"Bapak tahu nggak kalau saya ini dulu pernah nikah? Nggak tahu kan? Jadi, nggak apa-apa kalau tadi ditarik omongannya," kataku dengan mimik wajah memelas, kok jadi seperti aku yang ngotot dinikahi Biru sih?Dih, malu-maluin saja!"Ya, sudah deh, Pak. Saya permisi dulu," aku berbalik meninggalkan Biru yang sedang berada di luar galaksi, di antara ribuan bintang dan terasa jauh. Mending, aku ke kafetaria buat sarapan, aku mau menu yang berat saja.Bye bye diet.OOOSudah hampir pukul tujuh malam, seharian tadi aku berolah raga di luar bersama Bang Napi dan tim. Kebetulan ada atlit golf lokal yang sedang berjaya di salah satu turnamen dunia, jadi tadi aku memburu kedatangannya di Juanda.Lalu, kami membuntutinya ke apartemennya yang berada di jantung metropolis. Aku seperti berada dalam drama Korea, karena aku masih belum bisa melupakan kejadian tadi pagi. Jiwaku melayang-layang mirip roh penasaran.Aneh soalnya, masa Biru mau nikahin aku? Kesambet apa sih dia itu? Jangan-jangan hanya un
Eh, apa maksudnya?Aku mendelik, seperti tersadar. Ini mimpi bukan sih? Aku menatap wajah Biru yang seperti terasa dekat di atasku. Kenapa posisiku seperti ini? Apakah aku tadi mau jatuh? Akan pingsan begitu?Aku meneguk ludah, terasa canggung. Debaran jantungku mirip ombak yang berlari-lari saat terjadi gempa tsunami. Oh, tidak itu terlalu berlebihan.Norak, banget sih kamu Jani.Oke, begini. Aku sedang berada dalam ancaman ideologis Biru. Ia sudah berani mengancam keyakinan dan prinsipku. Aku rasa itu tidak layak dan pantas. Masa ia harus marah-marah hanya gara-gara tadi pagi keisengannya kubongkar?Aneh benar orang ini."Apa maksud, Bapak?" suaraku seperti bergetar, sedikit ngeri bercampur takut. Aku tahu, scene mengerikan dalam film-film horor terasa begitu gelap. Tidak seterang penerangan dalam kotak kaca ini. Tapi, apapun bisa terjadi."Jani," ia menyebut namaku, seperti terasa letih, "apa yang harus aku lakukan padamu?""Saya tahu Pak. Tolong, singkirkan tangan Bapak. Karena sa
"Hah, yang bener? Masa bosmu yang ganteng itu ngelamar kamu, Jani? Katanya dulu dia ogah dijodohin sama kamu kan? Kok aku ngerasa aneh begini ya. Rasa-rasanya kayak apa begitu?"Lupita mencerocos sembari mengudap kedelai Jepang pilihannya. Kata dia, kedelai itu tidak akan menaikkan bobot tubuhnya ketimbang cake. Betul juga sih, tapi kenapa semakin hari kulihat dia makin gemuk?Aku memasang headband di kepalaku, mulai mengoleskan cream pembersih wajah. "Kok kamu jadi agak gemukan ya, Pit? Harusnya yang gendut kan aku?""Ih, mulai deh. Iya iya, tahu yang sekarang makin kurus. Kamu disuruh kerja apa sama bosmu kok bisa begitu cepat turun bobot, jangan-jangan dia itu jahat banget kan?"Aku mengedikkan bahu, "Aku kerja sama Bang Napi sih, dia suka lari-lari kalau siang. Jadi mungkin aku ikutan gitu, marathon kadang lari spint sampai bengek."Lupita tertawa keras-keras, "Bagus juga tapi ya buat nurunin bobot. Buktinya bosmu bisa kesemsem gitu, An.""Kesemsem apaan. Mencurigakan iya.""Loh
"Kau kesiangan, Jani. Apa kau tidak apa-apa?"Begitu kalimat yang dilontarkan Biru ketika aku membuka pintu kamar. Ia tampak santai dengan kemeja yang belum pernah kulihat sebelumnya, kemeja hitam lengan pendek.Sepertinya, ia ingin memamerkan bentuk lengannya yang bagus padaku. Ia pasti menyukai berolahraga di dalam gym, ia pasti orang seperti itu."Nggak apa-apa kok, Pak." Sahutku canggung, sembari menenteng tas besar."Kau mau menginap di rumahmu nanti?""Pak, saya kan mau pulang. Ini akhir pekan, jadi mungkin saya balik ke sini baru Senin pagi besok.""Lalu aku pulang sendirian begitu?""Ya, kan terserah Bapak.""Panggil Biru, ini bukan di kantor.""Hem, gimana ya?""Kenapa sih Jani, kamu biasa memanggil Argo, kalau sama aku kok nggak gitu?""Kan dia man—"Eh, hampir keceplosan.Ups."Oh, enggak Pa—eh Biru."Aku menunggunya bereaksi aneh. Jangan-jangan dia akan balik badan, meninggalkan aku di sini. Lalu, aku bisa kembali bekerja dan menghabiskan waktu di kantor nanti. Masalah pun
Aku melotot, tapi aku tahu ia paham."Aku tahu itu, jadi aku ucapkan terima kasih. By the way, kamu pucat. Pasti gula darahmu rendah lagi."Aku hanya meringis, entahlah. Aku seperti menjauh dari makanan beberapa hari ini. Apa karena taruhan itu? Sikap Argo, sikapnya, pekerjaan yang beruntun, aku sungguh seperti tidak ingin makan apa-apa."Kau harus banyak makan."Pesanan kami datang, ternyata ia memesan nasi. Aku makan nasi pecel, empal daging, ada telur, tempe tahu bali, dan peyek juga. Aku makan seolah-olah baru saja berpuasa selama berbulan-bulan.Biru dengan wajah geli dan menahan senyum tertawa melihatku, "Aku tidak pernah melihat perempuan makan seenak kau ini, Jani.""Oh, hobiku memang makan.""Iya kan? Kenapa kau tak membuat channel Youtube, kau bisa membuat ASMR- di sana." Ia berseloroh."Aku rasanya tak makan seminggu ini, Biru. Kelaparan banget.""Pantas wajahmu pucat.""Benar," kataku merasa tubuhku terisi energi yang begitu banyak."Kau terlihat kurus belakangan ini, apa
Saat menjelang pukul sepuluh pagi, kami sampai di jalanan beraspal kasar dan sedikit berlubang yang mengarah ke dusun Kanigoro. Itu salah satu dusun kecil, dan terletak jauh dari jalan provinsi. Melewati sekian sawah dan kebun-kebun rimbun di sepanjang jalan yang sepi.Hujan tidak meninggalkan bekas di tempat ini, hujan sudah lenyap saat kami memasuki kota Bangil, lalu masuk dan mengikuti lekukan jalan-jalan kecil meliuk dan memanjang di kecamatan Rembang.Hawa panas menyengat namun dihiasi oksigen melimpah membuat udara segar, namun itu semua terasa tidak berarti karena jantungku dari tadi sudah berdebar demikian keras. Aku takut menghadap Bapak. Duh, serem sekali siang ini.Saat azan membelah langit, kami berhenti sebentar di sebuah masjid di pinggir jalan. Biru langsung meloncat dan bergegas menunaikan Jumat. Aku terdiam di dalam mobil.Karena tidak ada yang kulakukan akhirnya aku menelpon kanjeng mami. Aku memberitahunya jika kami akan datang—iya kami. Aku dan Biru. Lalu, kukatak
"Inilah pilihan-pilihan yang sampeyan miliki, Nak Biru." Bapak membuka wejangannya yang panjang tadi dengan menekankan kalimat seperti itu. Aku yang menguping dari balik pintu yang membatasi ruang tamu dan ruang tengah merasa cemas dengan apa yang terjadi.Bapak tadi kaget, tidak marah tapi begitu kalut. Seperti biasanya, Bapak tidak mau mengambil banyak risiko yang bisa merusak reputasi keluarga, selain itu Bapak tidak mau ikut berdosa jika membiarkan anak gadisnya berurusan banyak dan berduaan selalu dengan yang bukan mahramnya."Nak Biru. Bukannya saya menolak lamaran tadi, saya sebagai bapaknya Anjani sangat bertanggungjawab dengan masa depannya. Urusan saya ini sama Gusti Allah. Jadi begini baiknya." Kudengar suara Bapak makin samar, sementara kupingku yang menempel di pintu terasa lengket dan tidak mau dilepas.Ibu yang duduk di sebelahku seperti menggeleng-nggeleng melihat tingkahku yang norak bukan kepalang."Nak Biru, saya akan menerima lamaran Nak Biru pada Jani setelah say
Sabtu pagi.Aku duduk di depan cermin. Aku adalah salah satu pengantin paling mandiri sedunia. Tidak ada MUA-MUA dengan gayanya yang gemulai melukis wajahku. Padahal yang kunikahi adalah seorang pemiliki televisi swasta, dengan puluhan MUA di kantornya.Ya, ini memang pernikahan dadakan. Begitulah Bapak dan idealisme-nya yang selurus tiang listrik yang ada di dusun ini. Seringkali, Bapak mengomentari keponakan-keponakannya kalau-kalau ia menemukan mereka sedang pacaran atau ada apel di rumah."Ayo, Paklik akad saja ya?""Yuk akad, murmer, halal pula!""Akad saja, nanti halal ngapa-ngapain."Begitulah, terkadang. Sampai aku takut sepupuku tersinggung. Anehnya, mereka tidak tersinggung justru tersipu malu. Benar-benar deh Bapak ini.Aku tertawa mengingat seluruh kelakuan Bapak, tapi begitulah ia. Jadi, kalau sekarang aku harus menjadi salah satu target akad dadakan ini, aku harusnya tidak takut. Tapi, kenapa aku dari tadi gemetar ya?Kalau begini mana bisa melukis alis? Bisa mencong san
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d