HARI pertama kuliah di Cloverleaf University of Surabaya aka Clofus, seperti biasanya, tidak ada perkuliahan. Di setiap bagian depan ruang kelas, berkerumun mahasiswa dan mahasiswi. Bagi mahasiswa baru, mereka ribut dengan siapa mereka bakal menghabiskan waktu mereka di kelas.
Mereka tampak menatap deretan papan tulis yang tertempel berlembar-lembar kertas di tengah lobi. Jari-jari telunjuk terlihat menyisir tabel-tabel. Di sana, tertera nama-nama mata kuliah dan dosen pengampunya.
Di sini, di kampus Clofus, tersedia hampir semua jurusan, bahkan yang paling langka di Indonesia, seperti Teknik Nuklir dan Sastra Jawa, sekalipun. Sederet orang kesohor tercatat sebagai lulusan Clofus.
Sebut saja ada nama Managing Director Bank Dunia Ibu Sri Lakhsmi. Dia bahkan terpilih sebagai World Most Powerful Women ke-38 menurut majalah Forbes tahun lalu. Kemudian, ada nama Bapak Ali Purwacaraka sebagai duta besar Indonesia di PBB. Dan tentu saja idolaku sang rock superstar, Hendryx—pembetot bass Boumerank.
Aku sendiri berkuliah di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, bersama Aisyah, Juleha, Mr. P, dan Matt. Tiga nama terakhir menerima beasiswa untuk mahasiswa tidak mampu di sekitar kampus Clofus. Aisyah sendiri adalah putri seorang saudagar Islam yang kaya raya, sementara Amelia mengambil Jurusan Sastra Cina.
Selain itu, dari seluruh fakultas di Clofus, Fakultas Sastra adalah tempat cewek-cewek paling cantik belajar sekaligus menyebarkan feromon mereka.
Clofus sendiri merupakan perguruan tinggi yang didirikan oleh Yayasan Daun Semanggi Indonesia (YDSI). YDSI adalah yayasan yang diisi oleh orang-orang kaya nan dermawan dari seluruh penjuru Indonesia. Lantaran itu, Clofus menjadi universitas swasta paling moncer dan paling kesohor di seluruh pelosok negeri. Aku bahkan meyakini, se-Asia Tenggara juga.
Kampus Clofus nan megah ini terdiri dari dua area luas yang dibelah Sungai Kalimas. ‘Kali’ dalam bahasa Jawa artinya sungai, dan ‘mas’ artinya emas. Bagian tepi barat disebut The West Clofus, tempat belajar mata kuliah sosial. Dan bagian tepi timur disebut The East Clofus, tempat para mahasiswa belajar memahami bahasa hewan dan membuat bom dari obat batuk.
Di Clofus, Jurusan Sastra Inggris sendiri merupakan yang paling bergengsi. Mahasiswa yang tidak lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri, beruntung mendapatkan beasiswa di jurusan ini.
Ngomong-ngomong, aku tidak tahu di jurusan apa cewek berdarah campuran yang dipanggil Kirana tadi berkuliah? Adik perempuanku juga terdaftar sebagai murid baru di Jurusan Sastra Jepang. Aku akan menginterogasinya nanti.
Setahuku, sebagian besar kampus di Surabaya menggunakan terminologi bernada heroisme, kebanggan, dan chauvinisme pada almamaternya.
Tengok saja kampusku Cloverleaf University of Surabaya atau Clofus. Daun semanggi merupakan bahan utama kuliner khas tradisional dari Surabaya, Semanggi Suroboyo. Kemudian ada Universitas Airlangga. Mereka menggunakan nama salah satu raja paling terkenal di Jawa sebagai identitas almamater mereka.
Ada juga Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS). Seperti yang sudah kalian tahu, tanggal 10 November adalah Hari Pahlawan. Hari itu adalah hari ketika ayah, kakek, dan kakek buyut kita berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari invasi Belanda di Surabaya pada tahun 1945. Perang itu sendiri oleh orang barat disebut The Battle of Surabaya. Karena itulah Surabaya juga dikenal sebagai Kota Pahlawan.
Tidak lupa, ada Universitas 17 Agustus. 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan Indonesia. Kebangetan kalau kalian tidak tahu. Itu, adalah hari ketika para pendiri negara kita memproklamasikan kedaulatan dari kolonialisme Belanda.
Petualanganku dari gerbang kampus hingga food court, akhirnya berakhir. Setelah menyapu pandangan, aku menemukan Mr. P dan Mat Bagi sedang duduk bersila di sudut antara foodcourt dan pagar besar kampus. Ya, posisi Fakultas Sastra berada di bagian paling belakang pojok tepi barat, bersebelahan dengan permukiman penduduk.
Rupanya, warung kopi langganan kami, Warkop Cak Eko, masih tutup. Makanya itu Mr. P dan Mat Bagi selonjoran di pojokan sana.
Asap rokok terlihat mengepul di belakang bilik dapur. Itu adalah kamuflase yang sempurna untuk menyamarkan asap rokok dengan asap gorengan di area bebas rokok ini. Beberapa teman juga melakukan kegiatan serupa. Karena kami telah menyandang status senior, sudut itu otomatis menjadi wilayah kekuasaan kami. Sebelumnya, para junior merokok di parkiran.
"Preian nang ndi ae, Bro?" tanya Mr. P sambil menghisap sebatang rokok. (Liburan ke mana saja?)
“Keliling dodolan panci,” jawabku sambil mengambil rokokku sendiri. (Berkeliling jualan panci).
Kami semua tertawa. Tentu mereka tahu apa yang kumaksud dengan berdagang panci.
Sebagai anggota band, aku bisa jalan-jalan gratis ke berbagai pelosok nusantara. Aku menggunakan setengah uang hasil manggung untuk membayar cicilan motor. Separuh lainnya, aku akan menghabiskannya untuk bersenang-senang.
"Hei!" tanyaku penasaran kepada Mr. P sambil menyodorinya selebaran dari Aisha. "Temen ta Ndeso Teram ate digusur?" (Benarkah Desa Teram akan digusur?)
Desa Teram, Kecamatan Padak ini sendiri terletak di bagian barat laut Surabaya, berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan Gresik. Di kawasan Desa Teram, terdapat kompleks bordil Selamat Datang atau SD 2 yang terkenal.
"Yoi," jawab Mr. P. “Sesuk onok demo warga nolak penggusuran.” (Besok akan ada unjuk rasa dari warga desa menolak penggusuran).
"Koen lak mesti melok-melok," tebakku. (Kamu pasti ikut-ikutan).
Mr. P hanya mengangkat tangan kirinya ke udara sambil menebar tatapan yang mengintimidasi. Itu artinya, iya dia akan ikut demo. Kemudian, Mr. P membaca selebaran dari Aisyah itu. Mat Bagi mengintip di samping Mr. P. Mat Bagi mengangguk seolah memahami sesuatu.
"Halah!" ucap Mr. P sinis saat membaca artikel itu. “Opo maneh iki atek ngangkat derajat wong wedok? Ngangkat derajat’e dewe ae gak isok!” (Macam apa pula ini pakai mengangkat derajat wanita? Mengangkat derajatnya sendiri saja tidak bisa!)
Aku menggelengkan kepala lantas mengangkat bahuku.
"Tin," tiba-tiba Matt membuka mulutnya, lalu menghembuskan lingkaran asap dari bibirnya yang tebal.
"Hah?" aku terkejut. “Tin?”
“Onok uwit tin opo uwit ara sing tukul nang kene,” Mr. P menjawab pertanyaanku sambil menunjuk ke arah selebaran. "Biasane, wong Indonesua nyebut uwit beringin.” (Ada pohon tin atau pohon ara yang tumbuh di sini. Biasanya, orang Indonesia menyebutnya sebagai pohon beringin).
"Iyo, aku ngerti uwit tin" kataku, "maksudku, opo’o?" (Iya, aku tahu pohon tin, maksudku, kenapa?)
"Nang kene," kata Mr. P sambil menjentikkan selebaran, "uwit beringin iku sing terakhir, sing satu-satunya nang Suroboyo. Wes gak onok sing liyane." (Di sini, pohon beringin itu yang terakhir, yang satu-satunya di Surabaya. Tidak ada yang lainnya).
Sebelum aku menuntaskan rasa penasaran, dari kejauhan, aku sempat melihat ada cewek blasteran lagi jalan bareng kroni-kroninya. Kalau aku menarik garis lurus, sepertinya mereka akan ke foodcourt ini juga.
"Sopo iku?" aku bertanya. "Maksudku, cewek blasteran iku?"
"Oh!" Mr. P menjawab dengan tenang, "iku Kirana, arek Graha Family."
Aku tidak heran kalau Mr. P tahu siapa cewek hasil kawin silang itu. Lalu, dia memberitahuku bahwa mahasiswa senior yang lain juga membicarakan cewek berdarah campuran itu. Aku tidak pernah meragukan pekerjaan intelijen Mr P. Dia bisa diandalkan.
Kirana, sebut Mr P, diprediksi bakal menyabet gelar The Next College Idol Award tahun ini. Penghargaan itu sendiri diberikan kepada cewek yang paling sukses membuat para cowok tergila-gila sepanjang tahun. Kriterianya cuma cantik dan seksi.
Gelar itu merupakan penghargaan yang tertinggi dari kami—para kaum laki-laki—kepada kaum perempuan di seluruh Clofus. Juleha adalah juara bertahan selama empat tahun terakhir. Aku setuju Kirana bakal menjadi penantang serius bagi Juleha. Kami (baca: cowok) bertindak sebagai host sekaligus juri.
“Ate lapo? Gak level awakdewe,” sindir Mr. P. (Mau apa? Gak level kita)
Aku hanya menyeringai.
"Aku ngerti maksud raimu," tukas Mr P. (Aku tahu maksud dari raut wajahmu).
Graha Family sendiri adalah salah satu hunian premium selain Citraland - The Singapore of Surabaya. Graha Family ini terletak di bagian barat Surabaya. Di sana, tempat para bos besar umumnya tinggal.
Misalnya saja, anggota dewan, direksi perusahaan pelayaran, taipan konstruksi nasional, hingga komisaris badan usaha milik negara (BUMN). Semua miliki rumah di sana. Aku tahu karena salah satu temanku tinggal di sana. Bapaknya adalah seorang ekspatriat. Aku baru ingat bahwa temanku itu juga berkuliah di Clofus.
Lalu, aku bertanya kepada Mr. P dan Mat Bagi, pada ke mana mahasiswa senior lainnya? Mereka bergantian menyebut nama-nama berandalan macam Roni, Muchlis, dan Gepeng, yang belalai mereka masih belum nongol. Tapi, kata Mr. P dan Mat Bagi, Geng LGBT sudah hadir. Mereka antara lain Lolita, Gatot, Bella, dan Tari.
Aku hanya mengangguk lantas melihat arloji digital. Rupanya sudah hampir jam delapan. Saatnya pergi ke kelas, mungkin ada pengumuman atau semacamnya. Setelah mematikan rokok, aku, Mr. P, dan Mat Bagi semburat menuju gedung perkuliahan di lantai tiga.
Di dalam ruang kelas besar, sudah banyak mahasiswa yang membuka buku seolah akan ada perkuliahan. Aku menghela nafas sebelum masuk. Bismillah!
Belum sempat melangkah masuk, radar feromonku menangkap aroma penuh nafsu yang terekspos di udara. Datang entah dari mana, Lita meletakkan jari telunjuknya di bibirku, Gatot memberiku cium jauh, Bianca mendesah, dan Tari menampar pantatku. Mereka berlalu seolah tidak terjadi apa-apa.
"Oh! Hei ladies, ayolah!" maksudku hanya para ladies. "Rewind, please! Aku belum siap!" Bukan kau, Tot.
Sial! Juleha melihatku. Aisyah juga.
Lalu, aku berlari-lari kecil ke barisan belakang dan duduk di salah satu kursi. Rupanya, Roni, Muchlis, dan Gepeng sudah bergentayangan dalam kelas.
Di tengah keributan dalam kelas, seorang STW memasuki ruang kelas. Tiba-tiba, suasana yang ceria mendadak jadi muram durjana. Kami semua mengenalinya. STW satu ini terkenal sebagai dosen killer se-Fakultas Sastra. Kami bisa merasakan mode membunuhnya sedang aktif. Bahkan mahasiswa berandalan pun tidak berani menantang tatapannya.
Namanya Ibu Pandam. Aku tidak tahu apakah beliau sudah menikah atau belum? Aku tidak peduli. Aku hanya fokus pada apa yang menarik kebanyakan pria normal.
"Pagi," sapanya singkat.
"Pagi, terserah, bla bla bla!" kami pun bergumam malas membalasnya.
Aku yakin dalam hati, kami semua yang selama ini berada di bawah bimbingannya cekikikan. Nama Pandam-nya itu hampir sama pengucapannya dengan Jean Claude Van Damme, salah satu aktor film laga Hollywood yang terkenal. Sebab itulah kami memanggilnya Madam Van Damme.
Terlepas dari semua itu, bagiku pribadi, Madam Van Damme adalah seorang dosen Cross-Cultural Understanding yang ekselen. Maksudku yang terbaik di bidangnya.
"Saya sekarang menjabat sebagai ketua Jurusan Sastra Inggris," Madam Van Damme memulai ceramahnya.
Oh, my goat! Ini artinya kami akan lebih sering berinteraksi. Kemudian, Madam Van Damme menjelaskan apa yang bakal terjadi di Jurusan Sastra Inggirs, setahun ke depan. Aku sendiri tidak tertarik untuk mengikuti penjelasannya.
Aku lebih suka melamun tentang Aisyah, Kirana, dan Juleha. Amelia juga sempat menyelinap. Bagaimana Tuhan telah menciptakan perempuan-perempuan yang unggul. Menjadi kekasih hati salah satu dari mereka saja, adalah sebuah kehormatan bagiku. Kemudian, Geng LGBT tiba-tiba muncul dalam lamunanku. Aku tidak keberatan, kecuali Gatot.
Setelah beberapa lama, aku melihat teman-teman dari kelas lain berbondong-bondong menuju tangga. Itu adalah gejala tidak ada perkuliahan. Selain tanggal merah, tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang mahasiswa, dari tidak ada kelas.
"Jelas?" kata Madam Van Damme.
Apanya yang jelas? Tak perlu berpikir dua kali, para mahasiswa langsung berdiri, siap meninggalkan kelas. Baru saja hendak melewati pintu keluar, aku dipanggil oleh Madam Van Damme.
"Galang!" dia memanggilku.
Aduh! Ada perlu apa aku dipanggil oleh aktor film laga ini? Semoga saja, aku tidak diajaknya menjadi sparring partner berlatih ilmu bela diri campuran.
“Besok ada seminar penyuluhan narkoba dari BNN (Badan Narkotika Nasional) di Hotel Grand Wahid,” jelas Ibu Van Damme. "Kamu yang pergi!"
"Siap Bu!" aku menjawab, "tapi mengapa saya?"
"Kamu kan anak band?" Madam Van Damme lantas berlalu pergi begitu saja. Dia tidak menerima penolakan.
Tapi, apa hubungan antara pemain band dan penyuluhan narkoba? Okelah, banyak personel band ternama yang terlibat barang haram itu. Tapi, bukankah biasanya undangan semacam seminar itu ditujukan untuk mahasiswa yang terkenal pintar, Amelia misalnya?
Ya sutra-lah. Aku pun langsung ngacir. Mr. P dan Mat Bagi membuntutiku hingga parkiran. Aku mengatakan pada mereka, kalau aku gak ikut ngopi. Soalnya, aku ada jadwal latihan band. Tidak ada aktivitas yang lebih menyenangkan daripada bermain alat musik. Selain Juleha, bermain alat musik itu membantuku melepas energi yang tak tersalurkan. Oh, yeah!
“Disik’o, aku absen sek,” aku memberitahu mereka.
“Oke,” sahut Mr P. “Nyilih duwite mang ewu, gawe kopi en rokok.” (Pinjam uangnya lima ribu, buat kopi dan rokok)
Meminjami uang bagi teman kuliah itu sama dengan bersedekah. Ikhlaskan saja, karena kemungkinan besar tidak akan dikembalikan. Tapi, aku tak punya pikiran untuk meminjami maupun bersedekah. Uangku adalah uang mereka juga.
“Nyoh,” aku memberi selembar uang Rp10 ribu. “Bagien ambek Mat.”
Siang itu, aku tidak bertemu Aisyah, Kirana, Amelia, begitu pula Juleha. Mungkin mereka sudah pulang duluan. Jadi, aku langsung menunggangi motor matik kesayanganku, dan langsung meluncur ke studio musik.
Yeah! Let's make some fuck'n noise! Inferno, here I come!
JALAN Dharmahusada ini padat seperti biasanya. Maklum, selain terletak di pusat kota, kawasan Dharmahusada ini diapit dua gedung raksasa, yaitu RSUD dr Soetomo dan Universitas Airlangga. Mobil, bus, sepeda motor, becak, dan para pelajar memadati kawasan ini.Kemudian, mataku menangkap sesuatu yang menarik. Aku melihat ada mobil Toyota Avanza hitam terparkir di bawah pohon tabebuya kuning. Mungkin karena warna kontrasnya, - hitam dan kuning – perhatianku tertuju ke sana. Tapi, tidak ada aktivitas.
KELURAHAN Kertajaya dan Kelurahan Juwingan ini dibelah kali buatan selebar 3 meter sebagai pemisahnya. Amelia sendiri tinggal di Juwingan. Layaknya kali di perkampungan pada umumnya, banyak sampah mengapung seperti bungkus makanan, pembalut wanita, hingga helm. Anak-anak kampung pun suka buang air besar di kali ini. Aku sendiri tinggal tepat di seberang kali itu.Kali ini, aku melihat bocah-bocah itu tengah dolan di kubangan yang mulai surut di pinggir kali. Dengan ingus yang menjuntai, mereka dengan riang bermain separuh telanjang di bawah payungan pohon kersen. Memang, malam sebelumnya hu
SEPANJANG perjalanan balik ke Kertajaya, aku berkhayal tengah menyanyikan lagu cinta di tengah rinai hujan untuk Juleha. Dari balik jendela, Juleha menyambut lantunanku dengan berjoget ala India. Sungguh syahdu, hingga tak terasa sudah hampir sampai di Warkop Cak Lamis.Konon, kisah ibuku, orang-orang yang tinggal di Kertajaya maupun Juwingan sekarang ini merupakan keturunan para ahli beladiri silat dan tinju.Bapakku sendiri bukan orang asli Surabaya, melainkan kelahiran Yogyakarta. Beliau sehari-hari berprofesi sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bapakku sendiri berpangkat kapten, dan kini sedang bertugas di Papua.Beliau memang jarang sekali pulang. Bahkan setahun cuma sekali. Kami semua ikhlas merelakan bapak bertugas menunaikan tugas negara. Menjaga perdamaian, katanya. Di Papua sana, memang masih ada kelompok-kelompok separatis.Desas-desus menyebutkan, Juwingan – Kertajaya adalah tempat bagi orang-orang terbuang pada masa lampau
HUJAN baru saja berhenti dan hari ini sudah mencapai akhirnya. Malam sudah larut. Jarum jam menunjukkan pukul 11.45 WIB. Aku sendiri masih terjaga di kamar sambil bermain gim Mobile Legends. Entah sudah berapa lama aku bermain gim laknat ini. Di tengah keseruan mempertahankan markas, mendadak ada telepon masuk via WhatsApp. Bazenk!Ada nama Kentung tertera di layar. Kujawablah panggilannya itu. Dia menyuruhku untuk membawa gitar ke ujung gang. Kata Kentung, ada Culex dan Santos dan beberapa orang lainnya. Aku mengiyakan dan langsung away f
SEKILAS, dari hasil kesimpulanku, anasir kiri ini memang tampak ideal dan menjanjikan. Memikat seperti jaran goyang. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Santos dan Kentung, yang terjadi justru sebaliknya. Komunisme tumbang di hampir seluruh belahan dunia.Dari paparan Santos, jaran goyang komunisme tumbang lantaran rakyat sudah tidak tahan lagi dipaksa bercinta dengan menggunakan metode BDSM. Mereka sudah tidak tahan lagi dibungkam, diatur dan disiksa.Betapa tidak? Pemerintahan negara berhaluan kiri ini bertindak otoriter, totaliter dan absolut sebagai konsekuensi menjalankan ideologi materialisme-nya. Bilik-bilik cinta pada bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya ditutup rapat-rapat. Segala bentuk pembangkangan bakal disingkirkan.“Berbeda dengan metode bukake alias demokrasi, pemerintah secara sukarela menampung aspirasi rakyatnya. Secara perlahan rakyat mulai mengerti dan menuntut hak mengekspresikan cinta tak diawasi pemerintah,” sindir Sant
KEESOKAN hari, aku terbangun. Rasanya berat kepala ini. Sakit sekali, pengar dan mual. Rasanya ingin tidur lagi. Tapi tak bisa. Guling ke kiri sakit, ke kanan pun sama. Pasti aku terlalu banyak minum tadi malam, hingga lupa daratan.Mataku lantas tertumbuk pada sebuah poster jumbo. Ada seorang kakek bersorban putih dengan cambang yang lebat. Telunjuknya mengarah ke atas seperti sedang menasehati. Dia bukan Gandalf, melainkan Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Iran. Di sebelahnya ada gambar siluet Che Guevara, pahlawan revolusi Kuba. Kusapu pandanganku ke seluruh ruangan. Rupanya ada Jonathan Davis dan Max Cavalera.Oh syukurlah, aku di kamarku sendiri.Aku lantas melihat jam dinding, pukul 08.25 WIB. Busyet! Setengah jam lagi dimulai penyuluhan narkoba di Hotel Wahid. Aku lantas mengambil ponselku. Ada 12 missed video call dari Juleha. Aw! Ngeri kali si Juleha kalau mengingatkan.Kemudian, terdengar nada dering lagu Insane karya Prodigy dari ponselku.
NGOMONG-ngomong tentang Boumerank, mereka adalah band rock paling fenomenal di Indonesia. Bahkan salah satu yang paling terkemuka di dunia! Tidak ada band rock di Indonesia yang bisa menyaingi popularitas Boumerank. Band rock ini kerap diundang sebagai bintang tamu di acara festival musik internasional, seperti Summerfest dan Woodstock di Amerika Serikat, yang penontonnya bisa mencapai 800 ribu orang.Kemudian, kami bertiga--aku, Eko dan Kunto--berbicara tentang musik dan gosip hiburan lainnya. Dalam dunia hiburan, gosip adalah hiburan itu sendiri. Hanya dengan membicarakannya saja, itu sudah seperti mengerjakan hobi."Ngomong-ngomong, siapa pengacara Inod?" aku bertanya."Seperti biasa, pria gundul dari timur itu," jawab Kunto.“Ha ha ha, dia selalu jadi pengacara selebriti kalau ada masalah,” kata Eko."Tapi dia baik untuk Inod. Dia bisa keluar dari penjara," kataku."Dengan syarat," Eko mengingatkanku. "Inod dilarang membuat a
"KARENA ..." Syahrir ragu-ragu. "Ada beberapa hal yang tidak bisa saya ungkapkan di sini.""Jadi mana yang lebih penting, keduniawian atau jihad melawan maksiat?" Aaliyah bersikeras."Keseimbangan," jawab Shahrir.Aaliyah tersenyum mendengar jawaban Shahrir. Dia kemudian beralih ke Sulaiman, pengacara Damha Inod. Dia bertanya apakah Inod akan melaporkan tentang hal yang sama. Awalnya, Sulaiman menertawakan Syahrir. Sulaiman mengatakan Syahrir patut bersyukur bisa tampil di televisi. Seharusnya, jika Inod mau, Syahrir juga bisa ditangkap karena menghinanya."Inod menghargai perbedaan pendapat, tapi tidak dengan mereka. Mengapa kebenaran hanya milik mereka?" Sulaiman dengan sinis menyebut Lasjitara.Saat itu, aku merasa Sulaiman dengan sengaja memancing emosi Imam Syahrir.Aaliyah pun meminta, apakah Inod bisa bebas dari tuduhan pencemaran nama baik ormas Islam.Sulaiman berkata dengan tegas, dia akan membela Inod dengan keras. Hak untu
Aku pun meninggalkan Kirana dengan melangkah ke posisiku di sebelah kiri panggung atau sebelah kanan dari arah penonton. Aku melambaikan tangan ke arah massa yang disambut gemuruh sorak-sorai majelis SOUNDRENALINE Music Fest.“Che!” sang MC memperkenalkanku.Kru Ryg’—yang mayoritas—sendiri berasal dari sebagian karyawan Inferno Music Studio dan beberapa tetangga di Dukuh Kertajaya. Pay, yang sehari-hari menjadi tukang parkir, kini mendapat giliran menjaga equipment-ku. Diserahkannya gitar bass Ibanez kepadaku yang aku yakini sudah disetelnya dengan baik beserta amplifier Messa/Boogie-nya.Anggota kru yang pertama-pertama naik panggung itu membongkar peralatan yang sudah tersedia di panggung, lalu menggantinya dengan peralatan yang kami bawa sendiri. Aku menghargai Pay dengan memberinya dua jempol.Aku pun mulai check sound dengan membetot dawainya. Mak jlem! Bunyinya menggelegar hingga gelombangnya menerpa pepohonan hin
KALAU cewek udah main rahasia-rahasiaan gini, sebaiknya jangan kulawan, deh. Mending iyain aja, ya kan.Semakin dekat, kegaduhan yang ditimbulkan rombongan jamaah hitamiyah ini mengundang kegaduhan lainnya. Para bintang tamu yang berada dalam tenda pun sampai keluar demi menyaksikan mereka. Ada yang mengeluarkan ponsel untuk memfoto maupun memvideokan momen rombongan berjala melewati mereka. Ada juga yang histeris memanggil-manggil. Artis histeris ketemu artis lainnya?Dari dekat, seolah-olah adegan lambat adagio, dari puluhan orang itu, ada empat yang menarik perhatianku. Di antaranya ada seorang raksasa tambun berambut gondrong keemasan kayak Megaloman. Dia mengenakan kaus hitam yang dipadu padan dengan celana cargo army selutut. Tato motif tribal tampak jelas dari lengan atas hingga lengan bawahnya. Penampilan itu dipungkasi dengan sepatu Converse.Penampilan serupa juga ditunjukkan seorang gondrong lainnya. Bedanya, orang gondrong kedua ini mengenakan topi k
AREA belakang panggung ini berupa hamparan tenda-tenda militer maupun tenda-tenda untuk menampung korban bencana. Aku bisa melihat ada truk-truk dan bus yang melewati jalur khusus. Sejumlah orang tampak menurunkan peti-peti persegi warna hitam dengan pinggiran kelir perak. Ramai dan sibuk sekali. Aku meyakini orang-orang itu adalah anggota crew.Gemuruh harmoni alat musik pun terdengar sampai ke belakang panggung, walau speaker-speaker sound system menghadap ke arah sebaliknya. Dari lagu yang dibawakan, aku menebak yang sedang manggung sekarang adalah girlsband 5 Dewi.Di backstage sini, bau alkohol dan asap rokok menyengat sekaligus menyeruak. Lampu-lampu halogen yang terpasang di setiap penjuru pun menyilaukan mata. Aroma kosmetik juga bertebaran. Perih dan panas sekali. Uniknya, para penghuninya berlaku biasa saja, seperti berkumpul untuk menyaksikan orkes dangdutan.Aku pun diajak Kirana menuju ke salah satu tenda di bagian tengah hamparan tanda. Kalau g
CLOVER Leaf University of Surabaya alias Clofus sendiri letaknya cuma selemparan batu saja dari rumahku di Kertajaya. Sama-sama masih satu Kecamatan Gubeng. Makanya itu aku gak buru-buru amat.Aku sendiri merasa malam ini bakal cerah. Bintang-bintang di awang-awang terlihat riang berkelip sementara bulan yang bulat sempurna bersinar terang. Kupacu motor membelah terpaan angin yang membuat rambutku meliuk-liuk tak keruan.Ketika melihat pemandangan angkasa itu, aku jadi teringat kembali dengan bulir air mata dan bulatnya wajah Juleha yang kayak Selena Gomez itu.Namun, entah mengapa setiap kali aku ketemu Juleha, selalu saja ada yang aneh dengan diriku. Aku seolah tidak bisa jujur dengan perasaanku sendiri terhadapnya. Aku selalu berpura-pura menganggap Juleha hanya sebagai teman sepermainan belaka.Padahal, aku menyadari aku menyukainya, bahkan sejak masih SMP dulu. Ya, entahlah, Juleha mungkin cinta pertamaku. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mengun
Aku masih saja terbayang sekaligus terngiang wajah serta suara Sekar, ketika membersihkan diri dalam kamar mandi. Seolah-olah, dia seperti Dewi Narcissus yang membuat siapapun yang melihatnya jadi jatoeh tjinta.Tapi, aku tak berniat membuat Sekar layaknya kisah tragis Dewi Narcissus versi asli – yang bunuh diri nyempulung kolam karena jatuh cinta dengan dirinya sendiri. Aku akan membuat lembaran ceritaku sendiri dengan membantu mewujudkan mimpi Dewi Sekar menjadi diva kayangan!Aku lantas mengagumi wajah Sekar yang persegi, dipungkasi dagu nan tegas dengan polesan garis rahang yang kuat. Hal itu menampakkan kekuatan sekaligus kepercayaan diri. Rambut hitam Sekar yang lebat, menjulur lurus panjang, jatuh hingga ke punggung seperti mahkota putri keraton Jawa.Dua lekuk alis tebal Sekar tampak menaungi dua bola mata bulat telurnya. Warna mata itu hazel yang orang sering keliru itu coklat atau hijau. Setiap kali Sekar menatapku, aku selalu merasa ada kepasrah
"UPETI apaan?""Fulus, duit, setorannya kurang," jelasnya. "Udah gak lancar lagi."Aku masih gak ngerti maksud Sekar. Dia pun menjelaskan kalau per bulan, setiap wisma di SD 2 Dukuh Jerut harus menyetor uang yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah kepada sederet pejabat maupun pihak yang berwenang lainnya.Kalau ditotal, kata Sekar lagi, upeti yang mesti diberikan Mami maupun mami-mami lainnya kepada orang-orang pejabat berwenang itu, jumlahnya bisa mencapai belasan juta rupiah per wisma per bulan."Kok, kamu bisa tahu hal-hal semacam ini?" tanyaku."Aku," kata Sekar, "kalau di Arini ini, bagian dari upeti itu."Lalu, Sekar menggandeng lenganku kembali, lantas mengajakku berjalan. Aku pun manut sambil mengelus dada. Setelah mengalami rentetan peristiwa yang menyesakkan dada pada masa lalunya--hingga meninggalkan trauma--sekarang Sekar masih juga dimanfaatkan sebagai alat pertukaran. Ini manusia, bukan barang! Aku menggeram dalam hati."
KETIKA aku mengucapkan janji, tiba-tiba suasana menjadi sunyi. Ada momen beku aneh yang menyelimuti ruangan 3x3 ini. Tapi Sekar tetap diam, lalu mengangguk lagi seolah-olah memberkati apa yang baru saja aku katakan.Kemudian aku merasa bersalah sendiri karena mendesaknya untuk bercerita. Aku menggeser kursiku untuk mendekatinya. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku kira Sekar juga memikirkan hal yang sama. Saat kita sedih, kita ingin ada orang di sekitar kita.Kemudian, Sekar menarik napas, lalu menghembuskannya. Seolah-olah dia sedang melepaskan beberapa beban masa lalu yang dia pikul."Boleh aku pegang tanganmu?" Aku meminta izin."Kamu kan sudah bayar," jawab Sekar, "Kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau."Aku hanya menggelengkan kepala."Aku hanya ingin pegang tanganmu," ulangku.Sekar kemudian mengulurkan telapak tangannya.Aku memegangi telapak tangannya, lalu membelainya seolah-olah aku membaca apa yang terjadi pada t
“ENGGAK!” aku menghentikannya.Sekar terkejut.“Aku gak ingin buru-buru,” sambungku.Sekar lalu berdiri. Dia menghela nafas lalu berjalan memunggungiku. Aku tidak tahu apakah dia kecewa atau malah bahagia? Dia berbalik menghadapku, bersandar ke rak boneka, lantas menyilangkan di dadanya.“Terus?” tanya Sekar. “Kamu ingin aku ngapain?”“Kamu bisa lagunya Adele yang Rolling in the Deep?” aku bertanya.Sekar mengangguk."Sini, aku yang gitarin."“Aneh,” sindirinya.Saat dia berbalik untuk mengambil gitar, tanpa sepengetahuannya, aku posisikan ponsel dengan sedemikian rupa sehingga tampak separuh badan Sekar ke atas. Setelah menerima gitar dari Sekar, aku memintanya duduk di depan rak yang penuh boneka.Sekar tampak berat mengabulkan permintaanku. Mungkin, Sekar sedang bertanya-tanya apakah aku memiliki orientasi seksual yang menyimpang."A
“AYO sekolah?” ajak Desi.Namun para tamu yang hadir dalam majelis itu tampak malu-malu kucing. Mereka hanya tersenyum. Desi sendiri terlihat gusar, sehingga ia marah.“Kok gak ada yang ngajak aku sekolah,sih?” gerutunya.Desi pantas gusar. Doi boleh marah-marah. Soalnya, Desi cs telah menemani tamu-tamunya ini sejak dari jam 11 siang, seperti pengakuan Kentung tadi. Namun, sampai jam tiga sore, belum ada yang berminat ‘sekolah.’“Masak,” kata Desi, “udah ditemenin dari jam 11 gak ada yang mau sekolah, sih?” doi lantas mendengus.Tiba-tiba ada intro lagu yang aku kenali, disusul bagian verse yang menegaskan dugaanku. Mula-mula, aku mengira lagu ini bakal dinyanyikan oleh cewek-cewek ini. Oleh sebab itu, aku tak menanggapinya dengan serius.Namun..."Party girls don't get hurt. Can't feel anything, when will I learn. I push it down, push it down," lantun merdu seorang perempua