Indah melirik ponsel yang panggilannya baru saja ia matikan. Untung saja, pikirnya. Tidak terbayang kalau Panca tahu bahwa ia dibantu atasannya dalam mengurus perceraian. Sumpah serapah dan hinaan Panca pasti bisa membuatnya muntah.“Saya bukan menemui laki-laki itu seperti kata Bapak barusan. Saya mau bicara di telepon.” Indah menunjukkan ponselnya pada Arsya.“Kalau begitu,” secepat kilat Arsya meraih ponsel Indah dan memblokir kontak Panca tanpa persetujuan, “kita blokir aja. Kontak ini tidak penting lagi buat kamu.”“Pak,” mulut Indah setengah ternganga, “tapi itu bapak anak saya. Bagaimana juga Alif itu anaknya. Kalau Alif membutuhkan suatu donor, saya bisa menghubungi papanya.” Lift yang isinya hanya mereka berdua sudah tertutup dan bergerak turun ke lantai dasar. “Kamu yakin laki-laki itu mau mendonor untuk Alif? Entah apa pun itu? Kamu nilai sendiri. Lagipula … sebelum tanda tangan harusnya kamu baca surat kuasa itu. Saya tidak akan mengizinkan kamu mendatangi dia karena itu
Bukan sulit membuat Panca babak belur siang itu. Ruang meeting kecil bisa jadikan sasana untuk menghajar Panca yang bertubuh tidak terlalu tinggi. Walau Panca melawan dengan sekuat tenaga pun, belum tentu pria itu bisa menang karena Arsya memiliki beberapa medali judo yang diperolehnya sejak masa kuliah. Arsya hanya menghadiahi satu pukulan pada Panca karena tidak mau pria itu mati atau babak belur di kantornya. Arsya mengingat apa yang selalu dikatakan seorang Ari Subianto padanya, “Abang adalah wujud perusahaan itu sendiri. Apa yang Abang lakukan; baik atau buruk, semua akibatnya akan dirasakan langsung oleh ribuan karyawan. Jangan pernah berbuat dosa lalu minta dikasihani sebagai konsekuensinya.”“Kau berani main pukul karena aku ada di lantai ini, kan? Kau cuma berkuasa di sini?” Suara Panca memantul di ruang meeting.“Anda baik-baik saja karena berada di sini,” sahut Arsya. “Bagaimana? Anda sudah tenang? Saya akan memanggil Indah kalau Anda sudah siap bicara dengan tenang.”“Man
Sudah lebih dari seminggu Panca berada di luar pulau untuk menyelesaikan proyek baru perusahaan. Bukan hanya senang karena dipercaya memimpin proyek besar, Panca juga bahagia karena selain naik jabatan, ia juga mengalami kenaikan gaji yang lumayan. Mayang yang ikut bahagia menyebutnya sebagai ‘beda istri, beda rezeki.’Kepergian seminggu itu memang menyelesaikan pekerjaan kantor, tapi menyisakan banyak sekali PR masalah pribadi. Sejak gugatan cerai yang dilayangkan Indah, situasi Panca dan Mayang tidak terlalu baik. Mayang menyambut bahagia keputusan Indah, sedangkan Panca merasa harga dirinya diinjak-injak sebagai seorang suami dan laki-laki.Gerimis dari sore belum juga berhenti sampai Panca tiba di rumah malam hari.“Kebiasaan selalu lupa nyalain lampu luar,” sungut Panca saat mendorong pagar dan berjalan menuju pintu samping yang berbatasan langsung dengan carport. “Mayang ….” Panca mengetuk pintu.Dari dalam rumah Panca mendengar langkah kaki mendekat kemudian anak kunci yang dip
Hati Pak Hadi memang tidak pernah tenang sejak belakangan Indah selalu mengatakan dirinya baik-baik saja. Layaknya orang tua mana pun yang menyayangi sang anak, Pak Hadi selalu bisa merasakan kalau putri tunggalnya itu sedang merisaukan sesuatu. Salah satu hal yang bisa ditebak Pak Hadi adalah keuangan Indah yang belum stabil.Pagi di hari yang sama dengan kedatangan Panca, Pak Hadi tengah membuka-buka laporan keuangan milik perusahaan kecilnya yang bergerak sebagai penyedia bahan pokok beberapa restoran. Perusahaan itu dirintis hampir sepuluh tahun dan selama itu juga segala keuangan perusahaan dipegang Bu Lina, ibu tiri Indah.“Ma, Papa mau lihat laporan keuangan CV. Mama simpan di mana? Nama foldernya.” Pak Hadi sedang membuka laptop dan satu folder berisi semua hal yang berkaitan dengan CV miliknya.“Memangnya mau cari apa? Nanti aja Mama yang bantu carikan. Mama juga suka lupa nama foldernya yang mana.” Bu Lina menjawab dari meja makan. Mereka baru selesai sarapan dan pagi itu ia
“Bapak nggak bisa ikut saya ke Bandung. Saya bukan mau main-main. Papa saya terserang stroke, Bapak dengar sendiri. Saya izin pulang ke Bandung untuk dua hari aja. Potong cuti. Bisa, kan?” Indah memandang Arsya dengan tatapan penuh harap. Arsya menyandari mejanya sambil menggaruk dagu. “Kamu bicara soal cuti? Kamu yakin yang saya permasalahkan itu cuti?” Indah berdiri. “Mumpung masih sore, boleh saya permisi pulang? Saya mau kejar kereta jam delapan malam. Biar lebih cepat sampai, Pak.” Arsya menghela napas panjang kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Sepasang mata Indah mengingatkannya pada seekor anak anjing yang dibuang ke tepi jalan. Ia iba. “Boleh. Silakan pulang sekarang,” kata Arsya. “Makasih, Pak. Saya permisi.” Indah membungkuk kecil untuk terima kasihnya pada Arsya. Keluar tergesa dari ruang Arsya karena memperhitungkan waktu yang akan ia habiskan untuk perjalanan dan membereskan bawaan. Ditambah lagi dengan, “Kayaknya harus pergi berdua aja dengan Alif. En
“Mau menyusui di sini?” ulang Arsya. Indah langsung mengangguk. “Menyusui Alif maksudnya?” Arsya sedikit kurang siap dengan pertanyaan Indah sampai harus salah menyusun kalimat pertanyaan. “Iya, Pak. Menyusui Alif," tegas Indah dengan sedikit penekanan pada nama Alif. "Saya minta maaf sebelumnya, tapi Bapak jangan lihat ke sini dulu, ya. Nggak lama.” Indah kesal sekaligus geli melihat wajah Arsya yang biasa datar terkesan cuek itu sekilas bisa jadi sebodoh itu karena mendengar kata menyusui. Arsya bergerak linglung. Menyandarkan punggungnya dengan kepala mendongak, lalu menggeleng karena merasa posisi itu tidak benar. Arsya kemudian berputar ke kiri, namun ia malah beradu pandang dengan Indah. Ia merutuk dalam hati lalu berputar sedikit ke kanan sampai katanya menatap tirai kaca mobil. Ia memperhatikan jahit tepi tirai yang ternyata sangat kecil dan rapi. Detil sekali, pikirnya. Ia lalu menyentuh tirai kecil itu. Wow, lembut. Kenapa ia baru tahu kalau tirai jendela mobil itu sangat l
“Benar, In? Ini calon suami kamu? Jadi, kamu memang sengaja menggugat cerai Panca karena sudah punya calon suami? Benar begitu?” Bu Lina menghapus air matanya dengan mata tak lekang dari Arsya. Indah menggeleng. “Nggak benar begitu. Wanita mana yang mau bercerai dengan suaminya sewaktu bayinya masih merah. Mama nggak usah bahas yang ini.” Indah melangkah ke depan Arsya. Menghalangi agar Bu Lina tidak terlalu mencari tahu soal siapa Arsya dan tujuannya ada di sana. “Masalah yang Mama sebabkan belum selesai. Papa masih di dalam sana enggak tahu keluarnya selamat atau enggak. Kenapa Mama tega banget, sih, sama Papa? Padahal Papa, tuh, percaya banget ke Mama. Aku juga nggak pernah permasalahkan keuangan CV Papa karena Mama kelihatan kepengin terlibat. Aku lepasin biar Mama senang; biar Mama merasa menjadi istri dan ibu yang dihargai.”“In, harusnya kamu nggak ngomong kayak gini di depan Arsya. Dia calon anggota keluarga kita dan ini hari pertamanya berkenalan dengan Mama.” Bu Lina menyen
Kedua tangan Arsya memang berada di bahu Indah, tapi Indah sendiri belum mau beranjak dari depan ibu dan anak yang tidak berperasaan itu. Ia belum selesai meluapkan amarahnya. Maka gerakan kecil dari Arsya tak juga membuatnya menggeser kaki. Arsya sepertinya menyadari. Terbukti dari sepasang tangannya yang melepaskan bahu Indah dengan perlahan. Arsya mundur sedikit dan menunggu apa yang ingin disampaikan Indah. Indah beberapa kali mencoba mengatur napas. Tapi ia yakin sekali bahwa suaranya masih bergetar saat bicara. Dengan tangan kanan yang membentuk kepalan, Indah bicara pada Panca. “Mas Panca adalah ayah kandung Alif tanpa diragukan sedikit pun. Saranku, jangan pernah menyebut Alif dengan sebutan ‘anak itu’. Sejak jadi seorang ibu, aku mudah sakit hati kalau anakku dihina. Alif nggak seharusnya menerima akibat dari kebodohan yang aku buat. Jadi, aku nggak akan memaafkan Mas Panca kalau terjadi sesuatu pada Alif.” Indah menelan ludah sebelum melanjutkan. Benar saja perkiraannya ta
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”