AKU semakin bersemangat saja masuk kampus. Kuberanikan diri melangkahkan kaki lebih dekat ke arah gerbang. Agak jauh di hadapan, terlihat sekelompok perempuan berbondong-bondong hendak masuk ke halaman fakultas. Mereka terbahak-bahak. Entah apa yang menjadi bahan kasak-kusuknya?
Baru saja sampai regol fakultas, aku melihat gerombolan pejantan liar berlarian menghambur. Kelompok betina pun mengalah memberi jalan. Di antara kawanan itu, salah satunya menebar hawa memikat. Feromon satu ini sudah aku kenali pemiliknya. Rupanya, para pejantan lainnya pun merasakan hal yang sama. Mereka dengan kompak memelototinya.
Cewek satu ini bodinya bak gitar Mojokerto. Kuat nan akurat. Skala buah dadanya lebih menantang daripada teman-teman sebayanya. Setiap ayunan langkahnya, membuat gunung kembar itu bergejolak seakan hendak meletus. Layaknya buah pepaya yang ranum, dia sudah siap dipetik.
Karena tidak ingin pemandangan ini cepat berlalu, aku pun merasa perlu menyetelnya dengan adegan lambat ala tempo adagio. Ah tidak, sekalian grave tempo. Busyet! Aku menegang. Cewek satu ini, bodinyo memang numero uno!
Rambutnya yang panjang berkilau dibiarkannya terurai. Mungkin doi habis mandi besar. Dia menggeleng-gelengkan kepala layaknya kerbau di-bully kawanan lalat. Rambutnya yang basah itu berkibar tak keruan. Dahinya lebar mengkilap bak putri priyayi keraton Jawa.
Doi memang sederhana layaknya warung nasi padang. Tak banyak kemewahan, tapi padat berisi. Dia melenggang kangkung, santai dan tanpa beban. Saat itu aku menyadari, dia bak bidadari yang turun dari truk pasir.
Doi sepertinya mengatakan sesuatu padaku. Tapi, aku tak bisa fokus ihwal apa yang dilafalkannya. Aku hanya fokus pada sesuatu yang lebih menarik minat lelaki. Sesudah itu aku lantas tersadar karena tak mendengarkan. Aku khilaf.
Tiba-tiba, doi menatap tajam ke arahku. Dahinya mengernyit. Sepertinya, dia tak suka aku mencangkungi dadanya. Apa salah hamba? Beta hanyalah laki-laki biasa yang tengah memuja keindahan dunia.
Semakin dekat, aku bisa melihat cewek itu mengenakan semacam earphone di telinganya. Ya, dia tunarungu sejak lahir. Saat berada di luar rumah, dia memakai alat bantu dengar. Namun, sejak dia masih kecil, dia terus berlatih berbicara dan bisa berbicara sedikit-sedikit.
Cewek ini hanya menggunakan bahasa isyarat ketika dia berbicara dengan sesama tunarungu, khususnya denganku. Ya, aku bisa bahasa isyarat. Aku tekun mempelajari semata demi bisa berkomunikasi dengannya.
"Arek gendeng!" semburnya. "Minggir!"
Rupanya, aku menghalangi jalannya. Aku pun manut sambil tetap setia menatap ke arah dadanya.
Memang, setiap jengkal tubuhnya adalah puisi. Sesuatu yang indah untuk dinikmati. Tapi bukan jenis sajak Mbah Sutarji yang deklamasinya kayak baca mantra itu. Tetapi lebih dekat dengan syair mendiang Eyang Sapardi yang aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Namanya Juleha Dwi Cahyani. Kita panggil saja dia Juleha.
Juleha adalah tetanggaku di Kertajaya. Rumahnya hanya berjarak lima rumah dari rumahku. Juleha sendiri sering datang ke toko ibuku untuk membeli perlengkapan mandi, pembalut wanita, deodoran, dan parfum isi ulang KW. Mungkin karena alasan kedekatan geografis, dia tidak keberatan jika aku mencangkungi payudaranya yang buntal.
Dari belakang, pantatnya mengayun tarian klasik India. Tidak apa-apalah, selama dia tidak menggoyangnya dengan gaya lap dance. Mendadak, aku merasakan pangkal pahaku geli. Rupanya, 'Upin' sedang menuntut kebebasan. Tapi, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk unjuk rasa.
Tiba-tiba Juleha berbalik dan buru-buru berjalan kembali ke arahku.
Dia menatapku, melepas alat bantu dengar, dan kemudian mulai mengendus-endus di depan wajahku. Beraninya kamu, Juleha! Aku bisa mencium bibirmu kalau aku kehilangan kewarasan. Dengan sedekat itu, aku bisa mengendus harum deodoran, satu-satunya wewangiannya.
"Kamu bau alkohol," Juleha menuduhku dengan verbal.
Oke, Juleha selalu sibuk mengingatkanku tentang segala hal. Tapi, kenapa sih, dia selalu meributkan hal-hal sepele seperti itu. Aku tidak suka diperhatikan. Namun, Juleha selalu bisa menemukan hal yang janggal dariku, apa pun itu.
“Kopi. Kenapa, sih, kamu selalu sok ngatur-ngatur,” aku mengungkapkan kekesalan dengan bahasa isyarat, supaya tidak ada yang tahu.
“Dengar,” desak Juleha lantas memulai bahasa isyaratnya, “jika aku tidak terikat oleh sumpah keluargaku pada kakekmu, aku tidak peduli!” Juleha geram, memakai alat kembali alat bantu dengarnya, lalu pergi.
“Juleha! Maaf!” aku memohon padanya secara lisan, tapi tak dihiraukannya.
Jadi gini ...
Ibuku pernah bercerita. Saat perang merebut kemerdekaan, kakekku Bambang Surya Tanoto atau BS Tanoto, punya abdi Jawa yang setia. Pembantunya yang berbakti itu adalah Syamsul atau Cak Sam. Beliau adalah kakek Juleha. Cak Sam bersumpah untuk tetap mengabdi pada keluargaku sampai mimpi juragannya untuk membebaskan Indonesia dari oligarki, menjadi kenyataan. Mimpi yang gila, pikirku.
Sebelum Cak Sam wafat, dia mewajibkan sumpah setianya kepada putranya, Purwanto alias Cak Pur, ayah Juleha. Sebuah sumpah untuk tetap tawaduk kepada keluargaku sampai impian kakekku menjadi kenyataan. Cak Pur setuju.
Ketika aku masih SMA, Cak Pur jatuh sakit. Sebelum beliau wafat, Cak Pur mewajibkan sumpah ayahnya—Cak Sam—kepada istri dan anak-anaknya untuk tetap setia kepada keluarga Tanoto, hingga impian kakekku terwujud.
Aku berdiri di antara keluarga Cak Pur saat beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Aku ingat Juleha menangis di bahuku. Cak Pur adalah tipikal orang Jawa tulen yang rendah hati, sopan, dan setia. Baik Cak Sam maupun Cak Pur tetap memegang teguh sumpah mereka kepada keluarga Tanoto, sampai mereka wafat.
Baru saja aku hendak mengejar Juleha, ada suara berat memanggilku. Mengenali suara khas bariton itu, aku pun mengurungkan niat memburu Juleha. Nanti juga baikan sendiri.
“Lang!” suara bariton memanggilku lagi.
“Woi!” balasku cempreng.
Dari perawakannya yang berambut keriting serta pendek gempal, aku mengenalnya sebagai Mat Bagi. Nama panjangnya Akhmad Bagiyon. Dia seperti Hulk versi mini. Rambutnya yang keriting cepak membingkai wajahnya yang kotak. Rahangnya pun terlihat kokoh seperti rahang tyranosaurus rex.
Kami pun bersalaman. Telapak tangan ini rasanya diremas-remasnya. Ini baru salaman yang tak perlu tenaga. Entah bagaimana kalau Mat Bagi sedang ena-ena. Bisa modyar pasangannya!
Tiba-tiba, ada lengan melingkari leher lantas menyeretku melewati gerbang sekolah. Ada aroma ketek yang terpapar bebas di udara. Tak salah lagi, oknum kawan satu ini pasti si Pecok, dengan huruf ‘e’ dibaca seperti membaca ‘eek’ dan huruf ‘o’seperti membaca ‘ompol’. Nama aslinya Prasetyo.
Perawakan Pecok ini kurus, tapi tidak lebih tinggi dariku. Rambutnya lurus nan kaku membingkai wajahnya yang lonjong. Yang membuat si Pecok ini mudah dikenali adalah bibirnya yang monyong. Deretan giginya itu maju bak paruh burung rangkong. Bahkan, si Pecok ini kesulitan untuk menutup penuh mulutnya.
Dalam bahasa Jawa, Pecok sendiri artinya pacul kecil. Dari situlah Pecok mendapatkan nama panggilannya. Senjata tajam.
Sejatinya, Pecok adalah nama panggilannya saat SMA. Kini di perkuliahan, kami sepakat memanggilnya Mr. P karena inisial yang sama, Pecok Prasetyo. Mulai sekarang, aku akan menuliskan Pecok sebagai Mr. P. Setuju? Harus setuju!
“Sek urip ae?” ejek Mr. P padaku. (Masih hidup aja?)
“Bangke!” aku menyahut.
“Coplok’en sek ta helm-mu iku,” tambahnya. (Masih hidup rupanya. Lepas dululah helmu itu)
Wait! Aku masih pakai helm. Kampret! Pantas aja cewek-cewek tadi pada ketawa-ketiwi. Oke, aku lepas dulu helm-ku. Untung tak ada yang salto di udara kayak Aisyah dulu. Bisa kugigit telinga mereka satu per satu.
Kemudian, mataku kedutan. Gejala ada feromon tertangkap radar.
Rupanya, ada seorang cewek yang memeluk sejumlah buku berjalan ke arahku. Dia tertawa lirih. Pipinya merona merah. Kulitnya putih bak bintang iklan sabun mandi. Rambut panjangnya dikepang ke belakang. Iyalah, masak dikepang ke atas? Anak punk dong.
Aku mengenali wajah oriental dan kacamata minusnya. Namanya Amelia Limantoro. Dia salah satu mahasiswi paling pandai sekampus Clofus. Amelia merupakan tetanggaku dari Juwingan, kelurahan sebelah Kertajaya. Amelia ini baik di kampung maupun di kampus, akrab disapa Cece. Dia peranakan Tionghoa.
Kontras dengan Juleha, si Amelia ini rata. You know what I mean, kan?
“Pagi, Mel,” sapaku sopan-sopan genit.
“Pagi, Lang,” balasnya ramah, lalu berhenti di hadapanku.
Sepertinya, Amelia ingin mengobrol. Baiklah. Tapi, dua temanku ini kerjanya mengganggu saja. Ihi-ihi! Cieee! Awas tangane! dan lain sebagainya. Mereka berdua, khususnya Mr. P, tidak akan mengizinkanku tebar pesona dengan leluasa.
Namun begitu, aku dan Cece sudah terbiasa digoda. Secara, sejak kami berdua masih bermain ingus di taman kanak-kanak hingga sekarang, selalu satu sekolah.
Aku pun menyuruh Mat Bagi untuk mengembalikan helm ke motorku di parkiran. Sementara Mr. P aku suruh duluan ke kantin kampus. Akhirnya, Mat Bagi dan Mr P terpisah.
“Ada kelas apa, Mel?” tanyaku basa-basi padahal tidak ingin tahu.
Lalu aku mulai berjalan supaya Amelia mengikutiku.
“Contemporary Chinese Literature,” jawab Amelia malu-malu.
Aku mengangguk pura-pura tertarik.
Entah mengapa sang bayu selalu ganjen dengan cewek-cewek di hadapanku. Padahal, aku merasa tidak punya perasaan mutlak terhadap Amel. Akibat kegenitan alam itu, Amelia lantas menyibak rambutnya ke arah belakang telinga. Aku jadi membayangkan Amelia seperti putri kaisar Cina yang mengenakan gaun sutera klasik. Sungguh memesona.
“Kamu liburan ke mana aja, Mel?” aku mengalihkan perhatian.
“Gak ke mana-mana. Di rumah aja, bantu-bantu papa,” jawab Amel. “Kalau kamu pasti keliling Indonesia ya?”
“Nggak kok, Mel, cuma di Jawa aja. Semarang sama Jakarta,” jawabku.
“Enak ya liburan bisa jalan-jalan,” tambah Amel.
“Capek juga sih,” aku meratap.
Amel lantas bercerita kalau dia juga sama capeknya. Dia berkisah panjang lebar bagaimana suntuknya bekerja mencatat tagihan, menghitung omset hingga mengawasi buruh angkut di toko garmen papanya di Pasar Pucang.
Entah mengapa aku tak tertarik dengan cerita Amelia? Aku lebih memilih membayangkan lesung pipit Aisyah, montoknya Juleha dan judesnya si cewek blasteran tadi. Tapi, aku tidak boleh menunjukkan rasa bosanku terang-terangan. Jadi, aku manggut-manggut mengamini cerita Amel.
“Um,” Amelia tersipu, “Lang, besok Sabtu ada resepsi nikahan sepupuku.”
"Oke," aku mengangguk lagi.
"Datang denganku, ya?" ajak Amelia sambi bahunya teranyun-ayun.
"Hah?" Aku mengangkat alis. “Bukannya resepsi itu cuma untuk orang Cina, ya? Sama orang-orang kaya? Kok aku, sih?”
"Lho, kamu kan juga orang Cina," desak Amelia.
Aku menghela nafas dengan berat.
Ya, orang tuaku dan tetangga juga mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan Amelia. Aku memiliki darah Cina dari kakekku. BS Tanoto, nama aslinya adalah Tan Hok Gie. Dulu, kakekku Bambang menikahi seorang perempuan Jawa tulen, Sumarsih, nenekku. Mbah Sumarsih kemudian melahirkan tiga anak. Ibuku yang tengah.
Ibuku pernah bercerita, almarhum kakekku Bambang, punya rekan seperjuangan--yang juga mendiang--Liem Koen Hian alias Gesang Limantoro. Beliau adalah kakek Amelia. Jadi, atas nama kakek, aku mempertimbangkan ajakan Amelia.
Bingung kan kalian, kok pake nama-nama alias? Baca terus agar tahu latar belakang kisahnya.
"Oke, tak pikirin dulu ya," aku menyerah pada ucapan manipulatifnya. "Siapa yang menikah?"
“Sepupuku,” jawab Amelia. “Ntar aku kirim surat undangannya.”
“Okelah kalau begitu, see you, Mel!” Aku melambai sambil berjalan gaya undur-undur.
Amelia tersenyum, lalu berbalik dan mulai berjalan. Tapi sial, Amelia tidak melihat selokan di belakangnya.
"Awas Mel!" aku spontan berlari ke arahnya.
Tapi terlambat, gravitasi menarik Amelia duluan. Dia jatuh, sementara benda-benda yang dibawanya berhamburan.
Aku membantu Amelia berdiri dan membantunya mengambil barang-barangnya yang berserakan. Di antara benda-benda yang terserak, aku melihat sapu tangan krem kusam tapi masih terawat. Aku memberikannya kembali kepada Amelia.
"Terima kasih," Amelia berterima kasih padaku sambil tersipu.
"Ini punyamu," dia menyerahkan sapu tangan itu padaku. “Kamu inget?”
Tentu saja aku ingat. Itu adalah saputangan yang kuberikan pada Amelia saat kami masih duduk di bangku SMP. Saat itu, Amelia tiba-tiba jatuh sakit di sekolah. Itulah mengapa saya memberinya sapu tangan krem itu. Karena Amelia adalah tetanggaku, guru BK menyuruhku untuk mengantar Amelia pulang ke rumahnya.
Aku lupa mengapa ada cowok SMP sampai bisa membawa sapu tangan ke sekolah. Kalau tidak salah ingat, ada kelas praktek menyablon. Aku tidak pernah menyangka Amelia masih menyimpannya. Aku tersentuh oleh inisiatif mulianya itu.
Tapi, aku tetap mengembalikan sapu tangan itu ke pemiliknya. Maksudku Amelia. Sejak itu, sapu tangan itu sudah jadi miliknya.
"Iya, kah?" Aku menatap mata Amelia sambil berpura-pura lupa.
Amelia mengangguk.
"Ah!" aku berpura-pura mengingat. “Simpan aja, Mel!”
Aku bisa melihat wajah Amelia yang tersipu. Tapi, dia tidak bisa menyembunyikan kebahagian di balik kacamata minusnya dariku. Aku merasa ada sesuatu tentang Amelia padaku. Atau mungkin sebaliknya. Aku tidak tahu.
“Ya udah, aku ke kantin dulu ya, Mel. Mumpung belum ada jam kuliah. See you again!” aku melambaikan tangan.
Amelia tersenyum, lalu berbalik dan mulai melangkahkan kaki-kaki jenjangnya.
Sebenarnya, aku merasa tidak enak meninggalkan Amelia. Namun, aku mengalihkan perhatian dengan berjalan menuju food court. Tentu saja, aku tidak melupakan agenda prioritas, yaitu melepas status jomblo. Tapi dengan siapa? Aisyah, Kirana, Juleha, atau Amelia. Namun, pedekatein mereka bukanlah perkara yang mudah.
Atau, aku akan cari yang lain saja? Lagipula, Clofus ini terlalu besar jika aku hanya fokus pada keempatnya. Well, hello Clofus-ku yang tercinta. Siapa lagi yang kamu punya untukku?
HARI pertama kuliah di Cloverleaf University of Surabaya aka Clofus, seperti biasanya, tidak ada perkuliahan. Di setiap bagian depan ruang kelas, berkerumun mahasiswa dan mahasiswi. Bagi mahasiswa baru, mereka ribut dengan siapa mereka bakal menghabiskan waktu mereka di kelas. Mereka tampak menatap deretan papan tulis yang tertempel berlembar-lembar kertas di tengah lobi. Jari-jari telunjuk terlihat menyisir tabel-tabel. Di sana, tertera nama-nama mata kuliah dan dosen pengampunya.
JALAN Dharmahusada ini padat seperti biasanya. Maklum, selain terletak di pusat kota, kawasan Dharmahusada ini diapit dua gedung raksasa, yaitu RSUD dr Soetomo dan Universitas Airlangga. Mobil, bus, sepeda motor, becak, dan para pelajar memadati kawasan ini.Kemudian, mataku menangkap sesuatu yang menarik. Aku melihat ada mobil Toyota Avanza hitam terparkir di bawah pohon tabebuya kuning. Mungkin karena warna kontrasnya, - hitam dan kuning – perhatianku tertuju ke sana. Tapi, tidak ada aktivitas.
KELURAHAN Kertajaya dan Kelurahan Juwingan ini dibelah kali buatan selebar 3 meter sebagai pemisahnya. Amelia sendiri tinggal di Juwingan. Layaknya kali di perkampungan pada umumnya, banyak sampah mengapung seperti bungkus makanan, pembalut wanita, hingga helm. Anak-anak kampung pun suka buang air besar di kali ini. Aku sendiri tinggal tepat di seberang kali itu.Kali ini, aku melihat bocah-bocah itu tengah dolan di kubangan yang mulai surut di pinggir kali. Dengan ingus yang menjuntai, mereka dengan riang bermain separuh telanjang di bawah payungan pohon kersen. Memang, malam sebelumnya hu
SEPANJANG perjalanan balik ke Kertajaya, aku berkhayal tengah menyanyikan lagu cinta di tengah rinai hujan untuk Juleha. Dari balik jendela, Juleha menyambut lantunanku dengan berjoget ala India. Sungguh syahdu, hingga tak terasa sudah hampir sampai di Warkop Cak Lamis.Konon, kisah ibuku, orang-orang yang tinggal di Kertajaya maupun Juwingan sekarang ini merupakan keturunan para ahli beladiri silat dan tinju.Bapakku sendiri bukan orang asli Surabaya, melainkan kelahiran Yogyakarta. Beliau sehari-hari berprofesi sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bapakku sendiri berpangkat kapten, dan kini sedang bertugas di Papua.Beliau memang jarang sekali pulang. Bahkan setahun cuma sekali. Kami semua ikhlas merelakan bapak bertugas menunaikan tugas negara. Menjaga perdamaian, katanya. Di Papua sana, memang masih ada kelompok-kelompok separatis.Desas-desus menyebutkan, Juwingan – Kertajaya adalah tempat bagi orang-orang terbuang pada masa lampau
HUJAN baru saja berhenti dan hari ini sudah mencapai akhirnya. Malam sudah larut. Jarum jam menunjukkan pukul 11.45 WIB. Aku sendiri masih terjaga di kamar sambil bermain gim Mobile Legends. Entah sudah berapa lama aku bermain gim laknat ini. Di tengah keseruan mempertahankan markas, mendadak ada telepon masuk via WhatsApp. Bazenk!Ada nama Kentung tertera di layar. Kujawablah panggilannya itu. Dia menyuruhku untuk membawa gitar ke ujung gang. Kata Kentung, ada Culex dan Santos dan beberapa orang lainnya. Aku mengiyakan dan langsung away f
SEKILAS, dari hasil kesimpulanku, anasir kiri ini memang tampak ideal dan menjanjikan. Memikat seperti jaran goyang. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Santos dan Kentung, yang terjadi justru sebaliknya. Komunisme tumbang di hampir seluruh belahan dunia.Dari paparan Santos, jaran goyang komunisme tumbang lantaran rakyat sudah tidak tahan lagi dipaksa bercinta dengan menggunakan metode BDSM. Mereka sudah tidak tahan lagi dibungkam, diatur dan disiksa.Betapa tidak? Pemerintahan negara berhaluan kiri ini bertindak otoriter, totaliter dan absolut sebagai konsekuensi menjalankan ideologi materialisme-nya. Bilik-bilik cinta pada bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya ditutup rapat-rapat. Segala bentuk pembangkangan bakal disingkirkan.“Berbeda dengan metode bukake alias demokrasi, pemerintah secara sukarela menampung aspirasi rakyatnya. Secara perlahan rakyat mulai mengerti dan menuntut hak mengekspresikan cinta tak diawasi pemerintah,” sindir Sant
KEESOKAN hari, aku terbangun. Rasanya berat kepala ini. Sakit sekali, pengar dan mual. Rasanya ingin tidur lagi. Tapi tak bisa. Guling ke kiri sakit, ke kanan pun sama. Pasti aku terlalu banyak minum tadi malam, hingga lupa daratan.Mataku lantas tertumbuk pada sebuah poster jumbo. Ada seorang kakek bersorban putih dengan cambang yang lebat. Telunjuknya mengarah ke atas seperti sedang menasehati. Dia bukan Gandalf, melainkan Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Iran. Di sebelahnya ada gambar siluet Che Guevara, pahlawan revolusi Kuba. Kusapu pandanganku ke seluruh ruangan. Rupanya ada Jonathan Davis dan Max Cavalera.Oh syukurlah, aku di kamarku sendiri.Aku lantas melihat jam dinding, pukul 08.25 WIB. Busyet! Setengah jam lagi dimulai penyuluhan narkoba di Hotel Wahid. Aku lantas mengambil ponselku. Ada 12 missed video call dari Juleha. Aw! Ngeri kali si Juleha kalau mengingatkan.Kemudian, terdengar nada dering lagu Insane karya Prodigy dari ponselku.
NGOMONG-ngomong tentang Boumerank, mereka adalah band rock paling fenomenal di Indonesia. Bahkan salah satu yang paling terkemuka di dunia! Tidak ada band rock di Indonesia yang bisa menyaingi popularitas Boumerank. Band rock ini kerap diundang sebagai bintang tamu di acara festival musik internasional, seperti Summerfest dan Woodstock di Amerika Serikat, yang penontonnya bisa mencapai 800 ribu orang.Kemudian, kami bertiga--aku, Eko dan Kunto--berbicara tentang musik dan gosip hiburan lainnya. Dalam dunia hiburan, gosip adalah hiburan itu sendiri. Hanya dengan membicarakannya saja, itu sudah seperti mengerjakan hobi."Ngomong-ngomong, siapa pengacara Inod?" aku bertanya."Seperti biasa, pria gundul dari timur itu," jawab Kunto.“Ha ha ha, dia selalu jadi pengacara selebriti kalau ada masalah,” kata Eko."Tapi dia baik untuk Inod. Dia bisa keluar dari penjara," kataku."Dengan syarat," Eko mengingatkanku. "Inod dilarang membuat a
Aku pun meninggalkan Kirana dengan melangkah ke posisiku di sebelah kiri panggung atau sebelah kanan dari arah penonton. Aku melambaikan tangan ke arah massa yang disambut gemuruh sorak-sorai majelis SOUNDRENALINE Music Fest.“Che!” sang MC memperkenalkanku.Kru Ryg’—yang mayoritas—sendiri berasal dari sebagian karyawan Inferno Music Studio dan beberapa tetangga di Dukuh Kertajaya. Pay, yang sehari-hari menjadi tukang parkir, kini mendapat giliran menjaga equipment-ku. Diserahkannya gitar bass Ibanez kepadaku yang aku yakini sudah disetelnya dengan baik beserta amplifier Messa/Boogie-nya.Anggota kru yang pertama-pertama naik panggung itu membongkar peralatan yang sudah tersedia di panggung, lalu menggantinya dengan peralatan yang kami bawa sendiri. Aku menghargai Pay dengan memberinya dua jempol.Aku pun mulai check sound dengan membetot dawainya. Mak jlem! Bunyinya menggelegar hingga gelombangnya menerpa pepohonan hin
KALAU cewek udah main rahasia-rahasiaan gini, sebaiknya jangan kulawan, deh. Mending iyain aja, ya kan.Semakin dekat, kegaduhan yang ditimbulkan rombongan jamaah hitamiyah ini mengundang kegaduhan lainnya. Para bintang tamu yang berada dalam tenda pun sampai keluar demi menyaksikan mereka. Ada yang mengeluarkan ponsel untuk memfoto maupun memvideokan momen rombongan berjala melewati mereka. Ada juga yang histeris memanggil-manggil. Artis histeris ketemu artis lainnya?Dari dekat, seolah-olah adegan lambat adagio, dari puluhan orang itu, ada empat yang menarik perhatianku. Di antaranya ada seorang raksasa tambun berambut gondrong keemasan kayak Megaloman. Dia mengenakan kaus hitam yang dipadu padan dengan celana cargo army selutut. Tato motif tribal tampak jelas dari lengan atas hingga lengan bawahnya. Penampilan itu dipungkasi dengan sepatu Converse.Penampilan serupa juga ditunjukkan seorang gondrong lainnya. Bedanya, orang gondrong kedua ini mengenakan topi k
AREA belakang panggung ini berupa hamparan tenda-tenda militer maupun tenda-tenda untuk menampung korban bencana. Aku bisa melihat ada truk-truk dan bus yang melewati jalur khusus. Sejumlah orang tampak menurunkan peti-peti persegi warna hitam dengan pinggiran kelir perak. Ramai dan sibuk sekali. Aku meyakini orang-orang itu adalah anggota crew.Gemuruh harmoni alat musik pun terdengar sampai ke belakang panggung, walau speaker-speaker sound system menghadap ke arah sebaliknya. Dari lagu yang dibawakan, aku menebak yang sedang manggung sekarang adalah girlsband 5 Dewi.Di backstage sini, bau alkohol dan asap rokok menyengat sekaligus menyeruak. Lampu-lampu halogen yang terpasang di setiap penjuru pun menyilaukan mata. Aroma kosmetik juga bertebaran. Perih dan panas sekali. Uniknya, para penghuninya berlaku biasa saja, seperti berkumpul untuk menyaksikan orkes dangdutan.Aku pun diajak Kirana menuju ke salah satu tenda di bagian tengah hamparan tanda. Kalau g
CLOVER Leaf University of Surabaya alias Clofus sendiri letaknya cuma selemparan batu saja dari rumahku di Kertajaya. Sama-sama masih satu Kecamatan Gubeng. Makanya itu aku gak buru-buru amat.Aku sendiri merasa malam ini bakal cerah. Bintang-bintang di awang-awang terlihat riang berkelip sementara bulan yang bulat sempurna bersinar terang. Kupacu motor membelah terpaan angin yang membuat rambutku meliuk-liuk tak keruan.Ketika melihat pemandangan angkasa itu, aku jadi teringat kembali dengan bulir air mata dan bulatnya wajah Juleha yang kayak Selena Gomez itu.Namun, entah mengapa setiap kali aku ketemu Juleha, selalu saja ada yang aneh dengan diriku. Aku seolah tidak bisa jujur dengan perasaanku sendiri terhadapnya. Aku selalu berpura-pura menganggap Juleha hanya sebagai teman sepermainan belaka.Padahal, aku menyadari aku menyukainya, bahkan sejak masih SMP dulu. Ya, entahlah, Juleha mungkin cinta pertamaku. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mengun
Aku masih saja terbayang sekaligus terngiang wajah serta suara Sekar, ketika membersihkan diri dalam kamar mandi. Seolah-olah, dia seperti Dewi Narcissus yang membuat siapapun yang melihatnya jadi jatoeh tjinta.Tapi, aku tak berniat membuat Sekar layaknya kisah tragis Dewi Narcissus versi asli – yang bunuh diri nyempulung kolam karena jatuh cinta dengan dirinya sendiri. Aku akan membuat lembaran ceritaku sendiri dengan membantu mewujudkan mimpi Dewi Sekar menjadi diva kayangan!Aku lantas mengagumi wajah Sekar yang persegi, dipungkasi dagu nan tegas dengan polesan garis rahang yang kuat. Hal itu menampakkan kekuatan sekaligus kepercayaan diri. Rambut hitam Sekar yang lebat, menjulur lurus panjang, jatuh hingga ke punggung seperti mahkota putri keraton Jawa.Dua lekuk alis tebal Sekar tampak menaungi dua bola mata bulat telurnya. Warna mata itu hazel yang orang sering keliru itu coklat atau hijau. Setiap kali Sekar menatapku, aku selalu merasa ada kepasrah
"UPETI apaan?""Fulus, duit, setorannya kurang," jelasnya. "Udah gak lancar lagi."Aku masih gak ngerti maksud Sekar. Dia pun menjelaskan kalau per bulan, setiap wisma di SD 2 Dukuh Jerut harus menyetor uang yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah kepada sederet pejabat maupun pihak yang berwenang lainnya.Kalau ditotal, kata Sekar lagi, upeti yang mesti diberikan Mami maupun mami-mami lainnya kepada orang-orang pejabat berwenang itu, jumlahnya bisa mencapai belasan juta rupiah per wisma per bulan."Kok, kamu bisa tahu hal-hal semacam ini?" tanyaku."Aku," kata Sekar, "kalau di Arini ini, bagian dari upeti itu."Lalu, Sekar menggandeng lenganku kembali, lantas mengajakku berjalan. Aku pun manut sambil mengelus dada. Setelah mengalami rentetan peristiwa yang menyesakkan dada pada masa lalunya--hingga meninggalkan trauma--sekarang Sekar masih juga dimanfaatkan sebagai alat pertukaran. Ini manusia, bukan barang! Aku menggeram dalam hati."
KETIKA aku mengucapkan janji, tiba-tiba suasana menjadi sunyi. Ada momen beku aneh yang menyelimuti ruangan 3x3 ini. Tapi Sekar tetap diam, lalu mengangguk lagi seolah-olah memberkati apa yang baru saja aku katakan.Kemudian aku merasa bersalah sendiri karena mendesaknya untuk bercerita. Aku menggeser kursiku untuk mendekatinya. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku kira Sekar juga memikirkan hal yang sama. Saat kita sedih, kita ingin ada orang di sekitar kita.Kemudian, Sekar menarik napas, lalu menghembuskannya. Seolah-olah dia sedang melepaskan beberapa beban masa lalu yang dia pikul."Boleh aku pegang tanganmu?" Aku meminta izin."Kamu kan sudah bayar," jawab Sekar, "Kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau."Aku hanya menggelengkan kepala."Aku hanya ingin pegang tanganmu," ulangku.Sekar kemudian mengulurkan telapak tangannya.Aku memegangi telapak tangannya, lalu membelainya seolah-olah aku membaca apa yang terjadi pada t
“ENGGAK!” aku menghentikannya.Sekar terkejut.“Aku gak ingin buru-buru,” sambungku.Sekar lalu berdiri. Dia menghela nafas lalu berjalan memunggungiku. Aku tidak tahu apakah dia kecewa atau malah bahagia? Dia berbalik menghadapku, bersandar ke rak boneka, lantas menyilangkan di dadanya.“Terus?” tanya Sekar. “Kamu ingin aku ngapain?”“Kamu bisa lagunya Adele yang Rolling in the Deep?” aku bertanya.Sekar mengangguk."Sini, aku yang gitarin."“Aneh,” sindirinya.Saat dia berbalik untuk mengambil gitar, tanpa sepengetahuannya, aku posisikan ponsel dengan sedemikian rupa sehingga tampak separuh badan Sekar ke atas. Setelah menerima gitar dari Sekar, aku memintanya duduk di depan rak yang penuh boneka.Sekar tampak berat mengabulkan permintaanku. Mungkin, Sekar sedang bertanya-tanya apakah aku memiliki orientasi seksual yang menyimpang."A
“AYO sekolah?” ajak Desi.Namun para tamu yang hadir dalam majelis itu tampak malu-malu kucing. Mereka hanya tersenyum. Desi sendiri terlihat gusar, sehingga ia marah.“Kok gak ada yang ngajak aku sekolah,sih?” gerutunya.Desi pantas gusar. Doi boleh marah-marah. Soalnya, Desi cs telah menemani tamu-tamunya ini sejak dari jam 11 siang, seperti pengakuan Kentung tadi. Namun, sampai jam tiga sore, belum ada yang berminat ‘sekolah.’“Masak,” kata Desi, “udah ditemenin dari jam 11 gak ada yang mau sekolah, sih?” doi lantas mendengus.Tiba-tiba ada intro lagu yang aku kenali, disusul bagian verse yang menegaskan dugaanku. Mula-mula, aku mengira lagu ini bakal dinyanyikan oleh cewek-cewek ini. Oleh sebab itu, aku tak menanggapinya dengan serius.Namun..."Party girls don't get hurt. Can't feel anything, when will I learn. I push it down, push it down," lantun merdu seorang perempua