Beranda / Urban / Atas Nama Pohon Suci / 5 | Buku-Buku Merah

Share

5 | Buku-Buku Merah

Penulis: DiAndRa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-06 10:33:34

KELURAHAN Kertajaya dan Kelurahan Juwingan ini dibelah kali buatan selebar 3 meter sebagai pemisahnya. Amelia sendiri tinggal di Juwingan. Layaknya kali di perkampungan pada umumnya, banyak sampah mengapung seperti bungkus makanan, pembalut wanita, hingga helm. Anak-anak kampung pun suka buang air besar di kali ini. Aku sendiri tinggal tepat di seberang kali itu.

Kali ini, aku melihat bocah-bocah itu tengah dolan di kubangan yang mulai surut di pinggir kali. Dengan ingus yang menjuntai, mereka dengan riang bermain separuh telanjang di bawah payungan pohon kersen. Memang, malam sebelumnya hujan terjun dengan deras. Tapi sekarang, giliran sang surya yang tak mau kalah memamerkan kekuasaannya.

Sambil menjaga toko, aku mengalihkan perhatian dengan bermain gitar. Adalah tembang ‘When I See You Smile’ karya Bad English yang aku pilih. Tentu saja, sambil membayangkan bagaimana Aisyah tersipu, Kirana tertawa dan Juleha lagi mandi. Lha bagaimana lagi, senyum mereka melekat di ingatan. 'When I see you smile, I can face the world'. Sepertinya aku baru saja kesambit semar mesem atau jaran goyang?

Aku memang suka lagu-lagu barat karena kekuatan liriknya mahadahsyat. Memang ada beberapa lagu Indonesia yang punya kekuatan syair yang sama. Misalnya saja, ‘Cintaku Padamu’ yang dipopulerkan oleh almarhum Nike Ardilla. Begini penggalan refrain-nya, “Cintaku padamu, tak kan berubah. Walau ditelan waktu. Biarlah, kan kusimpan dalam hati. Cinta yang tulus ini.”

Tiga tahun setelah tembang itu dirilis, sang diva tewas. Mobil yang dikendarainya menabrak tong sampah. Ironisnya, doi meninggalkan dunia pada usia 19 tahun, empat tahun lebih muda dari usiaku sekarang. Belakangan ini, jarang ada yang memutar lagu itu. Mungkin takut kualat. Tapi, walau kepopulerannya ditelan waktu, warisan doi tetap kusimpan dalam hati.

“Tumbas,” ada suara anak-anak. (Beli)

Rupanya si Nana, bocah perempuan empat tahun anak tetangga. Anak kecil itu datang sendiri tanpa ditemani orangtuanya. Anak-anak di Kertajaya ini sudah diajari mandiri sejak kecil. Dua tahun dari sekarang, Nana bakal sudah bisa cari uang sendiri di simpang empat Kertajaya – Dharmawangsa.

Sebagai permulaan, si Nana mungkin akan dibekali kayu kecil dengan sejumlah tutup botol atau krempyeng yang dipaku. Hebat kan? Dengan alat sesederhana itu, anak kecil pun bisa mendulang uang sendiri.

“Tuku opo, Nduk?” tanyaku. (Beli apa, Nak?)

“Mogi-mogi,” jawabnya sambil menyerahkan sekeping uang logam Rp1.000.

“Ibukmu nang ndi?” (Ibumu ke mana)

“Umbah-umbah.” (Mencuci baju)

Aku memberinya jajanan dua bungkus stik krispi dan menyodorinya dua permen, sebagai bonus. Bela menyambarnya dan langsung kabur. Tapi nahas, dia tertangkap.

“Hayo! Ngomong opo, Nduk?” tanya si penangkap. (Hayo! Bilang apa, Nak?)

“Matul nuwun,” jawab Nana. (Terima kasih)

Penangkap gadis cilik itu tak lain adalah adik perempuanku yang baru saja keluar dari rumah. Ini artinya, gantian sif jaga toko. Adik semata wayangku ini namanya Djenar Laras Anggraeni. Dia akrab dipanggil Yeyen. Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, dia baru saja berstatus mahasiswa baru Clofus di Jurusan Sastra Jepang.

Adikku satu ini juga rock n roll anaknya, dalam arti kiasan. Soalnya, sebagai cewek, Yeyen tak kemayu. Sebaliknya, dia banyak tingkah. Benar-benar gak senada dengan namanya yang keputri-putrian. Kalau sedang diam, berarti Yeyen sedang membaca manga atau menonton anime.

Sore-sore begini, ngopi di Warkop Cak Lamis sambil membayangkan Juleha lagi senam fitnes, sepertinya menyenangkan. Dengan hanya sports bra dan legging, Juleha berkeringat lantaran berlatih push up. Cukup dengan membayangkannya saja, aku sudah autoberolahraga.

“Nek ibuk nggoleki, aku nang Cak Lamis,” aku memberitahu adikku.

“Haik!” jawabnya pendek sambil hormat ala militer.

Baru saja aku keluar dari toko, semerbak wangi feromon terpapar di udara. Sosok itu mengenakan semacam earphone yang bertengger di telinga kirinya. Penebar zat perangsang itu datang dengan hanya mengenakan daster polkadot. Tali branya kelihatan. Merah jambu warnanya. Rasanya mau mimisan.

Akhirnya ...

Aku pun langsung putar balik, pura-pura mengelap motor demi menyaksikan keindahan ciptaan tuhan satu ini.

“Sepeda sudah mengkilap begitu, masih dilap,” sindirnya pakai bahasa isyarat.

“Sepeda saja aku rawat, apalagi kamu,” godaku via finger alphabet.

“Hai Yen,” dia malah melengos ke adikku.

“Hei, Mbak Je,” balas adikku.

Jeje adalah panggilan akrab Juleha di kampung sini. Dia lantas membeli sabun mandi dan mengambil satu tabung gas melon. Juleha lantas menyerahkan selembar uang Rp20 ribu kepada adikku. Aku sendiri sampai tidak bisa membedakan dada Juleha dan tabung gas melon itu.

Lalu, Juleha dan Yeyen ngobrol tentang hari pertama masuk kuliah. Juleha—secara lisan sebaik yang dia bisa—bertanya kepada Yeyen tentang mahasiswi blasteran baru itu. Yeyen menjawab, nama cewek hasil kawin silang itu adalah Kirana. Dia baru saja lulus dari SMA swasta di Jakarta.

Aku pun mencuri dengar bagaimana cewek-cewek berkomplot membahas cewek lainnya. Tapi, mengapa Juleha bertanya tentang sosok Kirana? Apakah dia khawatir tersaingi?

Aku pun jadi teringat niatku untuk menginterogasi adikku tentang si Kirana. Tapi, tak mungkin aku lakukan di hadapan Juleha. Lagipula, sejumlah informasi penting sudah aku ingat-ingat. Setelah basa-basi dengan adikku, Juleha lantas meminta bantuanku.

“Lang, bantuin ganti galon, dong?" pinta Juleha dengan bahasa isyaratnya. "Gak ada orang di rumah, nih.” 

Aku menyeringai mengetahui frasa itu diungkapkan Juleha. 'Gak ada orang di rumah' itu kalau dalam kamus percintaan, adalah isyarat ajakan yang tersirat untuk 'bergulat'. Hanya yang pernah menjalin hubungan asmara saja yang paham frasa satu ini.

Bagi yang belum pernah merasakan 'gak ada orang di rumah', cucian deh lu! Fiks, ente jomblo karatan. Masak 20 tahun ente hidup, 'itu' cumak dibuat kencing doang? Lol! Eh! Aku sendiri kan juga lagi jones. Hiks!

“Jangan manja. Kamu kan kekar. Angkat sendiri!” balasku dengan gestur jemari.

Jual mahal dulu dong. Emangnya, aku couo apakah?

“Awas kamu, tak sebarkan ke teman-teman kalau kamu suka Cece!” serang balik Juleha dengan jurus jari-jarinya.

“Mana galonnya?” Aku menyerah secara lisan.

Juleha tampak tersenyum penuh kemenangan. Gak papa sih, sebenarnya. Secara, aku suka lihat dia seneng. Sementara, Yeyen cekikikan seolah paham situasi dan apa yang kami perbicangkan. Mungkin karena melihat wajah manyun Juleha dan kepasrahanku.

Aku pun membuntuti Juleha hingga ke tempat tinggalnya yang berselisih lima rumah dari rumahku. Rumah Juleha ini relatif mungil, seperti hunian tipe 30 yang memanjang ke belakang. Di bagian beranda rumah Juleha, terpampang papan triplek bertuliskan ‘Juwal Gado-Gado’. Ya, pakai ‘W’. Adalah ibu Juleha, Mak Suwarni, yang menjajakannya. Tapi, beliau kelihatannya sedang tidak ada di rumah.

“Ke mana ibumu?” tanyaku pada Juleha dengan isyarat.

“Makan bakso di Cak Takim,” jawab Juleha.

Ya, di rumah mungil inilah Juleha dan ibunya tinggal. Sang kakak laki-laki Juleha, memilih untuk indekos di gang sebelah. Soalnya, rumah ini terlalu kecil untuk ditinggali tiga orang dewasa.

Di bagian ruang tamu dalam rumah, aku melihat ada tumpukan serta deretan buku lawas. Buku-buku ini tidak seperti buku-buku kuliah. Kalaupun disebut novel, mungkin dari genre aksi-konspirasi-horor-thriller-misteri.

Lah! Dari judulnya saja sudah menyeramkan. Misalnya saja ‘Palu Arit di Ladang Tebu’, ‘Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan’, ‘Perlawanan Kaum Tani’, ‘Di Bawah Lentera Merah’, dan lain kroni-kroninya. Uniknya lagi, buku-buku itu dominan warna merahnya.

Ya, aku tahu buku-buku itu, tapi tak pernah membacanya sampai tuntas. Termasuk bacaan berat kalau kata anak milenial semacam aku. Pastinya, buku-buku itu juga bukan milik Juleha. Aku tak pernah bertanya padanya. Tapi, aku berkesimpulan buku-buku itu punya almarhum Cak Sam maupun mendiang Cak Pur, kakek dan bapak Juleha.

Di antara tumpukan buku-buku itu, mataku tertumbuk pada satu majalah remaja edisi lama yang terbuka halamannya. Aku tahu karena adikku juga punya majalah yang sama. Di halaman yang terbuka itu, terdapat foto seorang model yang mengenakan gaun pesta warna putih dengan renda-renda di bagian pinggangnya.

Belum sempat aku menamatkannya, majalah itu keburu disambar oleh Juleha. Sepertinya, dia tidak ingin aku membacanya.

Juleha lantas melangkah ke arah belakang sambil menunjukkan padaku letak galon isi ulangnya. Aku pun melihat Juleha mengambil handuk berwarna krem yang senada dengan kulit sawo matangnya. Lalu, dia merentangkan dan mengibas-ngibaskannya. Ketika itu, aku tahu ukuran handuk itu hanya satu depa. Doi lantas melingkarkannya ke leher. Sepertinya, Juleha hendak mandi. Aku pun memohon padanya.

“Ikut,” lisanku memohon dengan halus.

“Gendeng!” semprot Juleha.

“Mau ke mana, mandi segala?” aku bertanya dengan bahasa isyarat.

“Kerja.”

“Di Haji Malih?”

“Iya,” jawabnya secara lisan, lantas masuk kamar mandi.

Kaji Malih merupakan saudagar kacang hijau. Beliau merupakan salah satu orang paling kaya se-Kertajaya. Kaji Malih pun orang yang dermawan. Beliau mempekerjakan tetangga sekitar. Orang-orang menghormatinya. Kaji Malih punya tiga istri. Gak penting ya? Penting dong. Makanya baca terus supaya tahu kenapa Kaji Malih poligami.

Juleha sendiri sepulang kuliah terkadang bekerja paruh waktu mencuci dan mengeringkan kacang hijau di gudang Kaji Malih di daerah Pucang demi membantu perekonomian keluarganya. Terkadang juga, dia bekerja sebagai pembantu di katering Mak Atik kalau ada hajatan. Pekerjaan ini bisa menyita waktu Juleha. Soalnya, hajatan seperti resepsi pernikahan atau pengajian, selesainya larut malam.

Kemudian, terdengar suara pintu kamar mandi mendecit. Juleha tampak mengintip dari balik pintu. Rambutnya terlihat basah.

“Lang, tolong tabung gasnya sekalian diganti!” perintah Juleha dari dalam kamar mandi.

Sudah kuduga. Pantesan dia tadi datang ke toko tidak membawa tabung gas. Apakah Juleha sengaja, supaya aku datang ke rumahnya? Atau memang dia hanya kelupaan?

Aku pun mulai mengganti tabung gas melonnya. Bagian dapur rumah keluarga Juleha ini sempit dan dipenuhi dengan berbagai perabotan. Kamar mandinya pun bersebelahan langsung dengan dapur.

Aku bisa mendengar bunyi gerojokan air dari balik pintunya yang sudah reot. Sorot lampu kamar mandi pun menembus retakan-retakan pada bagian pintu yang sudah lapuk. Bahkan, pada engsel bagian bawah, ada celah yang seekor kucing dewasa bisa leluasa keluar masuk. Cipratan-cipratan air pun keluar dari situ.

Baru saja selesai memasang tabung gas, terdengar bunyi pintu kamar mandi dibuka. Ceklek. Juleha keluar dengan hanya berbalut handuk nan ketat. Belahan dadanya memberontak meronta-ronta hendak membebaskan diri. Pada bagian bawah, handuk hanya menutupi sebagian pahanya. Dengan handuk warna krem, gilak! Aku membatu.

For your information, sejatinya pemandangan seperti ini sudah beberapa kali aku alami. Jadi bukan yang pertama kalinya. Bahkan pernah satu kali, Juleha pernah dengan sengaja tampil polos tanpa busana di hadapanku. Suwer! Ketika itu, kami berdua sedang liburan di Kota Malang. Kebetulan hari itu dingin lalu hujan turun dengan derasnya. Aku lupa bagaimana awalnya, pokoknya kami berdua sudah saling berpelukan demi kehangatan di dalam kamar hotel.

Entah apa yang ada di benak Juleha? Dia tiba-tiba mengajakku ke kamar mandi. Dia mulai melepas semua bajunya. Aku pun melakukan hal yang sama. Lalu, Juleha membuka kran shower. Kami mandi bersama. Aku jadi ingat, ada tanda lahir di pantat sebelah kiri Juleha.

Beberapa lama kemudian, terdengar suara orang-orang berteriak dengan gaduhnya, disusul bunyi pintu kamar terbuka. Aku bisa merasakan aura amuk massa dari derap langkah kaki yang menuju kamar mandi. Aku dan Juleha yang terlanjur basah tanpa busana di dalam kamar mandi, mulai ketakutan tak bisa kabur.

Di hadapan kami, ada dua orang yang dengan jelas diselimuti kemurkaan. Mereka mulai mengutuki kami dengan berbagai sumpah serapah. Aku dan Juleha pun mulai menangis karena tak sanggup lagi mendengarnya.

Saat itu, kami berusia enam atau tujuh tahun. Mak Tini langsung memandikan Juleha sambil mencubiti pantat putrinya. Sementara aku, dijewer ibu sepanjang jalan balik ke kamar keluarga. Kalau tidak salah, ketika itu ada rekreasi RT/RW. Belakangan, aku baru tahu kalau rekreasi warga itu disponsori oleh seorang calon anggota DPRD Surabaya dari daerah pemilihan Juwingan-Kertajaya.

"Nek kate udan-udan iku ngomong disek, Le. Ojok ucul sak karepmu dewe!" semburnya. (Kalau mau hujan-hujan itu minta izin dulu, Nak. Jangan menghilang seenakmu sendiri!)

Tiba-tiba ...

“Lang… Woi, Galang!” sembur Juleha.

Aku lantas tersentak. Mandi macam apa cepet banget.

“Belum selesai juga. Ngapain aja, sih?” tutur Juleha dengan isyaratnya.

“Sudah gini lho,” jawabku sambil menahan geli di pangkal paha.

“Antarin ke gudang, dong,” pintanya lagi dengan gestur.

“Jalan sendiri kenapa? Kayak putri raja aja pake diantarkan,” aku menghindar, padahal senang sekali.

“Awas kamu, tak sebarkan ke teman-teman…”

“Okey ...”

Aku lantas pulang untuk mencuci muka alias raup. Ketika aku keluar, rupanya Juleha sudah di depan rumah sambil berbincang akrab dengan ibuku. Juleha hanya mengenakan kaus kasual, celana jins dan sandal jepit. Sederhana sekali. Dia hanya berdandan seperlunya. Atau mungkin, Juleha tidak punya cukup uang untuk membeli beraneka kosmetik dan tetek bengeknya.

Rasanya, ingin kubelikan seperangkat alat kontrasepesi, eh maksudku seperangkat alat kosmetik kepadanya. Tapi, bagaimanapun penampilannya, bagiku Juleha selalu tampil lovely di mataku.

“Maaf Bu, Galang maksa, mau mengantarkan Jeje ke Haji Malih,” tutur Juleha dengan ucapan yang berat dan patah-pataah tapi masih bisa dimengerti.

Ibuku dan Yeyen cekikikan mendengarnya.

Sial. Siapa juga yang maksa. Kan dia sendiri yang mengiba. Tapi aku tak keberatan. Malah hatiku berbunga-bunga dibuatnya. Kalau bisa, sering-sering minta bantuan angkat galon pun aku bersedia.

“Pantesan atek raup barang,” goda ibukku. “Ati-ati nggowo anak’e uwong.” (Pantas pakai cuci muka. Hati-hati membawa anaknya orang)

“Halah, mek sak uncalan watu ae,” aku membela diri. (Halah, cuma selemparan batu aja)

Juleha pun duduk di kursi penumpang. Dari dekat, aku bisa mengendus harum deodoran andalannya. Juleha sengaja menjaga jarak. Walau begitu, buah dadanya tetap menyentuh punggunggku. Walau dibungkus bra, aku masih bisa merasakan kekenyalan. Kedua paha Juleha yang mengapit pantatku rasanya semriwing. Ini memang bukan yang pertama kali aku membonceng Juleha, tapi sensasinya itu loh—selalu perdana.

“Mundur sedikit dong,” aku menggodanya dengan isyarat.

“Sudah di pojok,” jawab lisannya

“Oke.”

Sepanjang perjalanan, aku waspada memperhatikan jalan. Soalnya, kalau ada lubang atau polisi tidur, aku akan sangat berbahagia. Tapi, aku tak boleh menunjukkannya terang-terangan. Tak lama kemudian, sampailah di depan gerbang gudang Kaji Malih. Aku pun hendak putar balik. Tapi sebelum itu, Juleha bertanya padaku.

“Kamu mau ke mana?” tanya Juleha dengan gesturnya.

“Ke Cak Lamis,” jawabku. “Opo’o?”

“Em ...,” Juleha bergumam sendiri, “Gak jadi, deh,”

“Baru diantarkan juga udah kangen,” godaku dengan jari-jari.

Juleha tak menjawab. Hening sejenak. Sepertinya, dia hendak ngomong sesuatu tapi diurungkannya. Kemudian Julia melepas helmnya, memakai alat bantu dengar, berbalik, dan melangkah menuju gudang Kaji Malih. Belum jauh, aku tersenyum dan kupanggil Juleha.

“Je!”

“Ya?” dia berbalik dan tampak senang.

“Balikin helmnya, sini?”

Juleha lantas menyerahkan helm dan langsung berbalik tanpa berkata apa-apa. Wajahnya tampak kecewa. Biarin aja. Aku pun suka lihat Juleha kalau lagi bete. Pipinya jadi makin keliatan tembem, seakan tak bakal habis dicium sepanjang malam. Tapi, aku punya rencanya terhadapnya.

Sore itu, kemilau paparan sang surya semakin menambah kemolekan tubuh Juleha. Aduhai senangnya! Aku tidak ingin momen ini cepat memudar. Jadi, aku menatapnya berjalan sampai dia menghilang di balik gerbang gudang.

Kemudian, aku mempersiapkan diri untuk menghadapi orang paling berbahaya se-Surabaya. Para tetua Juwingan – Kertajaya.

Bab terkait

  • Atas Nama Pohon Suci   6 | Kertajaya

    SEPANJANG perjalanan balik ke Kertajaya, aku berkhayal tengah menyanyikan lagu cinta di tengah rinai hujan untuk Juleha. Dari balik jendela, Juleha menyambut lantunanku dengan berjoget ala India. Sungguh syahdu, hingga tak terasa sudah hampir sampai di Warkop Cak Lamis.Konon, kisah ibuku, orang-orang yang tinggal di Kertajaya maupun Juwingan sekarang ini merupakan keturunan para ahli beladiri silat dan tinju.Bapakku sendiri bukan orang asli Surabaya, melainkan kelahiran Yogyakarta. Beliau sehari-hari berprofesi sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bapakku sendiri berpangkat kapten, dan kini sedang bertugas di Papua.Beliau memang jarang sekali pulang. Bahkan setahun cuma sekali. Kami semua ikhlas merelakan bapak bertugas menunaikan tugas negara. Menjaga perdamaian, katanya. Di Papua sana, memang masih ada kelompok-kelompok separatis.Desas-desus menyebutkan, Juwingan – Kertajaya adalah tempat bagi orang-orang terbuang pada masa lampau

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-06
  • Atas Nama Pohon Suci   7 | Belok Kiri

    HUJAN baru saja berhenti dan hari ini sudah mencapai akhirnya. Malam sudah larut. Jarum jam menunjukkan pukul 11.45 WIB. Aku sendiri masih terjaga di kamar sambil bermain gim Mobile Legends. Entah sudah berapa lama aku bermain gim laknat ini. Di tengah keseruan mempertahankan markas, mendadak ada telepon masuk via WhatsApp. Bazenk!Ada nama Kentung tertera di layar. Kujawablah panggilannya itu. Dia menyuruhku untuk membawa gitar ke ujung gang. Kata Kentung, ada Culex dan Santos dan beberapa orang lainnya. Aku mengiyakan dan langsung away f

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-10
  • Atas Nama Pohon Suci   8 | Sang Aktivis

    SEKILAS, dari hasil kesimpulanku, anasir kiri ini memang tampak ideal dan menjanjikan. Memikat seperti jaran goyang. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Santos dan Kentung, yang terjadi justru sebaliknya. Komunisme tumbang di hampir seluruh belahan dunia.Dari paparan Santos, jaran goyang komunisme tumbang lantaran rakyat sudah tidak tahan lagi dipaksa bercinta dengan menggunakan metode BDSM. Mereka sudah tidak tahan lagi dibungkam, diatur dan disiksa.Betapa tidak? Pemerintahan negara berhaluan kiri ini bertindak otoriter, totaliter dan absolut sebagai konsekuensi menjalankan ideologi materialisme-nya. Bilik-bilik cinta pada bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya ditutup rapat-rapat. Segala bentuk pembangkangan bakal disingkirkan.“Berbeda dengan metode bukake alias demokrasi, pemerintah secara sukarela menampung aspirasi rakyatnya. Secara perlahan rakyat mulai mengerti dan menuntut hak mengekspresikan cinta tak diawasi pemerintah,” sindir Sant

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-17
  • Atas Nama Pohon Suci   9 | Si Kucing Gendut

    KEESOKAN hari, aku terbangun. Rasanya berat kepala ini. Sakit sekali, pengar dan mual. Rasanya ingin tidur lagi. Tapi tak bisa. Guling ke kiri sakit, ke kanan pun sama. Pasti aku terlalu banyak minum tadi malam, hingga lupa daratan.Mataku lantas tertumbuk pada sebuah poster jumbo. Ada seorang kakek bersorban putih dengan cambang yang lebat. Telunjuknya mengarah ke atas seperti sedang menasehati. Dia bukan Gandalf, melainkan Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Iran. Di sebelahnya ada gambar siluet Che Guevara, pahlawan revolusi Kuba. Kusapu pandanganku ke seluruh ruangan. Rupanya ada Jonathan Davis dan Max Cavalera.Oh syukurlah, aku di kamarku sendiri.Aku lantas melihat jam dinding, pukul 08.25 WIB. Busyet! Setengah jam lagi dimulai penyuluhan narkoba di Hotel Wahid. Aku lantas mengambil ponselku. Ada 12 missed video call dari Juleha. Aw! Ngeri kali si Juleha kalau mengingatkan.Kemudian, terdengar nada dering lagu Insane karya Prodigy dari ponselku.

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-19
  • Atas Nama Pohon Suci   10 | Ekspresi atau Agresi?

    NGOMONG-ngomong tentang Boumerank, mereka adalah band rock paling fenomenal di Indonesia. Bahkan salah satu yang paling terkemuka di dunia! Tidak ada band rock di Indonesia yang bisa menyaingi popularitas Boumerank. Band rock ini kerap diundang sebagai bintang tamu di acara festival musik internasional, seperti Summerfest dan Woodstock di Amerika Serikat, yang penontonnya bisa mencapai 800 ribu orang.Kemudian, kami bertiga--aku, Eko dan Kunto--berbicara tentang musik dan gosip hiburan lainnya. Dalam dunia hiburan, gosip adalah hiburan itu sendiri. Hanya dengan membicarakannya saja, itu sudah seperti mengerjakan hobi."Ngomong-ngomong, siapa pengacara Inod?" aku bertanya."Seperti biasa, pria gundul dari timur itu," jawab Kunto.“Ha ha ha, dia selalu jadi pengacara selebriti kalau ada masalah,” kata Eko."Tapi dia baik untuk Inod. Dia bisa keluar dari penjara," kataku."Dengan syarat," Eko mengingatkanku. "Inod dilarang membuat a

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-26
  • Atas Nama Pohon Suci   11 | Murka

    "KARENA ..." Syahrir ragu-ragu. "Ada beberapa hal yang tidak bisa saya ungkapkan di sini.""Jadi mana yang lebih penting, keduniawian atau jihad melawan maksiat?" Aaliyah bersikeras."Keseimbangan," jawab Shahrir.Aaliyah tersenyum mendengar jawaban Shahrir. Dia kemudian beralih ke Sulaiman, pengacara Damha Inod. Dia bertanya apakah Inod akan melaporkan tentang hal yang sama. Awalnya, Sulaiman menertawakan Syahrir. Sulaiman mengatakan Syahrir patut bersyukur bisa tampil di televisi. Seharusnya, jika Inod mau, Syahrir juga bisa ditangkap karena menghinanya."Inod menghargai perbedaan pendapat, tapi tidak dengan mereka. Mengapa kebenaran hanya milik mereka?" Sulaiman dengan sinis menyebut Lasjitara.Saat itu, aku merasa Sulaiman dengan sengaja memancing emosi Imam Syahrir.Aaliyah pun meminta, apakah Inod bisa bebas dari tuduhan pencemaran nama baik ormas Islam.Sulaiman berkata dengan tegas, dia akan membela Inod dengan keras. Hak untu

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-28
  • Atas Nama Pohon Suci   12 | Janji

    AKU kemudian mengangguk mengerti. Aku minta diri, berbalik, dan mulai berjalan pergi, meninggalkan Aisyah dan Farhan. Sebenarnya, aku merasa tidak ingin Aisyah sendirian dengan Farhan. Apalagi setelah perseteruan kecil dengan putra Bupati Bangkalan itu.Belum jauh aku melangkah, Aisyah memangilku."Lang," panggil Aisyah.Aku berbalik ke arahnya."Maaf," katanya, "dan terima kasih.""Untuk apa?" Aku bertanya."Aku gak tahu," jawab Aisyah sambil mengangkat bahunya."Gak usah dipikirin," aku menasihatinya.Sementara Aisyah kembali ke Farhan, aku melanjutkan langkah menuju halaman musala. Ketika aku sampai di tengah pintu masuk musala, ada Mat Bagi. Aku melihat Mat tersenyum-senyum sendiri di depan kotak amal, seperti orang yang kehilangan akal."Ngapain ente?" tanyaku heran dengan tindakan anehnya."Guru ngajiku di Gresik pernah berpesan, senyum adalah sedekah juga," jawabnya."Bener iku," aku tersenyum kecut

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-28
  • Atas Nama Pohon Suci   13 | Pohon Suci

    Di dalam kelas, suasana terlihat gaduh. Teman-teman sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya seru. Soalnya, beberapa dari mereka tampak bahagia dan sebagian lainnya terlihat murung. Mula-mula, aku tidak peduli apa yang menjadi bahan diskusi. Tapi lambat laun, aku ingin tahu juga.Baru saja aku hendak bertanya, mataku kedutan. Namun, feromon ini dalam jumlah jamak dan random. Aku tidak bisa memastikannya.Seperti sebelumnya, datang entah dari mana, sambil melempar senyum, Lita yang seksi meletakkan jari telunjuknya di bibirku, Gatot yang kekar memberiku cium jauh, Bianca dengan bibir sensualnya mendesah, dan Tari yang gemulai menampar pantatku. Mereka berlalu melewatiku seolah tidak terjadi apa-apa.Aku pun hendak memberi respon serupa kemarin, tetapi teringat Aisyah dan Juleha. Aku sisir pandangan di ruangan, aku menemukan mereka terduduk di kursi masing-masing sambil memelototiku dengan tajam.Aku urungkan niat untuk me-rewind flirting dari LGBT Gang.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-02

Bab terbaru

  • Atas Nama Pohon Suci   51 | Soundrenaline 4

    Aku pun meninggalkan Kirana dengan melangkah ke posisiku di sebelah kiri panggung atau sebelah kanan dari arah penonton. Aku melambaikan tangan ke arah massa yang disambut gemuruh sorak-sorai majelis SOUNDRENALINE Music Fest.“Che!” sang MC memperkenalkanku.Kru Ryg’—yang mayoritas—sendiri berasal dari sebagian karyawan Inferno Music Studio dan beberapa tetangga di Dukuh Kertajaya. Pay, yang sehari-hari menjadi tukang parkir, kini mendapat giliran menjaga equipment-ku. Diserahkannya gitar bass Ibanez kepadaku yang aku yakini sudah disetelnya dengan baik beserta amplifier Messa/Boogie-nya.Anggota kru yang pertama-pertama naik panggung itu membongkar peralatan yang sudah tersedia di panggung, lalu menggantinya dengan peralatan yang kami bawa sendiri. Aku menghargai Pay dengan memberinya dua jempol.Aku pun mulai check sound dengan membetot dawainya. Mak jlem! Bunyinya menggelegar hingga gelombangnya menerpa pepohonan hin

  • Atas Nama Pohon Suci   50 | Soundrenaline 3

    KALAU cewek udah main rahasia-rahasiaan gini, sebaiknya jangan kulawan, deh. Mending iyain aja, ya kan.Semakin dekat, kegaduhan yang ditimbulkan rombongan jamaah hitamiyah ini mengundang kegaduhan lainnya. Para bintang tamu yang berada dalam tenda pun sampai keluar demi menyaksikan mereka. Ada yang mengeluarkan ponsel untuk memfoto maupun memvideokan momen rombongan berjala melewati mereka. Ada juga yang histeris memanggil-manggil. Artis histeris ketemu artis lainnya?Dari dekat, seolah-olah adegan lambat adagio, dari puluhan orang itu, ada empat yang menarik perhatianku. Di antaranya ada seorang raksasa tambun berambut gondrong keemasan kayak Megaloman. Dia mengenakan kaus hitam yang dipadu padan dengan celana cargo army selutut. Tato motif tribal tampak jelas dari lengan atas hingga lengan bawahnya. Penampilan itu dipungkasi dengan sepatu Converse.Penampilan serupa juga ditunjukkan seorang gondrong lainnya. Bedanya, orang gondrong kedua ini mengenakan topi k

  • Atas Nama Pohon Suci   49 | Soundrenaline 2

    AREA belakang panggung ini berupa hamparan tenda-tenda militer maupun tenda-tenda untuk menampung korban bencana. Aku bisa melihat ada truk-truk dan bus yang melewati jalur khusus. Sejumlah orang tampak menurunkan peti-peti persegi warna hitam dengan pinggiran kelir perak. Ramai dan sibuk sekali. Aku meyakini orang-orang itu adalah anggota crew.Gemuruh harmoni alat musik pun terdengar sampai ke belakang panggung, walau speaker-speaker sound system menghadap ke arah sebaliknya. Dari lagu yang dibawakan, aku menebak yang sedang manggung sekarang adalah girlsband 5 Dewi.Di backstage sini, bau alkohol dan asap rokok menyengat sekaligus menyeruak. Lampu-lampu halogen yang terpasang di setiap penjuru pun menyilaukan mata. Aroma kosmetik juga bertebaran. Perih dan panas sekali. Uniknya, para penghuninya berlaku biasa saja, seperti berkumpul untuk menyaksikan orkes dangdutan.Aku pun diajak Kirana menuju ke salah satu tenda di bagian tengah hamparan tanda. Kalau g

  • Atas Nama Pohon Suci   48 | Soundrenaline

    CLOVER Leaf University of Surabaya alias Clofus sendiri letaknya cuma selemparan batu saja dari rumahku di Kertajaya. Sama-sama masih satu Kecamatan Gubeng. Makanya itu aku gak buru-buru amat.Aku sendiri merasa malam ini bakal cerah. Bintang-bintang di awang-awang terlihat riang berkelip sementara bulan yang bulat sempurna bersinar terang. Kupacu motor membelah terpaan angin yang membuat rambutku meliuk-liuk tak keruan.Ketika melihat pemandangan angkasa itu, aku jadi teringat kembali dengan bulir air mata dan bulatnya wajah Juleha yang kayak Selena Gomez itu.Namun, entah mengapa setiap kali aku ketemu Juleha, selalu saja ada yang aneh dengan diriku. Aku seolah tidak bisa jujur dengan perasaanku sendiri terhadapnya. Aku selalu berpura-pura menganggap Juleha hanya sebagai teman sepermainan belaka.Padahal, aku menyadari aku menyukainya, bahkan sejak masih SMP dulu. Ya, entahlah, Juleha mungkin cinta pertamaku. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mengun

  • Atas Nama Pohon Suci   47 | Windbreaker

    Aku masih saja terbayang sekaligus terngiang wajah serta suara Sekar, ketika membersihkan diri dalam kamar mandi. Seolah-olah, dia seperti Dewi Narcissus yang membuat siapapun yang melihatnya jadi jatoeh tjinta.Tapi, aku tak berniat membuat Sekar layaknya kisah tragis Dewi Narcissus versi asli – yang bunuh diri nyempulung kolam karena jatuh cinta dengan dirinya sendiri. Aku akan membuat lembaran ceritaku sendiri dengan membantu mewujudkan mimpi Dewi Sekar menjadi diva kayangan!Aku lantas mengagumi wajah Sekar yang persegi, dipungkasi dagu nan tegas dengan polesan garis rahang yang kuat. Hal itu menampakkan kekuatan sekaligus kepercayaan diri. Rambut hitam Sekar yang lebat, menjulur lurus panjang, jatuh hingga ke punggung seperti mahkota putri keraton Jawa.Dua lekuk alis tebal Sekar tampak menaungi dua bola mata bulat telurnya. Warna mata itu hazel yang orang sering keliru itu coklat atau hijau. Setiap kali Sekar menatapku, aku selalu merasa ada kepasrah

  • Atas Nama Pohon Suci   46 | Upeti 2

    "UPETI apaan?""Fulus, duit, setorannya kurang," jelasnya. "Udah gak lancar lagi."Aku masih gak ngerti maksud Sekar. Dia pun menjelaskan kalau per bulan, setiap wisma di SD 2 Dukuh Jerut harus menyetor uang yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah kepada sederet pejabat maupun pihak yang berwenang lainnya.Kalau ditotal, kata Sekar lagi, upeti yang mesti diberikan Mami maupun mami-mami lainnya kepada orang-orang pejabat berwenang itu, jumlahnya bisa mencapai belasan juta rupiah per wisma per bulan."Kok, kamu bisa tahu hal-hal semacam ini?" tanyaku."Aku," kata Sekar, "kalau di Arini ini, bagian dari upeti itu."Lalu, Sekar menggandeng lenganku kembali, lantas mengajakku berjalan. Aku pun manut sambil mengelus dada. Setelah mengalami rentetan peristiwa yang menyesakkan dada pada masa lalunya--hingga meninggalkan trauma--sekarang Sekar masih juga dimanfaatkan sebagai alat pertukaran. Ini manusia, bukan barang! Aku menggeram dalam hati."

  • Atas Nama Pohon Suci   45 | Upeti

    KETIKA aku mengucapkan janji, tiba-tiba suasana menjadi sunyi. Ada momen beku aneh yang menyelimuti ruangan 3x3 ini. Tapi Sekar tetap diam, lalu mengangguk lagi seolah-olah memberkati apa yang baru saja aku katakan.Kemudian aku merasa bersalah sendiri karena mendesaknya untuk bercerita. Aku menggeser kursiku untuk mendekatinya. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku kira Sekar juga memikirkan hal yang sama. Saat kita sedih, kita ingin ada orang di sekitar kita.Kemudian, Sekar menarik napas, lalu menghembuskannya. Seolah-olah dia sedang melepaskan beberapa beban masa lalu yang dia pikul."Boleh aku pegang tanganmu?" Aku meminta izin."Kamu kan sudah bayar," jawab Sekar, "Kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau."Aku hanya menggelengkan kepala."Aku hanya ingin pegang tanganmu," ulangku.Sekar kemudian mengulurkan telapak tangannya.Aku memegangi telapak tangannya, lalu membelainya seolah-olah aku membaca apa yang terjadi pada t

  • Atas Nama Pohon Suci   44 | Sebuah Janji

    “ENGGAK!” aku menghentikannya.Sekar terkejut.“Aku gak ingin buru-buru,” sambungku.Sekar lalu berdiri. Dia menghela nafas lalu berjalan memunggungiku. Aku tidak tahu apakah dia kecewa atau malah bahagia? Dia berbalik menghadapku, bersandar ke rak boneka, lantas menyilangkan di dadanya.“Terus?” tanya Sekar. “Kamu ingin aku ngapain?”“Kamu bisa lagunya Adele yang Rolling in the Deep?” aku bertanya.Sekar mengangguk."Sini, aku yang gitarin."“Aneh,” sindirinya.Saat dia berbalik untuk mengambil gitar, tanpa sepengetahuannya, aku posisikan ponsel dengan sedemikian rupa sehingga tampak separuh badan Sekar ke atas. Setelah menerima gitar dari Sekar, aku memintanya duduk di depan rak yang penuh boneka.Sekar tampak berat mengabulkan permintaanku. Mungkin, Sekar sedang bertanya-tanya apakah aku memiliki orientasi seksual yang menyimpang."A

  • Atas Nama Pohon Suci   43 | Sang Biduan

    “AYO sekolah?” ajak Desi.Namun para tamu yang hadir dalam majelis itu tampak malu-malu kucing. Mereka hanya tersenyum. Desi sendiri terlihat gusar, sehingga ia marah.“Kok gak ada yang ngajak aku sekolah,sih?” gerutunya.Desi pantas gusar. Doi boleh marah-marah. Soalnya, Desi cs telah menemani tamu-tamunya ini sejak dari jam 11 siang, seperti pengakuan Kentung tadi. Namun, sampai jam tiga sore, belum ada yang berminat ‘sekolah.’“Masak,” kata Desi, “udah ditemenin dari jam 11 gak ada yang mau sekolah, sih?” doi lantas mendengus.Tiba-tiba ada intro lagu yang aku kenali, disusul bagian verse yang menegaskan dugaanku. Mula-mula, aku mengira lagu ini bakal dinyanyikan oleh cewek-cewek ini. Oleh sebab itu, aku tak menanggapinya dengan serius.Namun..."Party girls don't get hurt. Can't feel anything, when will I learn. I push it down, push it down," lantun merdu seorang perempua

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status