“Sama,” ucapku menimpali seraya membalas pelukan mas Satria. Semakin rumit dan berliku semakin membuat aku merasa takut, bagaimanapun hati tidak bisa berbohong kalau aku juga benar-benar mencintainya.
Ketika kesempatan bersama hadir untuk kedua kalinya aku tak ingin melewatkan begitu saja. Sejauh apa pun jarak pernah memisah raga, tetap saja hati selalu terpaut. Mungkin benar adanya cinta pertama itu nyata ada, aku merasakan perasaan yang sama dan cinta ini tidak berubah pada Mas Satria.“Kita bisa.” Mas Satria melepaskan pelukannya dan kemudian menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya.Wajah kami berhadapan dengan posisi sangat dekat, pandangan kami beradu dalam diam. Sesaat hanya saling pandang dan menikmati sensasi rasa yang hadir di dalam dada. Tidak perle penjelasan ada cinta yang jelas aku dapati di sorot mata Mas Satria. Dan aku yakin dia bisa menangkap perasaan yang sama yang ada dalam hatiku dan terpancar dari sepasang mataku. Tapi, tid“Lah … ini nomor Rania, Mas. Bukan nomor-nya Kak Sisil, kalau mas mau aku kirim kontak Kak Sisil selepas ini.” Pantas saja aku seperti mengenal suara itu, ternyata mas Danta yang salah sambung ke nomor ponselku.“Bo … boleh,” jawab Mas Danta kemudian. “Em … eh kamu lagi ngapain?” tanya Mas Danta setelahnya. Mas Satria yang tadinya terdiam menjawil tanganku yang membuatku langsung menoleh ke arahnya, dagu pria itu terangkat seakan bertanya aku sedang bicara dengan siapa.“Aku lagi makan ini, Mas.” Aku menjawab kemudian. Dengan hanya menggerakkan mulut aku memberitahu Mas Satria.“Oh lagi istirahat ya?!” sambung Mas Danta lagi.“Siapa?” tanya Mas Satria sedikit menyuarakan, di tengah pembicaaraanku dengan Mas Danta. Aku hanya mengangguk sembari mengangkat tanganku sebagai isyarat untuk Mas Satria menunggu sebentar.“Iya, Mas.” Aku menjawab singkat pertanyaan Mas Danta sambil terus melihat ke Mas Satria yang menatapku dengan tatapan ingin Taunya.“Ya sudah kalau gitu, maaf jadi ganggu.
“Iya … iya, Kak Sisil dan Kak Regi biar rehat juga, sekarang kakak yang jaga.” Kembali aku menjawab.Aku membuka ponsel sebentar dan kemudian meletakkannya kembali saat terdengar azan magrib. Setelah membantu Arya untuk bersiap salat Magrib, aku pun segera aku mengambil wudhu untuk salat Magrib juga. Berbait doa aku langitkan, semoga Allah senantiasa memberikan kelancaran dalam setiap urusan. Berdoa untuk semua agar semua selalu baik-baik saja. Untuk sesaat aku masih belum beranjak dari atas sajadah untuk dapat berdzikir lebih lama dari biasanya.“Kak ponselmu.” Suara Arya memecah fokusku, aku hentikan dzikirku dan mencermati suara dengan pendengaranku. Sengaja memang aku menngecilkan volume nada panggil dan hanya mengunakan getar saja. Benar itu suara ponselku, segera aku beranjak kea rah sofa dan melihat ke layar benda pipih tersebut. Ada nama Mas Satrian yang terpampang di layar ponsel, buru-buru aku mengangkatnya.“Assalamualaikum, Sayang.” Aku langsung mengucap salam saat panggil
Dalam hitungan detik lift sudah berada di lantai satu, aku dan Mas Danta langsung melangkah keluar sesaat setelah pintu lift terbuka. Aku berjalan mengikuti Mas Danta yang berjalan ke arah kiri, kalau ke kanan kami akan ke lobby rumah sakit. Mas Danta menunjuk dengan dagunya ke sebuah tempat, sebuah area terbuka dan terlihat ada beberapa stan di sana. Meja berwarna kuning berjajar di depan stan- stan tersebut. “Oh itu,” tunjukku kemudian.“Yang di sana.” Mas Danta menunjuk lebih jauh, baru terlihat sebuah café yang berada di samping stan- stan tersebut. Dengan tangan kanan Mas Danta mendorong pintu kaca berwarna gelap itu, di dalam nya terlihat sebuah ruangan yang lumayan luas. Ada set meja berwarna coklat yang berjajar rapi dan sebuah meja konter kafe bar berukuran sedang di ujung ruangan. Pencahayaan sedikit remang-remang yang berasal dari beberapa lampu hias yang mengantung. Di beberapa meja terlihat beberapa orang duduk, ada yang berpasangan, sendirian, dan ada yang penuh empa
“Permisi silahkan pesanannya.” Obrolanku dengan Mas Danta terjeda oleh kedatangan pelayan yang membawakan makanan dan minuman yang tadi aku pesan.Pelayan pria itu menurunkan dua cangkir coffe latte, seporsi kentang goreng lengkap dengan saos yang disajikan di wadah kecil. Ada saus sambal dan saus mayones yang di tempatkan di dua buah wadah kecil yang berbeda. Satu porsi waffle juga disajikan denga saus coklat sebagai topingnya. “Sudah lengkap semua ya, terima kasih dan selamat menikmati.” Aku dan Mas Danta amengangguk dan tersenyum secara bersamaan.“Makasih, Mas,” ucapku sebelum pelayan itu beranjak yang disambut dengan kalimat ‘sama-sama, permisi’.Aku menarik mendekat cangkir yang berisi minuman hangat yang berada di depanku, aroma harumnya menguar terhidu oleh indra penciumanku. Cangkir berwarna putih itu diletakkan diatas sebuah tatakan kecil berwarna serupa, di samping cangkir ada sendok kecil dan satu saset gula. Mas Danta juga terlihat menggeser mendekat cangkir yang beri
Ada apa dengan Mas Satria? kenapa sering sekali membuatku merasa kesal, atau perasaanku saja yang sedang tidak nyaman, tapi, tidak lah. Aku merasa kalau aku baik-baik saja dan sedang tidak memiliki masalah apapun sebelum ini. Fix, semua ini memang karena ulah Mas Satria yang sulit untuk dihubunggi. Dari tadi menelponnya tidak ada respon, saat tersambung sama juga dia berada di panggilan lain dan kenapa itu lama sekali nelponnya. Sedang bicara dengan siapa pria itu, ap aini ada hubungannya dengan Aleya lagi?Pikiranku jadi kemana-mana saat aku mencoba kembali menghubunggi Mas Satria dan dia masih berada di panggilan lain. Aku meletakkan kembali ponsel di atas meja dan menarik gelas minumanku yang masih tersisa meski sudah dingin. Sebelum minum aku mencoba menarik napas dan mengembuskannya berlahan untuk menguranggi tekanan emosi di dalam dadaku. Setidaknya bisa sedikit rileks meski masih saja diriku diselimuti rasa kesal yang teramat sangat.‘Drrrtt … drrt
Langkahku gontai menyusuri lorong yang tidak terlalu panjang untuk menuju ke kamar tempat Arya di rawat. Semua hal yang terjadi membuat hatiku begitu lelah, atau hanya aku saja yang merasa egois atas perasaanku. Mas Satria sedang berbuat baik mengurus keluarga Aleya, tapi, aku tidak suka. Mungkin aku yang keterlaluan sebagai manusia, hanya saja aku tidak bisa membohonggi perasaanku sendiri.“Kak,” panggil Arya saat aku masuk ke dalam kamar.“Iya, kenapa?” tanyaku kemudian pada adik bungsuku itu.“Livy tadi ….” Arya seoperti sengaja tidak meneruskan kalimatnya.“Iya, Kakak ketemu mereka di bawah.” Aku menjawab sambil mendekat ke arah Arya.“Mas Satria?” tanya Arya kemudian.“Huum … dia ngurusin itu,” jelasku kemudian. Arya hanya mengangguk pelan dan tidak bicara apa- apa lagi setelahnya. “Kamu rehat, sudah malam.” Aku membetulkan selimut yang berada di ujung kaki Arya.“Kakak juga,” ucap
Selepas beristirahat siang aku mulai melanjutkan aktifitasku seperti biasa, berkutat dengan pekerjaan. Beberapa laporan menunggu bergiliran untuk aku kerjakan, kembali fokus pada pekerjaan akan mengalihkan pikiranku dari segala hal yang merisaukan, itu harapanku. Apalagi dengan batas waktu yang diberikan membuatku harus cepat -cepat menyelesaikan setiap laporannya.“Aku tadi kirim data ke WA kamu, tolong buatin proposalnya yah.” Fokusku teralihkan pada sosok yang baru datang. Roni sudah berdiri di depan mejaku, saking fokusnya pada layar monitor aku sampai tidak mengetahui kedatangannya.“Entertaint?” tanyaku sambil meraih ponsel yang aku letakkan di samping printer.“He em, eh ini buat kamu.” Roni menjawab sambil menyerahkan minuman dingin dengan gelas plastik berukuran jumbo.“Buat aku? Makasih … tau aja lagi pengen yang manis-manis.” Aku tersenyum dan mengambil alih minuman dari tangan Roni.“Pak Agus nggak ada, ya?” tanya Roni lagi s
Kak Sisil tidak serta merta menyetujui apa yang menjadi pilihan Kak Regina. Dia juga sesaat terdiam dan terlihat berpikir sebelum akhirnya menyetujui pilihan Kak Regina. Dengan kuas kecil Kak Sisil kemudian mengaplikasikan warna pilahan Kak Regina ke area kelopak mataku. Aku hanya terdiam dan menurut saja, menyerahkan semuanya kepada kedua kakak perempuanku itu.Aku menatap wajahku di cermin, kemudian bergerak setengah putaran untuk mengepas kebaya yang baru saja aku kenakan. Terlihat sedikit berbeda karena memang aku terbiasa dengan riasan yang sangat sederhana. Warna navy membuat kulitku terlihat lebih putih dan bersih, sejenak aku mengagumi hasil riasan dari kakak perempuanku itu. Sebenarnya juga kagum dengan penampilanku yang terlihat berbeda dan lebih manis dari biasanya.“Sumpah … cantik banget,” puji Kak Regina sambil membenahi kain batik yang aku jadikan sebagai bawahan. “Ambil gambar habis ini, foto-foto.”“Siapa dulu dong yang make over , Sisi
Segelas kopi aku siapkan untuk Mas Danta selepas aku membersihkan diri tadi, aku mandi terlebih dahulu karena Mas Danta masih menerima panggilan telepon dari rekannya. Aroma harum kopi menguar dari gelas yang sedang aku bawa ke ruang tengah. Aku menunggu Mas Danta selesai membersihkan diri dan sudah siap untuk menceritakan semua yang tadi terjadi.Aku berharap tidak akan terjadi kesalah pahaman antara aku dan mas Danta nantinya. Dalam perjalanan pulang tadi, aku sudah memilih kata-kata dan merangkainya menjadi kalimat-kalimat yang akan aku sampaikan kepada Mas Danta. Bicara masalah hati memang bukan yang mudah apalagi Mas Danta juga tau bagaimana aku dan Mas Satria dulu.“Humm … wanginya,” ucapku saat indra penciumanku menghidu aroma wangi yang hadir bersama Mas Danta yang berdiri di belakangku.Aku duduk bersandar di sofa saat Mas Danta datang dan kemudian melingkarkan ke dua tangannya di leherku. Kepalaku mendongak dan sebuah kecupan suamiku itu berika
“Sangat bahagia,” jawabku tanpa melepas pandanganku darinya. Rasanya sesak saat aku harus mengatakan ini semua.“Bukankah aku harusnya bahagia?” ucap Mas Satria memaksakan senyumnya, tapi, air matanya malah semakin deras. “Tapi, kenapa sakit sekali rasanya,” lanjutnya kemudian.“Semua sudah berlalu, aku tidak akan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Mas sudah mengambil jalan mas sendiri dan aku menerima semuanya meski semua itu tidak mudah. Sekarang aku juga sudah menentukan jalanku sendiri. Kita boleh bermimpi, memiliki rencana ini dan itu, akan tetapi, tetap semua kembali ke kehendak Tuhan. Itu dulu yang aku sematkan dalam pikiran saat terpuruk atas semuanya. Sekarang aku sudah bahagia dengan apa yang Tuhan pilihkan untukku, aku berharap mas juga mendapatkan kebahagiaan yang sama. Apa yang pernah terjadi dan yang sudah kita lewati biarkan menjadi bagian dari sebuah kenangan. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berjalan kedepan meski kita
“Duh, pengantin baru basah terus rambutnya.” Aku langsung nyengir mendengar ucapan Kak Regina yang berdiri di depan pintu kamarku.Sore ini memang aku pulang ke mama untuk mengambil beberapa pakaian untuk aku bawa ke rumah Mas Danta, yah rumah baruku juga. Juga beberapa barang yang ssekiranya aku perlukan, tidak semua aku bawa karena Mas Danta sudah menyiapkan semuanya lengkap. Mas Danta sedang mengobrol di depan dengan Arya, Mama dan Abang Iparku.“Mana ada basah,” kilahku kemudian, sebelum berangkat tadi aku sudah lebih dulu mengeringkan rambutku dibantu Mas Danta.“Iya tapi, bekas keramas ini.” Kak Sisil mendekatiku dan membaui rambutku. “Bau shampoo,” godanya lagi sambil tertawa, lagi-lagi aku hanya nyengir.“Gimana?” Kak Sisil mengangkat alis dan matanya naik turun, sudah kayak orang cacingan. “Seru kan?!” siku Kakak perempuanku itu menyikut pinggangku pelan.“Apanya?” tanyaku pura-pura tidah paham, padahal aku tahu apa yang dimaks
Aku meminta Mas Danta terlebih dahulu untuk keluar menemui keluarganya yang barusan datang, aku menyusul setelah kembali membersihkan diri dan merapikan keadaanku.*Kegiatan hari ini memang cukup padat dan melelahkan aku tidak bisa membayangkan saat pesta resepsi nanti akan seperti apa heboh dan capeknya. Rangkaian acara demi acara hampir selesai di gelar hingga akhirnya semua selesai jam 10 malam. Mama dan Papa meminta aku dan Mas Danta istirahat terlebih dahulu karena sepertinya mereka melihat aku yang sudah cukup kelelahan.“Danta pulang ke rumah aja, ya Mah,” pamit Mas Danta kemudian.“Iya sudah kaliah terlihat lelah sekali, iya disana lebih tenang, di sini masih banyak kerabat.” Mama mengangguk dan mengiyakan. Rumah Mas Danta dan rumah Mama hanya berselang beberapa rumah saja, kami berjalan kaki dari rumaah mama setelah berpamitan dengan keluarga. Bisa dipastikan beberapa keluarga mencandai Mas Danta saat berpamitan dasar Mas Danta buka
“Mas … aku merinding,” ucapku lalu sedikit melangkah mundur. “Aku bisa sendiri, ntar bantu narik pelan-pelan aja.” Kembali aku melanjutkan, baju ganti yang aku bawa aku letakkan di atas sebuah meja yang berada di dalam kamar.Aku mulai membuka pelan kebaya yang aku kenakan, masih merasa tenang sebenarnya karena aku mengenakan dalaman yang senada dengan warna kulit. Hanya saja kalau tetap dibantu, sentuhan tangan dari mas Danta justru membuatku bergidik karena memang belum terbiasa. Setelah membuka seluruh kancing aku berdiri membelakangi suamiku itu dan memintanya membantu menarik kebayaku dari belakang.“Aku taruk di ranjang ya?” tanya Mas Danta dan akupun mengangguk.“Makasih, aku ke kamar mandi dulu,” ucapku kemudian saat Mas Danta meletakkan kebayaku di ranjang.“Mas nggak usah ikut, disitu saja dulu,” lanjutku kembali saat melihat mas Danta mengikutiku.“Aku nggak akan ngapa-ngapain, Sayang. Tenang aja, lagian kan di luar masih banya
“Terima kasih suamiku tercinta semoga mas kawin yang diberikan memberikan manfaat dan saya mohon jadilah suami yang bertanggung jawab baik lahir maupun batin, terima kasih.” Sama seperti Mas Danta dengan suara sedikit parau karena menahan haru aku mengikuti apa yang penghulu ucapkan dan menerima mas kawin yang diberikan oleh suamiku itu. Untuk kali pertama setelah resmi menjadi nyonya Danta aku mencium punggung tangan suamiku itu dan sebuah ciuman di kening Mas danta berikan sebagai balasannya.Ini bukan yang pertama untukku menjalani prosesi seperti ini, hanya saja kali ini terasa berbeda. Sebuah moment penuh drama … Ah, itu sudah menjadi masa lalu dan sekarang aku sudah membuka sebuah lembaran baru dalam kehidupanku. Penghulu meminta kami duduk karena kami harus menandatangani buku nikah dan juga berkas lainnya. “Sesudah akad nikah saya Danta Pramudya Khalik berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama Rania
“Bukan mas Satria, tapi, tentang Ibunya dan juga bapak mertuanya,” jelasku memulai cerita.Aku kemudian mulai menceritakan tentang apa yang terjadi dengan mas Satria berdasarkan kabar yang aku terima dari teman-temanku. Juga tentang apa yang aku lihat sewaktu di mall tadi, dimana aku melihat bapak Aleya dan juga melihat Ibu Mas Satria menjual perhiasan. Aku juga mendengar kalau uang itu akan diberikam kepada bapak Aleya sebagai modal untuk usaha. Aku juga menceritakan kecurigaanku atas kecurangan bapak Aleya kepada Mas Danta.“Apa sebaiknya aku memberi tahu Mas Satria tentang hal ini, agar bisa mencegah ibunya memberikan uang itu kepada bapak Aleya?” tanyaku bingung. “Tapi, aku sudah tidak ingin ikut campur dalam hal apapun lagi sebenarnya,” lanjutku.“Sayang, bukan aku melarang kamu untuk memberitahukan hal itu kepada Satria atau membantunya. Tapi, kamu juga harus punya bukti yang kuat, bukan sekedar dugaan atau pun kecurigaan semata. Apa kamu punya bukti
“Sini?” tunjukku kemudian dengan dagu.Mas Danta berhenti di sebuah toko perhiasan yang berda di lantai 1.“Pak titip belanjaan, ya.” Mas Danta berbicara dengan seseorang yang berjaga di depan toko perhiasan.“Baik, Pak.” Pria yang berjaga itu kemudian membantu mendorong troli dan meminggirkan tepat di belakang pria itu berjaga-jaga.Mas Danta kemudian mengandengku masuk ke dalam toko perhiasan yang paling terkenal di kota ini. Pelayan dengan seragam batik menyambut kami dengan ucapan selamat datang dan menanyakan tentang perhiasan apa yang kami cari.“Yang satu set, Mbak,” jawab Mas Danta kemudian.“Silahkan di sebelah sini, Pak.” Dengan tangan kanan pelayan berkulit putih itu menunjuk sebuah etalase.“Buat siapa?” tanyaku pada Mas Danta setengah berbisik.“Buat calon istriku,” jawab Mas Danta, aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk dan pria itu mengangguk.“Kan sudah dapat dari mama,” ucapk
“Tunggu sebentar ya, Sayang. Ini sudah selesai kok, dari rumah sakit aku langsung nyusul kesana.”Sebuah pesan masuk di ke ponselku, pesan dari Mas Danta. Aku sedang keluar ke sebuah mall di tengah kota guna berbelanja beberapa barang untuk di kafe. Mas Danta memintaku untuk naik taksi online karena dia yang akan menjemputku nanti. Sudah hampir dua jam aku berada di sini dan sudah mendapatkan barang-barang yan aku cari.Sebuah coffe shop di lantai tiga menjadi tempatku untuk menyandarkan tubuh lelahku. Sewaktu berkeliling tadi sama sekali tidak terasa capeknya, akan tetapi, setelah selesai baru aku rasakan kaki rasanya pegal meski aku tidak mengunakan alas kaki dengan hak tinggi. Mungkin saking asiknya melihat barang-barang sampai lupa capek tadi sewaktu di toko.“Silahkan milk shake coklatnya, Kak.” Seorang pelayan dengan seragam pink fanta menghampiri mejaku untuk mengantarkan minuman pesananku.“Oh … makasih,” jawabku kemudian.“Untuk