“Kamu beneran gak apa-apa aku tinggal? Padahal kamu bisa tinggal di apartemen aku selama yang kamu mau, biar aku nginep di hotel aja.”Layla sekali lagi menggeleng sambil tersenyum tipis. Itu adalah pertanyaan ketiga Mike—dengan kalimat yang sama. Seharian kemarin, Layla memang menginap di apartemen Mike sedangkan pria itu tidur di hotel terdekat. Layla sudah cukup merasa bersalah membuat seorang super model tidur di hotel bintang 3, padahal dia baru saja landing di negara ini.Setelah konferensi pers malam tadi, Mike menyuruh beberapa orangnya untuk membersihkan “kado” Layla, sekaligus memeriksa keadaan sekitar rumah itu. Ia mendapatkan laporan bahwa semuanya sudah aman. Layla yang mendengar itu pun memintanya untuk mengantar kembali ke rumah.“Aku udah gak apa-apa,” jawab Layla.“Tapi, percaya sama aku, Lay. Itu bukan kiriman dari suami kamu,” ucap Mike sambil terus menyetir. Mereka baru saja kembali dari pre-school untuk mengambil barang-barang Layla yang tertinggal. “Sebenci-benci
Selepas kepergian Mike, Layla hanya menghabiskan waktu di dalam kamar. Ruang tengah dan ruang tamu masih menyisakan sedikit trauma untuknya. Sampai detik ini hanya ada satu pesan dari Aldimas yang bertanya ‘ada apa’, kemarin siang. Sepertinya pria itu terlalu sibuk sampai tidak menghubunginya.Atau karena sudah terlanjur membencinya.Layla menghela napas, dan tiba-tiba perutnya berbunyi. Tingkat stresnya yang meningkat membuat Layla juga cepat lapar sekarang. Anehnya, begitu mendapatkan apa yang ia mau makan, tiba-tiba asam lambungnya naik lagi. Alhasil, Mike-lah yang sedari tadi memakan makanan Layla.“Aku mau makan bubur....”Lidah Layla sudah membayangkan gurihnya bubur ayam yang dijual di depan kompleks. Sekarang sudah menunjukkan hampir pukul 11 siang, entah abang tukang bubur itu masih berjualan atau tidak.Layla mengambil kardigannya dan bersiap ke luar. Mike memang melarangnya untuk keluar rumah dulu, tapi ia tidak bisa menahan dorongan ini. Ia belum tahu kapan Aldimas pulang,
Ting! Tong!Mike mempunyai seribu satu kutukan untuk Jonathan—atau Mas Jo, manajernya—yang selalu datang tepat waktu. Padahal, baru lima menit yang lalu pria itu menelepon, menyuruhnya bersiap karena dirinya sudah dalam perjalanan. Apa dia menaiki mobil super yang bisa membawanya ke sini kurang dari lima menit?Bel itu terus berbunyi, membuat Mike mau tidak mau meninggalkan kopernya dan berjalan ke arah pintu apartemen.“Njir, dah, Mas Jo. Baru juga matiin telepon, udah—“Klek!Brak!Baru juga Mike membuka kunci, pintu itu sudah dibuka secara kasar sampai membentur tembok di belakangnya. Untung saja Mike buru-buru menghindar, jadi ia tidak mendapat hantaman pintu itu.“Mana Layla?” Aldimas muncul dengan kaus polo hitam dan celana panjang berwarna senada. Ia tidak memakai kacamata kali ini, membuat t
Bau pengap yang tercampur dengan bau besi berkarat dan bensin memasuki indra penciuman Layla. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya, tetapi Layla sudah sedikit-sedikit menggerakan tubuhnya. Ya, walaupun ia tidak bisa bergerak banyak karena sepertinya tertahan sesuatu.“Sudah bangun, Nyonya Muda?”Suara itu terdengar berat dan serak. Kepala Layla bergerak perlahan, dan ia baru menyadari kalau sekarang sedang didudukkan di sebuah kursi reyot dengan kaki dan tangan terikat. Mulutnya pun tertutup lakban hitam, hingga membuatnya tidak bisa mengeluarkan suara apa pun.Mata Layla membulat ketika melihat sosok tinggi di depannya. Ia otomatis bergerak gelisah, ingin melepaskan semua ikatan itu.“Ah, ah, gak perlu repot-repot buang tenaga. Nyonya muda gak akan keluar dari tempat ini dengan selamat sebelum bajingan itu melepaskan MD.”Satu yang akhirnya Layla sadari adalah orang ini ada kaitannya dengan posisi Aldimas yang
Satria limbung, dan akhirnya jatuh tersungkur di tanah. Kesempatan itu tidak disia-siakan Aldimas. Ia pun langsung menduduki perut Satria dan menghujani pria itu dengan puluhan tinjuan di wajah.Satria pasrah tanpa perlawanan. Ia seolah siap mati karena pukulan Aldimas. Hal itulah yang membuat Aldimas semakin geram. Ia tidak mau berhenti meskipun wajah Satria sudah penuh lebam dan hidungnya mengeluarkan darah.“AL!”“WOY! WOY! TAHAN DULU!”Tidak hanya suara Diego, Mike terdengar juga berteriak dari jauh. Entah sejak kapan pria itu ada di sana, Aldimas tidak peduli. Ia hanya ingin menghancurkan wajah Satria saking muaknya. Bisa-bisanya orang yang menyakiti Layla adalah orang terdekatnya.“Al! Udah cukup!” Diego menarik tubuh Aldimas bersama satu orang bawahannya. Sedangkan Mike membantu Satria untuk bangun.“Lepas!” Aldimas semakin
“Bos! Gawat, Bos!”Mata Layla yang perih pun terpaksa terbuka gara-gara teriakan itu. Ia sudah lelah menangis, sehingga matanya menjadi berat dan perih. Belum lagi mulutnya disumpal lakban, hingga membuatnya tidak nyaman dan sulit bernapas.Seorang pria berlari dari arah pintu. Wajahnya terlihat pucat dan panik. Tidak seperti si ‘bos’ yang berpakaian rapat, Layla bisa melihat jelas wajah pria itu. Ada bekas luka yang menjalar di pelipisnya. Tentu saja itu bukan wajah orang baik-baik.“Kenapa?” Pria yang sedari tadi mengancam Layla itu berdiri dari kursinya.“Pasukan luar mendapat serangan dari kelompok tak dikenal! Hampir sebagian besar sudah lumpuh—““SIALAN!” pria itu berteriak keras, sampai Layla ikut berjengit di kursinya. “Dari mana Aldimas bajingan itu bisa mendapat akses bantuan?! Kenapa kalian gak tau itu! Buk
“Saya ingin keturunan Hardian Mandrawoto menderita! Terutama kamu, Aldimas!” teriak Norman. “Para binatang yang sudah menginjak-injak hidup saya!”Norman mencengkeram leher Layla semakin kuat.“Saya yang rela menjilati kaki Hardian Mandrawoto setelah dia menghancurkan perusahaan keluarga saya. Datang sebagai karyawan biasa, sampai mendapatkan pengakuan sebagai orang kepercayaannya. Tapi apa? Dia tetap saja mengharapkan anak tak tau diri yang memilih kabur bersama wanita daripada mengurus perusahaan!”Terlihat Norman mulai kehilangan kendali akan dirinya ketika mulai meracau panjang lebar. Ia bolak-balik mengacungkan pistolnya ke arah Aldimas yang terus berjalan mendekat, dan Layla yang berada dalam genggamannya. Langkahnya diseret mundur, menghindari Aldimas yang mendekatinya seperti jaguar hitam.“Gak cuma menjodohkan bajingan itu dengan wanita yang saya ci
Roda brankar rumah sakit yang berderak di lantai seperti mars kematian untuk Aldimas. Setelah melihat Layla ambruk tadi, ia buru-buru menghampirinya. Ia sudah tidak peduli apa yang terjadi dengan Norman di sana—mau dia mati, berguling di lantai, atau ditembak memababi buta sekalipun. Prioritasnya hanya Layla.Wanita itu terlihat sangat kepayahan. Seluruh tubuhnya gemetaran dan matanya terpejam. Sesaat, Aldimas menduga kalau dirinya terlambat. Sampai akhirnya Layla membuka mata dan menangis ke arahnya.Aldimas pun segera memeluk tubuh mungil wanita itu, menggumamkan beribu maaf kepadanya. Napas Layla yang lemah terdengar mulai tenang. Ya, Aldimas kira dirinya dan Layla akan segera pulang dengan selamat ke rumah dan berpelukan sampai esok hari di kasur yang empuk. Namun, rintihan Layla menghentikannya.“Sakit....”Pada saat itulah Aldimas menyadari ada yang salah. Bukan di k