Posisi Arion sekarang ada dibelakang Alina. "Lepasin pegangan lo dari tempat tidurnya," Ada kepuasan yang terasa di setiap gerakannya saat Alina menurut untuk pertama kalinya, langsung ngelakuin apa yang Arion perintahkan. Dia narik Alina lebih dekat, ngebuat jarak di antara mereka benar-benar nggak ada lagi. Arion ngegesekkan lidahnya pelan di sepanjang bahu Alina, ngerasain rasa asin dari keringat di kulitnya yang panas, terus naik sampai ke lehernya. Tubuh Alina udah di ambang batas, jadi dia mulai melambat, pengin banget memperpanjang momen ini. "Jangan berhenti.." gerutunya, jari-jari Arion mencengkeram kuat pinggang Alina. Salah satu tangan Arion merayapi tubuh Alina hingga ke payudaranya, dan tangan lainnya mencengkeram di antara kedua kakinya, merasakan barangnya bergerak masuk dan keluar saat payudara Alina memantul di atasnya dengan irama yang bersemangat. Seluruh tubuh Alina gemetar, dadanya naik turun, Arion berdenyut di dalamnya. "Ini terlalu berlebihan. In
Sebelum Arion sempat ngomong, Valerian buka pintu mobil. Dia nyengir lebar sampai giginya keliatan. “Halo, lagi ngapain nih kalian?” Dia ngeliatin Arion dan Alina sambil mencibir. “Kita kan satu kelompok di proyek Bu Sylvia pelajaran keempat nanti, terus, serius deh, dia nggak ngerti kimia sama sekali.” “Bro, jangan,” kata Arion sambil geleng-geleng kepala. “Awas aja lo kalo bikin masalah lagi.” “Oh, come on,” Valerian nyenderin kepala ke belakang. “Ini lucu banget sumpah.” “Sama sekali nggak lucu.” Alina bingung mau ngomong apa, akhirnya dia cuma bilang, “Tolong jangan kasih tau Clarissa tentang ini.” “Tenang aja, dia nggak bakal cerita,” gumam Arion sambil nahan tangan Alina. Tapi Valerian malah ngerangkul dadanya. “Gue tersinggung, Al. Serius.. gue bukan tipe orang tukang ngadu.” “Lo nggak punya kerjaan lain apa, kayak ngerjain hukuman lo dari Bu Sylvia gitu?” Arion ngelirik ke arah perpustakaan. “Sekarang?” Valerian angkat jari, sambil nyender ke samping. “Pertama-ta
Alina buru-buru keluar dari mobil, hujan langsung menyiraminya pas dia lari ke ruang angkat beban. Ternyata hujan turun lebih deras tahun ini, berarti kamar loteng lamanya bakal lama banget diperbaiki. Sebagian diri Alina ngerasa lega karena bisa lebih sering bareng Arion, tapi sebagian lagi ngerasa ini terlalu bagus buat bertahan lama, dan Alina butuh ruang sendiri buat hal-hal yang bakal terjadi. 'Tapi untuk saat ini, gue nggak punya pilihan.' Di ruang angkat beban, Alina lempar tas ranselnya di sudut seperti biasa. Terus dia jalan ke bagian beban bebas, nyari-nyari latihan apa yang pengen dia coba hari ini. Dia cek catatan di handphone dan mulai nyusun gerakan dasar. Alina udah cukup puas pas selesai ngerjain satu gerakan. Tapi pas dia mau lanjut ke gerakan selanjutnya—deadlift—dia jadi takut buat ngerjainnya, takut nggak bisa ngebenerin tekniknya dan malah cedera. Alina nggak boleh sampe cedera, karena kalau itu terjadi, dia nggak bisa kerja di kafe. Beberapa saat setelah itu
Ines melambat, tapi nggak cukup buat Alina nyusul dengan santai. Kaki Alina udah letoy kayak mie yang kelamaan direndam air panas—lemes banget, hampir nggak ada tenaga buat ngejar. Ini akibat latihan bareng Valerian tadi. Dengan napas setengah ngos-ngosan, akhirnya dia bisa sejajar dengan Ines. Wajah Ines keliatan makin cemberut. Dia terus jalan sambil pandangannya lurus ke depan, sengaja banget ngindarin tatapan Alina. “Nes, lo kenapa sih?” Alina berusaha ngejaga nada suaranya tetap santai, walaupun dalam hati bingung banget. Tapi Ines tetap diam, kayak Alina nggak ada di situ. “Aku nggak tahu apa yang gue lakuin ke lo, tapi gue yakin gue—” Alina mencoba menjelaskan, tapi kalimatnya terpotong. “Enggak,” potong Ines dengan nada tegas. “Kita baik-baik aja.” Baik-baik aja. Kata itu terdengar aneh di telinga Alina, tapi dia hanya bisa mengangkat bahu. Ines tiba-tiba berlari menyeberangi jalur hijau dan mulai mengambil bahan simulasi luka untuk latihan PMR mereka. '
“Tempatnya nggak biasa, sih. Kita bakal di tempat yang cukup eksklusif. Gue udah ngatur semuanya.” Luther melanjutkan, “Jadi, pesta ini diadakan di bekas tempat penambangan berlian milik bokap gue. Sekarang tempat itu udah jadi tempat yang private, buat acara-acara kaya gini. Udah modern, ada bar, dan lounge besar. Tempatnya keren banget.” Darren mengangguk pelan, “Sounds cool sih. Gue ikut aja. Tapi lo janji ya, Luther, nggak ada drama.” Luther cuma ngangguk dengan percaya diri. “Gue janji, kali ini lo bakal ngerasain pesta yang beda dari yang lain.” Tiba-tiba nampan mendarat di meja sebelah Alina, dan Valerian masuk ke bilik sambil nyengir. “Wah... Ada yang bentar lagi ultah, nih?” “Obsidian Chamber emang gede banget.." Valerian duduk dan menyelipkan tangannya di belakang kepala. "Lo pada wajib ikut sih, karena bakal ngerasain vibe mewahnya. Cuma, jangan sampai salah jalan, bisa-bisa lo kebablasan ke ruang penyimpanan berlian, hahaha.” “Bener banget. Kalian semua bakal j
“Sekarang, dia udah nggak mau sama lo, jadi lo makin tertantang pengen balikan sama dia.” Clarissa bengong, sementara semua orang di meja itu hanya terdiam. Alina pengen ketawa sinis tapi dia tahan biar nggak memperkeruh suasana. Ketika pertama kali ketemu Valerian, Alina pikir dia cuma cowok tukang ngomong jorok… dan memang benar. Tapi, Alina harus akui, Valerian juga jeli dan pintar. Dan dia berhasil menyembunyikan itu. “Lo mungkin jago akting, Clarissa. Dari ekspresi muka lo sampai pose lo emang udah niat banget. Tapi tahu nggak? Kurangnya kehangatan di mata lo ngasih tahu cerita yang sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba berakting lagi di depan gue.” Clarissa langsung berdiri lebih tegap, kelihatan santai meski kelihatan nggak nyaman. Valerian malah santai nyeruput minumannya. Setelah dia selesai, dia naruh botolnya di meja dan ngomong lagi. “Pada akhirnya, Arion itu anak buah gue. Kita punya kode. Kawan lebih penting daripada cewek." Dia nyengir ke Alina, Luther, kemudi
Semua orang ketawa. Tapi di balik tawa itu, Alina nggak bisa lepas dari pikiran bahwa ini cuma awal dari drama yang lebih besar. Clarissa nggak akan tinggal diam. Dan kalau Lara beneran masuk tim cheer, dia pasti bakal jadi target utama Clarissa. Tapi di sisi lain, Alina salut sama keberanian Lara. Anak baru ini jelas beda. Dia punya nyali, bahkan di depan cewek seberbahaya Clarissa. Ponsel Alina bergetar, dan sebuah pesan muncul. Arion: Gue udah di tempat biasa. Ayo pulang. Alina senyum-senyum sambil mengetik balasan. Alina: Gue udah di jalan. Valerian yang lagi cerita langsung berhenti pas Alina jentikin jari ke arahnya. Dia ngangkat alis sambil manyun. "Geser dulu, gue mau keluar," kata Alina sambil mendorongnya pelan. "Gue lagi di seru-seru cerita, lo nggak sopan banget sih." Alina cuman ngangkat bahu. Dia udah nggak ngikutin obrolan mereka dari tadi, sejak Clarissa muncul. Mereka bertiga – Valerian, Darren, dan Luther – lagi asyik banget ngomongin pertandi
Tangan Arion mulai merayap ke pinggang Alina, ngerasain setiap lekuk tubuh Alina di balik seragam. Hasrat Alina muncul kayak badai yang nggak bisa ditahan. Dia nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Alina menginginkan Arion—sepenuhnya, sebelum pikiran soal Clarissa muncul lagi dan merusak semuanya. Bibir Alina mencari bibir Arion, lidahnya masuk ke mulutnya. Alina dorong Arion ke sofa sampai dia jatuh terduduk, lalu Alina naik ke pangkuannya. Arion mengerang pelan, puas, lalu bibirnya turun ke leher Alina, bikin Alina kehilangan kendali. Sentuhannya, ciumannya, semuanya bikin pikiran Alina kabur. Mereka melepas seragam satu per satu. Sentuhan itu bikin napas Alina tercekat, dan dia nggak bisa mikir apa-apa lagi kecuali Arion. Dengan emosi yang memuncak dan adrenalin yang nggak terbendung, Alina takut bakal kebablasan ngomong terlalu banyak. Tapi semua itu sirna saat Arion pasang kondomnya dan Alina mulai bergerak cepat dan intens, hanyut dalam hasrat yang terlalu kuat buat dita
'Suara itu… suara Kakek…' Semua kepala menoleh ke arah pintu aula yang terbuka perlahan. Di sanalah, Kakek Hadi muncul, duduk di kursi roda, didorong oleh Daniel. “Aku yang menikahkan mereka,” kata Kakek Hadi lantang. Suaranya bergetar, tapi tegas. “Arion dan Alina… sudah sah sebagai suami istri di bawah saksi hukum dan agama.” Keheningan memekakkan telinga. Nyonya Mahendra memegang dada dengan mulut terbuka lebar, “Apa… maksud Ayah?” Nyonya Wijaya yang berdiri di samping suaminya, terbatuk kaget, lalu menatap Alina dari atas ke bawah seolah tak percaya. Dia mengerutkan kening dalam-dalam, seakan berita itu menampar harga dirinya. Clarissa melangkah maju, matanya menyipit penuh kebencian, tapi dengan senyum mengejek di sudut bibir. "Masih berani diem, ya?" "Lo tuh cuma istri gelap Arion, Alina. Dan berani-beraninya 'main’ di villa keluarga Arion. Udah status lo nggak jelas, keluarga Arion juga bahkan nggak ada yang nerima lo. Tapi lo santai aja seolah lo itu siapa."
Alina gugup setengah mati. Pak Remi udah ngasih tahu kalau Direktur Eric dan keluarganya bakal datang... termasuk Clarissa—orang yang paling nggak dia suka di dunia ini. Tinggal serumah sama keluarga Arion juga bikin Alina serba salah. Satu-satunya waktu yang terasa nggak bikin sesak cuma pas dia lagi berdua sama Arion. Tasha hampir nggak pernah nyapa, tapi itu juga nggak terlalu ngaruh karena dia juga gitu ke Arion. Yang bikin Alina nggak nyaman justru tatapan dari Pak Remi dan istrinya—tatapan yang bilang dengan jelas: 'Anda tidak diterima di sini.' Dan di tengah semua kekakuan itu, Arion malah suka tiba-tiba menyelinap ke kamarnya tiap malam. Alina kesel. Dia tahu, Pak Remi pasti mikir yang macem-macem soal mereka. Padahal, mereka belum ngelakuin apa-apa disini. Pagi itu, Alina turun buat bantu-bantu masak makan malam. Tapi ternyata, dapurnya bukan dapur biasa. Ada koki dan staf segala. Tapi Alina malah disuruh keluar dari dapur. Yah... makin jelas aja siapa yang s
Alina ingin memeluknya. Ingin bilang kalau dia nggak sendirian. Selama ini, dia pikir Arion cuma hidup di dunia yang penuh dengan kemewahan dan kebebasan. Tapi sekarang, dia sadar kalau hidup cowok itu jauh lebih berantakan daripada yang dia bayangkan. Dan dia benci karena pernah berasumsi sebaliknya. Pak Remi menatap tajam ke arah Arion. “Kamu harus fokus, nak. Sepak bola dan sekolah bakal memastikan kamu punya hidup yang nyaman. Kalau kamu kehilangan konsentrasi bahkan sedetik aja, itu bisa menghancurkan kamu. Kamu nggak punya waktu buat jalanin hubungan yang butuh banyak perhatian. Dan lebih parah lagi, gimana kalau dia hamil?” Arion menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal. “Dia nggak bakal hamil,” bantahnya, nada suaranya tajam. “Kami selalu hati-hati.” Alina ikut angkat bicara. “Terlepas dari apa pun yang Anda pikirin tentang saya, satu hal yang paling nggak saya mau adalah hamil.” Wajahnya menegang saat membayangkan harus membawa seorang anak ke dunia
BRAKK! Pintu kamar terbuka dengan kasar. Arion tetap bersikap santai, sementara Alina tersentak kaget. Jantungnya berdebar kencang, dan ia refleks beringsut menjauh, tapi pegangan Arion di pinggangnya terlalu erat. "Apa-apaan ini, Arion? Kenapa ada dia di kamarmu?" suara Pak Remi terdengar tajam, sorot matanya penuh tekanan. Arion melirik sekilas ke arah ayahnya sebelum menunjuk ke layar TV yang masih menampilkan adegan bersambung. "Aku cuma nonton sama dia. Itu aja. Kalau nggak keberatan, kita mau lanjut," jawabnya santai. Pak Remi semakin kesal, rahangnya mengeras. "Kamu mau bikin masalah apalagi? Clarissa nangis tadi, dia sampai telepon Eric sambil sesenggukan!" Arion menghela napas panjang, lalu meraih remote untuk mematikan TV. "Aku nggak pernah nyuruh dia ngurusin hidupku yah, jadi aku nggak ngerti kenapa ayah malah nyalahin aku." Alina menahan napas. Cara Arion menanggapi ayahnya begitu cuek, seolah ini bukan masalah besar. Padahal, Pak Remi jelas-jelas tidak
Alina menegang. Dia bisa merasakan suasana di ruangan ini berubah drastis—udara jadi lebih berat, dan tatapan Arion menggelap, penuh amarah. "Mulut lo itu," Arion mendekat selangkah, bahunya menegang. "Mau gue bikin diem?" Pria itu hanya menyeringai kecil, ekspresinya sama sekali nggak terpengaruh oleh nada tajam yang keluar dari mulut Arion. "Santai aja kali. Lagian Alina juga kayaknya seneng gue disini... By the way, kok lo balik sama Alina?" "Tch," Arion mendecakkan lidahnya, melepaskan genggaman tangannya dari Alina. "Suka-suka gue mau bawa dia kemana aja." Daniel menyipitkan mata, senyumnya tipis tapi penuh arti. "Kenapa lo bawa dia ke sini?" Dia melipat tangan di dada, menatap Arion dengan penuh minat. "Bukannya dia tinggal bareng Clarissa di villa Direktur Eric?" Alina menahan napas, berharap bisa menghilang saat itu juga. Arion melipat tangan di dada, wajahnya tanpa ekspresi. "Emangnya nggak boleh?" Daniel terkekeh, mengangkat bahu santai. "Boleh-boleh aj
Saat Arion menarik dirinya dari Alina, dia hanya melemparkan pandangan tajam ke Clarissa. "Ini cuma awal, Clar. Jangan ganggu hidup kami lagi." Alina, masih terengah-engah, menatap Arion—antara cemas dan bingung, belum sepenuhnya siap untuk apa yang baru saja terjadi. Tapi satu hal yang jelas, dia tahu ini bukanlah akhir dari cerita mereka. Clarissa tertawa sinis, matanya berkilat penuh amarah. "Gila. Ini semua nggak beneran kan?" "Gue nggak peduli apa yang lo pikirin." Arion menghela napas sambil menutup ritsleting koper Alina dengan gerakan cepat, lalu menarik koper itu dan menggulirkannya ke arah pintu. Clarissa masih berdiri di sana, menghalangi jalan. "Apa yang lo pikir lo lakuin?!" "Dia datang ke sini sama gue," lanjut Clarissa, nadanya penuh klaim kepemilikan. Arion menyeringai sinis. "Oh, iya? Kedengerannya lebih kayak lo bawa dia ke sini buat jadi samsak tinju lo." Dia melipat tangan di dada, menatap Clarissa dengan penuh penghinaan. "Dia bakal lebih aman d
“Jangan bandingin Alina sama nyokap gue.” Arion mendengus, ekspresinya penuh rasa muak. “Lo nggak tahu apa-apa tentang dia, jadi stop ngomong asal.” Alina meletakkan tangannya di punggung Arion, berusaha menenangkannya. Tapi tubuh Arion justru makin tegang, jelas dia sedang berusaha menahan amarahnya. Clarissa melipat tangan dan memutar matanya. “Ya ampun, lo bisa yakin dari mana? Gara-gara dia pura-pura kena serangan panik di pesawat? Jangan bego, deh. Itu cuma otak bawah lo yang ngomong. Atau lebih tepatnya, kelamin lo.” Ruangan langsung terasa lebih sunyi. Napas Arion terdengar berat, dan Alina merasa seperti ada sesuatu yang akan meledak kapan saja. "Lo tahu nggak sih kalau Alina tiap hari jalan kaki ke sekolah?" "Terus kenapa?" Clarissa menatap malas sambil menghentakkan kakinya. "Lo juga tahu nggak kalau dia pulang kerja malem-malem, sendirian, pas keadaan udah nggak aman?" Clarissa mengangkat bahu santai. "Tapi nyatanya dia baik-baik aja, kan?" "Terus k
Loly ketawa di ujung telepon. “Gue ngerti lo pengen banget sampai dia... you know, keluar di dalem. Tapi please, jangan lakuin itu—” “Apa sih? Nggak bakal lah,” Alina memotong cepat sebelum menutup telepon. Dia mendengus. Hamil di saat hidupnya masih berantakan? Itu hal terakhir yang Alina butuhkan. Dan dia juga nggak bakal pernah ngelakuin itu sama Arion. Rasa penasaran menggelitik dirinya saat dia berjalan cepat ke pintu belakang. Begitu dibuka, seorang cowok berdiri di ambang pintu, posturnya memenuhi kusen pintu. Celana jins dan kemeja polo warna sage yang dia pakai begitu pas di badannya. Mata cokelatnya berkilat jahil. “Hei. Lo pasti kangen sama gue.” Alina mendengus, melipat tangan di dada. “Gue kira lo tukang service mesin cuci.” Arion terkekeh pendek sebelum menariknya dalam ciuman. Alina nggak ragu buat membalas. Tangannya mencengkeram kerah bajunya, menariknya lebih dekat. Lidah mereka beradu, napas saling berburu. Arion menggeram rendah, memeluknya erat
Dengan langkah cepat, Alina keluar dari toko dan berdiri di luar. Udara segar sedikit membantunya bernapas lebih lega. Rasa sepi tiba-tiba menyerangnya. Dia rela ngelakuin apa aja buat bisa menelepon orang tuanya. Untuk sekadar denger suara mereka lagi. Tapi sayangnya itu cuma angan-angan. Nggak ada yang bakal nyariin dia lagi. *** Beberapa jam kemudian, Alina menemukan sedikit penghiburan di kamar sementaranya... kalau bisa dibilang begitu. Kamar itu gede banget, dua kali lipat ukuran ruang tamu rumah yang pernah dia tinggali sama orang tuanya dulu. Dia rebahan di atas tempat tidur king-size dengan headboard berbulu warna krem, matanya menatap kosong ke dinding putih pucat. Bahkan seprai di kasur itu putih dan krem, seakan-akan orang yang mendekorasi ruangan ini benci warna-warna cerah. Tapi jendelanya rapi, bagian atasnya melengkung, dan langsung menghadap halaman belakang. Sebuah TV besar tergantung di dinding, dan tanpa banyak berpikir, dia menyalakannya. Ponselnya b