ngangkat dagu Alina pakai jarinya, bikin Alina nggak bisa kabur dari tatapannya. “Denger, Na. Kalau gue nggak mau, gue nggak bakal lakuin itu. Lagian gue udah gede, nggak bakal bisa dimanipulasi kayak anak kecil.” “Itu bukan manipulasi, Arion.” Alina balas tatapan Arion, meskipun jantungnya deg-degan. “Mungkin gue cuma… ya, butuh lo waktu itu. Tapi ini bikin semuanya jadi lebih ribet.” Arion ngangkat alis, mukanya kayak nahan ketawa. “Ribet apanya? Gue nggak ngerti, coba jelasin.” “Gue bukan tipe cewek yang cari ‘temen deket yang plus-plus,’ ngerti, kan?” Alina nyilangkan tangan di d
“Dengerin dulu penjelasan gue,” Arion mencium pipi Alina, lalu lanjut ngomong. “Jadi gini, jalan bareng Clarissa selanjutnya adalah yang terakhir. Itu cuma acara penggalangan dana yang bokap nyokap gue suruh datengin. Gue bakal dateng bentar, sejam paling lama, terus cabut. Habis itu, gue bakal putus total sama dia, nggak ada lagi drama hubungan palsu. Tapi lo harus janji satu hal—lo sama Darren tetap temenan aja. Kalau ada apa-apa, lo langsung kabarin gue. Apa pun yang terjadi.” Alina nyampingin kepala, ngelihatin Arion sambil mikir. “Tapi gue nggak mau bikin ribet hubungan lo sama keluarga lo.” Arion menarik Alina lebih deket. “Bokap gue udah tahu kelakuan Clarissa sebenernya, dan dia ngerti kenapa gue mau putus sama dia... Jadi, nggak bakal ada masalah. Nggak sama gue, nggak sama bokap gue. Dan soal Direktur Eric, biarin aja dia sibuk sama urusannya sendiri.” Alina ketawa kecil, nggak nyangka Arion bisa ngomong gitu. “Oke. Gue setuju. Kita jalanin ini bareng-bareng, tapi kit
"Gue ga fokus karena foto-foto itu..." Alina bergeser ke ujung sofa. Dia selipin rambutnya di balik telinga. "Foto-foto aliran sungai itu..." Arion ngelirik gambar-gambar di dinding. "Foto sungai? Yang deras-deras gitu?" "Iya." Alina ambil napas, ngerasa sesak. "Itu... Itu ngingetin gue sama kecelakaan gue." Arion berhenti gerak, matanya melotot. "Kecelakaan? Maksud lo apa?" "Gue dan keluarga gue kecelakaan mobil, mobilnya terbalik ke sungai." Tiba-tiba mimpi-mimpi buruk itu muncul lagi, pandangan Alina kabur. "Astaga, maafin gue, babe. Gue nggak nyangka pajangan-pajangan ini bisa bikin lo ketakutan di rumah gue kayak gini." “Mungkin... itu yang gue impikan tadi malam waktu lo denger gue teriak-teriak pas tidur,” jawab Alina sambil menyeka air matanya yang nggak berhenti mengalir. “Gue mimpi nyoba nyelamatin Ibu lagi.” “Ibu lo? Mereka berdua kan udah nggak ada.” Begitu mulai cerita, Alina nggak bisa berhenti. Rasa bersalahnya udah terlalu lama dia pendam. “Dia wak
Alina langsung tegang. "Arion, gue bener-bener minta maaf." 'Gak heran dia curiga kenapa gue tiba-tiba muncul di sekolah, dan mikir kalau Direktur Eric yang bayar semua biaya gue...' "Lo gak perlu minta maaf." Arion meletakkan foto terakhir di sisi kiri ruangan dan nambahin ke tumpukan foto di atas meja dekat PS-nya. "Udah, semua fotonya udah gue turunin." Arion tiba-tiba ganti topik, dan Alina sebenernya gak pengen dia gitu, tapi Alina gak bakal maksa. Itu gak adil, dan Arion baru aja membuka dirinya pada Alina. Dia mungkin bakal cerita semuanya kalau dia udah siap. "Lo mau lanjut ngomongin ini?" "Gak juga." Arion mendesah sambil jalan mendekati Alina, meraih tangannya. "Gue tau lo baru aja buka diri lo ke gue, dan gue gak langsung kasih balasan. Tapi ini berat banget buat gue. Beban yang gue bawa dari dulu. Gue selalu inget kalau ada orang di luar sana yang rela ngelakuin apa aja buat ngontrol orang lain." Sepanjang hidupnya. Alina yakin Arion lagi ngomongin ibunya, dan
Sambil menggerak-gerakkan tangannya buat nyentuh Arion, Alina merhatiin cowok itu waktu dia jalan ke meja nakas, membuka laci, dan ngeluarin bungkusan. Dia masang kondom. Dan entah kenapa Alina ngerasa cemburu. Arion ngelakuin itu sendirian, sebenarnya Alina pengin banget memasangkan alat itu di barangnya. "Lo yakin mau ngelakuin ini?" tanya Alina. 'Arion nggak mau tadi malam, dan gue nggak mau dia ngerasa gue maksa sekarang.' "Kita bisa ngelakuin apa aja, kayak tadi malam." Arion balik jalan ke arah Alina, berdiri di antara kedua kakinya. "Gue nggak mau ngelakuin itu tadi malam karena lo lagi kacau. Gue nggak mau lo bikin keputusan gegabah terus nyesel. Tapi kalau sekarang lo masih mau, gue lagi pengin banget. Dan gue jamin lo bakal ampun-ampunan sama 'punya' gue." "Uhhhhh, iyahh," erang Alina, rasa yang udah dia tahan sejak tadi malam makin nggak bisa dia kontrol. Arion mendekati Alina, ketawa kecil, terus ngecup bibir Alina lagi. "Kayaknya lo udah horny parah." Dia
Posisi Arion sekarang ada dibelakang Alina. "Lepasin pegangan lo dari tempat tidurnya," Ada kepuasan yang terasa di setiap gerakannya saat Alina menurut untuk pertama kalinya, langsung ngelakuin apa yang Arion perintahkan. Dia narik Alina lebih dekat, ngebuat jarak di antara mereka benar-benar nggak ada lagi. Arion ngegesekkan lidahnya pelan di sepanjang bahu Alina, ngerasain rasa asin dari keringat di kulitnya yang panas, terus naik sampai ke lehernya. Tubuh Alina udah di ambang batas, jadi dia mulai melambat, pengin banget memperpanjang momen ini. "Jangan berhenti.." gerutunya, jari-jari Arion mencengkeram kuat pinggang Alina. Salah satu tangan Arion merayapi tubuh Alina hingga ke payudaranya, dan tangan lainnya mencengkeram di antara kedua kakinya, merasakan barangnya bergerak masuk dan keluar saat payudara Alina memantul di atasnya dengan irama yang bersemangat. Seluruh tubuh Alina gemetar, dadanya naik turun, Arion berdenyut di dalamnya. "Ini terlalu berlebihan. In
Tiba-tiba Alina inget. Pantesan wajahnya familiar. Dia cowok yang pernah digertak Arion waktu dia nyoba merayunya saat Alina lagi kerja. “Lo gila ya?! Gue bukan jablay kayak yang lo bilang, apalagi buat cowok futsal! Lo ngarang banget! Dan soal di Lumina, itu salah lo sendiri yang norak!” Kemudian Alina nendang dia di selangkangan, terus puter badan buat kabur naik tangga dua anak tangga sekaligus. Tapi dia lebih cepet. Setengah jalan ke tangga berikutnya, dia nangkep pergelangan kakinya, Alina langsung terjatuh keras. Lutut, pinggul, dan bahunya langsung nabrak tepi tangga. Rasa sakitnya nggak main-main. "Dasar cewek tolol," katanya sambil ngerangkak di atas Alina. “Lo pikir gue peduli sama omong kosong lo? Lo cuma cewek murahan yang ngandelin anak futsal HIA buat nutupin aib lo! Tapi di sini, Arion nggak ada buat nolongin lo. Sekarang lo bakal tahu apa rasanya ngehina gue di depan orang banyak!” Dia mendekat lebih agresif, seringainya makin lebar. “Gue pastiin lo baka
Dua setengah minggu berlalu, Alina masih tinggal di rumah Arion. Di rumah, tim perbaikan udah nutup kebocoran, nguras kamar, dan pasang kipas angin juga dehumidifier supaya nggak ada kerusakan lebih parah. Tapi renovasinya makan waktu lama. Pemilik rumah bilang beberapa perlengkapan susah dicari, jadi Alina harus nunggu beberapa minggu lagi sampai kamarnya siap. Arion dan Alina masih nggak banyak ngobrol di sekolah kecuali saat pelajaran kimia atau waktu pertandingan. Semuanya makin awkward tiap harinya, tapi mereka tetap berpura-pura. Karena Clarissa sengaja ninggalin mereka berdua. “Baby, kita berangkat ya!” suara Arion dari bawah tangga bikin Alina tersadar. Hari ini ada pertandingan besar lawan Cendana High School. Alina turun ke bawah dan lihat mereka udah nunggu. “Semangat ya, kalian pasti bisa menang!” Arion senyum sambil menyandar ke dinding. “Nah, gitu dong, baru semangat. Kita nggak butuh yang namanya hoki.” Arion langsung narik Alina ke dadanya dan menci
Keesokan harinya, mereka pulang sekolah lebih awal karena sekolah sedang persiapan acara pensi. Sembari Alina latihan menyetir mobil dia duduk di pangkuan Arion, tangannya gemetar saat pegang setir. Bayangan kecelakaan yang menyebabkan ibunya meninggal terus keulang di kepalanya. Alina nggak bisa lupa kalau itu semua karena dia. Mobil mulai jalan pelan-pelan, tapi Alina malah makin panik saat ban depan menyerempet sesuatu. "Arion! Kita nabrak sesuatu!" Alina langsung refleks ngerem mendadak. Arion tiba-tiba membalikkan tubuh Alina, matanya menatap Alina serius tapi lembut. "Lo cuma nabrak tanah sama air, babe. Tenang aja. Itu nggak bakal nyakitin siapa-siapa, termasuk lo." Mata Arion bertemu mata Alina, dan Alina jadi lupa sama paniknya. Dia cuman bisa bengong, sementara Arion nahan senyum sambil berbisik, "Santai aja, gue nggak akan biarin lo kenapa-kenapa." Lama kelamaan, Alina mulai ngerasa lebih santai. 'Arion bener juga, nggak ada yang perlu ditakutin..' Di
Arion. "Hai," kata Alina dengan nada datar tapi penuh makna. "Gue nggak dengar suara pintu garasi tadi." Alina mencoba tetap tenang meski napasnya sempat tercekat. "Oh, ya? Udah pasti nggak." Arion melirik Valerian, yang masih fokus nge-shoot musuh dalam game tanpa sadar ada drama di belakangnya. "Gue kirim pesan buat lo, tapi nggak ada balesan. Gue sampai khawatir." Alina buru-buru nyari ponsel di meja kopi. Ada dua pesan dari Arion. Dia lihat jam. Baru jam setengah delapan. Dia cuma pergi satu setengah jam, termasuk waktu bolak-balik ke sekolah dan pulang. Arion memandang Alina dengan tatapan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin Alina gugup. Arion menghela napas pelan, lalu mendekat, bikin jarak antara mereka makin kecil. Alina menelan ludah. “Lo kelihatan terlalu santai,” suara Arion rendah, hampir seperti bisikan. “Apa maksud lo?” Arion nggak jawab, cuma mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Alina. Sentuhan jarinya lembut, menyusuri pipinya ke dagu.
Tangan Arion mulai merayap ke pinggang Alina, ngerasain setiap lekuk tubuh Alina di balik seragam. Hasrat Alina muncul kayak badai yang nggak bisa ditahan. Dia nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Alina menginginkan Arion—sepenuhnya, sebelum pikiran soal Clarissa muncul lagi dan merusak semuanya. Bibir Alina mencari bibir Arion, lidahnya masuk ke mulutnya. Alina dorong Arion ke sofa sampai dia jatuh terduduk, lalu Alina naik ke pangkuannya. Arion mengerang pelan, puas, lalu bibirnya turun ke leher Alina, bikin Alina kehilangan kendali. Sentuhannya, ciumannya, semuanya bikin pikiran Alina kabur. Mereka melepas seragam satu per satu. Sentuhan itu bikin napas Alina tercekat, dan dia nggak bisa mikir apa-apa lagi kecuali Arion. Dengan emosi yang memuncak dan adrenalin yang nggak terbendung, Alina takut bakal kebablasan ngomong terlalu banyak. Tapi semua itu sirna saat Arion pasang kondomnya dan Alina mulai bergerak cepat dan intens, hanyut dalam hasrat yang terlalu kuat buat dit
Semua orang ketawa. Tapi di balik tawa itu, Alina nggak bisa lepas dari pikiran bahwa ini cuma awal dari drama yang lebih besar. Clarissa nggak akan tinggal diam. Dan kalau Lara beneran masuk tim cheer, dia pasti bakal jadi target utama Clarissa. Tapi di sisi lain, Alina salut sama keberanian Lara. Anak baru ini jelas beda. Dia punya nyali, bahkan di depan cewek seberbahaya Clarissa. Ponsel Alina bergetar, dan sebuah pesan muncul. Arion: Gue udah di tempat biasa. Ayo pulang. Alina senyum-senyum sambil mengetik balasan. Alina: Gue udah di jalan. Valerian yang lagi cerita langsung berhenti pas Alina jentikin jari ke arahnya. Dia ngangkat alis sambil manyun. "Geser dulu, gue mau keluar," kata Alina sambil mendorongnya pelan. "Gue lagi di seru-seru cerita, lo nggak sopan banget sih." Alina cuman ngangkat bahu. Dia udah nggak ngikutin obrolan mereka dari tadi, sejak Clarissa muncul. Mereka bertiga – Valerian, Darren, dan Luther – lagi asyik banget ngomongin pertandi
“Sekarang, dia udah nggak mau sama lo, jadi lo makin tertantang pengen balikan sama dia.” Clarissa bengong, sementara semua orang di meja itu hanya terdiam. Alina pengen ketawa sinis tapi dia tahan biar nggak memperkeruh suasana. Ketika pertama kali ketemu Valerian, Alina pikir dia cuma cowok tukang ngomong jorok… dan memang benar. Tapi, Alina harus akui, Valerian juga jeli dan pintar. Dan dia berhasil menyembunyikan itu. “Lo mungkin jago akting, Clarissa. Dari ekspresi muka lo sampai pose lo emang udah niat banget. Tapi tahu nggak? Kurangnya kehangatan di mata lo ngasih tahu cerita yang sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba berakting lagi di depan gue.” Clarissa langsung berdiri lebih tegap, kelihatan santai meski kelihatan nggak nyaman. Valerian malah santai nyeruput minumannya. Setelah dia selesai, dia naruh botolnya di meja dan ngomong lagi. “Pada akhirnya, Arion itu anak buah gue. Kita punya kode. Kawan lebih penting daripada cewek." Dia nyengir ke Alina, Luther, kemudi
“Tempatnya nggak biasa, sih. Kita bakal di tempat yang cukup eksklusif. Gue udah ngatur semuanya.” Luther melanjutkan, “Jadi, pesta ini diadakan di bekas tempat penambangan berlian milik bokap gue. Sekarang tempat itu udah jadi tempat yang private, buat acara-acara kaya gini. Udah modern, ada bar, dan lounge besar. Tempatnya keren banget.” Darren mengangguk pelan, “Sounds cool sih. Gue ikut aja. Tapi lo janji ya, Luther, nggak ada drama.” Luther cuma ngangguk dengan percaya diri. “Gue janji, kali ini lo bakal ngerasain pesta yang beda dari yang lain.” Tiba-tiba nampan mendarat di meja sebelah Alina, dan Valerian masuk ke bilik sambil nyengir. “Wah... Ada yang bentar lagi ultah, nih?” “Obsidian Chamber emang gede banget.." Valerian duduk dan menyelipkan tangannya di belakang kepala. "Lo pada wajib ikut sih, karena bakal ngerasain vibe mewahnya. Cuma, jangan sampai salah jalan, bisa-bisa lo kebablasan ke ruang penyimpanan berlian, hahaha.” “Bener banget. Kalian semua bakal j
Ines melambat, tapi nggak cukup buat Alina nyusul dengan santai. Kaki Alina udah letoy kayak mie yang kelamaan direndam air panas—lemes banget, hampir nggak ada tenaga buat ngejar. Ini akibat latihan bareng Valerian tadi. Dengan napas setengah ngos-ngosan, akhirnya dia bisa sejajar dengan Ines. Wajah Ines keliatan makin cemberut. Dia terus jalan sambil pandangannya lurus ke depan, sengaja banget ngindarin tatapan Alina. “Nes, lo kenapa sih?” Alina berusaha ngejaga nada suaranya tetap santai, walaupun dalam hati bingung banget. Tapi Ines tetap diam, kayak Alina nggak ada di situ. “Aku nggak tahu apa yang gue lakuin ke lo, tapi gue yakin gue—” Alina mencoba menjelaskan, tapi kalimatnya terpotong. “Enggak,” potong Ines dengan nada tegas. “Kita baik-baik aja.” Baik-baik aja. Kata itu terdengar aneh di telinga Alina, tapi dia hanya bisa mengangkat bahu. Ines tiba-tiba berlari menyeberangi jalur hijau dan mulai mengambil bahan simulasi luka untuk latihan PMR mereka. '