Dalam hitungan detik lift sudah berada di lantai satu, aku dan Mas Danta langsung melangkah keluar sesaat setelah pintu lift terbuka. Aku berjalan mengikuti Mas Danta yang berjalan ke arah kiri, kalau ke kanan kami akan ke lobby rumah sakit. Mas Danta menunjuk dengan dagunya ke sebuah tempat, sebuah area terbuka dan terlihat ada beberapa stan di sana. Meja berwarna kuning berjajar di depan stan- stan tersebut. “Oh itu,” tunjukku kemudian.“Yang di sana.” Mas Danta menunjuk lebih jauh, baru terlihat sebuah café yang berada di samping stan- stan tersebut. Dengan tangan kanan Mas Danta mendorong pintu kaca berwarna gelap itu, di dalam nya terlihat sebuah ruangan yang lumayan luas. Ada set meja berwarna coklat yang berjajar rapi dan sebuah meja konter kafe bar berukuran sedang di ujung ruangan. Pencahayaan sedikit remang-remang yang berasal dari beberapa lampu hias yang mengantung. Di beberapa meja terlihat beberapa orang duduk, ada yang berpasangan, sendirian, dan ada yang penuh empa
“Permisi silahkan pesanannya.” Obrolanku dengan Mas Danta terjeda oleh kedatangan pelayan yang membawakan makanan dan minuman yang tadi aku pesan.Pelayan pria itu menurunkan dua cangkir coffe latte, seporsi kentang goreng lengkap dengan saos yang disajikan di wadah kecil. Ada saus sambal dan saus mayones yang di tempatkan di dua buah wadah kecil yang berbeda. Satu porsi waffle juga disajikan denga saus coklat sebagai topingnya. “Sudah lengkap semua ya, terima kasih dan selamat menikmati.” Aku dan Mas Danta amengangguk dan tersenyum secara bersamaan.“Makasih, Mas,” ucapku sebelum pelayan itu beranjak yang disambut dengan kalimat ‘sama-sama, permisi’.Aku menarik mendekat cangkir yang berisi minuman hangat yang berada di depanku, aroma harumnya menguar terhidu oleh indra penciumanku. Cangkir berwarna putih itu diletakkan diatas sebuah tatakan kecil berwarna serupa, di samping cangkir ada sendok kecil dan satu saset gula. Mas Danta juga terlihat menggeser mendekat cangkir yang beri
Ada apa dengan Mas Satria? kenapa sering sekali membuatku merasa kesal, atau perasaanku saja yang sedang tidak nyaman, tapi, tidak lah. Aku merasa kalau aku baik-baik saja dan sedang tidak memiliki masalah apapun sebelum ini. Fix, semua ini memang karena ulah Mas Satria yang sulit untuk dihubunggi. Dari tadi menelponnya tidak ada respon, saat tersambung sama juga dia berada di panggilan lain dan kenapa itu lama sekali nelponnya. Sedang bicara dengan siapa pria itu, ap aini ada hubungannya dengan Aleya lagi?Pikiranku jadi kemana-mana saat aku mencoba kembali menghubunggi Mas Satria dan dia masih berada di panggilan lain. Aku meletakkan kembali ponsel di atas meja dan menarik gelas minumanku yang masih tersisa meski sudah dingin. Sebelum minum aku mencoba menarik napas dan mengembuskannya berlahan untuk menguranggi tekanan emosi di dalam dadaku. Setidaknya bisa sedikit rileks meski masih saja diriku diselimuti rasa kesal yang teramat sangat.‘Drrrtt … drrt
Langkahku gontai menyusuri lorong yang tidak terlalu panjang untuk menuju ke kamar tempat Arya di rawat. Semua hal yang terjadi membuat hatiku begitu lelah, atau hanya aku saja yang merasa egois atas perasaanku. Mas Satria sedang berbuat baik mengurus keluarga Aleya, tapi, aku tidak suka. Mungkin aku yang keterlaluan sebagai manusia, hanya saja aku tidak bisa membohonggi perasaanku sendiri.“Kak,” panggil Arya saat aku masuk ke dalam kamar.“Iya, kenapa?” tanyaku kemudian pada adik bungsuku itu.“Livy tadi ….” Arya seoperti sengaja tidak meneruskan kalimatnya.“Iya, Kakak ketemu mereka di bawah.” Aku menjawab sambil mendekat ke arah Arya.“Mas Satria?” tanya Arya kemudian.“Huum … dia ngurusin itu,” jelasku kemudian. Arya hanya mengangguk pelan dan tidak bicara apa- apa lagi setelahnya. “Kamu rehat, sudah malam.” Aku membetulkan selimut yang berada di ujung kaki Arya.“Kakak juga,” ucap
Selepas beristirahat siang aku mulai melanjutkan aktifitasku seperti biasa, berkutat dengan pekerjaan. Beberapa laporan menunggu bergiliran untuk aku kerjakan, kembali fokus pada pekerjaan akan mengalihkan pikiranku dari segala hal yang merisaukan, itu harapanku. Apalagi dengan batas waktu yang diberikan membuatku harus cepat -cepat menyelesaikan setiap laporannya.“Aku tadi kirim data ke WA kamu, tolong buatin proposalnya yah.” Fokusku teralihkan pada sosok yang baru datang. Roni sudah berdiri di depan mejaku, saking fokusnya pada layar monitor aku sampai tidak mengetahui kedatangannya.“Entertaint?” tanyaku sambil meraih ponsel yang aku letakkan di samping printer.“He em, eh ini buat kamu.” Roni menjawab sambil menyerahkan minuman dingin dengan gelas plastik berukuran jumbo.“Buat aku? Makasih … tau aja lagi pengen yang manis-manis.” Aku tersenyum dan mengambil alih minuman dari tangan Roni.“Pak Agus nggak ada, ya?” tanya Roni lagi s
Kak Sisil tidak serta merta menyetujui apa yang menjadi pilihan Kak Regina. Dia juga sesaat terdiam dan terlihat berpikir sebelum akhirnya menyetujui pilihan Kak Regina. Dengan kuas kecil Kak Sisil kemudian mengaplikasikan warna pilahan Kak Regina ke area kelopak mataku. Aku hanya terdiam dan menurut saja, menyerahkan semuanya kepada kedua kakak perempuanku itu.Aku menatap wajahku di cermin, kemudian bergerak setengah putaran untuk mengepas kebaya yang baru saja aku kenakan. Terlihat sedikit berbeda karena memang aku terbiasa dengan riasan yang sangat sederhana. Warna navy membuat kulitku terlihat lebih putih dan bersih, sejenak aku mengagumi hasil riasan dari kakak perempuanku itu. Sebenarnya juga kagum dengan penampilanku yang terlihat berbeda dan lebih manis dari biasanya.“Sumpah … cantik banget,” puji Kak Regina sambil membenahi kain batik yang aku jadikan sebagai bawahan. “Ambil gambar habis ini, foto-foto.”“Siapa dulu dong yang make over , Sisi
Karena ada beberapa karyawan yang sedang cuti melahirkan di kantor, perusahaan memintaku untuk tetap berada di posisi yang sama sementara waktu meski nanti aku sudah menikah. Cabang sudah menyiapkan proposal penyimpangan sehingga aku harus menunggu admin marketing yang aku gantikan selesai cuti. Bu Nia divisi HR menyampaikan hal itu padaku siang ini.“Sebulan lewat dikitlah palingan, soalnya nggak mungkin kita mau rekrut baru juga.” Bu Nia menambahkan penjelasannya.“Berarti saya pengajuan pindahnya nanti saja ya, Bu?” tanyaku kemudian. Kalau secara lisan memang aku sudah sampaikan akan tetapi secara resmi aku memang belum mengajukan, karena menunggu pengarahan. Ada posisi di Cabang Kepanjen, cabang yang paling dekat meski harus menempuh perjalanan hampir satu jam dari rumah.“Iya nanti saja, aku kabari nanti.” Bu Nia menjawab, aku mengangguk paham.Setelah diberikan penjelasan lebih lanjut aku berpamitan kepada Bu Nia kepala divisi HR-k
PoV SatriaAku masih bergeming dan tidak menjawab apapun atas permintaan Bapak Aleya. Otakku serasa tidak bisa berpikir, ini bukan sebuah hal yang mudah. Sebuah permintaan yang membuatku terdiam dan tidak bisa berpikir apapun. “Nak Satria, bapak mohon … bapak sudah melewati banyak hal. Nak Satria tahu sendiri kondisi Aleya dan Ibunya. Aleya kondisinya semakin memburuk demikian juga ibunya, bapak tidak tau lagi harus bagaimana. Selama sakit Aleya selalu menanyakan Nak Satria dan bapak berusaha menahannya karena bapak tau, Nak Satria sudah memiliki hubungan dengan gadis lain. Tapi, kondisi Aleya semakin hari semakin memburuk karena leukimia yang di deritanya. Bapak harus bagaimana?” Pria paruh baya itu menangis.“Bersujud akan bapak lakukan, bapak hanya ingin Aleya bahagia di sisa hidupnya. Kebahagian Aleya hanya ketika Nak Satria bersama dia, kalau saja Nak Satria tau betapa terpukulnya Aleya saat Nak Satria meminta berpisah. Tapi, sekali lagi karena
“Mama? kalau mama nyerahin sepenuhnya sama aku. Intinya yang penting aku bisa bahagia dan yang aku pilih juga harus pria baik-baik. Mama tidak netapin kriteria tertentu yang harus gimana-gimana gitu,” jelas AlethaSebuah kabar baik tentunya buat aku saat tidak ada kendalq baik di keluargaku maupun keluarga Aletha. Besar harapan niat baik ini akan berjalam sesuai dengan harapan.“ Mmm ... Apa siang nanti bisa keluar,? aku jemput. Setidaknya kita butuh bicara lagi untuk membahas lebih banyak hal tentang hal ini.”Ini sebuah hal yang perlu pembahasan lebih dalam karena kami akan melangkah ke jenjang yang serius. Akan banyak orang pula yang dilibatkan nantinya teritama keluarga. Perlu juga membangun komitmen lebih jauh antara aku dan Aletha.“Bisa, nggak usah dijemput, sekalian nanti aku ada keperluan keluar jadi Om mau ketemuan dimana?” tanya Aletha.“Di mana?” tanyaku membalikkan pertanyaan karena aku tidak terlalu tahu kafe-kafe
"Menikah?” tanya ibu kemudian.“Iya,” jawabku sambil mengangguk.“Rania?” tanya Ibu ragu.“Bukan, Dia sudah bahagia dengan kehidupannya. Mungkin sekarang waktunya aku untuk bisa menata kembali kehidupanku. Ibu pernah meminta aku untuk kembali mendapatkan hati Rania karena dia tidak tahu kalau Rania sudah menikah. Aku mengatakan pada Ibu kalau Rania sudah menikah dengan pria lain dan hal itu membuat Ibu merasa semakin bersalah padaku dan juga Rania.“Kamu yakin bisa mencintai perempuan lain?” tanya Ibu kemudian. Sebuah pertanyaan yang wajar karena Ibu tahu aku sangat mencintai Rania dan betapa terpuruknya aku karena patah hati.“Aku harus bisa meski semua membutuhkan waktu. Rania … sampai saat ini aku masih mencintainya, tetapi, aku juga harus melanjutkan kehidupanku. Dia juga sudah bahagia dengan kehidupannya dan tidak seharusnya aku masih berharap untuk dapat bersamanya.”Aku lega melihat Rania bahagia dengan
“Kamu serius?” tanyaku yang sedikit merasa kaget dengan pertanyaan Aletha. “Nggak,” jawab gadis itu enteng. “Ya seriuslah, Om.”“Beneran?” tanyaku lagi, padahal aku yang membuat pembicaraan ini dan aku sendiri pula yang masih merasa belum percaya.“Iya, ada beberapa point yang aku sepakat dengan pemikiran, Om. Karena dunia akan tetap berjalan bagaimanapun keadaan kita. Tidak akan ada yang peduli pada diri kita selain diri kita sendiri dan hidup juga sebuah pilihan bukan? apakah kita akan tetap berdiam membenamkan diri dalam kesakitan atau kita mulai berusaha membebaskan diri dari sebuah belenggu luka.” Aletha terlihat serius dengan bicaranya.“Sebuah hal baik katanya harus disegerakan, setidaknya untuk menghindari fitnah dan membuang waktu hanya untuk sekedar pengenalan. Setidaknya kita memiliki niat yang sama, sama-sama ingin lepas dari masa lalu dan melangkah ke depan untuk kehidupan baru. Aku berharap ini sebuah keputusan yang tepat dan aku ha
“Nggak suka becandanya, bisa bahas hal lainnya.” Raut wajah Aletha berubah.Wajar saja dia berpikir demikian sedangkan kami memang belum lama saling mengenal, apalagi aku selalu bersikap ketus padanya selama ini. Aku juga belum yakin denga napa yang aku katakana, tetapi, ada sebuah dorongan yang tidak aku mengerti untuk aku mengatakan hal ini padanya. Aku merasa tidak ada yang buruk dengan pemikiran dari Pak Agus meski aku tidak tahu dia sedang serius atau hanya mencandaiku.Kami sama-sama terluka oleh masa lalu dan kami butuh seseorang untuk saling menguatkan. Tetapi, aku tidak yakin juga apa dia bisa menerimaku. Tetapi, akan lebih baik aku ungkapkan apa yang menjadi keinginanku masalah diterima atau ditolak itu urusan nanti. Setidaknya aku sudah berusaha keluar dari kubangan nestapa masa lalu yang selalu membayangi perjalanan hidupku. “Aku serius,” jawabku kemudian.“Tapi kenapa?” tanya Aletha, kedua tangannya mengenggam gelas minumnya dengan p
Aku belum menjawab pertanyaan Aletha saat terdengar suara panggilan di ponselnya.“Assalamualaikum, Ma.” Terdengar gadis itu mengucapkan salam kepada penelepon yang dipanggilnya dengan sebutan Ma. Mungkin itu telepon dari mamanya.“Iya ditutup nggak bisa lewat, ini aku sama teman pulangnya.” Aku memelankan laju mobilku mengikuti pergerakan kendaraan lainnya yang juga merayap dan mengambil ke arah lurus kanan.“Belakang di tutup juga? Berarti semua di tutup kalau begitu. Ya sudah deh mah, aku nunggu sampai kelar. Paling jam sebelasan ya? Ya sudah nanti aku kabari lagi. Assalamualaikum.” Aletha mengakhiri panggilan dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas.“Kadang jalur belakang yang lewat kampung bisa, tapi, kata mama ditutup juga.” Aletha menoleh ke arahku.Rumah kami memang beda kompleks, tapi, arah kami sama saja. Aku juga tidak bisa pulang kalau jalan itu ditutup karena itu akses jalan utama untuk aku sampai di
pov SatriaDari sebelum berangkat tadi sebenarnya aku sudah mempersiapkan diri, bagaimanapun kemungkinan bertemu dengan Rania pasti lebih besar mengingat dia bekerja di sini. Akan tetapi, tetap saja ada rasa perih yang menyeruak dalam hatiku. Entah mengapa sulit sekali untuk menghempas rasa yang sudah tidak ada artinya ini. Rania terlihat bahagia dengan kehidupannya yang sekarang, harusnya aku ikut bahagia melihatnya. Hanya saja itu tidak semudah seperti harapanku, aku terluka dengan rasaku sendiri.Waktu terasa panjang malam ini dan aku hanya banyak berdiam sambil menunggu acara makan malam selesai. Sesekali tersenyum atau menimpali satu dua patah kata saja atas obrolan yang terjadi selama acara mala mini. Aku sama sekali tidak bisa menikmati baik makanan maupun suasana di tengah atmosfer yang membuat hatiku kacau. “Om sakit?” tanya Aletha yang berada di dekatku.“Kenapa?” tanyaku kemudian sambil menoleh ke arah gadis itu.“Enggak, kok diam saja dari tadi. Ya, biasanya sih memang di
Rania POV•••“Rania.”Suara panggilan membuatku menoleh mencari sumber suara, senyumku langsung terkembang saat melihat sosok yang cukup aku kenal. Namanya Titan, dia teman sewaktu aku bekerja di kantor dulu. Hanya saja sewaktu aku keluar dia sedang ditempatkan di RO Batu seingetku. Aku langsung melangkah mendekati Titan yang terlihat datang bersama tetan-temannya itu.“Hai, apa kabar?” sapaku kemudian dengan mengulurkan tangan untuk bersalaman.“Baik, kamu kerja disini?” tanya pria dengan kulit sawo matang itu.“Huum aku kerja di sini,” jawabku sembari mengangguk dan tersenyum. Tangan kananku berganti menyalami semua teman Titan yang berdiri di sampingnya.“Padahal aku sering kesini, kok nggak pernah ketemu ya?” “Oh, yah. Padahal aku biasa juga keluar-keluar ruangan buat cek,” balasku kemudian. “Oh yah … silahkan, mau di sini atau mau di rooftop?” “Nggak kuat angin di sana saja.” Titan menunjuk sudut rua
** Aletha tidak segera menimpali ucapanku sehingga aku menekan tangannya yang tengah aku pegang. Terlihat ketiga orang di depanku itu masih melihat ke arahku dengan tatapan tidak percaya atau curiga entah. Yang jelas bukan tatapan dan ekspresi yang enak untuk dilihat. “I-Iya, tapi, untuk apa ini tidak ada hubungannya dengan mereka, bukan? Tapi, ya sudah berhubung bertemu di sini sekalian saja ini Mas Satria calon suamiku.” Aletha melihatku dengan senyum sedikit canggung. “Bulan depan kami akan menikah,” imbuh Aletha yang membuat aku sedikit kaget juga, mendengar kata pernikahan entah kenapa rasanya tidak enak. “Iya kan, Sayang?!” Aletha sedikit memiringkan kepala melihat ke arahku masih dengan senyum yang sekarang lebih natural. “Apa kita perlu mengundang mereka?” tanya Aletha lagi dan dia sudah mulai masuk dalam perannya dengan cukup baik. Ini hanya sandiwara dan aku yang memulai,
xtra 7“Ya sudah, ngapain masih disini. Jalan ke atas,” ucapku lagi saat mendapati gadis itu belum beranjak.“Itu punya saya kan?” Aletha menunjuk Name Tag yang tadi aku keluarkan dari saku kemeja.“Iya,” jawabku sambil mengulurkan name tag yang aku bawa dan langsung diraih oleh Aletha. “Lain kali jangan sembarangan taruh, masih muda sudah pikun.”“Iya,” jawab Aletha kemudian memutar sedikit tubuhnya akan beranjak. “Terima kasih,” ucapnya lagi kemudian berjalan cepat meninggalkan aku yang masih berdiri di tempat yang sama.Aku bergegas mengayun langkah mengikuti Aletha yang sudah berjalan terlebih dahulu. Satu jam lagi acara akan dimulai aku harus memastikan semua sudah dipersiapkan dengan baik. Setelah menaiki tangga eskalator aku tiba di tempat acara. Kursi dengan cover kuning dan putih terlihat berjajar rapi, sebuah panggung berukuran sedang juga sudah di dekorasi dengan beberapa ornamen hiasan. Banner yang didominasi warna kuning menj