Maafkan update yang tersendat karena sebagai Cancer Warrior saya harus melakukan check up mendalam setiap tiga bulan.
Sehari sebelum keberangkatan Arsya. Tak terhitung berapa kali Indah mengecek semua bawaan Arsya sehari sebelum keberangkatan. Walau Arsya meyakinkan bahwa semua sudah beres dan tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, Indah tetap merasa perlu mengalihkan dirinya dari kesedihan dan berkecil hati.Sore sebelum berangkat, Arsya tiba dari kantor sedikit lebih cepat. Saat sedang mengecek semua perangkat elektronik yang akan dibawa, Indah tercenung saat membuka salah satu laci kerja Arsya. Tadinya ia memang hanya ingin mencari kabel. Bersamaan dengan itu, Arsya muncul di depan pintu.“Lihat apa? Kok, mukanya gitu?” Arsya cepat-cepat menyusul Indah.“Sejak kapan jurnal ini ada di Abang? Bukannya ini sebelumnya aku kasih ke Mbak Yeni?” Indah memegang jurnal yang isinya tentang jenis pakaian Arsya dan beberapa contoh padanan busana yang diklipingnya sewaktu menjadi asisten sekretaris. “Oh, itu .... Itu memang Abang ambil dari Yeni. Dulu ada cewe yang ngambek langsung mengundurkan diri. Semua
Deden dan Ipul yang bekerja merangkap keamanan dan segala tukang di rumah Arsya, masuk bersamaan pagi itu. Kemarin, Arsya sudah mewanti-wanti keduanya. “Saya minta waktu ekstra kalian berdua. Bu Indah lebih senang di rumah merawat bonsai-bonsainya. Jadi, jangan ambil libur tanpa seizin saya. Jangan tinggalkan pagar tanpa pengawasan karena saya bisa mengakses CCTV dari mana saja. Saya harap kalian bisa diandalkan saat saya pergi bersama Galih.” Setelah menyampaikan pesan-pesannya, Arsya bergeser untuk menerima uluran tangan Bu Anum. “Jaga diri, Pak Arsya. Pergi sehat kembali sehat. Tiga bulan lagi bakal ketemu dede bayi. Bukan Pak Arsya aja yang nggak sabar, saya juga nggak sabar,” kata Bu Anum. Arsya menambahkan satu tangannya lagi di atas jabatannya bersama Bu Anum. Genggamannya semakin kuat. Wanita paruh baya di depannya itu adalah orang pertama yang dipercayainya dalam soal menjaga Indah. “Bu Anum, saya mempercayakan istri dan calon bayi saya ke Bu Anum. Tetap baik-baik saja sela
Percakapan selama perjalanan itu tidak berlangsung lama. Perjalanan panjang dan beberapa kali berpindah moda transportasi bisa membuat orang cepat letih. Terutama buat orang yang jarang melakukan perjalanan jauh seperti Abdul. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya di depan komputer. Sedangkan Vino rekannya terlihat tidak sabar untuk segera mengakhiri perjalanan. Vino sering melihat jam dan mengecek map. Seolah ada petualangan khusus yang sedang dinantinya.Di sisi lain, Galih sang ajudan pimpinan lebih banyak diam memperhatikan sekitar mereka. Galih memandang tiap orang lebih seksama terutama orang baru yang kebetulan melintas atau tiba-tiba saja berada di dekat mereka. Galih berusaha keras agar pimpinannya tidak terlihat terlalu mencolok meski hal itu sangat sulit dilakukan. Rupa Arsya sangat menonjol. Gayanya sederhana, tapi terkesan eksklusif dan mahal. Apalagi ditambah dengan Arsya sedang berada di sebelah pengacara yang terlihat selalu rapi dan licin dengan jas mahalnya. Sem
“Memangnya PT. E ini punya hubungan apa lagi dengan Pelita Sentosa? Kenapa menyerang SB Industrial Energy? Bagian yang ini saya belum paham. Tolong seseorang bantu jelaskan karena sepertinya saya nggak ikut turun. Saya tidak mahir dengan senjata api by the way.” Abdul membuat semua orang di mobil menoleh ke arahnya. “Saya juga tidak mahir dengan senjata manual. Tombak, panah, pedang dan sejenisnya,” tambah Abdul cepat-cepat.Vino membuka tabletnya dan menggulirnya sebentar. Sejurus kemudian dia menjejalkan tablet itu pada Abdul. “Aku juga baru tahu kalau ternyata PT. E ini adalah anak perusahaan Pelita Sentosa. Salah satu tambang yang izinnya bakal dicabut karena banyak melanggar aspek teknis maupun pelestarian lingkungan. Perusahaan ini sedang dalam pemeriksaan.”“Harusnya PT. E sudah dihentikan sementara, tapi kita akan lihat ke dalam apa yang kita temukan. Masyarakat adat tahunya kalau PT. E ini bagian dari SB Industrial Energy. Mobil yang menjemput kita udah di depan, Sa. Yang tur
Beberapa saat sebelumnya.“Saya sudah bilang kalau saya tidak mau terlibat dalam hal ore yang dihasilkan atau ore yang ditumpuk untuk dioleh, atau dikemanakan. Lagian besok kita bisa ke smelter itu. Nggak perlu malam-malam begini. Saya juga capek perlu istirahat.” Mika kesal karena sejak dia menyanggupi berangkat ke Morowali, tuntutan Eric semakin beragam.“Saya memang merekrut kamu untuk proyek hilirisasi yang akan datang. Tapi bukan berarti kamu lepas tangan dalam semua hal. Sebagai Planning Project Kamu harus lihat apa yang bisa kamu manfaatkan atau hal apa yang bisa kamu masukkan dalam rencana.” Eric menjawab dengan sangat dingin.“Tapi bukan begini caranya,” sahut Mika.“Karena kamu harus tahu rencana saya, Mika. Kalau hilirisasi belum dilakukan, maka saya tidak mau kehilangan pemasukan dengan menjual bahan mentah itu ke perusahaan lain. Harganya murah. Lebih baik saya ekspor ke luar negeri.”“Tapi itu ilegal, Pak. Perusahaan ini bisa ditutup,” sergah Mika. Suaranya mulai tinggi
“Thank you, Vin …,” desis Arsya seraya menyodorkan ponselnya pada Dean agar pria itu bisa ikut membacanya. Dean cuma mengangkat bahu lalu menunjuk telinga. Arsya mengerti maksud Dean adalah mereka harus mendengar percakapan Eric dan Mika tanpa melewatkan hal kecil sekali pun.Galih terlihat lebih gugup dari perkiraan Arsya. Galih memang tenang tapi Arsya melihat mulai ada titik keringat di dahi pria itu. Dean lalu membuat isyarat agar mereka benar-benar berjongkok karena percakapan Eric dan Mika tiba-tiba terhenti.“Ok,” sahut Arsya tanpa suara. Ia mulai berjongkok dan merapatkan tubuhnya di antara susunan rak kayu.“Kita nunggu siapa lagi?” tanya Mika kemudian.Saat suara Mika terdengar, Arsya dan Dean bertukar pandang lalu keduanya mengangguk. Mereka kembali bisa memperkirakan seberapa jauh jarak antara tempat mereka berjongkok dan lokasi Eric berdiri.“Memangnya kamu ngantuk banget, ya? Perjalanan tadi termasuk perjalanan kelas satu dengan tingkat kenyamanan tinggi. Keliatannya mak
Seumur hidup Arsya tidak pernah melanggar hukum di mana pun. Masuk ke properti orang lain tanpa izin, memanipulasi banyak alasan, sampai harus menyewa agen untuk mencari informasi ilegal. Malam itu tangan Arsya sudah licin oleh keringat. Sudah sangat siap dianggap pecundang oleh Eric apabila mereka harus tertangkap tangan malam itu. Ia sudah menyiapkan satu dua alasan yang akan disodorkannya. Namun, ingatan terakhirnya soal Indah dan calon bayi mereka sepertinya membuat semuanya menjadi lebih baik dalam sepersekian detik. Keamanan gudang berteriak soal tikus dan langkah Eric urung menuju mereka. Beberapa menit yang lalu kaki karyawan PT. E yang menjadi pemandu mereka malam itu tiba-tiba bergeser karena terkejut dilewati tikus.“Saya akan mengabari tim, Pak. Segera,” kata keamanan gudang.“Jorok! Menjijikkan!” Eric kembali mengumpat.Arsya melihat Dean juga mengembuskan napas lega. Saat itu entah ia harus marah pada pemandu mereka karena terlalu reaktif terhadap tikus, atau ia harus be
Setelah pembicaraan konyol mengenai sosok wanita bernama Emmy Zohra, mobil terus melaju meninggalkan jalanan berdebu dan gelap di belakangnya. Hanya deru mobil dan jejak ban melindas bebatuan yang terdengar samar hingga ke dalam. Selebihnya, suasana did alam mobil terbilang sangat hening. Semua orang seakan sibuk dengan pikirannya sendiri. Terutama Arsya yang pikirannya kembali mengulang pembicaraan Eric di dalam gudang. Pikirannya berkelana ke mana-mana sampai akhirnya ia menunduk melihat kancing kemejanya yang terbuka. Sosok Indah masuk dalam pikirannya detik itu juga.Sepenting apa sosok Emmy Zohra yang dikatakan Dean barusan sampai ia harus menaklukkan wanita itu melalui visualnya lebih dulu?Mobil terus melaju menembus kegelapan malam dengan pemandangan yang berubah-ubah di kanan kirinya. Kadang pepohonan, kadang hamparan tanah yang naik turun. Kadang juga galian-galian bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja.Dean membuka kaca jendela sampai setengahnya. Tatapannya menyapu k