Bukan hanya ketergesaan dalam suara Arsya saja yang membuat Indah keheranan. Tatapan Arsya juga tidak seperti biasa. Ada yang lain, tapi Indah belum mengerti. Keteguhan hati yang sudah ia persiapkan tadi luruh begitu saja. Ia mengangguk dengan bodohnya. Penyesalan anggukan itu tak menunggu lama. Beberapa detik kemudian Indah tersadar setelah Arsya membuka kembali pintu emergency dan berkata, “Bereskan semua bawaan kamu, kita berangkat ke butik pakaian wanita. Saya akan bilang ke Sarah kalau kamu akan menemani saya mengunjungi suatu tempat. Itu saja.”Indah berjalan di lorong seperti orang linglung. Puluhan pertanyaan dengan awalan ‘bagaimana kalau’ memenuhi pikirannya ketika cepat-cepat membereskan tas. Kalau bisa, jangan sampai ia masih berada di sana ketika Arsya keluar ruangan. Ia tidak mau berjalan beriringan dengan atasannya itu.Dinding kantor yang katanya bertelinga ternyata memang tidak salah. Yeni mendatangi Indah dengan wajah kesal. “Kamu memang diajak Bapak pergi? Berdua la
Kentara sekali kalau butik itu memang langganan Arsya sebelumnya. Seorang wanita pemilik butik menyambut mereka di luar lalu dengan luwesnya melingkarkan tangan di lengan Indah untuk dibawa ke dalam. Indah merasa tangannya menegang ketika berjalan di antara pemilik butik dan Arsya sambil mendengarkan basa-basi keduanya. Ia merasa bagai orang asing yang tersasar di antara percakapan orang kaya. Kalau pemilik butik memandangnya sambil tersenyum dan sambil bicara, Indah membalas senyuman itu. Wanita pemilik butik berusia sekitar empat puluhan. Tapi masih terlihat sangat muda. Kekayaan, penampilan modis dan makeup mampu menyembunyikan usia sebenarnya. Di ruang ganti, Indah melihat tiga gaun yang tergantung di sebelah kaca. Pemilik butik bernama Rana itu mengambil dress berwarna biru langit dan menyerahkannya pada Indah. “Sepertinya Bu Indah harus coba yang ini dulu, deh. Karena Pak Arsya kayaknya paling suka yang warna ini. Beliau sempat bilang Bu Indah pasti bagus pakai dress warna bi
Sebenarnya Indah ingin berkeliling kamar yang disebut Arsya sebagai kamarnya. Ia ingin menyentuh setiap benda cantik dan unik dekorasi kamar, juga melihat-lihat apa saja merek kosmetik yang memenuhi meja rias. Ingin sekali. Jiwa perempuan yang menyukai banyak keindahan itu belakangan banyak diredamnya demi Alif. Indah melirik jam di nakas. Waktu yang menunjukkan hampir pukul delapan malam membuat Indah melesat ke kamar mandi.“Mirip kamar mandi hotel bintang lima,” gumam Indah, jemarinya menyentuh gulungan handuk yang ditumpuk cantik di dekat wastafel. Toiletris yang tersusun pun mereknya seperti merek toiletris departemen store kelas satu. “Arsya benar-benar orang kaya,” ucap Indah.Seluruh bagian dirinya menyadari kalau tanpa suatu tujuan sudah bisa dipastikan kalau Arsya tidak akan mendekatinya. Apalagi melamarnya.Ia hanya seorang janda yang memiliki seorang bayi sakit dan banyak kekurangan. Menjadi istri seorang genreasi penerus perusahaan tambang adalah bukan keniscayaan. Indah
“Huuuu … padahal cuma pergi sebentar aja. Mesti pakai cium.” Laras menepuk lengan Arsya yang meninggalkannya dengan wajah penasaran, sekaligus cemas. “Oh, ya … Bang Asa udah ngasih tahu nama aku, kan? Aku Laras. Bang Asa bilang kalau usiaku jauh di atas Indah. Tapi aku mau Indah panggil aku dengan Laras aja. Oke?” Laras menyodorkan kelingkingnya.Indah bahkan tak sempat berkedip saat bibir Arsya menyentuh pipinya dengan ringan dan lembut. Itu di luar kesepakatan. Arsya tidak ada mengatakan soal kontak fisik di antara mereka. Indah cemberut memandang punggung Arsya yang menjauh. Benar-benar kesal. Untungnya Laras mengalihkan kekesalan itu dengan membawa Indah ke ruang makan.“Ibu … ini Indah.” Tangan Laras masih melingkar di lengan Indah.Tadinya Indah membayangkan seorang tua yang wanita cantik dan mentereng seperti istri pejabat sosialita yang sering dilihatnya makan siang di café mahal gedung kantornya. Ternyata wanita yang dipanggil ibu oleh Arsya adalah wanita berwajah ramah, berpe
Berada di kediaman keluarga Arsya membuat tangan Indah pegal. Arsya tak lepas memegang tangannya seakan takut ia bisa lari kapan saja dari kediaman keluarga Subianto. Sesekali Indah meregangkan tangan yang pegal dan berkeringat, tapi setiap merasakan pergerakan itu Arsya kembali mengetatkan pegangannya. “Aku minta piringku diisi makan malam sesuai selera kamu. Seperti biasa,” ujar Arsya, melepaskan tangan Indah yang langsung meregang. Indah memandang Arsya dengan sudut matanya. “Seperti biasa?” desis Indah dengan mulut nyaris tidak terbuka. Arsya tersenyum manis dan riang. “Air minumnya jangan yang hangat,” tambah Arsya mengingatkan. Perubahan sikap Arsya di depan orang tuanya membuat Indah cukup risi. Kepura-puraan itu tidak seharusnya melibatkan kontak fisik antara mereka. Sikap itu terlalu berlebihan buatnya. Bahkan Panca dulu tidak pernah bersikap seperti itu. Ia harus bicara dengan Arsya. “Harus sering ke sini, Bang. Ibu harus banyak ngobrol dengan Indah. Semua kerabat kita h
Kali ini Arsya percaya diri kalau ia tiba tepat waktu saat melihat Panca menjajari langkah Indah di depan gedung. Urusannya sudah sangat bisa ditebak. Laporan beberapa kasus penipuan dan penggelapan uang atas nama ibunya. Arsya tersenyum puas melihat wajah kalut Panca saat mengejar Indah. Persis seperti apa yang ia inginkan. Arsya melangkah santai keluar gedung dan berdiri sejenak mendengar pembicaraan Panca dan Indah. Tebakannya semua benar. Indah memang keras kepala dan bisa diandalkan untuk melawan Panca, tapi wanita itu akan tetap menangis. Lalu satu hal yang tidak ia sangka-sangka keluar dari mulut Indah. Wanita itu sedikit membelanya soal rapat penting. Sedikit aneh mendengar Indah menyebutnya sebagai calon suami dan mengucapkan soal Presdir, lalu pewaris perusahaan. Padahal baru kemarin Indah menolak mobil dan supir yang ia berikan. Indah juga menolak kartu kredit yang diberikannya untuk berbelanja. Tak menyangka bahwa Indah benar-benar hanya berharap biaya rumah sakit untuk A
Semuanya bukan soal Panca. Indah semakin menyadari kalau perlahan-lahan ia meninggalkan Panca dari pikirannya jika sedang memikirkan nasib Alif. Ia membenci Panca, ia juga punya dendam tersendiri pada pria itu dan keluarganya. Namun belakangan ia memang tidak mencampuradukkan kebenciannya itu dalam urusan yang menyangkut Alif. Kondisi Alif adalah prioritasnya. Dan sejak awal, ia memang sudah menerima kalau Arsya memiliki tujuan tertentu menikahinya. Ia merasa, apa pun itu Arsya tidak akan merugikannya kalau hal itu berkaitan dengan Alif. Meski sempat menelaah dan mencoba mencari tahu tujuan Arsya menggunakan pikirannya yang terbatas itu, Indah tetap belum mampu menemukan tujuan Arsya. Tak satu pun kecurigaannya bisa terjawab. Motif Arsya masih abu-abu baginya. Sedangkan untuk percaya bahwa pria itu benar-benar jatuh cinta padanya, Indah merasa geli dan ingin menertawai dirinya sendiri. Hal itu sangat tidak mungkin.Jadi, saat itu, saat meninggalkan meja administrasi, Indah berpikir
Sehari sebelum melangsungkan akad nikah, Arsya dan Indah memang masuk kerja seperti biasa. Keduanya tidak menunjukkan perbedaan apa pun selain Arsya yang tiba tiba memanggil Indah ke ruangan untuk mengajaknya ke rumah sakit demi kejutan Pak Hadi tiba di Jakarta.Yeni yang sudah gelisah karena kasak-kusuk cerita pernikahan Arsya sempat mendatangi Indah untuk mengorek informasi.“Masa, sih, kamu nggak tahu soal Pak Arsya? Mustahil banget, In. Hampir semua di gedung ini tahu kalau Pak Arsya bakal ngadain pernikahan tertutup. Kamu nggak ada lihat apa-apa di mejanya? Kartu undangan? Janji ketemu siapa gitu? Pernah lihat Pak Arsya makan sama wanita di luar kantor?” Yeni memberondong Indah dengan banyak pertanyaan yang belum dijawab.“Enggak ada, Mbak,” jawab Indah.“Sama sekali?” tanya Yeni. “Masa, sih, nggak pernah? Belakangan kamu yang sering keluar sama Bapak.”Indah kembali menggeleng. “Aku memang nggak tahu, Mbak.”“Tiap kamu bilang nggak tahu aku malah curiga. Masa kamu nggak tahu? Ap
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”