Alina berjalan cepat menuju meja pelanggan sambil membawa nampan berisi minuman. Tempat itu penuh sesak, bikin dia harus ekstra hati-hati biar nggak ada yang tumpah. Tapi baru aja sampai, seorang cowok dari Royal Crest langsung menghadang. Jaketnya jelas banget nunjukin logo tim futsal mereka, dan ekspresinya? Sok banget. “Eh, lo cantik juga, ya. Minumannya ada bonus nomor HP nggak?” katanya sambil nyengir lebar, matanya jelas-jelas ngeliatin Alina dari atas sampai bawah. Alina narik napas dalam, berusaha sabar. “Maaf, gue cuma pelayan di sini, bukan customer service,” jawabnya dingin sambil naro minuman di meja. Cowok itu malah ketawa kecil, makin nyebelin. “Jangan jutek gitu dong. Gue cuma mau bikin hari lo lebih seru. Lagian, gue kapten tim futsal Royal Crest, loh. Siapa tahu lo mau ketularan hoki gue.” Dia bersandar di meja, gayanya kayak ngerasa paling keren. Temen-temennya yang duduk di meja itu malah ikut ketawa, nambahin rasa bete Alina. Alina muter mata, udah nggak
Arion nuntun Alina naik tangga ke lantai satu, ngelewatin ruang tamu dan dapur, sebelum belok ke tangga lain menuju lantai dua. Di lantai atas, dia buka pintu di ujung lorong dan nyuruh Alina masuk. “Ini kamar lo.” Alina masuk, dan jujur, dia kaget bukan main. Kamar itu lebih gede dari kamar asrama Darren sama Glen kalau digabung. Tempat tidur king size ada di sisi kiri, lengkap dengan seprai biru muda dan selimut tebal yang warnanya senada. Lemari besar warna putih ada di seberang tempat tidur, dengan TV layar datar di atasnya. Nakas di kedua sisi tempat tidur juga serasi. Udara di kamar itu harum, kayak bau lemon segar. Alina ngeraba selimut di tempat tidur sambil ngelirik Arion. “Lo bersihin kamar ini sendiri?” Arion nyelipin tangannya ke saku dan mengangguk santai. “Iya. Gue nggak mau lo tidur di seprai apek yang udah lama nggak diganti. Lagian, biru kayaknya warna yang lo suka.” Alina senyum kecil. “Iya, gue suka.” Arion muterin bahunya, kayak lagi ngusir pegal. “Pa
Arion mengembuskan napas panjang, matanya masih nyari-nyari jawaban di wajah Alina. "Lo yakin banget ini yang lo mau?" Alina mengangguk cepat. "Lo nggak ngerti betapa gue butuh lo sekarang. Gue nggak bohong." Arion mengusap rambut Alina, nunduk sedikit sampai keningnya nempel di kening Alina. "Lo bikin gue kehilangan kendali atas diri gue.." Tapi Arion nggak mundur. Tangannya melingkar di pinggang Alina, mereka sama-sama merasakan detak jantung masing-masing. Alina nggak perlu ngomong apa-apa lagi. Karena malam itu, semuanya udah cukup jelas. Arion nggak mundur. Tangannya melingkar di pinggang gue, dan gue bisa ngerasain detak jantungnya, sama kayak dia pasti ngerasain detak jantung gue. Kita nggak perlu ngomong apa-apa lagi. Malam itu, semuanya udah cukup jelas. "Lo nggak tau, kan, betapa lo bikin gue gila?" kata Arion pelan. Rahangnya keliatan tegang, tapi mata dia berubah gelap. Hasratnya jelas terpancar. Jantung Alina berdebar kencang, kayak mau meledak. Dia diem,
Arion ketawa kecil, matanya berbinar nakal. "Oh ya? Gue rasa nggak gitu deh rasanya." Dia berguling turun dari tempat tidur, dan Alina hampir cemberut sampai Arion tiba-tiba ngelepas celana sama celana dalamnya. "Begini aja. Kita berdua sampai klimaks sambil humping, tapi masih pakai baju kayak pengantin baru.. Bareng lo, ini bisa jauh lebih seru daripada yang pernah gue bayangin." Arion ngejatuhin celananya ke lantai, dan Alina nggak bisa nahan pandangannya yang kini fokus ke tubuh Arion, dia polos sepenuhnya untuk pertama kalinya di depan Alina. "Arion..." Arion menyeringai lebar. "Lo suka apa yang lo lihat?" Alina mengangguk tanpa ragu. "Banget." Arion lompat balik ke tempat tidur, bikin Alina ketawa kecil karena gerakannya yang main-main. Dengan santai, Arion menarik selimut yang nutupin tubuh Alina dan ngelepas celana pendek Alina tanpa basa-basi. Alina nggak bisa nahan senyum lebar sampai pipinya sakit. Arion mendekat lagi, cium bibir Alina dengan lembut tapi
Panas langsung nyambar wajah Alina, dan dia sibuk ngeliatin lantai. “Eh, udah lah, nggak usah jaim-jaim lagi depan gue.” “Gue tahu... cuma, ya aneh aja rasanya.” Alina nunduk, mukanya merah. “Lo kan bilang kita cuma temenan dan nggak bisa kayak gini. Gue takut malah bikin hubungan kita jadi ribet.” Arion naruh panci sambil narik napas panjang, terus dia jalan ke arah Alina. Dengan santai, dia ngangkat dagu Alina pakai jarinya, bikin Alina nggak bisa kabur dari tatapannya. “Denger, Na. Kalau gue nggak mau, gue nggak bakal lakuin itu. Lagian gue udah gede, nggak bakal bisa dimanipulasi kayak anak kecil.” “Itu bukan manipulasi, Arion.” Alina balas tatapan Arion, meskipun jantungnya deg-degan. “Mungkin gue cuma… ya, butuh lo waktu itu. Tapi ini bikin semuanya jadi lebih ribet.” Arion ngangkat alis, mukanya kayak nahan ketawa. “Ribet apanya? Gue nggak ngerti, coba jelasin.” “Gue bukan tipe cewek yang cari ‘temen deket yang plus-plus,’ ngerti, kan?” Alina nyilangkan tangan di d
“Dengerin dulu penjelasan gue,” Arion mencium pipi Alina, lalu lanjut ngomong. “Jadi gini, jalan bareng Clarissa selanjutnya adalah yang terakhir. Itu cuma acara penggalangan dana yang bokap nyokap gue suruh datengin. Gue bakal dateng bentar, sejam paling lama, terus cabut. Habis itu, gue bakal putus total sama dia, nggak ada lagi drama hubungan palsu. Tapi lo harus janji satu hal—lo sama Darren tetap temenan aja. Kalau ada apa-apa, lo langsung kabarin gue. Apa pun yang terjadi.” Alina nyampingin kepala, ngelihatin Arion sambil mikir. “Tapi gue nggak mau bikin ribet hubungan lo sama keluarga lo.” Arion menarik Alina lebih deket. “Bokap gue udah tahu kelakuan Clarissa sebenernya, dan dia ngerti kenapa gue mau putus sama dia... Jadi, nggak bakal ada masalah. Nggak sama gue, nggak sama bokap gue. Dan soal Direktur Eric, biarin aja dia sibuk sama urusannya sendiri.” Alina ketawa kecil, nggak nyangka Arion bisa ngomong gitu. “Oke. Gue setuju. Kita jalanin ini bareng-bareng, tapi kit
"Gue ga fokus karena foto-foto itu..." Alina bergeser ke ujung sofa. Dia selipin rambutnya di balik telinga. "Foto-foto aliran sungai itu..." Arion ngelirik gambar-gambar di dinding. "Foto sungai? Yang deras-deras gitu?" "Iya." Alina ambil napas, ngerasa sesak. "Itu... Itu ngingetin gue sama kecelakaan gue." Arion berhenti gerak, matanya melotot. "Kecelakaan? Maksud lo apa?" "Gue dan keluarga gue kecelakaan mobil, mobilnya terbalik ke sungai." Tiba-tiba mimpi-mimpi buruk itu muncul lagi, pandangan Alina kabur. "Astaga, maafin gue, babe. Gue nggak nyangka pajangan-pajangan ini bisa bikin lo ketakutan di rumah gue kayak gini." “Mungkin... itu yang gue impikan tadi malam waktu lo denger gue teriak-teriak pas tidur,” jawab Alina sambil menyeka air matanya yang nggak berhenti mengalir. “Gue mimpi nyoba nyelamatin Ibu lagi.” “Ibu lo? Mereka berdua kan udah nggak ada.” Begitu mulai cerita, Alina nggak bisa berhenti. Rasa bersalahnya udah terlalu lama dia pendam. “Dia wak
Alina langsung tegang. "Arion, gue bener-bener minta maaf." 'Gak heran dia curiga kenapa gue tiba-tiba muncul di sekolah, dan mikir kalau Direktur Eric yang bayar semua biaya gue...' "Lo gak perlu minta maaf." Arion meletakkan foto terakhir di sisi kiri ruangan dan nambahin ke tumpukan foto di atas meja dekat PS-nya. "Udah, semua fotonya udah gue turunin." Arion tiba-tiba ganti topik, dan Alina sebenernya gak pengen dia gitu, tapi Alina gak bakal maksa. Itu gak adil, dan Arion baru aja membuka dirinya pada Alina. Dia mungkin bakal cerita semuanya kalau dia udah siap. "Lo mau lanjut ngomongin ini?" "Gak juga." Arion mendesah sambil jalan mendekati Alina, meraih tangannya. "Gue tau lo baru aja buka diri lo ke gue, dan gue gak langsung kasih balasan. Tapi ini berat banget buat gue. Beban yang gue bawa dari dulu. Gue selalu inget kalau ada orang di luar sana yang rela ngelakuin apa aja buat ngontrol orang lain." Sepanjang hidupnya. Alina yakin Arion lagi ngomongin ibunya, dan
Dua setengah minggu berlalu, Alina masih tinggal di rumah Arion. Di rumah, tim perbaikan udah nutup kebocoran, nguras kamar, dan pasang kipas angin juga dehumidifier supaya nggak ada kerusakan lebih parah. Tapi renovasinya makan waktu lama. Pemilik rumah bilang beberapa perlengkapan susah dicari, jadi Alina harus nunggu beberapa minggu lagi sampai kamarnya siap. Arion dan Alina masih nggak banyak ngobrol di sekolah kecuali saat pelajaran kimia atau waktu pertandingan. Semuanya makin awkward tiap harinya, tapi mereka tetap berpura-pura. Karena Clarissa sengaja ninggalin mereka berdua. “Baby, kita berangkat ya!” suara Arion dari bawah tangga bikin Alina tersadar. Hari ini ada pertandingan besar lawan Cendana High School. Alina turun ke bawah dan lihat mereka udah nunggu. “Semangat ya, kalian pasti bisa menang!” Arion senyum sambil menyandar ke dinding. “Nah, gitu dong, baru semangat. Kita nggak butuh yang namanya hoki.” Arion langsung narik Alina ke dadanya dan menci
Keesokan harinya, mereka pulang sekolah lebih awal karena sekolah sedang persiapan acara pensi. Sembari Alina latihan menyetir mobil dia duduk di pangkuan Arion, tangannya gemetar saat pegang setir. Bayangan kecelakaan yang menyebabkan ibunya meninggal terus keulang di kepalanya. Alina nggak bisa lupa kalau itu semua karena dia. Mobil mulai jalan pelan-pelan, tapi Alina malah makin panik saat ban depan menyerempet sesuatu. "Arion! Kita nabrak sesuatu!" Alina langsung refleks ngerem mendadak. Arion tiba-tiba membalikkan tubuh Alina, matanya menatap Alina serius tapi lembut. "Lo cuma nabrak tanah sama air, babe. Tenang aja. Itu nggak bakal nyakitin siapa-siapa, termasuk lo." Mata Arion bertemu mata Alina, dan Alina jadi lupa sama paniknya. Dia cuman bisa bengong, sementara Arion nahan senyum sambil berbisik, "Santai aja, gue nggak akan biarin lo kenapa-kenapa." Lama kelamaan, Alina mulai ngerasa lebih santai. 'Arion bener juga, nggak ada yang perlu ditakutin..' Di
Arion. "Hai," kata Alina dengan nada datar tapi penuh makna. "Gue nggak dengar suara pintu garasi tadi." Alina mencoba tetap tenang meski napasnya sempat tercekat. "Oh, ya? Udah pasti nggak." Arion melirik Valerian, yang masih fokus nge-shoot musuh dalam game tanpa sadar ada drama di belakangnya. "Gue kirim pesan buat lo, tapi nggak ada balesan. Gue sampai khawatir." Alina buru-buru nyari ponsel di meja kopi. Ada dua pesan dari Arion. Dia lihat jam. Baru jam setengah delapan. Dia cuma pergi satu setengah jam, termasuk waktu bolak-balik ke sekolah dan pulang. Arion memandang Alina dengan tatapan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin Alina gugup. Arion menghela napas pelan, lalu mendekat, bikin jarak antara mereka makin kecil. Alina menelan ludah. “Lo kelihatan terlalu santai,” suara Arion rendah, hampir seperti bisikan. “Apa maksud lo?” Arion nggak jawab, cuma mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Alina. Sentuhan jarinya lembut, menyusuri pipinya ke dagu.
Tangan Arion mulai merayap ke pinggang Alina, ngerasain setiap lekuk tubuh Alina di balik seragam. Hasrat Alina muncul kayak badai yang nggak bisa ditahan. Dia nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Alina menginginkan Arion—sepenuhnya, sebelum pikiran soal Clarissa muncul lagi dan merusak semuanya. Bibir Alina mencari bibir Arion, lidahnya masuk ke mulutnya. Alina dorong Arion ke sofa sampai dia jatuh terduduk, lalu Alina naik ke pangkuannya. Arion mengerang pelan, puas, lalu bibirnya turun ke leher Alina, bikin Alina kehilangan kendali. Sentuhannya, ciumannya, semuanya bikin pikiran Alina kabur. Mereka melepas seragam satu per satu. Sentuhan itu bikin napas Alina tercekat, dan dia nggak bisa mikir apa-apa lagi kecuali Arion. Dengan emosi yang memuncak dan adrenalin yang nggak terbendung, Alina takut bakal kebablasan ngomong terlalu banyak. Tapi semua itu sirna saat Arion pasang kondomnya dan Alina mulai bergerak cepat dan intens, hanyut dalam hasrat yang terlalu kuat buat dit
Semua orang ketawa. Tapi di balik tawa itu, Alina nggak bisa lepas dari pikiran bahwa ini cuma awal dari drama yang lebih besar. Clarissa nggak akan tinggal diam. Dan kalau Lara beneran masuk tim cheer, dia pasti bakal jadi target utama Clarissa. Tapi di sisi lain, Alina salut sama keberanian Lara. Anak baru ini jelas beda. Dia punya nyali, bahkan di depan cewek seberbahaya Clarissa. Ponsel Alina bergetar, dan sebuah pesan muncul. Arion: Gue udah di tempat biasa. Ayo pulang. Alina senyum-senyum sambil mengetik balasan. Alina: Gue udah di jalan. Valerian yang lagi cerita langsung berhenti pas Alina jentikin jari ke arahnya. Dia ngangkat alis sambil manyun. "Geser dulu, gue mau keluar," kata Alina sambil mendorongnya pelan. "Gue lagi di seru-seru cerita, lo nggak sopan banget sih." Alina cuman ngangkat bahu. Dia udah nggak ngikutin obrolan mereka dari tadi, sejak Clarissa muncul. Mereka bertiga – Valerian, Darren, dan Luther – lagi asyik banget ngomongin pertandi
“Sekarang, dia udah nggak mau sama lo, jadi lo makin tertantang pengen balikan sama dia.” Clarissa bengong, sementara semua orang di meja itu hanya terdiam. Alina pengen ketawa sinis tapi dia tahan biar nggak memperkeruh suasana. Ketika pertama kali ketemu Valerian, Alina pikir dia cuma cowok tukang ngomong jorok… dan memang benar. Tapi, Alina harus akui, Valerian juga jeli dan pintar. Dan dia berhasil menyembunyikan itu. “Lo mungkin jago akting, Clarissa. Dari ekspresi muka lo sampai pose lo emang udah niat banget. Tapi tahu nggak? Kurangnya kehangatan di mata lo ngasih tahu cerita yang sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba berakting lagi di depan gue.” Clarissa langsung berdiri lebih tegap, kelihatan santai meski kelihatan nggak nyaman. Valerian malah santai nyeruput minumannya. Setelah dia selesai, dia naruh botolnya di meja dan ngomong lagi. “Pada akhirnya, Arion itu anak buah gue. Kita punya kode. Kawan lebih penting daripada cewek." Dia nyengir ke Alina, Luther, kemudi
“Tempatnya nggak biasa, sih. Kita bakal di tempat yang cukup eksklusif. Gue udah ngatur semuanya.” Luther melanjutkan, “Jadi, pesta ini diadakan di bekas tempat penambangan berlian milik bokap gue. Sekarang tempat itu udah jadi tempat yang private, buat acara-acara kaya gini. Udah modern, ada bar, dan lounge besar. Tempatnya keren banget.” Darren mengangguk pelan, “Sounds cool sih. Gue ikut aja. Tapi lo janji ya, Luther, nggak ada drama.” Luther cuma ngangguk dengan percaya diri. “Gue janji, kali ini lo bakal ngerasain pesta yang beda dari yang lain.” Tiba-tiba nampan mendarat di meja sebelah Alina, dan Valerian masuk ke bilik sambil nyengir. “Wah... Ada yang bentar lagi ultah, nih?” “Obsidian Chamber emang gede banget.." Valerian duduk dan menyelipkan tangannya di belakang kepala. "Lo pada wajib ikut sih, karena bakal ngerasain vibe mewahnya. Cuma, jangan sampai salah jalan, bisa-bisa lo kebablasan ke ruang penyimpanan berlian, hahaha.” “Bener banget. Kalian semua bakal j
Ines melambat, tapi nggak cukup buat Alina nyusul dengan santai. Kaki Alina udah letoy kayak mie yang kelamaan direndam air panas—lemes banget, hampir nggak ada tenaga buat ngejar. Ini akibat latihan bareng Valerian tadi. Dengan napas setengah ngos-ngosan, akhirnya dia bisa sejajar dengan Ines. Wajah Ines keliatan makin cemberut. Dia terus jalan sambil pandangannya lurus ke depan, sengaja banget ngindarin tatapan Alina. “Nes, lo kenapa sih?” Alina berusaha ngejaga nada suaranya tetap santai, walaupun dalam hati bingung banget. Tapi Ines tetap diam, kayak Alina nggak ada di situ. “Aku nggak tahu apa yang gue lakuin ke lo, tapi gue yakin gue—” Alina mencoba menjelaskan, tapi kalimatnya terpotong. “Enggak,” potong Ines dengan nada tegas. “Kita baik-baik aja.” Baik-baik aja. Kata itu terdengar aneh di telinga Alina, tapi dia hanya bisa mengangkat bahu. Ines tiba-tiba berlari menyeberangi jalur hijau dan mulai mengambil bahan simulasi luka untuk latihan PMR mereka. '
Alina buru-buru keluar dari mobil, hujan langsung menyiraminya pas dia lari ke ruang angkat beban. Ternyata hujan turun lebih deras tahun ini, berarti kamar loteng lamanya bakal lama banget diperbaiki. Sebagian diri Alina ngerasa lega karena bisa lebih sering bareng Arion, tapi sebagian lagi ngerasa ini terlalu bagus buat bertahan lama, dan Alina butuh ruang sendiri buat hal-hal yang bakal terjadi. 'Tapi untuk saat ini, gue nggak punya pilihan.' Di ruang angkat beban, Alina lempar tas ranselnya di sudut seperti biasa. Terus dia jalan ke bagian beban bebas, nyari-nyari latihan apa yang pengen dia coba hari ini. Dia cek catatan di handphone dan mulai nyusun gerakan dasar. Alina udah cukup puas pas selesai ngerjain satu gerakan. Tapi pas dia mau lanjut ke gerakan selanjutnya—deadlift—dia jadi takut buat ngerjainnya, takut nggak bisa ngebenerin tekniknya dan malah cedera. Alina nggak boleh sampe cedera, karena kalau itu terjadi, dia nggak bisa kerja di kafe. Beberapa saat setelah itu