MUSIK, cewek, dan alkohol!
Ya! Cukup dengan kombinasi maut itulah yang diperlukan untuk membebaskan kegilaan kaum adam. Dan persis seperti itulah yang aku lakukan sekarang. Aku mabuk di tengah empat cewek seksi yang tengah kesurupan dentuman irama musik.
Dengan hanya berbalut busana yang minim—tank top dan rok mini—mereka berupaya keras tampil menggoda dengan lenggak-lenggok ayunan pinggang. Sementara, aku hanya ingin segera melihat mereka tampil tanpa busana.
Tuh lihat! Cewek-cewek ini merayuku dengan menampilkan duck face terbaik mereka, seolah sedang mengincar sesuatu di pangkal pahaku. Semangat yang luar biasa! Tapi tolong, yang kalem saja. Suasana ini mengingatkanku akan Bacchanalia, klub malam terkenal di Kota Surabaya. Bunyi bass, penari striptease, dan tentu saja, wiski spirit.
Tapi maaf, itu semua hanya lamunanku belaka.
Faktanya, aku hanya berdiri di pojokan sambil menatap iri ke arah segerombolan pendekar mabuk yang berbagi fantasi liar mereka di ruang karaoke privat yang redup ini.
Dari satu-satunya cahaya layar LCD, aku bisa melihat mereka duduk di sebuah sofa butut yang hampir rusak. Di hadapan mereka, ada sebuah meja yang penuh dengan botol bir dan gelas jenis dimple mug—gelas untuk minum bir, kalau kalian tidak tahu.
Masih dari sumber pencahayaan yang sama, aku bisa mengira-ngira, ruangan ini seukuran lapangan voli di perkampungan—bukan yang digunakan untuk Olimpiade, lho ya. Aroma alkohol sangat menyengat, begitu pula asap rokok yang tidak bisa menemukan jalan keluar. Lagu Cina, Hao xiang, hao xiang, he ni zai yi qi, terdengar mengalun syahdu. Lebih buruk lagi, cewek-ceweknya malah duduk anteng sambil mengunyah kacang.
Sial!
Aku lantas menyalakan senter ponsel untuk membantu penglihatanku. Rupanya, orang-orang ini bertingkah seolah bakal hidup bahagia selamanya. Apakah mereka sudah lupa? Tidak lama lagi, tempat ini bakal digusur oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Ya, itulah yang sedang ramai dibicarakan oleh orang-orang di Kota Pahlawan ini. Di Dukuh Jerut ini, ada sebuah lokalisasi pelacuran yang biasa disebut Selamat Datang. Lokalisasi ini merupakan lokalisasi terakhir di Surabaya, yang juga menyandang predikat sebagai kompleks prostitusi terbesar se-Asia Tenggara. Tempat di mana aku berdiri sekarang ini, bakal diratakan dengan tanah.
"Lang!" salah satu dari pendekar mabuk itu memanggil namaku. "Sini, Bro!"
Aku pun senang, hingga salto ke belakang mendengarnya. Mereka mengundangku untuk ikut bepesta. Ketika aku mendekat, aku bisa melihat medan laga ini penuh dengan kulit kacang, plastik kerupuk, cemilan, dan bungkus rokok. Kami seperti terjebak di tengah bunker perang yang terbengkalai. Hebatnya, orang-orang ini tertawa ngakak seolah sedang berada di warung kopi.
Tiba-tiba, aku tidak tahu setan mana yang merasuki seorang pria raksasa tambun berambut gondrong disemir pirang. Dia tiba-tiba menjelaskan padaku niat Ryg’s—band heavy metalnya—datang ke Dukuh Jerut, Desa Teram, Kecamatan Padak, Kota Surabaya ini. Lengkap dah lokasinya, biar kalian gak bingung.
Sebelum melanjutkan, raksasa gendut itu meminum segelas dimple mug yang berisi cairan keemasan berbuih, hingga tandas. Kemudian, dia mengambil rokok filter dan menyalakannya. Kabut tebal terlihat berhembus dari mulutnya yang hitam.
Ryg's, kata si raksasa gendut gondrong ini dengan serius, diundang oleh Pemerintah Desa Teram untuk membahas rencana aksi damai menolak penggusuran oleh Pemkot Surabaya. Dia menambahkan, Ryg’s juga dimintai pendapat untuk merumuskan tuntutan para penduduk desa.
"Jika tidak ada yang protes, lalu siapa?" sebut raksasa gendut gondrong pirang itu dengan lantang. "Persetan dengan hukum. Ini soal moral dan akal sehat!"
Tuh kan, dia jelas kesurupan. Aku kira bakal diajaknya berbagi bir dan wiski. Eh! aku malah mendapat siraman rohani.
Raksasa itu kembali menyedot rokoknya lantas bercerita. Katanya, sebagian besar anggota DPRD Kota Surabaya rupanya diam-diam mendukung rencana pembangunan kompleks perumahan elite dan resor perhotelan tepi pantai di Kecamatan Padak, kayak Marina Bay Sands di Singapura sono. Pada saat yang sama, ada upaya untuk mengubah status tanah Desa Teram, dari tanah ulayat menjadi tanah negara.
“Bajingan!" umpat si raksasa pirang.
Tiba-tiba, aku merasakan suasana dalam ruang karaoke ini semakin panas saja. Ternyata, ada satu cewek yang mulai menyanyi lagu melayu. Sembari berdendang, dia berjoget layaknya biduan dangdut amatir versi YouTube. Dia menggoyang pinggangnya dengan sangat menggoda. Tank top gelap plus rok denim biru super ketat yang dikenakannya, menambah aura keseksiannya.
Setelah puas bernyanyi, dia terduduk kembali. Kali ini, dia sengaja meregangkan pahanya, seolah berniat memamerkan sesuatu di pangkalnya. Apakah dia mengenakan anu? Entahlah, aku tak bisa melihatnya dengan jelas karena minim pencahayaan. Sugesti sajalah!
Jelas sekali, cewek yang satu ini sedang dalam pengaruh alkohol. Tapi, dia sepertinya berusaha keras agar dia bisa ‘bersekolah'.
“Yuk, sekolah,” rayunya.
Ya, kami semua tahu sekolah macam apa yang dia inginkan dengan cara ‘akrobatik’ semacam itu. Mungkin cewek ini sudah hilang kesadaran karena efek alkohol—maksudku kerasukan, lebih tepatnya.
Sini aku kasih tahu kalian.
'Sekolah' di lokalisasi, khususnya di lokalisasi Selamat Datang ini, artinya adalah berhubungan seks. Julukan lain dari Selamat Datang adalah Sekolah Dasar 2 atau biasa disingkat dengan SD 2. Di seluruh pelosok Kecamatan Padak, cuma ada satu SD yaitu SDN 1 Teram. Dari situlah orang-orang lantas menjuluki lokalisasi itu dengan Sekolah Dasar 2 atau SD 2 atau ‘SD yang satunya lagi’.
Oh iya, mengapa 'Selamat Datang'? Karena lokasinya yang dekat dengan tugu atau gapura atau apapun namanya, "Selamat Datang di Kota Surabaya," di perbatasan Surabaya - Gresik.
Nah, tempat aku dan para pendekar mabuk serta cewek-cewek ini bermaksiat adalah Wisma Arini. Selain Wisma Arini, ada puluhan, atau mungkin ratusan wisma-wisma lainnya di Dukuh Jerut, Desa Teram ini. Namanya juga yang terbesar se-ASEAN, kan!
“Ayo sekolah?” ulang si cewek provokatif tadi.
Namun, para tamu yang hadir dalam majelis maksiat ini tampak malu-malu kucing garong. Mereka hanya tersenyum. Cewek itu sendiri terlihat gusar, sehingga dia marah.
“Udah ditemani dari siang, kok gak ada yang ngajak aku sekolah, sih!” keluhnya.
Semakin lama dalam ruang karaoke di Wisma Arini ini, asap membuat perih mata dan sesak nafasku. Tapi, aku bersikeras bertahan. Soalnya, ada salah seorang ladies companion lainnya yang telah mencuri perhatianku, sejak seminggu yang lalu. Dan dialah yang mesti bertanggungjawab karena telah membuatku terjebak dalam ruangan karaoke nan panas ini.
Paras cewek satu ini berseri, tubuhnya semlohai, dan suaranya aduhai ketika dia mulai menyanyi. Aku sampai tak percaya ada perempuan sepertinya, bekerja di tempat seperti Wisma Arini ini. Aku merasa perlu untuk menenangkan diri. Aku pun beranjak keluar ruangan, selagi dirinya menyelesaikan lagu Chandelier by Sia.
Di beranda ruang karaoke, ada kursi kayu panjang dengan meja yang penuh botol bir kosong, gelas dimple mug, bungkus plastik, dan kulit kacang. Tidak ada satu orang pun di sana. Aku pun duduk sambil mendengarkan teknik olah vokal yang luar biasa dari seorang cewek istimewa, dari balik dinding yang retak-retak.
Dari beranda ini, mataku lantas menyapu lingkungan sekitar. Aku bisa melihat desa ini lebih hidup dari sebelumnya. Anak-anak bermain dengan ceria di bawah payungan dedaunan pepaya dan pohon pisang. Angin laut yang berhembus menggoyang pelepah-pelepahnya hingga menciptakan gemerisik yang syahdu. Pikiranku melayang ...
Tiba-tiba!
"Kok gak di dalam?" cewek istimewa itu mendadak muncul mengagetkanku. "Ceweknya gak ada yang cocok, ya? Atau, suaraku yang jelek?"
"Asap," jawabku berdalih.
Kemudian, dia duduk di sebelahku, mengambil sebatang rokok, lalu menyalakannya tanpa minta izin, seolah-olah rokok itu miliknya sendiri. Lantas, dia pun melihat sekeliling. Asap rokok mengepul dari bibirnya yang ranum. Sesekali, dia memindahkan rambut ke belakang telinganya. Aku bisa membayangkan seorang dewi yang sedang diselimuti kabut keanggunan.
Aku pun bertanya padanya, mengapa dia tak jadi penyanyi profesional saja, alih-alih menyanyi di tempat seperti ini? Lalu, mengapa dia bisa tinggal di Wisma Arini? Dia bergeming dengan rasa penasaranku itu. Dengan wajah tertekuk, sepertinya dia sedang tersinggung.
"Sudahlah," dia marah, "sekarang kamu mau pakai aku nggak? Kalau nggak, aku masuk lagi. Kali aja ada temen-temenmu yang mau 'sekolah' sama aku."
Dia mematikan rokok, lantas berdiri beranjak.
Oh, tidak! Jangan sampai dia ‘bersekolah’ dengan teman-temanku. Aku tidak rela! Aku tidak akan membiarkannya.
"Berapa-berapa?" tanyaku buru-buru menghentikan niatnya masuk kembali.
"Satu juta," jawabnya tegas, "short time."
“Iya, deh," sahutku lirih.
Mengetahui aku menyerah melawan ucapan manipulatifnya, dia buru-buru menyeretku melintasi jalan setapak yang membelah rumah utama dan wisma. Di bagian belakang rumah utama, aku bisa melihat deretan kamar berwarna-warni yang menyerupai komplek kos-kosan cewek.
Di sini, terlihat beberapa cewek sedang mencuci dan menjemur pakaian. Salah satu dari mereka bahkan hanya berbalut handuk untuk menutupi aset-asetnya.
Saat itu pula, aku melihat ada sebuah pohon rimbun yang menjulang di tengah komplek ‘kos-kosan’ cewek ini. Sepengetahuanku—saat aku belajar Cross-Cultural Understanding di kampus—pohon ini memiliki makna yang mendalam bagi agama dan budaya mainstream.
Sini, simak baik-baik. Siapa tahu, ada wawasan baru buat kalian.
Ketika Budha mencapai pencerahan, dia bermeditasi di bawah pohon ini. Sedangkan bagi umat Hindu, pohon ini merupakan lambang pohon dunia yang akarnya menjadi sumber bagi Sungai Sarasvati. Kemudian bagi umat Kristiani, Adam dan Hawa memanfaatkan daun pohon ini untuk membuat cawat demi menutupi tubuh mereka yang telanjang.
Bagi Islam, pohon ini merupakan salah satu pohon suci. Bahkan, Surat At-Tin dimulai dengan sumpah Allah, "Demi (buah) Tin dan (buah) zaitun." Apalagi, Nabi Muhammad menjadikan buah pohon ini sebagai salah satu buah favoritnya, lho. Dalam salah satu hadits, Nabi Muhammad bersabda, buah ini adalah buah yang turun dari surga.
Para pendiri negara Indonesia pun menjadikan pohon ini sebagai lambang sila kelima Pancasila. Mengetahui semua ini, bisa menyaksikan pohon suci yang tumbuh di tengah-tengah rumah pelacuran adalah sebuah ironi tersendiri.
Kamar cewek ini rupanya berada di bagian pojok belakang. Di sini, suara gegap gempita karaoke dari wisma depan tak terdengar lagi. Dia membuka kunci pintu kamarnya, lalu masuk. Sebelum aku melangkahkan kaki masuk kamarnya, aku ditodongnya.
“Mana?” dia menodongku dengan telapak tangannya.
Aku mengambil dompet dan menyerahkan semua isinya kepadanya. Dia menerimanya lantas tersenyum senang. Saat dia memasukkan uangku dalam dompetnya, aku sempat melihat selembar foto yang terselip. Foto itu menampilkan dua gadis balita yang tertawa riang.
Aku pun masuk dan terduduk di ranjang kapuk sambil memandangi isi ruangan yang aku taksir dari plafonnya, sebesar 3x3 meter. Dinding kamar ini dicat warna hijau tosca dengan deretan rak yang penuh dengan koleksi boneka dari berbagai ukuran.
“Kamu mau aku ngapain dulu?” dia bertanya, setelah mengunci pintu.
Dia lantas tersenyum sambil memalingkan wajahnya ke samping, sementara jari-jarinya yang lentik memelintir rambut—yang entah kapan—sudah terjumbai di dadanya yang buntal. Bahunya mengayun-ayun. Sepertinya, dia sedang malu.
Tapi aku bergeming.
Dia lantas berjalan mendekat, lalu duduk bersimpuh di hadapanku. Aku mulai merinding memikirkan apa yang akan dia lakukan padaku. Kemudian, dia meletakkan masing-masing telapak tangannya di pahaku. Keringatku pun mulai bercucuran segede biji jagung, sementara bulu kudukku mendadak berdiri—bulunya aja yang berdiri, bukan yang lain. Dia menatap mataku dalam-dalam dan mulai membuka resleting celana jinsku.
“Enggak-enggak,” aku menghentikannya.
Dia terkejut.
Kemudian, dia beranjak berdiri, menghela nafas lantas berbalik memunggungiku. Aku tidak tahu apakah dia kecewa atau bahagia? Aku pun memanggilnya dan memintanya duduk di sisiku. Aku bisa melihatnya enggan menuruti permintaanku. Dia menghela nafas lagi, lalu meletakkan pantatnya dengan berat.
“Oke, aku mendengarkan," tuturku.
Bahunya lantas jatuh.
“Ceritanya panjang,” jawabnya.
“Aku masih punya waktu satu setengah jam,” aku bersikukuh.
Mulailah dia cerita
Cewek cantik ini mengaku jarang sekali berkesempatan 'sekolah' karena biaya yang dibanderol Mami—yang punya wisma—kepadanya sangat mahal, yaitu Rp1 juta untuk sekali gulat di atas ranjang alias short time. Bahkan, katanya lagi, banderolnya itu yang paling mahal se-SD 2 Dukuh Jerut.
Oleh sebab itu, sambungnya, mau tak mau dirinya mesti merayu banyak laki-laki, supaya setidaknya ada satu yang terjaring. Tapi, kebanyakan pria hidung belang itu tidak ada yang mampu membayarnya.
Dia juga mengaku mengincarku karena aku dikiranya masih polos, jadi gampang dirayunya. Dia pura-pura tak tertarik padaku, supaya dia tampak misterius di mataku. Oke, aku mengaku kalah. Dia berhasil. Selamat!
Lalu, aku pun bertanya mengapa dia bisa berakhir di Dukuh Jerut? Dia lagi-lagi menghela nafas, seolah berat untuk bercerita. Dia lantas meminta rokokku, lalu menyalakannya. Kali ini dia minta izin lebih dulu.
"Aku diusir keluargaku," tuturnya.
Cewek bersuara emas ini mengaku, empat tahun yang lalu, dia merupakan penyanyi yang selalu menjuarai lomba-lomba tarik suara pada berbagai ajang, baik tingkat lokal, regional, hingga nasional. Bahkan, dia lolos seleksi ajang Indonesian Idol. Tapi, karena satu kejadian, membuatnya harus mundur dari ajang tarik suara paling bergensi setanah air itu. Satu kejadian itu pula yang mengubah sisa hidupnya.
Ketika baru saja lulus SMA, cewek ini berkisah, dia hamil di luar nikah dengan pacarnya. Dia sendiri enggan memberitahu namanya. Dia hanya mengatakan, putra dari salah seorang terpandang pendiri pondok pesantren di Jombang. Tapi, sambungnya, pacarnya itu tidak bersedia bertanggungjawab. Sedihnya lagi, cowoknya itu malah menuduhnya berselingkuh.
"Cowok brengsek itu, sekarang sekolah di luar negeri," tuturnya berapi-api. "Entah di mana? Aku gak peduli!"
Dia melanjutkan, keluarga yang mengetahui kehamilannya itu lantas mencecar, siapa ‘pelakunya’? Dia pun menjawab, putra dari seorang terpandang di Jombang itu. Katanya, kalau dia menyebut nama orang terpandang itu, aku juga gak bakal percaya. Tapi aku gak memaksanya.
Menurutnya, keluarganya datang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah yang taat beragama. Ketika dia menyebut nama putra dari orang terpandang itu, keluarganya justru mengatakan hal itu mustahil, karena keluarga itu adalah keluarga pendiri pondok pesantren yang taat beribadah.
"Keluargaku sendiri malah menuduhku fitnah dan mencemarkan nama baik keluarga orang itu," ucapnya. "Aku dituduh sundal, lalu aku diusir."
Cewek ini pun lantas berdiri, disusul dengan hembusan asap rokok dari bibirnya. Aku merasa, sudah tidak ingin mendesaknya lagi untuk berkisah kalau tahu sepedih itu ceritanya. Tapi, dia tampaknya bersikukuh melanjutkan. Seolah-olah, dia ingin membuang semua beban yang menyesakkan hati dan pikirannya.
Setelah diusir keluarganya, dia pergi ke rumah bibinya yang bersedia menampungnya di Nganjuk. Di sana, dia malah diperkosa berkali-kali oleh suami bibinya sendiri. Karena stres, dia mengalami keguguran. Setelah itu, oleh paman iparnya itu, dia dijual ke salah satu mucikari di Guyangan, sebuah lokalisasi di Nganjuk. Setelah beberapa lama, dia dijual lagi ke Surabaya ini.
"Mungkin, bibiku mengira aku kabur. Padahal aku dijual suaminya sendiri. Baru enam atau tujuh bulanan aku di sini," tuturnya.
Belakangan, lanjutnya lagi, dia mendapat kabar kalau ibunya jatuh sakit. Oleh sebab itu, uang yang dia peroleh dari 'bersekolah' di Wisma Arini ini, dikirimnya ke Jombang via wesel. Tapi, sang ibu menolak dengan mengembalikan pemberiannya. Sang ibu, katanya, sudah tidak mengakuinya lagi sebagai putrinya.
“Aku menyerahkan diriku kepada laki-laki. Dan laki-laki itu pula yang menghancurkanku,” dia lantas nyengir, sambil menyalakan rokoknya lagi. "Bodohnya aku."
“Sejak itulah, karir menyanyiku jadi hanya mimpi," tambahnya.
Entah aku mendapat kekuatan dari mana? Seolah-olah, ada suara misterius yang membisikiku untuk membantunya mewujudkan apa yang sudah dibangunnya. Aku pun bertekad akan membantunya mewujudkan mimpi itu menjadi kenyataan.
“Lalu, bagaimana caranya kamu bisa keluar dari sini?” tanyaku.
“Ya, nebus ke Mami,” jawabnya. “Lagipula, kalau aku keluar dari sini, aku mau ngapain juga?”
“Berapa, sih tebusannya?”
“Seratus juta!”
“Aku akan menebus dan membebaskanmu dari sini,” aku meyakini ucapanku sendiri.
Dia lantas tertawa.
"Memangnya, apa yang akan kamu lakukan padaku? Menjualku lagi?" tukasnya tajam, setajam silet.
Aku terdiam, begitupula dirinya. Mungkin, aku memang naif. Tapi, aku benar punya niat untuk membebaskannya dari sini. Entah bagaimana caranya?
Lantas, aku melihatnya terduduk kembali di ranjang dan mulai terisak. Dia memalingkan wajahnya dariku. Seolah, dia tak mau aku melihat wajahnya. Dari arah sebelah, aku bisa melihat sebelah telapak tangannya menutup mulut, sementara sebelah satunya lagi menopang tubuhnya di ranjang. Seakan-akan, dia menahan sesengguknya agar tidak pecah.
Seperti yang dikatakannya tadi, dia mempercayakan hidupnya pada para laki-laki, tapi para laki-laki itu pula yang menghancurkannya. Mungkin, dia trauma dan ragu terhadap niatku. Tapi, aku tidak berniat menjadi laki-laki yang sama yang telah menghancurkannya.
“Katakan padaku sekarang, apakah kau mau keluar dari kehidupan seperti ini?” aku bertanya lagi.
Dia tak mau menoleh ke arahku maupun menjawab pertanyaanku. Sambil menahan isak, dia bersikukuh memalingkan wajahnya dariku. Sejurus kemudian, aku melihatnya mengangguk.
Bagiku, itu sudah cukup.
“Bertahanlah, aku akan membebaskanmu."
AKU bersumpah tidak akan lulus dari kampus ini dengan status jomblo! Demi masa! Aku berjanji tahun ini, aku mesti punya gandengan. Di hadapan pintu gerbang kampus yang agung, aku berikrar tahun ini wajib punya satu.Sudah tiga tahun aku berkuliah di Clover Leaf University of Surabaya (Clofus) ini. Universitas Semanggi Suroboyo, bahasa Indonesianya. Biar keren aja pake bahasa linggis. tiga puluh enam bulan lamanya aku gagal punya pacar. Sederet target, nihil realisasi. Dan tahun ini, tahun keempat, tahun pamungkasku sebelum menyandang gelar sarjana.
AKU semakin bersemangat saja masuk kampus. Kuberanikan diri melangkahkan kaki lebih dekat ke arah gerbang. Agak jauh di hadapan, terlihat sekelompok perempuan berbondong-bondong hendak masuk ke halaman fakultas. Mereka terbahak-bahak. Entah apa yang menjadi bahan kasak-kusuknya?Baru saja sampai regol fakultas, aku melihat gerombolan pejantan liar berlarian menghambur. Kelompok betina pun mengalah memberi jalan. Di antara kawanan itu, salah satunya menebar hawa memikat. Feromon satu ini sudah aku kenali pemiliknya. Rupanya, para pejantan lainnya pun merasakan hal yang sama. Mereka dengan kompak memelototinya.
HARI pertama kuliah di Cloverleaf University of Surabaya aka Clofus, seperti biasanya, tidak ada perkuliahan. Di setiap bagian depan ruang kelas, berkerumun mahasiswa dan mahasiswi. Bagi mahasiswa baru, mereka ribut dengan siapa mereka bakal menghabiskan waktu mereka di kelas. Mereka tampak menatap deretan papan tulis yang tertempel berlembar-lembar kertas di tengah lobi. Jari-jari telunjuk terlihat menyisir tabel-tabel. Di sana, tertera nama-nama mata kuliah dan dosen pengampunya.
JALAN Dharmahusada ini padat seperti biasanya. Maklum, selain terletak di pusat kota, kawasan Dharmahusada ini diapit dua gedung raksasa, yaitu RSUD dr Soetomo dan Universitas Airlangga. Mobil, bus, sepeda motor, becak, dan para pelajar memadati kawasan ini.Kemudian, mataku menangkap sesuatu yang menarik. Aku melihat ada mobil Toyota Avanza hitam terparkir di bawah pohon tabebuya kuning. Mungkin karena warna kontrasnya, - hitam dan kuning – perhatianku tertuju ke sana. Tapi, tidak ada aktivitas.
KELURAHAN Kertajaya dan Kelurahan Juwingan ini dibelah kali buatan selebar 3 meter sebagai pemisahnya. Amelia sendiri tinggal di Juwingan. Layaknya kali di perkampungan pada umumnya, banyak sampah mengapung seperti bungkus makanan, pembalut wanita, hingga helm. Anak-anak kampung pun suka buang air besar di kali ini. Aku sendiri tinggal tepat di seberang kali itu.Kali ini, aku melihat bocah-bocah itu tengah dolan di kubangan yang mulai surut di pinggir kali. Dengan ingus yang menjuntai, mereka dengan riang bermain separuh telanjang di bawah payungan pohon kersen. Memang, malam sebelumnya hu
SEPANJANG perjalanan balik ke Kertajaya, aku berkhayal tengah menyanyikan lagu cinta di tengah rinai hujan untuk Juleha. Dari balik jendela, Juleha menyambut lantunanku dengan berjoget ala India. Sungguh syahdu, hingga tak terasa sudah hampir sampai di Warkop Cak Lamis.Konon, kisah ibuku, orang-orang yang tinggal di Kertajaya maupun Juwingan sekarang ini merupakan keturunan para ahli beladiri silat dan tinju.Bapakku sendiri bukan orang asli Surabaya, melainkan kelahiran Yogyakarta. Beliau sehari-hari berprofesi sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bapakku sendiri berpangkat kapten, dan kini sedang bertugas di Papua.Beliau memang jarang sekali pulang. Bahkan setahun cuma sekali. Kami semua ikhlas merelakan bapak bertugas menunaikan tugas negara. Menjaga perdamaian, katanya. Di Papua sana, memang masih ada kelompok-kelompok separatis.Desas-desus menyebutkan, Juwingan – Kertajaya adalah tempat bagi orang-orang terbuang pada masa lampau
HUJAN baru saja berhenti dan hari ini sudah mencapai akhirnya. Malam sudah larut. Jarum jam menunjukkan pukul 11.45 WIB. Aku sendiri masih terjaga di kamar sambil bermain gim Mobile Legends. Entah sudah berapa lama aku bermain gim laknat ini. Di tengah keseruan mempertahankan markas, mendadak ada telepon masuk via WhatsApp. Bazenk!Ada nama Kentung tertera di layar. Kujawablah panggilannya itu. Dia menyuruhku untuk membawa gitar ke ujung gang. Kata Kentung, ada Culex dan Santos dan beberapa orang lainnya. Aku mengiyakan dan langsung away f
SEKILAS, dari hasil kesimpulanku, anasir kiri ini memang tampak ideal dan menjanjikan. Memikat seperti jaran goyang. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Santos dan Kentung, yang terjadi justru sebaliknya. Komunisme tumbang di hampir seluruh belahan dunia.Dari paparan Santos, jaran goyang komunisme tumbang lantaran rakyat sudah tidak tahan lagi dipaksa bercinta dengan menggunakan metode BDSM. Mereka sudah tidak tahan lagi dibungkam, diatur dan disiksa.Betapa tidak? Pemerintahan negara berhaluan kiri ini bertindak otoriter, totaliter dan absolut sebagai konsekuensi menjalankan ideologi materialisme-nya. Bilik-bilik cinta pada bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya ditutup rapat-rapat. Segala bentuk pembangkangan bakal disingkirkan.“Berbeda dengan metode bukake alias demokrasi, pemerintah secara sukarela menampung aspirasi rakyatnya. Secara perlahan rakyat mulai mengerti dan menuntut hak mengekspresikan cinta tak diawasi pemerintah,” sindir Sant
Aku pun meninggalkan Kirana dengan melangkah ke posisiku di sebelah kiri panggung atau sebelah kanan dari arah penonton. Aku melambaikan tangan ke arah massa yang disambut gemuruh sorak-sorai majelis SOUNDRENALINE Music Fest.“Che!” sang MC memperkenalkanku.Kru Ryg’—yang mayoritas—sendiri berasal dari sebagian karyawan Inferno Music Studio dan beberapa tetangga di Dukuh Kertajaya. Pay, yang sehari-hari menjadi tukang parkir, kini mendapat giliran menjaga equipment-ku. Diserahkannya gitar bass Ibanez kepadaku yang aku yakini sudah disetelnya dengan baik beserta amplifier Messa/Boogie-nya.Anggota kru yang pertama-pertama naik panggung itu membongkar peralatan yang sudah tersedia di panggung, lalu menggantinya dengan peralatan yang kami bawa sendiri. Aku menghargai Pay dengan memberinya dua jempol.Aku pun mulai check sound dengan membetot dawainya. Mak jlem! Bunyinya menggelegar hingga gelombangnya menerpa pepohonan hin
KALAU cewek udah main rahasia-rahasiaan gini, sebaiknya jangan kulawan, deh. Mending iyain aja, ya kan.Semakin dekat, kegaduhan yang ditimbulkan rombongan jamaah hitamiyah ini mengundang kegaduhan lainnya. Para bintang tamu yang berada dalam tenda pun sampai keluar demi menyaksikan mereka. Ada yang mengeluarkan ponsel untuk memfoto maupun memvideokan momen rombongan berjala melewati mereka. Ada juga yang histeris memanggil-manggil. Artis histeris ketemu artis lainnya?Dari dekat, seolah-olah adegan lambat adagio, dari puluhan orang itu, ada empat yang menarik perhatianku. Di antaranya ada seorang raksasa tambun berambut gondrong keemasan kayak Megaloman. Dia mengenakan kaus hitam yang dipadu padan dengan celana cargo army selutut. Tato motif tribal tampak jelas dari lengan atas hingga lengan bawahnya. Penampilan itu dipungkasi dengan sepatu Converse.Penampilan serupa juga ditunjukkan seorang gondrong lainnya. Bedanya, orang gondrong kedua ini mengenakan topi k
AREA belakang panggung ini berupa hamparan tenda-tenda militer maupun tenda-tenda untuk menampung korban bencana. Aku bisa melihat ada truk-truk dan bus yang melewati jalur khusus. Sejumlah orang tampak menurunkan peti-peti persegi warna hitam dengan pinggiran kelir perak. Ramai dan sibuk sekali. Aku meyakini orang-orang itu adalah anggota crew.Gemuruh harmoni alat musik pun terdengar sampai ke belakang panggung, walau speaker-speaker sound system menghadap ke arah sebaliknya. Dari lagu yang dibawakan, aku menebak yang sedang manggung sekarang adalah girlsband 5 Dewi.Di backstage sini, bau alkohol dan asap rokok menyengat sekaligus menyeruak. Lampu-lampu halogen yang terpasang di setiap penjuru pun menyilaukan mata. Aroma kosmetik juga bertebaran. Perih dan panas sekali. Uniknya, para penghuninya berlaku biasa saja, seperti berkumpul untuk menyaksikan orkes dangdutan.Aku pun diajak Kirana menuju ke salah satu tenda di bagian tengah hamparan tanda. Kalau g
CLOVER Leaf University of Surabaya alias Clofus sendiri letaknya cuma selemparan batu saja dari rumahku di Kertajaya. Sama-sama masih satu Kecamatan Gubeng. Makanya itu aku gak buru-buru amat.Aku sendiri merasa malam ini bakal cerah. Bintang-bintang di awang-awang terlihat riang berkelip sementara bulan yang bulat sempurna bersinar terang. Kupacu motor membelah terpaan angin yang membuat rambutku meliuk-liuk tak keruan.Ketika melihat pemandangan angkasa itu, aku jadi teringat kembali dengan bulir air mata dan bulatnya wajah Juleha yang kayak Selena Gomez itu.Namun, entah mengapa setiap kali aku ketemu Juleha, selalu saja ada yang aneh dengan diriku. Aku seolah tidak bisa jujur dengan perasaanku sendiri terhadapnya. Aku selalu berpura-pura menganggap Juleha hanya sebagai teman sepermainan belaka.Padahal, aku menyadari aku menyukainya, bahkan sejak masih SMP dulu. Ya, entahlah, Juleha mungkin cinta pertamaku. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mengun
Aku masih saja terbayang sekaligus terngiang wajah serta suara Sekar, ketika membersihkan diri dalam kamar mandi. Seolah-olah, dia seperti Dewi Narcissus yang membuat siapapun yang melihatnya jadi jatoeh tjinta.Tapi, aku tak berniat membuat Sekar layaknya kisah tragis Dewi Narcissus versi asli – yang bunuh diri nyempulung kolam karena jatuh cinta dengan dirinya sendiri. Aku akan membuat lembaran ceritaku sendiri dengan membantu mewujudkan mimpi Dewi Sekar menjadi diva kayangan!Aku lantas mengagumi wajah Sekar yang persegi, dipungkasi dagu nan tegas dengan polesan garis rahang yang kuat. Hal itu menampakkan kekuatan sekaligus kepercayaan diri. Rambut hitam Sekar yang lebat, menjulur lurus panjang, jatuh hingga ke punggung seperti mahkota putri keraton Jawa.Dua lekuk alis tebal Sekar tampak menaungi dua bola mata bulat telurnya. Warna mata itu hazel yang orang sering keliru itu coklat atau hijau. Setiap kali Sekar menatapku, aku selalu merasa ada kepasrah
"UPETI apaan?""Fulus, duit, setorannya kurang," jelasnya. "Udah gak lancar lagi."Aku masih gak ngerti maksud Sekar. Dia pun menjelaskan kalau per bulan, setiap wisma di SD 2 Dukuh Jerut harus menyetor uang yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah kepada sederet pejabat maupun pihak yang berwenang lainnya.Kalau ditotal, kata Sekar lagi, upeti yang mesti diberikan Mami maupun mami-mami lainnya kepada orang-orang pejabat berwenang itu, jumlahnya bisa mencapai belasan juta rupiah per wisma per bulan."Kok, kamu bisa tahu hal-hal semacam ini?" tanyaku."Aku," kata Sekar, "kalau di Arini ini, bagian dari upeti itu."Lalu, Sekar menggandeng lenganku kembali, lantas mengajakku berjalan. Aku pun manut sambil mengelus dada. Setelah mengalami rentetan peristiwa yang menyesakkan dada pada masa lalunya--hingga meninggalkan trauma--sekarang Sekar masih juga dimanfaatkan sebagai alat pertukaran. Ini manusia, bukan barang! Aku menggeram dalam hati."
KETIKA aku mengucapkan janji, tiba-tiba suasana menjadi sunyi. Ada momen beku aneh yang menyelimuti ruangan 3x3 ini. Tapi Sekar tetap diam, lalu mengangguk lagi seolah-olah memberkati apa yang baru saja aku katakan.Kemudian aku merasa bersalah sendiri karena mendesaknya untuk bercerita. Aku menggeser kursiku untuk mendekatinya. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku kira Sekar juga memikirkan hal yang sama. Saat kita sedih, kita ingin ada orang di sekitar kita.Kemudian, Sekar menarik napas, lalu menghembuskannya. Seolah-olah dia sedang melepaskan beberapa beban masa lalu yang dia pikul."Boleh aku pegang tanganmu?" Aku meminta izin."Kamu kan sudah bayar," jawab Sekar, "Kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau."Aku hanya menggelengkan kepala."Aku hanya ingin pegang tanganmu," ulangku.Sekar kemudian mengulurkan telapak tangannya.Aku memegangi telapak tangannya, lalu membelainya seolah-olah aku membaca apa yang terjadi pada t
“ENGGAK!” aku menghentikannya.Sekar terkejut.“Aku gak ingin buru-buru,” sambungku.Sekar lalu berdiri. Dia menghela nafas lalu berjalan memunggungiku. Aku tidak tahu apakah dia kecewa atau malah bahagia? Dia berbalik menghadapku, bersandar ke rak boneka, lantas menyilangkan di dadanya.“Terus?” tanya Sekar. “Kamu ingin aku ngapain?”“Kamu bisa lagunya Adele yang Rolling in the Deep?” aku bertanya.Sekar mengangguk."Sini, aku yang gitarin."“Aneh,” sindirinya.Saat dia berbalik untuk mengambil gitar, tanpa sepengetahuannya, aku posisikan ponsel dengan sedemikian rupa sehingga tampak separuh badan Sekar ke atas. Setelah menerima gitar dari Sekar, aku memintanya duduk di depan rak yang penuh boneka.Sekar tampak berat mengabulkan permintaanku. Mungkin, Sekar sedang bertanya-tanya apakah aku memiliki orientasi seksual yang menyimpang."A
“AYO sekolah?” ajak Desi.Namun para tamu yang hadir dalam majelis itu tampak malu-malu kucing. Mereka hanya tersenyum. Desi sendiri terlihat gusar, sehingga ia marah.“Kok gak ada yang ngajak aku sekolah,sih?” gerutunya.Desi pantas gusar. Doi boleh marah-marah. Soalnya, Desi cs telah menemani tamu-tamunya ini sejak dari jam 11 siang, seperti pengakuan Kentung tadi. Namun, sampai jam tiga sore, belum ada yang berminat ‘sekolah.’“Masak,” kata Desi, “udah ditemenin dari jam 11 gak ada yang mau sekolah, sih?” doi lantas mendengus.Tiba-tiba ada intro lagu yang aku kenali, disusul bagian verse yang menegaskan dugaanku. Mula-mula, aku mengira lagu ini bakal dinyanyikan oleh cewek-cewek ini. Oleh sebab itu, aku tak menanggapinya dengan serius.Namun..."Party girls don't get hurt. Can't feel anything, when will I learn. I push it down, push it down," lantun merdu seorang perempua