“Iya … iya, Kak Sisil dan Kak Regi biar rehat juga, sekarang kakak yang jaga.” Kembali aku menjawab.Aku membuka ponsel sebentar dan kemudian meletakkannya kembali saat terdengar azan magrib. Setelah membantu Arya untuk bersiap salat Magrib, aku pun segera aku mengambil wudhu untuk salat Magrib juga. Berbait doa aku langitkan, semoga Allah senantiasa memberikan kelancaran dalam setiap urusan. Berdoa untuk semua agar semua selalu baik-baik saja. Untuk sesaat aku masih belum beranjak dari atas sajadah untuk dapat berdzikir lebih lama dari biasanya.“Kak ponselmu.” Suara Arya memecah fokusku, aku hentikan dzikirku dan mencermati suara dengan pendengaranku. Sengaja memang aku menngecilkan volume nada panggil dan hanya mengunakan getar saja. Benar itu suara ponselku, segera aku beranjak kea rah sofa dan melihat ke layar benda pipih tersebut. Ada nama Mas Satrian yang terpampang di layar ponsel, buru-buru aku mengangkatnya.“Assalamualaikum, Sayang.” Aku langsung mengucap salam saat panggil
Dalam hitungan detik lift sudah berada di lantai satu, aku dan Mas Danta langsung melangkah keluar sesaat setelah pintu lift terbuka. Aku berjalan mengikuti Mas Danta yang berjalan ke arah kiri, kalau ke kanan kami akan ke lobby rumah sakit. Mas Danta menunjuk dengan dagunya ke sebuah tempat, sebuah area terbuka dan terlihat ada beberapa stan di sana. Meja berwarna kuning berjajar di depan stan- stan tersebut. “Oh itu,” tunjukku kemudian.“Yang di sana.” Mas Danta menunjuk lebih jauh, baru terlihat sebuah café yang berada di samping stan- stan tersebut. Dengan tangan kanan Mas Danta mendorong pintu kaca berwarna gelap itu, di dalam nya terlihat sebuah ruangan yang lumayan luas. Ada set meja berwarna coklat yang berjajar rapi dan sebuah meja konter kafe bar berukuran sedang di ujung ruangan. Pencahayaan sedikit remang-remang yang berasal dari beberapa lampu hias yang mengantung. Di beberapa meja terlihat beberapa orang duduk, ada yang berpasangan, sendirian, dan ada yang penuh empa
“Permisi silahkan pesanannya.” Obrolanku dengan Mas Danta terjeda oleh kedatangan pelayan yang membawakan makanan dan minuman yang tadi aku pesan.Pelayan pria itu menurunkan dua cangkir coffe latte, seporsi kentang goreng lengkap dengan saos yang disajikan di wadah kecil. Ada saus sambal dan saus mayones yang di tempatkan di dua buah wadah kecil yang berbeda. Satu porsi waffle juga disajikan denga saus coklat sebagai topingnya. “Sudah lengkap semua ya, terima kasih dan selamat menikmati.” Aku dan Mas Danta amengangguk dan tersenyum secara bersamaan.“Makasih, Mas,” ucapku sebelum pelayan itu beranjak yang disambut dengan kalimat ‘sama-sama, permisi’.Aku menarik mendekat cangkir yang berisi minuman hangat yang berada di depanku, aroma harumnya menguar terhidu oleh indra penciumanku. Cangkir berwarna putih itu diletakkan diatas sebuah tatakan kecil berwarna serupa, di samping cangkir ada sendok kecil dan satu saset gula. Mas Danta juga terlihat menggeser mendekat cangkir yang beri
Ada apa dengan Mas Satria? kenapa sering sekali membuatku merasa kesal, atau perasaanku saja yang sedang tidak nyaman, tapi, tidak lah. Aku merasa kalau aku baik-baik saja dan sedang tidak memiliki masalah apapun sebelum ini. Fix, semua ini memang karena ulah Mas Satria yang sulit untuk dihubunggi. Dari tadi menelponnya tidak ada respon, saat tersambung sama juga dia berada di panggilan lain dan kenapa itu lama sekali nelponnya. Sedang bicara dengan siapa pria itu, ap aini ada hubungannya dengan Aleya lagi?Pikiranku jadi kemana-mana saat aku mencoba kembali menghubunggi Mas Satria dan dia masih berada di panggilan lain. Aku meletakkan kembali ponsel di atas meja dan menarik gelas minumanku yang masih tersisa meski sudah dingin. Sebelum minum aku mencoba menarik napas dan mengembuskannya berlahan untuk menguranggi tekanan emosi di dalam dadaku. Setidaknya bisa sedikit rileks meski masih saja diriku diselimuti rasa kesal yang teramat sangat.‘Drrrtt … drrt
Langkahku gontai menyusuri lorong yang tidak terlalu panjang untuk menuju ke kamar tempat Arya di rawat. Semua hal yang terjadi membuat hatiku begitu lelah, atau hanya aku saja yang merasa egois atas perasaanku. Mas Satria sedang berbuat baik mengurus keluarga Aleya, tapi, aku tidak suka. Mungkin aku yang keterlaluan sebagai manusia, hanya saja aku tidak bisa membohonggi perasaanku sendiri.“Kak,” panggil Arya saat aku masuk ke dalam kamar.“Iya, kenapa?” tanyaku kemudian pada adik bungsuku itu.“Livy tadi ….” Arya seoperti sengaja tidak meneruskan kalimatnya.“Iya, Kakak ketemu mereka di bawah.” Aku menjawab sambil mendekat ke arah Arya.“Mas Satria?” tanya Arya kemudian.“Huum … dia ngurusin itu,” jelasku kemudian. Arya hanya mengangguk pelan dan tidak bicara apa- apa lagi setelahnya. “Kamu rehat, sudah malam.” Aku membetulkan selimut yang berada di ujung kaki Arya.“Kakak juga,” ucap
Selepas beristirahat siang aku mulai melanjutkan aktifitasku seperti biasa, berkutat dengan pekerjaan. Beberapa laporan menunggu bergiliran untuk aku kerjakan, kembali fokus pada pekerjaan akan mengalihkan pikiranku dari segala hal yang merisaukan, itu harapanku. Apalagi dengan batas waktu yang diberikan membuatku harus cepat -cepat menyelesaikan setiap laporannya.“Aku tadi kirim data ke WA kamu, tolong buatin proposalnya yah.” Fokusku teralihkan pada sosok yang baru datang. Roni sudah berdiri di depan mejaku, saking fokusnya pada layar monitor aku sampai tidak mengetahui kedatangannya.“Entertaint?” tanyaku sambil meraih ponsel yang aku letakkan di samping printer.“He em, eh ini buat kamu.” Roni menjawab sambil menyerahkan minuman dingin dengan gelas plastik berukuran jumbo.“Buat aku? Makasih … tau aja lagi pengen yang manis-manis.” Aku tersenyum dan mengambil alih minuman dari tangan Roni.“Pak Agus nggak ada, ya?” tanya Roni lagi s
Kak Sisil tidak serta merta menyetujui apa yang menjadi pilihan Kak Regina. Dia juga sesaat terdiam dan terlihat berpikir sebelum akhirnya menyetujui pilihan Kak Regina. Dengan kuas kecil Kak Sisil kemudian mengaplikasikan warna pilahan Kak Regina ke area kelopak mataku. Aku hanya terdiam dan menurut saja, menyerahkan semuanya kepada kedua kakak perempuanku itu.Aku menatap wajahku di cermin, kemudian bergerak setengah putaran untuk mengepas kebaya yang baru saja aku kenakan. Terlihat sedikit berbeda karena memang aku terbiasa dengan riasan yang sangat sederhana. Warna navy membuat kulitku terlihat lebih putih dan bersih, sejenak aku mengagumi hasil riasan dari kakak perempuanku itu. Sebenarnya juga kagum dengan penampilanku yang terlihat berbeda dan lebih manis dari biasanya.“Sumpah … cantik banget,” puji Kak Regina sambil membenahi kain batik yang aku jadikan sebagai bawahan. “Ambil gambar habis ini, foto-foto.”“Siapa dulu dong yang make over , Sisi
Karena ada beberapa karyawan yang sedang cuti melahirkan di kantor, perusahaan memintaku untuk tetap berada di posisi yang sama sementara waktu meski nanti aku sudah menikah. Cabang sudah menyiapkan proposal penyimpangan sehingga aku harus menunggu admin marketing yang aku gantikan selesai cuti. Bu Nia divisi HR menyampaikan hal itu padaku siang ini.“Sebulan lewat dikitlah palingan, soalnya nggak mungkin kita mau rekrut baru juga.” Bu Nia menambahkan penjelasannya.“Berarti saya pengajuan pindahnya nanti saja ya, Bu?” tanyaku kemudian. Kalau secara lisan memang aku sudah sampaikan akan tetapi secara resmi aku memang belum mengajukan, karena menunggu pengarahan. Ada posisi di Cabang Kepanjen, cabang yang paling dekat meski harus menempuh perjalanan hampir satu jam dari rumah.“Iya nanti saja, aku kabari nanti.” Bu Nia menjawab, aku mengangguk paham.Setelah diberikan penjelasan lebih lanjut aku berpamitan kepada Bu Nia kepala divisi HR-k
Pandanganku terhenti pada sosok yang cukup aku kenal, meski mungkin dia tidak mengenalku. Satria, pria dari masa lalu Rania istriku terlihat berada di depan ruang praktek dokter Anna. Di sampingnya terlihat seorang perempuan berperawakan kecil seperti anak SMA, yang jelas itu bukan istrinya yang dulu. Karena kalau istrinya yang dulu aku sempat tahu saat dirawat disini.Tidak mungkin adiknya juga karena setahuku adiknya sudah meninggal, itu aku dapat dari cerita Rania. Apa mungkin itu istrinya dan Satria sudah menikah lagi, tetapi, perempuan itu terlihat sangat muda. Keduanya seperti sedang menunggu antrian periksa di dokter Anna di poli kandungan.Hamil?Kenapa jadi aku yang kepo dan ingin tahu, sudahlah. Aku melanjutkan langkah untuk menuju ruang praktekku. Kalau pun itu memang benar istrinya dan sekarang hamil itu akan lebih baik. Berarti Satria sudah menemukan kebahagiaannya sekarang. Aku tahu masih ada rasa bersalah atau apalah yang Rania rasakan selama ini
PoV Danta Aroma wangi masakan menguar dan menghampiri Indera penciumanku saat aku berjalan mendekat ke arah dapur tempat Rania berada sekarang. Selepas salat Subuh tadi dia sudah berkutat di dapur untuk mengeksekusi resep masakan yang baru dilihatnya semalam di sebuah channel youtube. Wanita yang sudah hampir setahun aku nikahi itu memang punya kegemaran baru sekarang, yaitu mencoba resep masakan. “Wangi banget,” ucapku saat memasuki dapur, Rania menoleh dan tersenyum.“Semoga nggak keasinan lagi seperti kemarin,” jawab Rania dan kembali menarik pandangannya ke arah panci di depannya.Aku tersenyum mengingat kejadian kemarin, entah berapa sendok garam yang dia masukkan ke dalam masakannya. Kalau ada pepatah buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, hal ini tidak berlaku untuk Rania. Mama mertuaku pintar memasak dan enak bahkan pernah membuka catering juga cerita Rania, tetapi, berbenda dengan anak perempuannya yang juga istriku ini. Tetapi, R
Duda itu Mantan PacarkuPart xtra 22*** Ketukan di kaca mobil sontak membuat dua insan yang tengah terbuai dalam debar asmara itu saling menjauhkan diri satu dengan yang lain. Wajah keduanya menghangat seketika dengan debaran di dada yang semakin kencang terasa. Aletha lekas menurunkan kaca mobil saat melihat keluar telah berdiri sahabatnya, Titan yang mengetuk pintu mobil Satria.“Ada apa?” tanya Aletha yang masih sedikit gugup kaget.“Jangan lewat sepanjang jalan Plaosan Timur ada kegiatan warga nutup jalan katanya, nanti lurus aja terus masuk ke kiri selepas lampu merah dekat pom bensin.” Titan memberi tahu kondisi jalan yang akan mereka lewati nanti ke tempat acara syukuran yang diadakan di sebuah restoran.“Oh … gitu, okay. Ya udah ini mau langsung ke sana.” Aletha mengangguk mengerti, Satria yang duduk di belakang kemudi ikut mengangguk.Sepasang pengantin baru itu tengah menetralisir perasaannya masing-masing karena
Sepertinya ini adalah persiapan pernikahan tercepat dari sebelumnya yang pernah aku lakukan, karena setelah aku melamar Aletha hanya butuh waktu kurang dari 2 minggu saja sampai hari yang di tentukan, yaitu hari ini. Aku dan Aletha sepakat untuk menikah di Masjid samping KUA dengan disaksikan keluarga dekat saja, tidak ada resepesi yang akan digelar karena Aletha tidak menghendakinya. Keluarga Aletha hanya mengundang kerabat dekat untuk syukuran selepas ijab kabul.Ini bukan yang pertama, bukan juga yang kedua aku akan mengucapkan kalimat sakral sebuah janji suci, tetapi, aku berdoa ini menjadi yang terakhir aku melakukannya. Aku tidak ingin mengulang lagi untuk suatu masa nanti, biarlah kegagalan pernikahanku dulu menjadi sebuah pelajaran yang berharga untukku. Hari Sabtu jam 9 pagi ini kesendirianku akan aku akhiri dan aku akan membuka sebuah lembaran baru dengan cerita baru.Aku menyetir sendiri dan mempersiapkan semuanya sendiri, kemeja putih dengan jas d
Pov Aletha *** [Dari kantor aku langsung ke rumahmu] [Aku sudah OTW] Aku membuka aplikasi chat berlogo warna hijau di ponselku, dua pesan masuk dari Mas Satria yang biasa aku panggil dengan sebutan Om itu beberapa waktu yang lalu. [Iya, hati-hati di jalan] Sebuah kalimat balasan aku kirimkan kemudian, belum terbaca setelah beberapa detik. Mungkin dia sedang menyetir. Aku kemudian meletakkan ponselku di meja dan beranjak ke lemasri untuk memilih baju yang akan aku kenakan. Masih merasa aneh dengan semuanya, serasa mimpi, tapi, bukan mimpi. Bahkan beberapa hari yang lalu pria itu masih sangat ketus padaku, tapi, entah apa yang terjadi padanya hinga dia sampai mengatakan hal itu. Lalu bagaimana denganku? Aku juga tidak tahu kenapa mengatakan iya, tapi, aku juga sedang tidak main-main denga
“Tidak.” Aku menggeleng meski Pak agus juga tidak akan melihatnya. “Kami tidak sedang mencari tempat pelarian, tetapi, mencari tempat untuk kami bisa saling mengisi dan melengkapi,” jawabku kemudian. “Aku mengerti, aku senang dengan hal ini. Aku menganggapmu bukan hanya rekan kerja, lebih dari itu dan Aletha adalah keponakan kesayanganku. Yang aku minta jangan pernah membuatnya patah lagi dan berbahagialah kalian. Aku akan bicara dengan mamanya Aletha setelah ini. Lebih cepat juga lebih baik daripada ada apa-apa nanti kalau ditunda- tunda.” Pak Agus memberikan dukungannya dan aku merasa lega untuk itu. Sekarang tinggal bicara lagi dengan Aletha untuk mempersiapkan semuanya dengan lebih matang. Mungkin aku hanya bisa pergi sendiri saat nanti mengutarakan niatku kepada keluarga Aletha karena di kota ini aku tidak memiliki keluarga selain Ibu saja. Aku menutup panggilan selepas mengucapkan salam, sudah jam 6 lebih dan aku haru
“Iya,” jawabku sambil mengangguk. “Rania?” tanya Ibu ragu. “Bukan, Dia sudah bahagia dengan kehidupannya. Mungkin sekarang waktunya aku untuk bisa menata kembali kehidupanku. Ibu pernah meminta aku untuk kembali mendapatkan hati Rania karena dia tidak tahu kalau Rania sudah menikah. Aku mengatakan pada Ibu kalau Rania sudah menikah dengan pria lain dan hal itu membuat Ibu merasa semakin bersalah padaku dan juga Rania. “Kamu yakin bisa mencintai perempuan lain?” tanya Ibu kemudian. Sebuah pertanyaan yang wajar karena Ibu tahu aku sangat mencintai Rania dan betapa terpuruknya aku karena patah hati. “Aku harus bisa meski semua membutuhkan waktu. Rania … sampai saat ini aku masih mencintainya, tetapi, aku juga harus melanjutkan kehidupanku. Dia juga sudah bahagia dengan kehidupannya dan tidak seharusnya aku masih berharap untuk dapat bersamanya.” Aku lega melihat Rania bahagia deng
“Kamu serius?” tanyaku yang sedikit merasa kaget dengan pertanyaan Aletha. “Nggak,” jawab gadis itu enteng. “Ya seriuslah, Om.”“Beneran?” tanyaku lagi, padahal aku yang membuat pembicaraan ini dan aku sendiri pula yang masih merasa belum percaya.“Iya, ada beberapa point yang aku sepakat dengan pemikiran, Om. Karena dunia akan tetap berjalan bagaimanapun keadaan kita. Tidak akan ada yang peduli pada diri kita selain diri kita sendiri dan hidup juga sebuah pilihan bukan? apakah kita akan tetap berdiam membenamkan diri dalam kesakitan atau kita mulai berusaha membebaskan diri dari sebuah belenggu luka.” Aletha terlihat serius dengan bicaranya.“Sebuah hal baik katanya harus disegerakan, setidaknya untuk menghindari fitnah dan membuang waktu hanya untuk sekedar pengenalan. Setidaknya kita memiliki niat yang sama, sama-sama ingin lepas dari masa lalu dan melangkah ke depan untuk kehidupan baru. Aku berharap ini sebuah keputusan yang tepat dan aku ha
Pov Satria “Nggak suka becandanya, bisa bahas hal lainnya.” Raut wajah Aletha berubah. Wajar saja dia berpikir demikian sedangkan kami memang belum lama saling mengenal, apalagi aku selalu bersikap ketus padanya selama ini. Aku juga belum yakin denga napa yang aku katakana, tetapi, ada sebuah dorongan yang tidak aku mengerti untuk aku mengatakan hal ini padanya. Aku merasa tidak ada yang buruk dengan pemikiran dari Pak Agus meski aku tidak tahu dia sedang serius atau hanya mencandaiku. Kami sama-sama terluka oleh masa lalu dan kami butuh seseorang untuk saling menguatkan. Tetapi, aku tidak yakin juga apa dia bisa menerimaku. Tetapi, akan lebih baik aku ungkapkan apa yang menjadi keinginanku masalah diterima atau ditolak itu urusan nanti. Setidaknya aku sudah berusaha keluar dari kubangan nestapa masa lalu yang selalu membayangi perjalanan hidupku. “Aku serius,” jawabku kemudian. “Tapi kenapa?” tanya Aletha, kedua tangannya mengenggam gelas minumnya dengan pandangan mata yang me