Selepas beristirahat siang aku mulai melanjutkan aktifitasku seperti biasa, berkutat dengan pekerjaan. Beberapa laporan menunggu bergiliran untuk aku kerjakan, kembali fokus pada pekerjaan akan mengalihkan pikiranku dari segala hal yang merisaukan, itu harapanku. Apalagi dengan batas waktu yang diberikan membuatku harus cepat -cepat menyelesaikan setiap laporannya.
“Aku tadi kirim data ke WA kamu, tolong buatin proposalnya yah.” Fokusku teralihkan pada sosok yang baru datang. Roni sudah berdiri di depan mejaku, saking fokusnya pada layar monitor aku sampai tidak mengetahui kedatangannya.“Entertaint?” tanyaku sambil meraih ponsel yang aku letakkan di samping printer.“He em, eh ini buat kamu.” Roni menjawab sambil menyerahkan minuman dingin dengan gelas plastik berukuran jumbo.“Buat aku? Makasih … tau aja lagi pengen yang manis-manis.” Aku tersenyum dan mengambil alih minuman dari tangan Roni.“Pak Agus nggak ada, ya?” tanya Roni lagi sKak Sisil tidak serta merta menyetujui apa yang menjadi pilihan Kak Regina. Dia juga sesaat terdiam dan terlihat berpikir sebelum akhirnya menyetujui pilihan Kak Regina. Dengan kuas kecil Kak Sisil kemudian mengaplikasikan warna pilahan Kak Regina ke area kelopak mataku. Aku hanya terdiam dan menurut saja, menyerahkan semuanya kepada kedua kakak perempuanku itu.Aku menatap wajahku di cermin, kemudian bergerak setengah putaran untuk mengepas kebaya yang baru saja aku kenakan. Terlihat sedikit berbeda karena memang aku terbiasa dengan riasan yang sangat sederhana. Warna navy membuat kulitku terlihat lebih putih dan bersih, sejenak aku mengagumi hasil riasan dari kakak perempuanku itu. Sebenarnya juga kagum dengan penampilanku yang terlihat berbeda dan lebih manis dari biasanya.“Sumpah … cantik banget,” puji Kak Regina sambil membenahi kain batik yang aku jadikan sebagai bawahan. “Ambil gambar habis ini, foto-foto.”“Siapa dulu dong yang make over , Sisi
Karena ada beberapa karyawan yang sedang cuti melahirkan di kantor, perusahaan memintaku untuk tetap berada di posisi yang sama sementara waktu meski nanti aku sudah menikah. Cabang sudah menyiapkan proposal penyimpangan sehingga aku harus menunggu admin marketing yang aku gantikan selesai cuti. Bu Nia divisi HR menyampaikan hal itu padaku siang ini.“Sebulan lewat dikitlah palingan, soalnya nggak mungkin kita mau rekrut baru juga.” Bu Nia menambahkan penjelasannya.“Berarti saya pengajuan pindahnya nanti saja ya, Bu?” tanyaku kemudian. Kalau secara lisan memang aku sudah sampaikan akan tetapi secara resmi aku memang belum mengajukan, karena menunggu pengarahan. Ada posisi di Cabang Kepanjen, cabang yang paling dekat meski harus menempuh perjalanan hampir satu jam dari rumah.“Iya nanti saja, aku kabari nanti.” Bu Nia menjawab, aku mengangguk paham.Setelah diberikan penjelasan lebih lanjut aku berpamitan kepada Bu Nia kepala divisi HR-k
PoV SatriaAku masih bergeming dan tidak menjawab apapun atas permintaan Bapak Aleya. Otakku serasa tidak bisa berpikir, ini bukan sebuah hal yang mudah. Sebuah permintaan yang membuatku terdiam dan tidak bisa berpikir apapun. “Nak Satria, bapak mohon … bapak sudah melewati banyak hal. Nak Satria tahu sendiri kondisi Aleya dan Ibunya. Aleya kondisinya semakin memburuk demikian juga ibunya, bapak tidak tau lagi harus bagaimana. Selama sakit Aleya selalu menanyakan Nak Satria dan bapak berusaha menahannya karena bapak tau, Nak Satria sudah memiliki hubungan dengan gadis lain. Tapi, kondisi Aleya semakin hari semakin memburuk karena leukimia yang di deritanya. Bapak harus bagaimana?” Pria paruh baya itu menangis.“Bersujud akan bapak lakukan, bapak hanya ingin Aleya bahagia di sisa hidupnya. Kebahagian Aleya hanya ketika Nak Satria bersama dia, kalau saja Nak Satria tau betapa terpukulnya Aleya saat Nak Satria meminta berpisah. Tapi, sekali lagi karena
“Sudah jam berapa ini? Kenapa belum datang juga. Petugas dari KUA nya juga sudah datang loh, coba cek hp kamu apa Satria menghubunggi?” Kak Sisil masuk ke kamar dengan wajah yang terlihat cemas.Pandanganku mengarah ke jam digital yang berada di atas meja kamarku, sudah hampir jam Sembilan. Padahal acara akad nikah akan digelar jam sembilan nanti, aku meraih ponsel yang aku letakkan di sampingku. Sedari tadi aku mengobrol dengan Kak Aletha dan juga kedua temanku untuk menetralisir rasa tegang dan debaran di dada yang sedang aku rasakan.Aku mulai menyapukan jariku di layar benda pipih yang kini berada di tanganku itu untuk membuka layar. Aku sengaja mengaktifkan mode pesawat tadi agar lebih tenang, sehingga panggilan ke aplikasi maupun seluler atau notif apapun tidak bisa masuk. Benar saja saat aku mulai mematikan mode tersebut langsung keluar beberapa notif ke ponselku.Hanya saja tidak ada panggilan maupun chat dari Mas Satria, justru yang ada dari Pak A
Semua berdatangan ke kamarku, kali ini Abang Chand iparku yang masuk dengan wajah bingung, tegang dan juga cemas sama seperti orang-orang yang saat ini berada di kamar. Aku sendiri sudah tidak bisa memikirkan apapun atas apa yang sebenarnya terjadi. Berusa berpikir positif dan berharap semua baik-baik saja tapi, pikiranku tak mampu untuk itu. Sedangkan berpikir tentang hal terburuk atas apa yang terjadi aku juga tidak mau.“Pihak KUA nya sudah tanya terus kapan acara dimulai, tamu undangan juga sudah datang semua. Mas Satria kemana sebenarnya, jangan bilang dia lari dari pernikahan ini, atau aku akan menghajarnya.” Kali ini Arya yang masuk, menyusul ke dalam kamarku.Ini sudah terlewat dari waktu yang dijadwalkan karena aku dan Mas Satria mendapatkan jadwal jam sembilan pagi. Bahkan seharusnya sudah sejak pagi tadi Mas Satria dan keluarganya datang, karena memang ada rentetan acara yang harus dilalui. Tapi, ini sudah lebih dari waktu yang di jadwalkan dan Mas Saatr
Ucapan selamat yang penuh haru, air mata seolah masih engan berhenti mengalir. Bukan air ata kesedihan, tapi, air mata kebahagiaan. Pagi yang penuh dengan kejutan dan begitu tegang, tangan dinginku baru saja menghangat setelah aku dan mas Satria menandatangani buku nikah. Antara tersenyum dan menangis itu yang aku alami sekarang. “Selamat ya, akhirnya jadi Nyonya Satria.” Wina menggodaku saat kami berdektan, Mas Satria sedang bersama tamu pria di sudut yang lain.“Sumpah aku tadi nangis, takut banget, bingung juga ada apa, pas Pak Satria nggak datang- datang tadi.” Tika menambahkan, suaranya sedikit dia pelankan.Hal yang sama juga aku rasakan tadi, semua terasa benar-benar kacau. Aku tidak bisa membayangkan kalau sampai pernikahanku gagal untuk kedua kalinya. Hancur pasti, tapi, lebih dari itu mungkin aku akan benar-benar down dan tidak akan berpikir untuk menjalin hubungan lagi dengan siapapun.“Tapi, aneh juga ya, kenapa Pak Satria datang sendiri.
“Aku minta maaf, aku bersalah.” Mas Satria meraihku dan berusaha memelukku lagi dengan kesal aku menepis tangan pria itu.“Aku benar-benar kecewa, rasanya sakit sekali. Mas tega banget sama aku, sekuat hati aku sabar dan menahan diri berkorban perasaan. Semua Aleya … Aleya dan Aleya, kalau mas lebih memikirkan dia kenapa harus denganku? Kenapa memberi harapan padaku? Kenapa harus mempertahanku? Kalau sebenarnya mas nggak bisa lepas darinya.”Rasanya benar-benar sakit dan sesak, selama ini aku mencoba bersabar dan mengerti akan posisi mas Satria. Tapi, hari ini semua sudah melewati batas dari sebuah pemakluman ataupun toleransi. Di hari yang sakral dan penting seperti ini saja masih tetap Aleya yang didahulukan, apapun alasannya ini sangat menyakitkan.“Orang tua Aleya ingin aku merujuknya.”Pandanganku yang tadi teralihkan dari wajah mas Satria kini kembali memindai wajah pria itu. Aku bergeming menunggu kalimat selanjutnya dari mas Satria tanpa a
“Semua benar baik-baik saja kan?” Hari sudah sore, keluarga Mas Satria juga sudah pulang. Pakde dan keluarganya juga, hanya ada keluarga intiku saja. Mas Satria sedang mengobrol bersama kedua abang iparku, Arya dan juga Mama. Sebuah pertanyaan dari Kak Regi menghentikan putaran sendokku yang sedang mengaduk minuman di dapur.“Kakak kan juga sudah dengar sendiri kan penjelasan dari Mas Satria juga keluarganya tadi,” jawabku kemudian.“Iya, sih. Kasihan juga sebenarnya, bingung juga pastinya kalau dalam posisi seperti Satria. ya sudahlah semua juga sudah lewat juga,” lanjut Kak Regi kemudian.“Iya.” Aku menjawab pelan sambil mengangkat cangkir berisi minuman di depanku dan meletakkan di nampan.“Biar Kakak yang bawa ke depan,” ucap Kak Regi sambil menggeser nanmpan dan kemudian mengangkatnya. “Ada jus di kulkas tuang kasih ke anak-anak itu.”“Iya, Kak.” Aku kembali mengangguk sambil beranjak menuju kulkas, Kak Regi bergegas mening
Segelas kopi aku siapkan untuk Mas Danta selepas aku membersihkan diri tadi, aku mandi terlebih dahulu karena Mas Danta masih menerima panggilan telepon dari rekannya. Aroma harum kopi menguar dari gelas yang sedang aku bawa ke ruang tengah. Aku menunggu Mas Danta selesai membersihkan diri dan sudah siap untuk menceritakan semua yang tadi terjadi.Aku berharap tidak akan terjadi kesalah pahaman antara aku dan mas Danta nantinya. Dalam perjalanan pulang tadi, aku sudah memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan kepada Mas Danta. Bicara masalah hati memang bukan yang mudah apalagi Mas Danta juga tau bagaimana aku dan Mas Satria dulu.“Humm … wanginya,” ucapku saat indra penciumanku menghidu aroma wangi yang hadir bersama Mas Danta yang berdiri di belakangku.Aku duduk bersandar di sofa saat Mas Danta datang dan kemudian melingkarkan ke dua tangannya di leherku. Kepalaku mendongak dan sebuah kecupan suamiku itu berika
“Sangat bahagia,” jawabku tanpa melepas pandanganku darinya. Rasanya sesak saat aku harus mengatakan ini semua.“Bukankah aku harusnya bahagia?” ucap Mas Satria memaksakan senyumnya, tapi, air matanya malah semakin deras. “Tapi, kenapa sakit sekali rasanya,” lanjutnya kemudian.“Semua sudah berlalu, aku tidak akan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Mas sudah mengambil jalan mas sendiri dan aku menerima semuanya meski semua itu tidak mudah. Sekarang aku juga sudah menentukan jalanku sendiri. Kita boleh bermimpi, memiliki rencana ini dan itu, akan tetapi, tetap semua kembali ke kehendak Tuhan. Itu dulu yang aku sematkan dalam pikiran saat terpuruk atas semuanya. Sekarang aku sudah bahagia dengan apa yang Tuhan pilihkan untukku, aku berharap mas juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Apa yang pernah terjadi dan yang sudah kita lewati biarkan menjadi bagian dari sebuah kenangan. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berjalan kedepan meski kita
“Duh, pengantin baru basah terus rambutnya.” Aku langsung nyengir mendengar ucapan Kak Regina yang berdiri di depan pintu kamarku.Sore ini memang aku pulang ke mama untuk mengambil beberapa pakaian untuk aku bawa ke rumah Mas Danta, yah rumah baruku juga. Juga beberapa barang yang ssekiranya aku perlukan, tidak semua aku bawa karena Mas Danta sudah menyiapkan semuanya lengkap. Mas Danta sedang mengobrol di depan dengan Arya, Mama dan Abang Iparku.“Mana ada basah,” kilahku kemudian, sebelum berangkat tadi aku sudah lebih dulu mengeringkan rambutku dibantu Mas Danta.“Iya tapi, bekas keramas ini.” Kak Sisil mendekatiku dan membaui rambutku. “Bau shampoo,” godanya lagi sambil tertawa, lagi-lagi aku hanya nyengir.“Gimana?” Kak Sisil mengangkat alis dan matanya naik turun, sudah kayak orang cacingan. “Seru kan?!” siku Kakak perempuanku itu menyikut pinggangku pelan.“Apanya?” tanyaku pura-pura tidah paham, padahal aku tahu apa yang dimaks
Aku meminta Mas Danta terlebih dahulu untuk keluar menemui keluarganya yang barusan datang, aku menyusul setelah kembali membersihkan diri dan merapikan keadaanku.*Kegiatan hari ini memang cukup padat dan melelahkan aku tidak bisa membayangkan saat pesta resepsi nanti akan seperti apa heboh dan capeknya. Rangkaian acara demi acara hampir selesai di gelar hingga akhirnya semua selesai jam 10 malam. Mama dan Papa meminta aku dan Mas Danta istirahat terlebih dahulu karena sepertinya mereka melihat aku yang sudah cukup kelelahan.“Danta pulang ke rumah aja, ya Mah,” pamit Mas Danta kemudian.“Iya sudah kaliah terlihat lelah sekali, iya disana lebih tenang, di sini masih banyak kerabat.” Mama mengangguk dan mengiyakan. Rumah Mas Danta dan rumah Mama hanya berselang beberapa rumah saja, kami berjalan kaki dari rumaah mama setelah berpamitan dengan keluarga. Bisa dipastikan beberapa keluarga mencandai Mas Danta saat berpamitan dasar Mas Danta buka
“Mas … aku merinding,” ucapku lalu sedikit melangkah mundur. “Aku bisa sendiri, ntar bantu narik pelan-pelan aja.” Kembali aku melanjutkan, baju ganti yang aku bawa aku letakkan di atas sebuah meja yang berada di dalam kamar.Aku mulai membuka pelan kebaya yang aku kenakan, masih merasa tenang sebenarnya karena aku mengenakan dalaman yang senada dengan warna kulit. Hanya saja kalau tetap dibantu, sentuhan tangan dari mas Danta justru membuatku bergidik karena memang belum terbiasa. Setelah membuka seluruh kancing aku berdiri membelakangi suamiku itu dan memintanya membantu menarik kebayaku dari belakang.“Aku taruk di ranjang ya?” tanya Mas Danta dan akupun mengangguk.“Makasih, aku ke kamar mandi dulu,” ucapku kemudian saat Mas Danta meletakkan kebayaku di ranjang.“Mas nggak usah ikut, disitu saja dulu,” lanjutku kembali saat melihat mas Danta mengikutiku.“Aku nggak akan ngapa-ngapain, Sayang. Tenang aja, lagian kan di luar masih banya
“Terima kasih suamiku tercinta semoga mas kawin yang diberikan memberikan manfaat dan saya mohon jadilah suami yang bertanggung jawab baik lahir maupun batin, terima kasih.” Sama seperti Mas Danta dengan suara sedikit parau karena menahan haru aku mengikuti apa yang penghulu ucapkan dan menerima mas kawin yang diberikan oleh suamiku itu. Untuk kali pertama setelah resmi menjadi nyonya Danta aku mencium punggung tangan suamiku itu dan sebuah ciuman di kening Mas danta berikan sebagai balasannya.Ini bukan yang pertama untukku menjalani prosesi seperti ini, hanya saja kali ini terasa berbeda. Sebuah moment penuh drama … Ah, itu sudah menjadi masa lalu dan sekarang aku sudah membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupanku. Penghulu meminta kami duduk karena kami harus menandatangani buku nikah dan juga berkas lainnya. “Sesudah akad nikah saya Danta Pramudya Khalik berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama Rania
“Bukan mas Satria, tapi, tentang Ibunya dan juga bapak mertuanya,” jelasku memulai cerita.Aku kemudian mulai menceritakan tentang apa yang terjadi dengan mas Satria berdasarkan kabar yang aku terima dari teman-temanku. Juga tentang apa yang aku lihat sewaktu di mall tadi, dimana aku melihat bapak Aleya dan juga melihat Ibu Mas Satria menjual perhiasan. Aku juga mendengar kalau uang itu akan diberikam kepada bapak Aleya sebagai modal untuk usaha. Aku juga menceritakan kecurigaanku atas kecurangan bapak Aleya kepada Mas Danta.“Apa sebaiknya aku memberi tahu Mas Satria tentang hal ini, agar bisa mencegah ibunya memberikan uang itu kepada bapak Aleya?” tanyaku bingung. “Tapi, aku sudah tidak ingin ikut campur dalam hal apapun lagi sebenarnya,” lanjutku.“Sayang, bukan aku melarang kamu untuk memberitahukan hal itu kepada Satria atau membantunya. Tapi, kamu juga harus punya bukti yang kuat, bukan sekedar dugaan atau pun kecurigaan semata. Apa kamu punya bukti
“Sini?” tunjukku kemudian dengan dagu.Mas Danta berhenti di sebuah toko perhiasan yang berda di lantai 1.“Pak titip belanjaan, ya.” Mas Danta berbicara dengan seseorang yang berjaga di depan toko perhiasan.“Baik, Pak.” Pria yang berjaga itu kemudian membantu mendorong troli dan meminggirkan tepat di belakang pria itu berjaga-jaga.Mas Danta kemudian mengandengku masuk ke dalam toko perhiasan yang paling terkenal di kota ini. Pelayan dengan seragam batik menyambut kami dengan ucapan selamat datang dan menanyakan tentang perhiasan apa yang kami cari.“Yang satu set, Mbak,” jawab Mas Danta kemudian.“Silahkan di sebelah sini, Pak.” Dengan tangan kanan pelayan berkulit putih itu menunjuk sebuah etalase.“Buat siapa?” tanyaku pada Mas Danta setengah berbisik.“Buat calon istriku,” jawab Mas Danta, aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk dan pria itu mengangguk.“Kan sudah dapat dari mama,” ucapk
“Tunggu sebentar ya, Sayang. Ini sudah selesai kok, dari rumah sakit aku langsung nyusul kesana.”Sebuah pesan masuk di ke ponselku, pesan dari Mas Danta. Aku sedang keluar ke sebuah mall di tengah kota guna berbelanja beberapa barang untuk di kafe. Mas Danta memintaku untuk naik taksi online karena dia yang akan menjemputku nanti. Sudah hampir dua jam aku berada di sini dan sudah mendapatkan barang-barang yan aku cari.Sebuah coffe shop di lantai tiga menjadi tempatku untuk menyandarkan tubuh lelahku. Sewaktu berkeliling tadi sama sekali tidak terasa capeknya, akan tetapi, setelah selesai baru aku rasakan kaki rasanya pegal meski aku tidak mengunakan alas kaki dengan hak tinggi. Mungkin saking asiknya melihat barang-barang sampai lupa capek tadi sewaktu di toko.“Silahkan milk shake coklatnya, Kak.” Seorang pelayan dengan seragam pink fanta menghampiri mejaku untuk mengantarkan minuman pesananku.“Oh … makasih,” jawabku kemudian.“Untuk