Ombak lagi-lagi menabrak tepi pantai, angin sedari tadi berhamburan tak tentu arah, pasir kini hanya menjadi saksi bisu kedua anak manusia yang sedang dimabuk cinta.
Seperti tak ada lagi pemandangan yang menarik menurut Bara, matanya terus-menerus memandang Kiara yang sibuk bersama buku yang ia baca. “Tuan putri lagi baca apa, sih? Serius banget” Bara yang sedari tadi hanya memandang, akhirnya angkat bicara.
“Bar, Kiara capek deg-degan tiap Bara manggil Kiara tuan putri” Ia tutup buku itu, lalu memandang lelaki disampingnya.
“Lho, kenapa? Bara suka manggil Kiara tuan putri. Kiara indah, Kiara cantik, Kiara baik. Aduh, Bara takut ketula sama semesta karena pamerin Kiara mulu”
“Tapi emang bener, Ki. Bara sayang banget sama Kiara. Maaf ya, tuan putri, kalo dulu Bara gak ngejar tuan putri buat minta maaf karena Bara terlalu sibuk. Emang bodoh banget ni, si Bara. Bisa-bisanya nyakitin Kiara” Lanjut Bara.
&
Kiara Anandita. Gadis remaja keturunan Bandung ini kerap disapa Kia. Memiliki rambut panjang hitam sebahu yang selalu ia kuncir kuda, agar tidak gerah, katanya. Kiara dikenal sebagai anak yang ceria, aktif, dan sederhana. Terbukti dengan banyak organisasi yang Kiara ikuti disekolah menengah atasnyanya sebagai ajang mengisi waktu agar tidak terbuang sia-sia.Kiara memiliki 2 sahabat yang sudah ia jumpai sewaktu sama-sama menduduki sekolah menengah pertama, enak kan kini bisa berkumpul dengan kawan lama?“Kia… Ki… Ki…” ujar Alya, salah satu sahabat Kiara.“Yah, dia ngelamun lagi, Al” timpa Kanza yang merupakan bagian dari mereka juga.“WOI KIARA ANANDITA!”“Hah? Apaan si, Za. Ngagetin tau” balas Kiara memasang muka masam.“Lagian elo, sih, dari tadi kita panggil tetep aja bengong, ya kan, Al?”“Iya, mikirin apaan, sih, lo?”“Alah pa
Rumah Kiara memang selalu jadi tempat ternyaman 3 wanita ini, bagaimana tidak jika sang tuan rumah selalu saja menyajikan cemilan enak dan minuman yang segar.“Eh, kebetulan kalian main dirumah, mama baru aja buat cemilan kue kering tadi, tolong ambilin ya, ki, ada dimeja makan”“Wihhhhhh, mama emang the best deh, makasi ya, ma” ujar Alya.Semenjak berteman lama dengan Kiara, mama nya Kiara kini sudah seperi ibu Alya dan Kanza yang kedua, bahkan mewajibkan nama panggilan ‘mama’ seperti anaknya sendiri.Sembari mengemil dan mengobrol ria, akhirnya ada satu kalimat yang membuat Kiara terkejut, kalimat yang ia pun malas mendengarnya.“Lo kenapa gak coba buat sama Arkha, sih, Ki? Dia baik kan sama lo?” Ujar Kanza.“Tau, malah masih masih mikirin si batu bara yang jelas-jelas nyakitin lo” Kesal, Alya kesal.“Kan lo tau, Al kalo Bara gak bermaksud nyakitin gue”K
“Hm kita mau kemana ya, Ki, enaknya?” Tanya Arkha.Kiara yang sibuk menatap jendela kini sontak kaget, semua yang ia susun di imajinasinya sendiri seakan terlahap oleh realita. Imajinasi yang akan selalu membuatnya tersenyum, setidaknya agak mirip seperti dulu. Entah kenapa ia sangat enggan menatap pria yang kini duduk disampingnya yang sibuk menelaah jalanan kota. Tanpa berpaling seinci pun, Kiara membuka suara “Kemana aja, gue ngikut”Arkha hanya tersenyum, toh ia sudah biasa diperlakukan seperti ini oleh sang wanita. Tetapi rasa sukanya tidak luntur begitu saja, rasa suka yang sudah setahun ini ia rasakan. Siswi kelas 11 IPA 4 yang selalu ia puja kecantikkannya. Beruntung kelasnya dengan Kiara hanya berbatas antara tembok kelas 11 IPA 3, kelasnya, dan kelas sang pujaan hati. Tetapi, Arkha tetap bersyukur, toh, ia dapat melihat Kiara setiap hari.Arkha memberhentikan mobilnya di suatu tempat yang kini sudah ramai pengunjung, Pasar Malam
Untuk hari ini, Kiara memutuskan naik kereta api untuk pulang kerumah. Dengan headset yang terpasang ditelinga, mendengarkan lagu-lagu yang sudah ia tambahkan ke playlist kesayangannya. Ia tak sungkan untuk mengkomat-kamit tak bersuara tanda sedang bernyanyi, atau jari seperti sedang memetik gitar, dan kaki yang dihentakkan sesuai dengan irama.Kiara memang selalu seperti itu. Mungkin tanpa musik, kedok terpuruk Kiara akan terbongkar. Sembari melamun Kiara menatap lekat tangannya, tangan yang dulu selalu dirawat bersih oleh seorang lelaki yang sangat ia sayangi, hingga saat ini.Duh, Kiara semakin dibuat senyum sendiri.Entah hari ini ia menyebutnya hari keberuntungan atau hari sial karena Tuhan sedang memberinya ujian untuk bertemu dengan orang yang sangat spesial untuknya, hinggat saat ini. Tangan gemetar, hati yang tak ingin lengah, keberanian yang tiba-tiba mengatup menguggah kembali kisah lama yang ia usahakan kubur dalam-dalam.“Hai, Ki, baru
Bara. Bara Samudera. Anak lelaki ke-2 dari 3 bersaudara. Lelaki yang sangat lembut hatinya. Ia sedikit bicara, orang yang tegas, dan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya akan menenangkan jutaan pasang telinga yang mendengarnya.Bara juga lelaki yang sangat baik. Ia tak sungkan memenuhi perintah sang bunda. Biar bunda senang, kata Bara.Bara memiliki 3 sahabat karib yang selalu menemaninya sedari sekolah dasar. Artha Susanto, Ezra Ramadhan, dan satu lagi Nevan Nagendra. Menurut mereka, Bara adalah titik penyelesai masalah yang dimana jika mereka bertengkar, Bara akan datang dan mengucapkan “Maaf, ya, gue gak mau kehilangan kalian”Setelah itu mereka akan tertawa dan tentu saja bermain bersama, lagi.Lapangan tempat mereka biasa bermain kini ditutup awan, lumayan, biar adem, katanya. Cuitan burung hanya menjadi saksi bisu apa yang 3 pemuda ini bicarakan, kecuali Bara. Bara hanya diam sedari tadi, entah apa yang ada dipikirannya kini. Ia si
Kini kelas tampak kosong, para siswa dan siswi sibuk akan makanan yang akan mereka santap siang ini. Tetapi tidak dengan 3 wanita yang duduk melingkar ini, mereka sibuk berkelana dengan pikiran masing – masing. “Gue ketemu Bara…” Kiara angkat bicara tanpa seinci pun pandangannya bergerak, “2 hari yang lalu, eh.. iya 2 hari yang lalu. Di depan rumahnya Bara, lagi nunggu seseorang” lanjutnya.Ekspresi Kiara kini tak menentu. Ia rindu tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa kecewa Kiara terpampang nyata saat mengatakannya. Kiara mengedarkan pandangannya ke atas berusaha agar siluit bening dimatanya tidak membasahi pipinya.Kanza dan Alya kini melemparkan tatapan masing-masing, setelah mendengar kalimat yang diucapkan sahabat mereka. Kiara hanya tersenyum ketir setelah itu, mengingat bagaimana rindunya kembali menjajah ruang kosong lagi dan lagi.“Sebenernya lo bisa, Ki, lo bisa move on dari Bara. Tapi lo nya yang gak
Siang ini mentari sepertinya sedang berada dititik gembiranya, bagaimana tidak jika siang ini terasa sangat panas sekali. Di pinggir lapangan ada seorang wanita yang sedang menunggu jemputannya datang, ya, dia Kiara. Untuk siswi SMP seperti Kiara seharusnya sudah bisa pulang kerumah sendiri, tetapi sang ayah tidak mengizinkan anak satu-satunya pulang sendirian.Di ujung lorong tampak Bara membawa 2 gelas es yang sungguh sangat menggoda siang ini, dihampirilah Kiara. “Nih, buat lo. Kasian tuh tenggorokan kering” Kiara sontak kaget saat gelas berkeringat dingin itu menyentuh kulitnya. “Thanks, Bar” jawab Kiara.Semenjak hari itu, Bara lebih sering mengirim pesan ke Kiara walaupun modusnya menanyakan tugas. Bara juga menjadi anak yang perhatian pada Kiara, seperti menunggu jemputan Kiara datang dan menanyakan apa yang sedang Kiara lakukan setelah sampai rumah. Jika ditanya mengapa melakukan itu, Bara akan menjawab “Ya, lo kan cewek, Ki. Temen
Sudah 5 bulan. Semenjak kejadian memberikan minuman ke Kiara hingga sekarang perhatian-perhatian yang Bara berikan tetap saja sama. Kiara suka itu. Tentu saja Kiara suka itu. Sifat Bara yang hangat, misterius, dingin dan peduli disaat yang bersamaan menimbulkan perasaan aneh dialam diri Kiara. Membuat Kiara tersenyum sudah menjadi pekerjaan tetap yang kini Bara kerjakan.Malam ini bulan tak tampak, tetapi para bintang seperti mengambil alih cahaya-cahaya bulan yang direnggut semesta. Jalanan becek sehabis hujan sore hari yang masih menggenang menjadi saksi bisu pemuda yang kini menginjaknya, Bara. Ia memberi pesan ke Kiara agar menemuinya didepan gerbang rumah sang wanita. Aneh, pikir Kiara.“Aduh gimana, ya, Ki?”“Hah? Gimana apanya?”Bara menatap mata Kiara dalam-dalam, mencari sumber semangat agar suaranya tak lagi bergetar “Emmm.. Pacaran, yuk?”Tentu saja Kiara kaget, apa-apaan lelaki ini, mengajaknya pacara