Pembukaan project baru perusahaan membuat Panca sering pulang-pergi Kalimantan. Kebetulan hari itu ia masuk kantor pertama kali setelah seminggu di luar kota. Dengan segudang tuntutan Mayang yang menyandang status sebagai istri sirinya, Panca tak sempat memikirkan pesan Indah yang bertubi-tubi. Dalam sehari Indah bisa mengirimkan sampai sepuluh pesan. Panca terganggu tapi tidak memblokir nomor Indah karena khawatir wanita itu malah datang merusuhinya. Juga karena alasan yang tidak bisa ia mengerti. Lewat tengah hari Panca baru saja berencana turun untuk makan siang. Mayang yang juga berkantor di gedung itu mengatakan sudah menunggunya di café lantai dasar. Namun setelah kaki Panca menjejak lobi, rasa laparnya menguap. Pak Hadi Ismawan; papa mertuanya berdiri dari salah satu sofa untuk menghampirinya. “Bagaimana Panca? Papa bisa bicara soal Indah dan Alif? Kita sudah lama sekali tidak ngobrol.” Pak Hadi sangat berharap Panca bisa meluangkan waktu siang itu. Perjalanan tiga jam dengan
Aksi menghindari Indah masih dilakukan Arsya sejak rombongan orang catering memasukkan meja dan menatanya seperti jamuan pesta di ruang tamu mungil wanita itu. Laporan tentang kantong belanja yang dikembalikan, diikuti dengan kabar bahwa buah-buahan dan cake tidak kembali. Sewaktu menerima laporan itu, Arsya baru selesai makan malam bersama keluarganya. Satu jam sebelum pulang biasanya ia dan ayahnya duduk menikmati secangkir kopi di teras samping, sambil mengobrol banyak hal. Arsya menjawab panggilan telepon di sebelah Pak Ari Subianto yang sedang mengangkat cangkir dan menyeruput isinya. “Kalau sudah selesai ditinggal aja, nggak apa-apa. Orang yang di sana pasti selalu update kabar. Yang paling penting cateringnya harus on time. Jangan ngaret. Harus pas di waktu yang ditentukan. Oke, terima kasih.” Arsya mengakhiri pembicaraan dan meletakkan ponsel di meja. “Siapa, Bang? Kenapa ngomongin catering? Presdir perusahaan tambang ngurusin catering juga?” Pak Ari Subianto memandang putr
Arsya diam sesaat memandang sepasang mata Indah yang tergenang air mata. “Kamu sadar ngomong apa barusan?” Indah menelan ludah. “Sadar, Pak.” “Karena sakit hati dengan apa yang dikatakan suami kamu barusan?” Arsya melirik Panca yang masih memandang ke arah mereka. “Bisa jadi,” jawab Indah. “Saya akan kirim pengacara untuk membantu proses gugatan cerai yang akan kamu layangkan. Paling lama tiga hari dari sekarang. Sebelum itu saya minta kamu memikirkan keputusan itu matang-matang. Saya nggak mau kamu menyesal atau mundur di hari H.” Arsya mengatupkan bibir seraya mengawasi air mata Indah yang sudah menggantung; bersiap jatuh ke pipi. Indah lalu berpura-pura menunduk menepuk bagian depan roknya. Ia mengerjapkan mata untuk menghalau cairan hangat itu. “Rasanya saya nggak perlu mikir sampai tiga hari. Saya udah yakin, Pak.” Telunjuknya mengusap pipi dengan sangat cepat. Tapi tidak cukup cepat untuk menyembunyikan air mata yang jatuh. “Baik. Sebelum topik ini dilanjutkan saya harus ng
“Kenapa ke sini? Kalau cuma mau tanda tangan itu, kan, bisa ketemu di luar.” Indah mengangkat Alif yang tadi ia pangku ke dalam dekapan.Arsya memandang meja catering dan menunjuknya. “Masakannya enak?”“Enak. Makasih banyak. Pertanyaan saya tadi, Pak. Kalau cuma tanda tangan itu, kita bisa ngobrol di luar. Saya nggak enak ….” Indah baru saja akan mengatakan bahwa ia tidak enak kalau Bu Anum atau tetangga melihat Arsya masuk ke rumah. Tapi rupanya Bu Anum yang sedang bersiap pulang keluar dari kamar. Indah menekuk wajahnya menjadi sangat serius.“Saya mau lihat Alif sebelum mengajak mamanya ngobrol di luar.” Arsya ikut duduk di lantai, tak sampai semeter dari Indah.“Selamat malam, Pak,” ucap Bu Anum.“Malam,” sahut Arsya tersenyum.“Saya bisa jaga Alif kalau Bapak dan Mbak Indah mau keluar.”“Nah, begitu. Terima kasih. Saya ada sedikit urusan bersama Mama Alif. Bukan sekarang, tapi sebentar lagi. Sekarang saya mau lihat Alif yang katanya sudah pintar mengenali mamanya. Begitu, kan?”
Indah melirik ponsel yang panggilannya baru saja ia matikan. Untung saja, pikirnya. Tidak terbayang kalau Panca tahu bahwa ia dibantu atasannya dalam mengurus perceraian. Sumpah serapah dan hinaan Panca pasti bisa membuatnya muntah.“Saya bukan menemui laki-laki itu seperti kata Bapak barusan. Saya mau bicara di telepon.” Indah menunjukkan ponselnya pada Arsya.“Kalau begitu,” secepat kilat Arsya meraih ponsel Indah dan memblokir kontak Panca tanpa persetujuan, “kita blokir aja. Kontak ini tidak penting lagi buat kamu.”“Pak,” mulut Indah setengah ternganga, “tapi itu bapak anak saya. Bagaimana juga Alif itu anaknya. Kalau Alif membutuhkan suatu donor, saya bisa menghubungi papanya.” Lift yang isinya hanya mereka berdua sudah tertutup dan bergerak turun ke lantai dasar. “Kamu yakin laki-laki itu mau mendonor untuk Alif? Entah apa pun itu? Kamu nilai sendiri. Lagipula … sebelum tanda tangan harusnya kamu baca surat kuasa itu. Saya tidak akan mengizinkan kamu mendatangi dia karena itu
Bukan sulit membuat Panca babak belur siang itu. Ruang meeting kecil bisa jadikan sasana untuk menghajar Panca yang bertubuh tidak terlalu tinggi. Walau Panca melawan dengan sekuat tenaga pun, belum tentu pria itu bisa menang karena Arsya memiliki beberapa medali judo yang diperolehnya sejak masa kuliah. Arsya hanya menghadiahi satu pukulan pada Panca karena tidak mau pria itu mati atau babak belur di kantornya. Arsya mengingat apa yang selalu dikatakan seorang Ari Subianto padanya, “Abang adalah wujud perusahaan itu sendiri. Apa yang Abang lakukan; baik atau buruk, semua akibatnya akan dirasakan langsung oleh ribuan karyawan. Jangan pernah berbuat dosa lalu minta dikasihani sebagai konsekuensinya.”“Kau berani main pukul karena aku ada di lantai ini, kan? Kau cuma berkuasa di sini?” Suara Panca memantul di ruang meeting.“Anda baik-baik saja karena berada di sini,” sahut Arsya. “Bagaimana? Anda sudah tenang? Saya akan memanggil Indah kalau Anda sudah siap bicara dengan tenang.”“Man
Sudah lebih dari seminggu Panca berada di luar pulau untuk menyelesaikan proyek baru perusahaan. Bukan hanya senang karena dipercaya memimpin proyek besar, Panca juga bahagia karena selain naik jabatan, ia juga mengalami kenaikan gaji yang lumayan. Mayang yang ikut bahagia menyebutnya sebagai ‘beda istri, beda rezeki.’Kepergian seminggu itu memang menyelesaikan pekerjaan kantor, tapi menyisakan banyak sekali PR masalah pribadi. Sejak gugatan cerai yang dilayangkan Indah, situasi Panca dan Mayang tidak terlalu baik. Mayang menyambut bahagia keputusan Indah, sedangkan Panca merasa harga dirinya diinjak-injak sebagai seorang suami dan laki-laki.Gerimis dari sore belum juga berhenti sampai Panca tiba di rumah malam hari.“Kebiasaan selalu lupa nyalain lampu luar,” sungut Panca saat mendorong pagar dan berjalan menuju pintu samping yang berbatasan langsung dengan carport. “Mayang ….” Panca mengetuk pintu.Dari dalam rumah Panca mendengar langkah kaki mendekat kemudian anak kunci yang dip
Hati Pak Hadi memang tidak pernah tenang sejak belakangan Indah selalu mengatakan dirinya baik-baik saja. Layaknya orang tua mana pun yang menyayangi sang anak, Pak Hadi selalu bisa merasakan kalau putri tunggalnya itu sedang merisaukan sesuatu. Salah satu hal yang bisa ditebak Pak Hadi adalah keuangan Indah yang belum stabil.Pagi di hari yang sama dengan kedatangan Panca, Pak Hadi tengah membuka-buka laporan keuangan milik perusahaan kecilnya yang bergerak sebagai penyedia bahan pokok beberapa restoran. Perusahaan itu dirintis hampir sepuluh tahun dan selama itu juga segala keuangan perusahaan dipegang Bu Lina, ibu tiri Indah.“Ma, Papa mau lihat laporan keuangan CV. Mama simpan di mana? Nama foldernya.” Pak Hadi sedang membuka laptop dan satu folder berisi semua hal yang berkaitan dengan CV miliknya.“Memangnya mau cari apa? Nanti aja Mama yang bantu carikan. Mama juga suka lupa nama foldernya yang mana.” Bu Lina menjawab dari meja makan. Mereka baru selesai sarapan dan pagi itu ia
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”